mengenai kebermaknaan dirinya. Sehingga penelitian ini ingin mengetahui gambaran family matters pada remaja yang mengalami ketunaan sejak lahir.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian yaitu
“Bagaimana Gambaran Family Matters Pada Remaja Tunadaksa?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran family matters pada remaja tunadaksa.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah kekayaan informasi serta perkembangan ilmu di bidang psikologi, secara khusus
dalam bidang psikologi perkembangan mengenai gambaran family matters pada remaja tunadaksa.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada remaja
tunadaksa ataupun pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan ketunaan, agar mengetahui apa itu konsep family matters dan bagaimana
gambaran family matters pada remaja tunadaksa, yang secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap perkembangan kepribadian remaja itu
sendiri. Dengan mengetahui hal ini, diharapkan keluarga, secara khusus orang
tua yang memiliki anak tunadaksa dapat memberikan dukungan yang sesuai kebutuhan, sehingga remaja tunadaksa memiliki perkembangan yang
maksimal ditengah-tengah keterbatasan yang mereka miliki. b.
Secara umum, penelitian ini juga diharapkan dapat berfungsi sebagai penambah informasi yang berisi pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai
remaja tunadaksa terkait dengan topik penelitian. Hal ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat luas, tentang bagaimana harus bersikap
ketika berhadapan dengan remaja tunadaksa. c.
Sebagai bahan atau acuan bagi peneliti selanjutnya yang hendak melanjutkan atau mengembangkan penelitian ini.
E.
Sistematika Penelitian
Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan
Dalam bab ini akan disajikan uraian secara singkat mengenai latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tinjauan teoritis yang digunakan sebagai acuan dalam membahas masalah. Adapun teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah : teori mattering, meliputi defenisi mattering,
komponen mattering, proses pemahaman diri self-understanding; tunadaksa,
meliputi defenisi,
klasifikasi tunadaksa,
aspek perkembangan remaja tunadaksa; remaja, meliputi defenisi remaja,
kategori remaja, aspek-aspek perkembangan remaja; family matters pada remaja tunadaksa.
BAB III: Metode Penelitian Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan
peneliti, dalam hal ini penelitian kualitatif; metode pengumpulan data, meliputi wawancara; alat pengumpulan data, meliputi alat perekam
dan pedoman waawancara; subjek dan lokasi penelitian, meliputi karakteristik subjek penelitian, jumlah subjek penelitian, teknik
pengambilan subjek, lokasi penelitian; prosedur penelitian, meliputi tahap pralapangan, tahap pelaksanaan penelitian, tahap pencatatan data
dan metode analisa data. BAB IV: Analisa dan Interpretasi Data yang memuat tentang pengolahan data
penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan.
BAB V: Kesimpulan dan Saran berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan baik
untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian lanjutan.
BAB II
LANDASAN TEORI
A . Family Matters
1. Defenisi
Konsep mattering
didefenisikan sebagai
sebuah persepsi
mengenai kebermaknaan individu didalam lingkungan sekitarnya Elliot,2009. Seseorang dapat
memiliki persepsi ini terhadap orang-orang yang spesifik contoh:teman, kekasih, guru; institusi sosial contoh: keluarga dan perusahaan; komunitas individu secara
keseluruhan ataupun masyarakat luas. Persepsi ini tidak selamanya harus dimiliki oleh individu terhadap semua orang, namun hanya berlaku pada orang-orang yang
dianggap menjadi figur penting saja. Hal ini mengindikasikan bahwa pengalaman- pengalaman mattering pada setiap individu berbeda-beda, karena adanya pengalaman
personal maupun pengalaman sosialisasi yang berbeda pula. Pengalaman-pengalaman personal tersebut pada akhirnya membuat individu melakukan instropeksi terhadap
hubungan mereka dengan individu ataupun institusi lain sehingga membentuk suatu persepsi tentang kebermaknaan mereka terhadap lingkungan.
Konsep mattering sepenuhnya bersifat kognitif. Berdasarkan hal tersebut maka perkembangan kognitif individu memiliki pengaruh yang penting bagi pengalaman
mattering seseorang. Hal ini disebabkan seiring berkembangnya kemampuan kognitif seseorang, maka konstruksi mengenai diri menjadi lebih kompleks, yang berperan
dalam menentukan pemahaman mengenai kebermaknaan itu sendiri. Ketika mattering tidak tercapai khususnya pada figur yang dianggap penting, misalnya pada orang tua,
maka hal tersebut akan menjadi suatu bentuk penolakan diri yang mendalam pada individu Elliot,2009.
Konsep ini menjadi teori utama yang digunakan oleh peneliti dalam melihat bagaimana persepsi remaja tunadaksa itu sendiri mengenai kebermaknaan mereka
dalam lingkungan, secara khusus didalam keluarga, berdasarkan indikator-indikator yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Didalam penelitian digunakan istilah
family matters untuk merujuk kepada konsep mattering yang diaplikasikan didalam kehidupan keluarga. Hal ini menjadi penting, mengingat interaksi ataupun perlakuan
dari lingkungan secara khusus keluarga, akan memberikan kontribusi terhadap bagaimana individu memandang dirinya sendiri, terkait dengan keterbatasan yang
mereka miliki sebagai penyandang tunadaksa. Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpukan, bahwa family matters
merupakan konsep yang bersifat kognitif, yang dimunculkan dalam bentuk persepsi mengenai kebermaknaan diri dalam lingkungan, secara khusus keluarga, yang
dipelajari berdasarkan pengalaman personal serta pengalaman sosialisasi.
2. Komponen Mattering
Terdapat tiga komponen yang menjadi indikator dalam melihat gambaran family matters pada individu Elliot,2009.
a. Awareness Komponen ini melibatkan individu sebagai fokus bagi perhatian orang lain, yang
sepenuhnya bersifat kognitif. Seseorang akan merasa penting apabila orang lain merealisasikan keberadaan mereka dan memandang mereka sebagai seorang individu
yang dapat dibedakan dari orang lain meskipun ditengah keramaian. Selain itu, Komponen ini juga mengindikasikan reaksi yang dimunculkan oleh lingkungan,
misalnya keluarga, terhadap kehadiran partisipan serta keterlibatan partisipan ditengah-tengah keluarga.
b. Importance Komponen kedua dari mattering bersifat lebih kompleks, yang mengisyaratkan
sebuah hubungan antara individu dengan orang lain yang dianggap penting bagi mereka. Ketika orang lain menyediakan dukungan secara emosional, mau melakukan
sesuatu agar apa yang diperlukan terpenuhi, atau turut merasa bangga dengan prestasi yang dicapai, menginvestasikan waktu dan energi mereka untuk kebaikan individu,
maka hal tersebut mengindikasikan bahwa individu tersebut menjadi bagian yang penting dalam dunia mereka.
c. Reliance Pada komponen ini, seorang individu merasa bermakna jika orang lain melihat
diri individu tersebut sebagai individu yang dapat menjadi solusi bagi keperluan atau kebutuhan orang lain.
Berdasarkan tiga komponen yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa ketiga komponen ini sepenuhnya bersifat kognitif. Persepsi mengenai
kebermaknaan diri oleh individu muncul bila orang lain menyadari keberadaan dirinya seutuhnya awareness, menyediakan dukungan secara emosional,
menginvestasikan waktu, energi serta bersedia berkorban demi terpenuhinya apa yang diperlukan importance serta apabila individu dapat menjadi solusi bagi keperluan
ataupun kebutuhan orang lain, misalnya dalam memberikan bantuan ataupun solusi atas permasalahan orang lain reliance.
3. Faktor Pendukung Mattering
Adapun faktor pendukung mattering yakni proses pemahaman diri self- understanding. Pemahaman terhadap diri menjadi bagian yang tidak terlepas dalam
tercapainya mattering. Para ahli sosial mengemukakan tiga proses utama yang menciptakan suatu bentuk pemahaman terhadap diri sendiri.
a. Reflected Appraisal
Proses yang pertama yakni reflected appraisal, yang menegaskan bahwa konsep diri secara mendalam dipengaruhi oleh bagaimana orang lain bereaksi terhadap
individu Sullivan, 1947, dalam Elliot, 2009. Orang lain secara berkesinambungan akan mengkomunikasikan seperti apa dan bagaimana individu tersebut dalam
pandangan mereka, dan secara tidak langsung pemahaman itu akan diinternalisasi sehingga membentuk konsep diri individu. Proses ini memiliki kemungkinan menjadi
sumber mattering yang paling kuat, karena feedback yang didapatkan dari figur yang
dianggap penting akan menentukan persepsi seberapa penting individu tersebut bagi orang lain Elliot, 2009.
b. Social Comparison
Proses lain dalam menciptakan suatu pemahaman terhadap diri sendiri yakni melalui
social comparison.
Proses ini
melibatkan bagaimana
individu membandingkan diri dengan orang lain dalam menentukan kesesuaian dengan orang
lain, apakah sama atau berbeda, lebih baik atau lebih buruk Festinger, 1957, dalam Elliot, 2009. Proses ini juga menjadi salah satu cara lain dalam menilai seberapa
penting individu tersebut bagi orang lain melalui bagaimana individu memaknai kualitas hubungan yang dibangun individu dengan orang lain. Dengan kata lain
individu mendapatkan informasi yang bernilai mengenai dirinya sendiri melalui proses ini.
c. Self Atribution
Proses ini lebih didasarkan pada observasi terhadap perilaku yang dimiliki oleh seseorang dan situasi seperti apa yang mengakibatkan perilaku tersebut muncul, yang
disebut sebagai self-attribution. Melalui proses ini individu mempelajari sesuatu mengenai dirinya sendiri dengan menaruh perhatian pada apa yang dilakukan Bem,
1972, dalam Elliot, 2009. Proses ini juga dapat menjadi salah satu cara dalam menilai mattering individu, misalnya dengan sekedar mengingat berapa kali individu
tersebut menanggapi permintaan akan dukungan emosional yang diperlukan orang lain.
B. Tunadaksa 1. Defenisi
Tunadaksa didefenisikan sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya
yang normal, yang dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau pembawaan sejak lahir White House Conference, 1931, dalam Somantri,2006. Keadaan
tundaksa ini dapat menjadi suatu kondisi yang menghambat kegiatan inidividu akibat gangguan ataupun kerusakan yang dialami sehingga dapat mengurangi kapasitas
normal individu untuk mengikuti pendidikan ataupun untuk berdiri sendiri. Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa tunadaksa merupakan
suatu kondisi, dimana individu memiliki keterbatasan secara fisik yang disebabkan berbagai macam faktor seperti faktor keturunan, kesalahan ketika proses kelahiran,
penyakit ataupun peristiwa-peristiwa traumatik. Faktor-faktor penyebab diatas dapat memiliki dampak yang berbeda-beda pada individu. Misalnya, individu yang
mengalami kondisi cacat sebagai hasil dari faktor keturunan ataupun kesalahan ketika proses kelahiran , akan mengalami hambatan dalam kecakapan fungsi motoriknya.
Sementara itu, dampak secara psikologis lebih kuat terjadi pada individu yang mengalami kondisi kecacatan ketika mencapai usia tertentu, dimana kondisi normal
pernah dialami,
misalnya disebabkan
oleh peristiwa-peristiwa
traumatik Somantri,2006.
2. Klasifikasi Tunadaksa
Tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut Koening, dalam Somantri 2006:
1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau merupakan keturunan, yakni:
a. Club-foot kaki seperti tongkat
b. Club-hand tangan seperti tongkat
c. Polydactylism jari yang lebih dari lima baik pada tangan maupun kaki
d. Syndactylism jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang
lainnya e.
Torticolis gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka f.
Spina-bifida sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup g.
Cretinism kerdilkatai h.
Mycrocephalus kepala yang kecil, tidak normal i.
Hydrocephalus kepala yang besar karena berisi cairan j.
Clefpalats langit-langit mulut yang berlubang k.
Herelip gangguan pada bibir dan mulut l.
Congenital hip dislocation kelumpuhan pada bagian paha m.
Congenital Amputation bayi yang lahir tanpa anggota tubuh tertentu n.
Fredresich ataxia gangguan pada sumsum tulang belakang o.
Coxa valga gangguan pada sendi paha , terlalu besar p.
Syphilis kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit sipilis
2. Kerusakan pada waktu kelahiran :
a. Erb‟s palsy kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik
pada waktu kelahiran b.
Fragilitas osium tulang yang rapuh atau mudah patah 3.
Infeksi : a.
Tuberkolosis tulang menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku b.
Osteomyelitis radang didalam dan disekeliling sumsum tulang karena bakteri
c. Poliomyelitis infeksi virus yang menyebabkan kelumpuhan
d. Pott‟s Disease tuberculosis sumsum tulang belakang
e. Sti
ll‟s Disease radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen pada tulang
f. Tuberkulosis pada lutut atau sendi lainnya
4. Kondisi Traumatik :
a. Amputasi anggota tubuh yang dibuang akibat kecelakaan
b. Kecelakaan akibat luka bakar
c. Patah tulang
5. Tumor :
a. Oxoxtosis tumor tulang
b. Osteosis fibrosa cystic kista yang berisi cairan didalam tulang
Berdasarkan pemamparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tunadaksa dapat dibedakan menjadi lima klasifikasi, berdasarkan faktor penyebabnya, yakni
kerusakan yang dibawa sejak lahir atau keturunan, kerusakan pada waktu kelahiran, infeksi, kondisi traumatik dan tumor. Perbedaan faktor penyebab terjadinya tunadaksa
dapat menimbulkan perbedaan dalam hal kondisi fisik dan psikologis pula, misalnya bila dilihat dari usia ketika kondisi kecacatan terjadi.
3. Aspek Perkembangan Individu Tunadaksa
Aspek perkembangan pada individu tunadaksa hampir sama dengan individu normal pada umumnya, yang meliputi perkembangan secara fisik, kognitif serta
psikososial yakni perkembangan sosial serta emosi dan kepribadian individu. Semua dari aspek perkembangan ini tentunya akan sangat dipengaruhi oleh kondisi ketunaan
itu sendiri. Dampak psikologis akibat ketunaan kebanyakan muncul dari reaksi lingkungan ketika berinteraksi dengan individu tunadaksa. Selain itu, dampak
psikologis juga berkaitan dengan proses penerimaan diri individu terhadap kondisi fisik mereka, mengingat pada masa remaja, individu menjadi lebih fokus dengan
kondisi fisik nya daripada aspek lain dalam diri mereka Papalia, 2007. Secara umum perkembangan fisik pada individu normal dengan individu
tunadaksa dapat dikatakan hampir sama, namun tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna ataupun adanya anggota tubuh lain yang mengalami kerusakan
ataupun yang terpengaruh akibat kerusakan tersebut Somantri, 2006. Perkembangan kognitif individu tunadaksa mengalami hambatan dalam
prosesnya. Hal ini disebabkan terganggunya proses adaptasi, dimana proses ini dapat
berjalan sebagaimana mestinya apabila adanya suatu lingkungan yang memberikan dorongan serta individu yang memiliki anggota tubuh yang lengkap dalam arti fisik
dan biologik. Bagi individu tunadaksa proses adaptasi ini tidak berjalan sempurna akibat keterbatasan fisik yang mereka miliki, meskipun dukungan dari lingkungan
telah mereka dapatkan, karena faktor internal maupun eksternal harus terjadi bersama-sama. Hambatan dalam keterampilan motorik akan memberikan pengaruh
terhadap perkembangan keterampilan motorik yang lebih kompleks pada tahap selanjutnya.
Faktor usia pertama kali mengalami ketunaan menarik untuk disoroti. Individu yang mengalami kecacatan ketika mereka sudah berada pada usia tertentu, baik pada
remaja ataupun dewasa, keterampilan-keterampilan tertentu biasanya sudah dikuasai karena mereka pernah berada pada kondisi individu yang normal. Akan tetapi kondisi
seperti ini bagi mereka adalah suatu kemunduran sehingga efek secara psikologis sebenarnya lebih cenderung terjadi pada individu ini daripada efek perkembangan
fisik. Sedangkan pada individu yang mengalami kecacatan sejak lahir ataupun ketika berada pada usia kanak-kanak, akan mengalami hambatan dalam perkembangan
kognitif mereka, karena terhambatnya usaha untuk menguasai keterampilan yang akan mengarah kepada terhambatnya fungsi-fungsi normal secara keseluruhan
Somantri, 2006. Namun baik individu yang mengalami ketunaan akibat peristiwa traumatik ataupun sejak lahir akan mengalami reaksi dari lingkungan seperti
keluarga, teman sebaya serta masyarakat pada umumnya yang berdampak pada kondisi psikologis individu tunadaksa tersebut Somantri, 2006.
Penyesuaian diri terhadap lingkungan menjadi tantangan bagi individu tunadaksa. Sikap serta perlakuan yang dimunculkan oleh lingkungan dapat
berpengaruh terhadap penyesuaian diri yang mereka lakukan. Selain itu sikap orang tua, teman sebaya, keluarga, serta masyarakat pada umumnya dapat mempengaruhi
konsep diri dari individu tunadaksa, yang terbentuk melalui interaksi ataupun respon yang dimunculkan lingkungan terhadap diri mereka Somantri, 2006. Hal ini akan
mengarah kepada suatu bentuk evaluatif yang kemudian membentuk penilaian mereka terhadap diri mereka sendiri berdasarkan penilaian yang dibuat oleh
lingkungan terhadap mereka Dacey Kenny, 1997. Tuntutan lingkungan secara langsung memberikan pengaruh dalam kehidupan
sosial individu tunadaksa. Masyarakat yang menjadikan prestasi sebagai tolak ukur keberhasilan akan menyebabkan individu tunadaksa akan menarik diri dari pergaulan
akibat keterbatasan yang mereka miliki. Selanjutnya dikatakan bahwa individu tunadaksa yang berada pada usia sekolah yang lebih tinggi akan cenderung merasa
tertolak dibandingkan dengan individu tunadaksa yang berada pada usia sekolah dasar Somantri, 2006. Selain itu, individu tundaksa sering tidak terlibat dalam
kegiatan yang melibatkan kelompok sosial, yang mungkin harus tinggal dirumah karena kondisinya ataupun mungkin tidak terlibat dalam aktivitas sekolah.
Kondisi sosial pada individu tunadaksa akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian mereka. Selanjutnya Somantri 2006 mengemukakan
bahwa perkembangan kepribadian individu tunadaksa secara keseluruhan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu tingkat ketidakmampuan akibat ketunaan yang juga tidak
terlepas dari perlakuan individu normal terhadap mereka. Respon yang dimunculkan individu tunadaksa terhadap ketunadaksaaanya sesuai dengan gaya hidup yang
terbentuk pada masa kanak-kanak melalui hambatan dan pengalaman yang dihadapi individu tersebut.
Perkembangan kepribadian tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan ataupun faktor pembawaan mereka, tetapi bagaimana mereka mengartikan kedua
faktor tersebut. Selain itu, faktor usia pertama kali ketika ketunaan terjadi memberikan pengaruh pada tingkat tertentu seperti secara psikologis. Selanjutnya,
nampak atau tidaknya kondisi tunadaksa menunjukkan pengaruh terhadap kepribadian individu tundaksa terutama mengenai gambaran tubuhnya body image
dan dukungan dari keluarga serta masyarakat pada umumnya akan membantu individu untuk mengembangkan rasa berharga pada dirinya ketika lingkungan
menunjukkan hal yang sama.
C. Remaja 1. Defenisi
Papalia 2007 mendefenisikan tahap remaja sebagai masa transisi perkembangan antara kanak-kanak dengan dewasa yang melibatkan perubahan yang signifikan
dalam kondisi fisik, kognitif, serta sosial, yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia belasan tahun atau awal dua puluh tahun.
Tranisisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai.
Kata “remaja” berasal dari bahasa Latin yaitu adolescene yang berarti to grow atau to grow maturity. Hal ini mendeskripsikan bahwa masa remaja menjadi masa dimana
individu bertumbuh ke arah perkembangan yang lebih mendekati kedewasaan atau kematangan, dimana bagian dari masa dewasa meliputi proses kematangan semua
organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kemantangan kognitif yang ditandai dengan kemampuan berpikir secara abstrak Hurlock,1990;Papalia Olds,2001
dalam Jahja,2011.
2. Aspek-Aspek Perkembangan Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi yang melibatkan perubahan yang signifikan pada aspek fisik, kognitif serta psikososial, yang meliputi perkembangan
sosial dan kepribadian. Semua aspek tersebut mempengaruhi kondisi psikologis individu Papalia,Olds,2007.
a. Perkembangan Fisik Perkembangan fisik ditandai dengan adanya peningkatan hormon yang menjadi
pendorong dalam munculnya perubahan-perubahan secara fisik seperti organ-organ yang berkaitan dengan organ reproduksi maupun organ-organ yang secara tidak
langsung berkaitan dengan hal itu, seperti pertumbuhan payudara pada perempuan, perluasan daerah bahu pada laki-laki, perubahan dalam suara, tekstur kulit,
pertumbuhan rambut didaerah tertentu, dan sebagainya. Namun perubahan fisik, seperti peningkatan berat dan tinggi badan secara tajam juga terjadi pada masa ini,
yang pada umumnya berlangsung selama dua tahun sebelum remaja mencapai kematangan seksual Papalia,Olds,2007. Perubahan yang cepat secara fisik yang
disertai dengan kematangan seksual yang terjadi, baik secara internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan dan sistem respirasi, maupun secara eksternal seperti tinggi
badan, berat badan dan proporsi tubuh sangat berpengaruh pada konsep diri mereka Jahja,2011.
Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada masa ini memiliki dampak secara psikologis bagi diri remaja itu sendiri, yang disebabkan karena kebanyakan remaja
menjadi lebih fokus dengan penampilannya daripada aspek lain dalam diri mereka. Selama masa remaja sebagian besar dari self-esteem dipengaruhi oleh perasaan
seberapa menarik individu secara fisik, karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap evaluasi diri yang positif, popularitas, penerimaan teman sebaya, juga
perkembangan kepribadian, hubungan sosial serta perilaku sosial pada remaja Rice Dolgin, 2008.
Fokus dengan body image, yakni keyakinan yang bersifat deskriptif dan evaluatif mengenai penampilan seseorang sering mulai terjadi pada pertengahan kanak-kanak
atau lebih awal dan semakin intens pada masa remaja terutama pada remaja perempuan Papalia, Olds,2007, yang semakin meningkat pada awal remaja madya
yang dipengaruhi oleh penekanan budaya terhadap atribut fisik. Selain itu, menerima keadaan fisik diri sendiri menjadi salah satu tugas perkembangan remaja Zulkifli,
2005 yang menjadi komponen yang penting pada konsep diri serta self-esteem remaja Dacey Kenny, 1997.
b. Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif ditandai dengan meningkatnya kemampuan dalam
berpikir secara abstrak yang menjadi ciri pada tahap perkembangan operasi formal serta berkembangnya struktur kognitif yang merupakan kemampuan mental yang
bersifat kualitatif ataupun kuantitatif Dacey Kenny, 1997. Papalia 2007 menambahkan bahwa kemampuan berpikir secara abstrak juga memiliki implikasi
emosional. c.
Perkembangan Sosial dan Kepribadian Salah satu yang menjadi ciri pada masa remaja yakni terjadinya peningkatan
emosional yang terjadi pada masa remaja awal, dimana Hall,1904 dalam Rice Dolgin,2008 menyebutnya sebagai periode “sturm und drang” atau masa “storm
stress”. Peningkatan emosional dapat merupakan hasil dari perubahan fisik serta peningkatan hormon yang terjadi ataupun yang berasal dari lingkungan sosial
mereka,dimana terdapat banyak tuntutan serta tekanan yang ditujukan pada mereka,
misalnya dalam hal berperilaku, kemandirian dan tanggung jawab, serta mulai memperluas lingkungan sosial mereka Jahja, 2011.
Keluarga menjadi komponen lingkungan sosial yang sangat penting bagi remaja, dimana keluarga merupakan sistem sosial pertama dimana anak terlibat didalamnya.
Dukungan orang tua serta ketergantungan secara emosional pada masa ini memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan psikologis serta perasaan nyaman
terhadap diri mereka sendiri. Hubungan remaja dengan orang tua juga berkaitan dengan kelekatan
attachment antara remaja dengan orang tua. Orang tua yang sensitif, hangat dan responsif akan membantu anak untuk mengembangkan secure attachment yang
berpengaruh terhadap kepercayaan diri mereka untuk berinteraksi dengan dunia sosial serta lebih berkompeten secara sosial. Gaya kelekatan ini juga berkontribusi terhadap
pandangan yang positif terhadap diri mereka sendiri sehingga kurang cenderung untuk bergantung pada sikap yang dimunculkan oleh orang lain. Selain itu
kecenderungan anak untuk mengalami depresi juga lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak merasakan kelekatan dengan orang tua yang cenderung
untuk merasa tertolak serta kurangnya kepercayaan diri Dacey Kenny, 1997. Aspek-aspek perkembangan remaja ini bertujuan melihat setiap aspek perkembangan
yang terjadi pada individu tunadaksa serta pengaruh ketunaan yang dialami seorang individu terhadap aspek perkembangannya.
D. Family Matters Pada Remaja Tunadaksa
Pemahaman remaja terhadap dirinya sendiri sangat dipengaruhi oleh bagaimana orang lain menilai diri mereka, serta bagaimana orang lain bereaksi terhadap mereka
yang kemudian diinternalisasi menjadi bagian yang utuh dalam diri mereka Sulivan, 1947 dalam Elliot, 2009. Hal ini juga berlaku pada remaja tunadaksa ditengah-
tengah keterbatasan yang mereka miliki. Bagaimana perilaku orang lain terhadap
mereka akan sangat mempengaruhi persepsi mereka terhadap diri mereka sendiri.
Keluarga menjadi sumber utama bagi remaja tundaksa untuk memberikan dukungan secara
emosional, serta berperan sebagai „protektor‟ bagi mereka terhadap ancaman yang bersifat fisik ataupun psikologis Sanders, 2006. Hal ini mengingat
bahwa remaja tunadaksa rentan untuk mengalami tekanan secara emosional, terkait dengan kondisi fisik yang mereka alami. Sleeper 2008 menambahkan bahwa orang
tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus berperan dalam melatih mereka. Dalam hal ini orang tua membantu mereka dalam mengembangkan pemikiran yang
independen, percaya diri, kreatif yang membantu pertumbuhan personal mereka dalam mempersiapkan masa depan.
Ancaman secara fisik dan psikologis rentan untuk dialami oleh individu berkebutuhan khusus, misalnya pada remaja tunadaksa. Elliot 2009 mengemukakan
bahwa ancaman, tersebut dapat diatasi ketika individu memilki persepsi bahwa mereka menjadi bagian yang penting dalam lingkungan secara khusus pada orang tua,
yang disebut sebagai mattering.
Konsep mattering sendiri sebenarnya merupakan salah satu dimensi konsep diri yang merupakan suatu kondisi dimana kita meyakini akan kebermaknaan diri bagi
orang lain melalui proses sosialisasi yang kita pelajari dari lingkungan. Orang tua serta masyarakat yang menunjukkan sikap menolak akan mengakibatkan anak
tunadaksa menjadi merasa rendah diri, tidak berdaya, merasa tidak pantas, frustasi, merasa bersalah, merasa benci, dan sebagainya Somantri,2006. Individu mampu
menghargai diri mereka sendiri apabila lingkungan menerima mereka apa adanya sehingga memunculkan perasaan bahwa dirinya adalah suatu individu utuh dan
berbeda dari orang lain. Penilaian serta sikap yang diberikan lingkungan secara khusus orang tua akan
berpengaruh terhadap bagaimana individu akan memandang dirinya sendiri melalui proses interaksi yang terjadi. Hal ini sesuai dengan konsep reflected appraisal yang
dikemukakan oleh Sullivan dalam Elliot,2009, dimana individu akan menginternalisasikan pandangan individu terhadap mereka, sehingga membentuk
pandangan serta konsep diri mereka sendiri. Pengalaman mattering pada masing-masing individu berbeda, karena pada
dasarnya setiap individu berada pada kondisi yang berbeda pula, sebagaimana pada individu tunadaksa. Individu tunadaksa menjadi rentan untuk mengalami tekanan
secara psikologis, terutama pada individu yang mengalami kecacatan setelah berada pada usia tertentu, dimana menjalani kehidupan yang normal pernah dialami. Kondisi
ini yang pada akhirnya menjadikan mereka sebagai individu yang memiliki kebutuhan khusus akibat keterbatasan yang mereka alami. Keluarga secara khusus
orang tua menjadi sangat penting dalam memberikan dorongan secara emosional ataupun mengajarkan mereka bagaimana memiliki sikap yang positif terhadap diri
mereka sendiri Smith, 2002. Hal ini tentunya akan sangat membantu individu tunadaksa untuk mengatasi tekanan emosional yang mereka alami, sehingga
mattering dapat menyelamatkan individu dari kerusakan konsep diri yang parah akibat reaksi yang dimunculkan oleh orang lain.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagi metode ilmiah Moleong, 2006. Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode studi kasus
intrinsik. Penelitian dengan metode ini dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus
tersebut tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsepteori ataupun tanpa ada upaya mengeneralisasi Poerwandari, 2007. Penelitian dengan metode
studi kasus dilakukan untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan makna sesuatusubjek yang diteliti Alsa, 2003.
Keterbatasan yang dimiliki oleh individu tunadaksa secara khusus pada remaja membuat mereka mengalami pengalaman-pengalaman secara psikologis yang tidak
menyenangkan, seperti rasa malu dan minder, ataupun melalui sikap yang dimunculkan lingkungan secara khusus keluarga terhadap mereka. Hal ini akan
mempengaruhi cara pandang individu terhadap diri mereka sendiri. Pengalaman
seperti ini tentunya tidak dialami oleh individu normal, sehingga perbedaan ini menjadi alasan peneliti untuk menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
studi kasus intrinsik.
B. Partisipan Penelitian dan Lokasi Penelitian
1.
Partisipan Penelitian a.
Karakteristik Partisipan Penelitian
Dalam penelitian ini subjek dipilih sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Adapun karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah :
a.1. Individu yang mengalami cacat fisik tunadaksa Pemilihan partisipan ini sesuai dengan tujuan peneliti melakukan penelitian yaitu
untuk melihat bagaimana gambaran family matters pada remaja tunadaksa. Dalam penelitian ini individu tunadaksa yang menjadi partisipan penelitian adalah individu
yang mengalami kecacatan sejak lahir, baik karena faktor keturunan ataupun kesalahan dalam proses kelahiran. Hal ini dikarenakan individu yang mengalami
kecacatan sejak lahir, menunjukkan dinamika penerimaan, penolakan, dukungan yang bersifat lebih kompleks, dimana individu secara berkesinambungan telah memiliki
pengalaman ditengah-tengah keluarga, sejak mereka lahir hingga mencapai usia remaja