Latarbelakang Masalah Gambaran Family Matters Pada Remaja Tunadaksa

BAB I PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara kanak-kanak dengan dewasa, yang melibatkan perubahan yang signifikan dalam kondisi fisik, kognitif, serta sosial. Papalia, 2007. Selain itu seorang remaja juga mengalami perubahan emosi, penilaian, pengorganisasian perilaku, kontrol diri serta berbagai macam gejolak dalam emosi yang menjadi meningkat pada masa ini Adams, 1995 dalam Arslan, 2009. Perubahan – perubahan yang terjadi di dalam diri remaja, salah satunya yaitu perubahan fisik memberikan dampak secara psikologis bagi remaja itu sendiri. Hal ini disebabkan kebanyakan remaja menjadi lebih fokus dengan penampilan fisiknya daripada aspek lain didalam diri mereka. Hal ini mulai sering terjadi pada pertengahan kanak-kanak atau lebih awal dan semakin intens pada masa remaja Papalia, 2007 Setiap individu menginginkan penampilan fisik yang menarik dan sempurna. Namun ketika kondisi fisik yang mereka miliki tidak seperti yang diharapkan, hal tersebut dapat menjadi sumber distress tersendiri bagi diri remaja. Hal ini tentunya akan mempengaruhi interaksi yang meliputi bagaimana pandangan orang lain terhadap individu dan secara langsung akan mempengaruhi bagaimana individu akan memandang dirinya sendiri, yang disebut sebagai konsep diri. Permasalahan penampilan fisik menjadi suatu kondisi yang dialami oleh individu yang mengalami cacat fisik yang diakibatkan oleh berbagai macam faktor. Somantri 2006 mengemukakan cacat fisik atau tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir, yang dapat menghambat kegiatan individu sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan atau untuk berdiri sendiri. Adapun ketunaan itu sendiri disebabkan oleh beberapa hal, yakni kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, kerusakan pada waktu kelahiran, infeksi, kondisi traumatik, tumor, serta kondisi lainnya. Perbedaan kondisi ketunaan yang dimiliki seorang individu juga menimbulkan kondisi psikologis yang berbeda pula. Misalnya usia pertama kali individu mengalami ketunaan. Permasalahan emosi lebih cenderung terjadi pada individu yang mengalami ketunaan pada usia tertentu, daripada individu yang mengalami ketunaan sejak lahir Somantri,2006. Hal ini disebabkan individu pernah memiliki kondisi fisik yang normal, sehingga hal ini mempengaruhi proses penerimaan diri terhadap kondisi fisik mereka. “Sedih aja gitu diam sejenak. Gimana ya, soalnya kan gak seperti kemarin- kemarin lagi. Apalagi kalau dibilang, saya harapan keluargalah seperti itu. Kalo bisa saya sendiri jadi gitulah. Kalau bisa saya harus perguruan tinggi atau kuliah, tapi kok malah aku pulak yang jadi begini.” “Kalau terima, ya kalau bisa dibilang masih tahaplah, tahap penerimaan. Kalau dibilang sudah terima sepenuhnya yah bohonglah. Belumlah, masih tahap-tahap gitulah.” AR,20 tahun- Komunikasi Personal,8 Juni 2013 “Masih sedih. Saya kan dilahirkan sempurna. Tahu-tahu ini udah umur 16 tahun, hilang kakinya, jari-jari kaki hilang.” “Sedikit saja masih terima, belum sepenuhnya. Belum bisa terima semua kak. Masih sedih kalau lihat orang sehat diluar sana. Saya masih minder .” A,16 tahun- Komunikasi Personal, 8 Juni 2013 Sedangkan untuk individu yang mengalami ketunaan sejak lahir sudah lebih dapat menerima kondisi fisik mereka saat ini. ”….ya terima ajalah kak. Dah dikasih Tuhan kayak gini..ya udah apalagi mau dibilang. yang membuat nerima yaa,eee apa ya diam sejenak, semangat. Semangat dari orang tua, teman-teman semua yang ngasih. Pokoknya yang ngasih semangatlah., biar saya bisa maju gitu walaupun keadaan kayak gini LH,17 tahun-Komunikasi Personal Penerimaan diri terhadap kondisi fisik menjadi suatu kondisi psikologis yang dihadapi oleh individu tunadaksa. Penerimaan diri individu tunadaksa tidak terlepas dari reaksi positif dari lingkungan. “yang membuat nerima yaa,eee apa ya diam sejenak, semangat. Semangat dari orang tua, teman-teman semua yang ngasih. Pokoknya yang ngasih semangatlah., biar saya bisa maju gitu walaupun keadaan kayak gini .” LH,17 tahun-Komunikasi Personal Somantri 2006 mengemukakan bahwa kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan untuk menetralisasi akibat keadaan tunadaksa tersebut. Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri individu tunadaksa, dimana seseorang akan menghargai dirinya sendiri apabila lingkungan pun menghargainya. Konsep diri ini memberikan pengaruh terhadap harga diri remaja, dan berdampak terhadap pembentukan self-esteem remaja itu sendiri Harter, 1993 dalam Arslan, 2009. Pembentukan self esteem memberikan kontribusi terhadap pembentukan kepribadian individu, yang dipengaruhi oleh kehidupan sosial. Selain itu, reaksi positif lingkungan, secara khusus keluarga akan membantu anak untuk memiliki pandangan yang positif mengenai dirinya, meskipun berada didalam lingkungan yang berpandangan negatif terhadap mereka. Dengan kata lain, keluarga berperan sebagai „protektor‟ terhadap ancaman psikologis ataupun fisik Sanders, 2005. Kondisi psikologis individu tunadaksa tidak hanya berkaitan dengan proses penerimaan diri mereka, namun juga terkait dengan reaksi lingkungan terhadap individu tersebut. Pada umumnya, individu yang mengalami ketunaan sejak lahir ataupun karena kondisi traumatik, tidak menunjukkan perbedaan dalam hal reaksi negatif yang mereka terima dari lingkungan. Keduanya tetap mengalami reaksi negatif dari lingkungan. Ejekan dan gangguan anak – anak normal terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada anak tunadaksa yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan sosialnya, yang dapat menimbulkan hambatan pergaulan sosial. Meskipun memiliki persamaan dalam hal reaksi negatif yang diterima dari lingkungan sosial, Somantri 2006 menambahkan bahwa anak-anak tunadaksa dari tingkat sekolah yang rendah, misalnya sekolah dasar, merasa tidak begitu tertolak dibandingkan dengan anak-anak tunadaksa pada sekolah yang lebih tinggi. Dengan kata lain, semakin tinggi usia seseorang perasaan ditolak akan semakin terasa. “[…]sangat sedih kak sedih kan sedih dikampung,malu keadaan gini,belum pasang kaki palsu dulu masih jarang keluar,dikamar aja 4 bulan. Disuruh keluar aku gak mau..malu aku, anak- anak lewat gitu kan, diejek gitu ‟ada orang puntung keluar gitu‟.” A,16 tahun - Komunikasi Personal 8 Juni 2013 Individu tunadaksa rentan untuk mengalami reaksi negatif dari lingkungannya. Pandangan negatif lingkungan terhadap individu akan mempengaruhi cara mereka memandang diri mereka sebagai seseorang yang bermakna bagi lingkungan atau tidak. Hal ini menjadi fenomena yang pada umumnya terjadi pada individu tunadaksa. Seperti yang terjadi pada kisah Nick Vujicic, seorang tunadaksa sejak lahir, pernah melakukan usaha pencobaan bunuh diri pada usia 8 tahun akibat mendapat ejekan dari teman-teman sekolahnya, ketika ibunya memasukkannya ke sekolah anak-anak normal. Namun dukungan dari seorang ibu terus membuatnya bangkit sehingga saat ini Nick Vujicic menjadi seorang motivator dunia yang memotivasi orang-orang lewat kisah hidupnya. Seorang individu tunadaksa rentan untuk mengalami bullying oleh lingkungan, secara khusus oleh teman sebayanya, yang fokus dengan kondisi kecacatan yang mereka miliki Kompasiana, 2013. Hal ini membuat mereka menjadi tidak percaya diri, merasa tidak berguna dan tertolak serta menarik diri dari lingkungan sosial. Masa remaja menjadi masa dimana individu menjadi lebih fokus dengan penampilan fisik daripada aspek lain dalam dirinya. Seberapa menarik individu secara fisik memberikan pengaruh terhadap evaluasi diri yang positif, popularitas, penerimaan teman sebaya serta perkembangan kepribadian individu. Pada individu tunadaksa, keterbatasan penampilan fisik menjadi hal yang mempengaruhi penyesuaian mereka terhadap lingkungan social ataupun penerimaan diri terhadap kondisi fisik mereka. Hal ini juga dipengaruhi nampak atau tidaknya kondisi tunadaksa. Reaksi negatif dari lingkungan maupun proses penerimaan diri oleh remaja yang mengalami ketunaan menjadi hal yang memberikan pengaruh terhadap kondisi psikologis mereka. Meskipun individu tidak mengalami reaksi negatif dari lingkungan, dikarenakan kondisi lingkungan yang menerima dan mengerti kondisi fisik mereka, adakalanya individu mengalami proses penerimaan diri yang cukup panjang, misalnya perasaan tertolak ketika bertemu dengan lingkungan baru ataupun hendak mendekati lawan jenis. Kedua kondisi inilah yang membuat individu tunadaksa rentan mengalami tekanan yang bersifat emosional. Hubungan yang kuat dan suportif terhadap orang tua memberikan pengaruh yang kuat dalam memberikan rasa aman ketika tekanan yang bersifat emosional terjadi Papalia, Old, 2007. Orang tua juga berperan sebagai sumber utama individu tunadaksa untuk mendapatkan dukungan secara emosional, mengingat keterbatasan secara fisik yang dialami oleh remaja tunadaksa, yang secara langsung mengharuskan anak untuk melakukan adaptasi ataupun penyesuaian. Somantri 2006 mengemukakan bahwa adaptasi itu sendiri dapat berlangsung sebagaimana mestinya apabila adanya suatu lingkungan yang memberikan dorongan serta individu yang memiliki anggota tubuh lengkap dalam arti fisik ataupun biologik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dukungan dari lingkungan menjadi sumber utama bagi individu ini, mengingat keterbatasan fisik yang mereka alami menghambat mereka untuk beradaptasi, dimana penyesuaian diri terhadap lingkungan yakni bagaimana individu melakukan kompensasi terhadap bagian tubuh yang tidak sempurna tersebut merupakan salah satu kondisi psikologis yang harus dihadapi individu tunadaksa Somantri, 2006. Dukungan lingkungan sosial menjadi penting bagi individu tunadaksa mengingat keterbatasan fisik yang mereka miliki. Kehidupan sosial pada remaja melibatkan hubungan dengan teman sebaya, masyarakat luas, serta keluarga. Keluarga menduduki posisi yang paling penting bagi remaja itu sendiri, mengingat bahwa keluarga sebagai sistem sosial pertama bagi anak. Interaksi individu dengan orang tua yang merupakan figur yang dianggap penting dalam keluarga akan melibatkan bagaimana orang tua memandang serta memperlakukan mereka, yang juga akan mempengaruhi individu dalam memandang dirinya sendiri, serta bagaimana interaksi mereka diinterpretasi Coopersmith,1967 Rosenberg, 1965 dalam Cavosoglu,2001. Sehingga interpretasi yang dimiliki seorang individu terhadap hubungan yang dimiliki dengan orang tua bergantung pada reaksi yang mereka dapatkan didalam keluarga. Penelitian Fitzgerald dalam Somantri,2006 menunjukkan bahwa reaksi dan perlakuan keluarga dapat menjadi salah satu sumber frustasi bagi anak-anak tunadaksa, yang tidak jarang justru berakibat lebih berat daripada akibat ketunaanya itu sendiri. Orang tua dari individu tundaksa sering menunjukkan perilaku yang berlebihan, seperti bersikap terlalu melindungi overprotective, melayani secara berlebihan, membatasi ruang gerak anak, yang kemudian dapat menyebabkan anak memiliki ketergantungan terhadap orang tua mereka yang dapat menimbulkan kecemasan akibat ketidaksiapan ketika berhadapan dengan lingkungan dengan segala tuntutan yang ada didalamnya. Selain itu, sikap terlalu melindungi juga memberikan pengaruh terhadap rendahnya self-esteem, perasaan tidak mampu serta mengurangi kesempatan untuk bertumbuh. Orang tua yang melarang anak mereka untuk bekerja dengan alasan bahaya-bahaya atau ancaman lingkungan akan menghambat pertubuhan diri mereka, mengingat bahwa bekerja menjadi cara yang paling baik dalam membangun rasa percaya diri serta rasa berharga diri pada individu dengan tunadaksa Sanders,2006. Bagi kebanyakan lingkungan masyarakat, prestasi menjadi tolak ukur dalam menilai kesuksesan seseorang. Keterbatasan ruang gerak individu dengan tunadaksa dapat menjadi penghambat bagi mereka untuk mencapai prestasi, akibat perlakuan orang tua yang terlalu melindungi. Hal ini menyebabkan individu dengan tunadaksa sering sekali menarik diri dari pergaulan masyarakat. Konsep mattering merupakan konsep yang berkaitan dengan hubungan individu dengan orang lain. Elliott 2009 mendefenisikan mattering sebagai sebuah persepsi dimana seorang individu memiliki bagian yang penting dalam dunia sekitarnya. Kata seberapa penting disini tidak terbatas pada setiap individu, karena hal ini merupakan pengalaman subjektif seseorang melalui proses sosialisasi yang mereka jalani, misalnya, bagaimana cara orang lain memperlakukan individu, waktu serta dukungan emosional yang diberikan kepada individu ataupun kesadaran orang lain terhadap kehadiran individu tersebut. Seseorang dapat memiliki persepsi ini pada orang lain yang spesifik seperti pada teman, pasangan, ataupun pada guru; dalam institusi sosial, seperti dalam keluarga atau perusahaan dan komunitas individu secara keseluruhan bahkan masyarakat luas. Rosenberg dan McCullough,1981 dalam Baham menambahkan bahwa mattering melibatkan suatu tingkat dimana seseorang merasa menjadi bagian yang penting dalam kehidupan orang lain; persepsi individu bahwa dirinya diperhitungkan dalam kehidupan orang lain dan orang lain menaruh perhatian terhadap apa yang dirasakan, dipikirkan serta dilakukannya. Konsep mattering berperan penting dalam perkembangan self-concept yang mempengaruhi pembentukan self-esteem bagi remaja. Keberadaan mattering ini sendiri tidak harus dipersepsikan oleh seorang individu terhadap semua orang, Namun hanya pada orang-orang yang dianggap berarti dalam kehidupan mereka saja, misalnya pada keluarga. Hal ini menyebabkan keluarga, khususnya orang tua berperan sebagai sumber utama dari mattering tersebut. Konsep mattering sebagai salah satu dimensi dari konsep diri self-concept merupakan hal yang dipelajari dari proses sosialisasi yang dialami individu. Sehingga masing-masing individu yang memiliki pengalaman sosialisasi yang berbeda juga akan mengalami perbedaan pengalaman mattering yang berbeda pula. Beberapa ahli sosial telah mengidentifikasi proses utama yang dapat mengkonstruksikan pemahaman terhadap diri sendiri. Salah satunya adalah reflected appraisal yang dikemukakan oleh Hary Stuck Sullivan dalam Elliot 2009. Proses ini menekankan bahwa kita secara mendalam dipengaruhi dalam konsepsi diri kita sendiri melalui bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita. Melalui komunikasi yang dijalin secara berkesinambungan, kita akan mulai memahami bagaimana orang lain melihat kita. Hal ini pada akhirnya akan membuat individu menginternalisasikan gambaran diri sendiri yang dikomunikasikan orang lain, yang pada akhirnya melekat dalam diri individu. Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti ingin melihat gambaran family matters pada remaja tunadaksa, terkait keterbatasan fisik yang mereka alami, secara khusus pada remaja yang mengalami kecacatan sejak lahir. Pada masa remaja berbagai perubahan psikologis mulai terjadi ditambah dengan keterbatasan fisik yang dialami individu tunadaksa. Konsep mattering merupakan konsep yang tidak terjadi secara langsung, namun memerlukan proses untuk kemudian seseorang memiliki persepsi mengenai kebermaknaan dirinya. Sehingga penelitian ini ingin mengetahui gambaran family matters pada remaja yang mengalami ketunaan sejak lahir.

B. Perumusan Masalah