Gambaran Family Matters Pada Remaja Tunadaksa

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

DESY CHRISTINA MANULLANG 091301042

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

sesungguhnya bahwa skripsi penulis yang berjudul :

Gambaran Family Matters Pada Remaja Tunadaksa

adalah hasil karya penulis sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini penulis kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, penulis bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 3 Mei 2014 Penulis,

Desy Christina M 091301042


(3)

i ABSTRAK

Remaja dengan ketunadaksaan mengalami pengalaman tersendiri didalam lingkungan sosial mereka serta reaksi psikologis yang muncul dalam diri mereka terkait keterbatasan yang mereka miliki. Pengalaman yang mereka terima kemudian akan membentuk persepsi kebermaknaan mereka. Persepsi kebermaknaan inilah yang disebut dengan mattering. Konsep mattering didefenisikan sebagai sebuah persepsi mengenai kebermaknaan individu didalam lingkungan sekitarnya (Elliot,2009). Adapun mattering terdiri dari tiga komponen, yakni awareness, importance, reliance. Kondisi pendukung mattering yaitu proses pemahaman diri. Penelitian ini menggunakan istilah family matters untuk merujuk pada konsep mattering yang diaplikasikan dalam kehidupan keluarga. Pada remaja konsep ini menjadi penting mengingat mattering memberikan dampak terhadap pembentukan konsep diri yang positif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus intrinsik. Subjek penelitian berjumlah dua orang dengan karakteristik mengalami ketunadaksaan sejak lahir/keturunan dan berusia 12-20 tahun. Metode pengambilan subjek berdasarkan konstruk teori. Hasil analisis menunjukkan kedua partisipan memiliki gambaran family matters yang positif. Kedua partisipan mengalami keseluruhan komponen mattering dengan intensitas yang berbeda. Pada partisipan pertama, komponen importance memiliki intensitas yang kuat dibandingkan dua komponen lainnya. Hal ini terlihat dari dukungan emosional dan materil yang diterima partisipan sejak kecil memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk persepsi kebermaknaan pada diri partisipan. Pada partisipan kedua, ketiga komponen mattering memiliki intensitas yang hampir sama, artinya tidak ada komponen yang lebih menonjol dari komponen lainnya seperti pada partisipan I. Berkaitan dengan kondisi pendukung mattering, kedua partisipan sama-sama memiliki pemahaman diri yang positif. Faktor jenis kelamin turut mempengaruhi family matters partisipan.


(4)

ii ABSTRACT

The young disabled have the experience in their social environment and the psychological reactions that appear within them related to the limitation that they have. The experiences that they received will form the perception of meaningfulness. This perception is called mattering. The concept of mattering defined as an perception of significance that owned by individual toward their environment (Elliot,2009). Mattering consists of three components namely awareness, importance, and reliance. Supporting conditions of mattering which is a process of self understanding. The term of family matters refer to the mattering concept applied in family life. In adolescents, this concept is important because mattering impact on the formation of the positive self concept. This research used qualitative method with intrinsic case study. The subject of this study amounted to two people with a disability since birth characteristics and aged 12-20 years old. Subject retrieval method based constructs theory. The analysis showed that two participants have a positive family matters. It means that two participants perceive themselves as meaningful individual among their family. Both of participants have the component of mattering overall with the different intensities. In the first participant, the component importance has strong intensity compared to the other two components. It can be seen from the emotional and material support that received by participant since childhood, where it has strong influence in shaping perceptions of meaningfulness in participant. In the second participant, overall component of mattering almost have the same intensity. It means that there is no component more prominent than the other components as the first participant. The result of this research was influenced by participant’s gender.


(5)

iii

kebaikan dan keajaibanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dalam memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan serta meraih gelar sarjana di Fakultas Psikologi Univeristas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini akan sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu dengan penuh rasa hormat, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan seminar ini. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:

1. Orang tua dan saudara yang selalu memberikan dukungan moril maupun materil, serta doa yang tiada putusnya kepada penulis.

2. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

3. Dra. Elvi Andriani Jusuf, M.Si., Psikolog, selaku dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi ini . Penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ibu dalam memberikan waktu, dukungan, pikiran, kesabaran serta kesungguhan Ibu dalam membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Ika Sari Dewi,S.psi, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik penulis yang telah memberikan arahan, saran dan memotivasi penulis


(6)

iv

M.psi.,Psikolog selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan, kritik, dan saran yang bermanfaat dalam penelitian ini.

6. Keluarga besar Green Pastures Community Church. Terimakasih untuk doa serta dukungan yang sungguh menguatkan penulis.

7. Sahabat-sahabat yang sudah dianggap sebagai keluarga, yakni Susi Trisnawaty yang baik hati, sabar dan selalu ada disaat-saat genting, Margaretha Novitasari, yang lembut dan pengertian, Antony sebagai kakek yang tahu segalanya, Niputu Defi Marantika yang cerdas tapi bawel serta Florence sebagai nenek yang cerewet namun baik dalam memberikan masukan. Semoga persahabatan kita tidak lekang oleh jarak ataupun waktu.

8. Kelompok Sotheria Matias (Kak Ita,Mayo dan Rani), terimakasih buat kebersamaan serta dukungan doanya.

9. Dosen-dosen pengajar di Fakultas Psikologi yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, Anda sekalian telah memberikan segala hal yang terbaik untuk penulis.

10.Para staf pegawai di Fakultas Psikologi yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, Anda sekalian telah memberikan segala bantuan yang terbaik untuk penulis.


(7)

v

Sosial Binadaksa “Bahagia” Sumatera Utara, sebagai pihak yang telah membantu penulis dalam pencarian partisipan penelitian.

13.Teman-teman seangkatan dan seperjuangan (2009) atas kebersamaannya selama masa perkuliahan ini.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan yang ada, namun sumbangan pemikiran yang penulis sampaikan mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.

.

Medan, Agustus 2014 Penulis,


(8)

vi

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vi

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Penelitian 1

B. Perumusan Masalah 11 C. Tujuan Penelitian 11

D. Manfaat Penelitian 11 E. Sistematika Penulisan 12 BAB II LANDASAN TEORI 15

A. Family Matters 15 1. Defenisi……….. 15

2. Komponen Mattering………. 16

3. Faktor Pendukung Mattering………. 18

B. Tunadaksa……… 20

1. Defenisi……….. 20

2. Klasifikasi Tunadaksa……… 21

3. Aspek Perkembangan Individu Tunadaksa……….23


(9)

vii

E. Paradigma Berpikir………. 34

BAB III METODE PENELITIAN………..35 A. Penelitian Kualitatif……….35

B. Partisipan Penelitian dan Lokasi Penelitian……… 36

1. Partisipan Penelitian………...36 a. Karakteristik Partisipan Penelitian……….. 36

b. Jumlah Partisipan Penelitian……….37

c. Prosedur Pengambilan Partisipan………..38

2. Lokasi Penelitian……….38

C. Metode Pengambilan Data………... 39

1. Wawancara………. 39

2. Observasi……….41

D. Alat Bantu Pengumpulan Data………..42

1. Alat Perekam (tape recorder)………. 42

2. Pedoman Wawancara……….. 43

3. Alat Tulis dan Kertas………43

E. Kredibilitas Penelitian……….43

F. Prosedur Penelitian……….45

1. Tahap Persiapan Penelitian………45


(10)

viii

I. PARTISIPAN I ………...………….52

A. Analisa Partisipan .……….. 52

A.1. Identitas Partisipan………...52

A.2. Latarbelakang Partisipan………...53

A.3. Observasi………..56

A.3.1. Hasil Observasi………...58

A.4. Hasil Wawancara………..61

A.4.1. Gambaran kehidupan masa kecil partisipan………....61

A.4.2. Gambaran Family Matters Partisipan……….64

A.4.3. Kondisi Pendukung Family Matters Partisipan…………..70

A.5. Analisa Intrasubjek I……….76

A.6. Skema Dinamika Partisipan I………80

II. PARTISIPAN II………..81

A. Analisa Partisipan………..81

A.1. Identitas Partisipan……….. .81

A.2. Observasi………...82

A.2.1. Hasil Observasi………83

A.3. Hasil Wawancara………...87

A.3.1. Gambaran kehidupan masa kecil partisipan………...87


(11)

ix

B. Analisa Antarsubjek ………...115

C. Pembahasan………...119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….123

A. Kesimpulan………123

A.1. Kesimpulan Umum………123

A.2. Gambaran Komponen Mattering Partisipan ……….123

A.2.1. Partisipan I………123

A.2.2. Partisipan II………..125

A.3. Faktor Pendukung Family Matters………126

A.3.1. Partisipan I………126

A.3.2. Partisipan II………..127

A.4. Perbedaan Partisipan I dan II………...129

B. Saran 1. Saran Praktis………130

2. Saran Penelitian Lanjutan………131 DAFTAR PUSTAKA


(12)

i ABSTRAK

Remaja dengan ketunadaksaan mengalami pengalaman tersendiri didalam lingkungan sosial mereka serta reaksi psikologis yang muncul dalam diri mereka terkait keterbatasan yang mereka miliki. Pengalaman yang mereka terima kemudian akan membentuk persepsi kebermaknaan mereka. Persepsi kebermaknaan inilah yang disebut dengan mattering. Konsep mattering didefenisikan sebagai sebuah persepsi mengenai kebermaknaan individu didalam lingkungan sekitarnya (Elliot,2009). Adapun mattering terdiri dari tiga komponen, yakni awareness, importance, reliance. Kondisi pendukung mattering yaitu proses pemahaman diri. Penelitian ini menggunakan istilah family matters untuk merujuk pada konsep mattering yang diaplikasikan dalam kehidupan keluarga. Pada remaja konsep ini menjadi penting mengingat mattering memberikan dampak terhadap pembentukan konsep diri yang positif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus intrinsik. Subjek penelitian berjumlah dua orang dengan karakteristik mengalami ketunadaksaan sejak lahir/keturunan dan berusia 12-20 tahun. Metode pengambilan subjek berdasarkan konstruk teori. Hasil analisis menunjukkan kedua partisipan memiliki gambaran family matters yang positif. Kedua partisipan mengalami keseluruhan komponen mattering dengan intensitas yang berbeda. Pada partisipan pertama, komponen importance memiliki intensitas yang kuat dibandingkan dua komponen lainnya. Hal ini terlihat dari dukungan emosional dan materil yang diterima partisipan sejak kecil memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk persepsi kebermaknaan pada diri partisipan. Pada partisipan kedua, ketiga komponen mattering memiliki intensitas yang hampir sama, artinya tidak ada komponen yang lebih menonjol dari komponen lainnya seperti pada partisipan I. Berkaitan dengan kondisi pendukung mattering, kedua partisipan sama-sama memiliki pemahaman diri yang positif. Faktor jenis kelamin turut mempengaruhi family matters partisipan.


(13)

ii ABSTRACT

The young disabled have the experience in their social environment and the psychological reactions that appear within them related to the limitation that they have. The experiences that they received will form the perception of meaningfulness. This perception is called mattering. The concept of mattering defined as an perception of significance that owned by individual toward their environment (Elliot,2009). Mattering consists of three components namely awareness, importance, and reliance. Supporting conditions of mattering which is a process of self understanding. The term of family matters refer to the mattering concept applied in family life. In adolescents, this concept is important because mattering impact on the formation of the positive self concept. This research used qualitative method with intrinsic case study. The subject of this study amounted to two people with a disability since birth characteristics and aged 12-20 years old. Subject retrieval method based constructs theory. The analysis showed that two participants have a positive family matters. It means that two participants perceive themselves as meaningful individual among their family. Both of participants have the component of mattering overall with the different intensities. In the first participant, the component importance has strong intensity compared to the other two components. It can be seen from the emotional and material support that received by participant since childhood, where it has strong influence in shaping perceptions of meaningfulness in participant. In the second participant, overall component of mattering almost have the same intensity. It means that there is no component more prominent than the other components as the first participant. The result of this research was influenced by participant’s gender.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara kanak-kanak dengan dewasa, yang melibatkan perubahan yang signifikan dalam kondisi fisik, kognitif, serta sosial. (Papalia, 2007). Selain itu seorang remaja juga mengalami perubahan emosi, penilaian, pengorganisasian perilaku, kontrol diri serta berbagai macam gejolak dalam emosi yang menjadi meningkat pada masa ini (Adams, 1995 dalam Arslan, 2009). Perubahan – perubahan yang terjadi di dalam diri remaja, salah satunya yaitu perubahan fisik memberikan dampak secara psikologis bagi remaja itu sendiri. Hal ini disebabkan kebanyakan remaja menjadi lebih fokus dengan penampilan fisiknya daripada aspek lain didalam diri mereka. Hal ini mulai sering terjadi pada pertengahan kanak-kanak atau lebih awal dan semakin intens pada masa remaja (Papalia, 2007)

Setiap individu menginginkan penampilan fisik yang menarik dan sempurna. Namun ketika kondisi fisik yang mereka miliki tidak seperti yang diharapkan, hal tersebut dapat menjadi sumber distress tersendiri bagi diri remaja. Hal ini tentunya akan mempengaruhi interaksi yang meliputi bagaimana pandangan orang lain terhadap individu dan secara langsung akan mempengaruhi bagaimana individu akan memandang dirinya sendiri, yang disebut sebagai konsep diri.


(15)

Permasalahan penampilan fisik menjadi suatu kondisi yang dialami oleh individu yang mengalami cacat fisik yang diakibatkan oleh berbagai macam faktor. Somantri (2006) mengemukakan cacat fisik atau tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir, yang dapat menghambat kegiatan individu sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan atau untuk berdiri sendiri. Adapun ketunaan itu sendiri disebabkan oleh beberapa hal, yakni kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, kerusakan pada waktu kelahiran, infeksi, kondisi traumatik, tumor, serta kondisi lainnya.

Perbedaan kondisi ketunaan yang dimiliki seorang individu juga menimbulkan kondisi psikologis yang berbeda pula. Misalnya usia pertama kali individu mengalami ketunaan. Permasalahan emosi lebih cenderung terjadi pada individu yang mengalami ketunaan pada usia tertentu, daripada individu yang mengalami ketunaan sejak lahir (Somantri,2006). Hal ini disebabkan individu pernah memiliki kondisi fisik yang normal, sehingga hal ini mempengaruhi proses penerimaan diri terhadap kondisi fisik mereka.

Sedih aja gitu (diam sejenak). Gimana ya, soalnya kan gak seperti kemarin-kemarin lagi. Apalagi kalau dibilang, saya harapan keluargalah seperti itu. Kalo bisa saya sendiri jadi gitulah. Kalau bisa saya harus perguruan tinggi atau kuliah, tapi kok malah aku pulak yang jadi begini.”


(16)

Kalau terima, ya kalau bisa dibilang masih tahaplah, tahap penerimaan. Kalau dibilang sudah terima sepenuhnya yah bohonglah. Belumlah, masih tahap-tahap gitulah.”

(AR,20 tahun- Komunikasi Personal,8 Juni 2013) “Masih sedih. Saya kan dilahirkan sempurna. Tahu-tahu ini udah umur 16 tahun, hilang kakinya, jari-jari kaki hilang.”

Sedikit saja masih terima, belum sepenuhnya. Belum bisa terima semua kak. Masih sedih kalau lihat orang sehat diluar sana. Saya masih minder.”

(A,16 tahun- Komunikasi Personal, 8 Juni 2013)

Sedangkan untuk individu yang mengalami ketunaan sejak lahir sudah lebih dapat menerima kondisi fisik mereka saat ini.

”….ya terima ajalah kak. Dah dikasih Tuhan kayak gini..ya udah apalagi mau

dibilang. (yang membuat nerima) yaa,eee apa ya (diam sejenak), semangat. Semangat dari orang tua, teman-teman semua yang ngasih. Pokoknya yang ngasih semangatlah., biar saya bisa maju gitu walaupun keadaan kayak gini

(LH,17 tahun-Komunikasi Personal)

Penerimaan diri terhadap kondisi fisik menjadi suatu kondisi psikologis yang dihadapi oleh individu tunadaksa. Penerimaan diri individu tunadaksa tidak terlepas dari reaksi positif dari lingkungan.

“(yang membuat nerima) yaa,eee apa ya (diam sejenak), semangat. Semangat dari orang tua, teman-teman semua yang ngasih. Pokoknya yang ngasih semangatlah., biar saya bisa maju gitu walaupun keadaan kayak gini.”

(LH,17 tahun-Komunikasi Personal)

Somantri (2006) mengemukakan bahwa kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan untuk menetralisasi akibat keadaan tunadaksa tersebut. Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri individu tunadaksa, dimana


(17)

seseorang akan menghargai dirinya sendiri apabila lingkungan pun menghargainya. Konsep diri ini memberikan pengaruh terhadap harga diri remaja, dan berdampak terhadap pembentukan self-esteem remaja itu sendiri (Harter, 1993 dalam Arslan, 2009). Pembentukan self esteem memberikan kontribusi terhadap pembentukan kepribadian individu, yang dipengaruhi oleh kehidupan sosial.

Selain itu, reaksi positif lingkungan, secara khusus keluarga akan membantu anak untuk memiliki pandangan yang positif mengenai dirinya, meskipun berada didalam lingkungan yang berpandangan negatif terhadap mereka. Dengan kata lain, keluarga berperan sebagai „protektor‟ terhadap ancaman psikologis ataupun fisik (Sanders, 2005).

Kondisi psikologis individu tunadaksa tidak hanya berkaitan dengan proses penerimaan diri mereka, namun juga terkait dengan reaksi lingkungan terhadap individu tersebut. Pada umumnya, individu yang mengalami ketunaan sejak lahir ataupun karena kondisi traumatik, tidak menunjukkan perbedaan dalam hal reaksi negatif yang mereka terima dari lingkungan. Keduanya tetap mengalami reaksi negatif dari lingkungan.

Ejekan dan gangguan anak – anak normal terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada anak tunadaksa yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan sosialnya, yang dapat menimbulkan hambatan pergaulan sosial. Meskipun memiliki persamaan dalam hal reaksi negatif yang diterima dari lingkungan sosial, Somantri (2006)


(18)

menambahkan bahwa anak-anak tunadaksa dari tingkat sekolah yang rendah, misalnya sekolah dasar, merasa tidak begitu tertolak dibandingkan dengan anak-anak tunadaksa pada sekolah yang lebih tinggi. Dengan kata lain, semakin tinggi usia seseorang perasaan ditolak akan semakin terasa.

“[…]sangat sedih kak sedih kan sedih dikampung,malu keadaan gini,belum pasang kaki palsu dulu masih jarang keluar,dikamar aja 4 bulan. Disuruh keluar aku gak mau..malu aku, anak-anak lewat gitu kan, diejek gitu ‟ada orang puntung keluar gitu‟.”

(A,16 tahun - Komunikasi Personal 8 Juni 2013)

Individu tunadaksa rentan untuk mengalami reaksi negatif dari lingkungannya. Pandangan negatif lingkungan terhadap individu akan mempengaruhi cara mereka memandang diri mereka sebagai seseorang yang bermakna bagi lingkungan atau tidak. Hal ini menjadi fenomena yang pada umumnya terjadi pada individu tunadaksa. Seperti yang terjadi pada kisah Nick Vujicic, seorang tunadaksa sejak lahir, pernah melakukan usaha pencobaan bunuh diri pada usia 8 tahun akibat mendapat ejekan dari teman-teman sekolahnya, ketika ibunya memasukkannya ke sekolah anak-anak normal. Namun dukungan dari seorang ibu terus membuatnya bangkit sehingga saat ini Nick Vujicic menjadi seorang motivator dunia yang memotivasi orang-orang lewat kisah hidupnya. Seorang individu tunadaksa rentan untuk mengalami bullying oleh lingkungan, secara khusus oleh teman sebayanya, yang fokus dengan kondisi kecacatan yang mereka miliki (Kompasiana, 2013). Hal ini membuat mereka menjadi tidak percaya diri, merasa tidak berguna dan tertolak serta menarik diri dari lingkungan sosial.


(19)

Masa remaja menjadi masa dimana individu menjadi lebih fokus dengan penampilan fisik daripada aspek lain dalam dirinya. Seberapa menarik individu secara fisik memberikan pengaruh terhadap evaluasi diri yang positif, popularitas, penerimaan teman sebaya serta perkembangan kepribadian individu. Pada individu tunadaksa, keterbatasan penampilan fisik menjadi hal yang mempengaruhi penyesuaian mereka terhadap lingkungan social ataupun penerimaan diri terhadap kondisi fisik mereka. Hal ini juga dipengaruhi nampak atau tidaknya kondisi tunadaksa.

Reaksi negatif dari lingkungan maupun proses penerimaan diri oleh remaja yang mengalami ketunaan menjadi hal yang memberikan pengaruh terhadap kondisi psikologis mereka. Meskipun individu tidak mengalami reaksi negatif dari lingkungan, dikarenakan kondisi lingkungan yang menerima dan mengerti kondisi fisik mereka, adakalanya individu mengalami proses penerimaan diri yang cukup panjang, misalnya perasaan tertolak ketika bertemu dengan lingkungan baru ataupun hendak mendekati lawan jenis. Kedua kondisi inilah yang membuat individu tunadaksa rentan mengalami tekanan yang bersifat emosional.

Hubungan yang kuat dan suportif terhadap orang tua memberikan pengaruh yang kuat dalam memberikan rasa aman ketika tekanan yang bersifat emosional terjadi (Papalia, Old, 2007). Orang tua juga berperan sebagai sumber utama individu tunadaksa untuk mendapatkan dukungan secara emosional, mengingat keterbatasan secara fisik yang dialami oleh remaja tunadaksa, yang secara langsung mengharuskan


(20)

anak untuk melakukan adaptasi ataupun penyesuaian. Somantri (2006) mengemukakan bahwa adaptasi itu sendiri dapat berlangsung sebagaimana mestinya apabila adanya suatu lingkungan yang memberikan dorongan serta individu yang memiliki anggota tubuh lengkap dalam arti fisik ataupun biologik.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa dukungan dari lingkungan menjadi sumber utama bagi individu ini, mengingat keterbatasan fisik yang mereka alami menghambat mereka untuk beradaptasi, dimana penyesuaian diri terhadap lingkungan yakni bagaimana individu melakukan kompensasi terhadap bagian tubuh yang tidak sempurna tersebut merupakan salah satu kondisi psikologis yang harus dihadapi individu tunadaksa (Somantri, 2006).

Dukungan lingkungan sosial menjadi penting bagi individu tunadaksa mengingat keterbatasan fisik yang mereka miliki. Kehidupan sosial pada remaja melibatkan hubungan dengan teman sebaya, masyarakat luas, serta keluarga. Keluarga menduduki posisi yang paling penting bagi remaja itu sendiri, mengingat bahwa keluarga sebagai sistem sosial pertama bagi anak. Interaksi individu dengan orang tua yang merupakan figur yang dianggap penting dalam keluarga akan melibatkan bagaimana orang tua memandang serta memperlakukan mereka, yang juga akan mempengaruhi individu dalam memandang dirinya sendiri, serta bagaimana interaksi mereka diinterpretasi (Coopersmith,1967 & Rosenberg, 1965 dalam Cavosoglu,2001). Sehingga interpretasi yang dimiliki seorang individu terhadap


(21)

hubungan yang dimiliki dengan orang tua bergantung pada reaksi yang mereka dapatkan didalam keluarga.

Penelitian Fitzgerald (dalam Somantri,2006) menunjukkan bahwa reaksi dan perlakuan keluarga dapat menjadi salah satu sumber frustasi bagi anak-anak tunadaksa, yang tidak jarang justru berakibat lebih berat daripada akibat ketunaanya itu sendiri. Orang tua dari individu tundaksa sering menunjukkan perilaku yang berlebihan, seperti bersikap terlalu melindungi (overprotective), melayani secara berlebihan, membatasi ruang gerak anak, yang kemudian dapat menyebabkan anak memiliki ketergantungan terhadap orang tua mereka yang dapat menimbulkan kecemasan akibat ketidaksiapan ketika berhadapan dengan lingkungan dengan segala tuntutan yang ada didalamnya.

Selain itu, sikap terlalu melindungi juga memberikan pengaruh terhadap rendahnya self-esteem, perasaan tidak mampu serta mengurangi kesempatan untuk bertumbuh. Orang tua yang melarang anak mereka untuk bekerja dengan alasan bahaya-bahaya atau ancaman lingkungan akan menghambat pertubuhan diri mereka, mengingat bahwa bekerja menjadi cara yang paling baik dalam membangun rasa percaya diri serta rasa berharga diri pada individu dengan tunadaksa (Sanders,2006). Bagi kebanyakan lingkungan masyarakat, prestasi menjadi tolak ukur dalam menilai kesuksesan seseorang. Keterbatasan ruang gerak individu dengan tunadaksa dapat menjadi penghambat bagi mereka untuk mencapai prestasi, akibat perlakuan orang


(22)

tua yang terlalu melindungi. Hal ini menyebabkan individu dengan tunadaksa sering sekali menarik diri dari pergaulan masyarakat.

Konsep mattering merupakan konsep yang berkaitan dengan hubungan individu dengan orang lain. Elliott (2009) mendefenisikan mattering sebagai sebuah persepsi dimana seorang individu memiliki bagian yang penting dalam dunia sekitarnya. Kata seberapa penting disini tidak terbatas pada setiap individu, karena hal ini merupakan pengalaman subjektif seseorang melalui proses sosialisasi yang mereka jalani, misalnya, bagaimana cara orang lain memperlakukan individu, waktu serta dukungan emosional yang diberikan kepada individu ataupun kesadaran orang lain terhadap kehadiran individu tersebut. Seseorang dapat memiliki persepsi ini pada orang lain yang spesifik seperti pada teman, pasangan, ataupun pada guru; dalam institusi sosial, seperti dalam keluarga atau perusahaan dan komunitas individu secara keseluruhan bahkan masyarakat luas. Rosenberg dan McCullough,1981 (dalam Baham) menambahkan bahwa mattering melibatkan suatu tingkat dimana seseorang merasa menjadi bagian yang penting dalam kehidupan orang lain; persepsi individu bahwa dirinya diperhitungkan dalam kehidupan orang lain dan orang lain menaruh perhatian terhadap apa yang dirasakan, dipikirkan serta dilakukannya.

Konsep mattering berperan penting dalam perkembangan self-concept yang mempengaruhi pembentukan self-esteem bagi remaja. Keberadaan mattering ini sendiri tidak harus dipersepsikan oleh seorang individu terhadap semua orang, Namun hanya pada orang-orang yang dianggap berarti dalam kehidupan mereka saja,


(23)

misalnya pada keluarga. Hal ini menyebabkan keluarga, khususnya orang tua berperan sebagai sumber utama dari mattering tersebut.

Konsep mattering sebagai salah satu dimensi dari konsep diri (self-concept) merupakan hal yang dipelajari dari proses sosialisasi yang dialami individu. Sehingga masing-masing individu yang memiliki pengalaman sosialisasi yang berbeda juga akan mengalami perbedaan pengalaman mattering yang berbeda pula. Beberapa ahli sosial telah mengidentifikasi proses utama yang dapat mengkonstruksikan pemahaman terhadap diri sendiri. Salah satunya adalah reflected appraisal yang dikemukakan oleh Hary Stuck Sullivan (dalam Elliot 2009). Proses ini menekankan bahwa kita secara mendalam dipengaruhi dalam konsepsi diri kita sendiri melalui bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita. Melalui komunikasi yang dijalin secara berkesinambungan, kita akan mulai memahami bagaimana orang lain melihat kita. Hal ini pada akhirnya akan membuat individu menginternalisasikan gambaran diri sendiri yang dikomunikasikan orang lain, yang pada akhirnya melekat dalam diri individu.

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti ingin melihat gambaran family matters pada remaja tunadaksa, terkait keterbatasan fisik yang mereka alami, secara khusus pada remaja yang mengalami kecacatan sejak lahir. Pada masa remaja berbagai perubahan psikologis mulai terjadi ditambah dengan keterbatasan fisik yang dialami individu tunadaksa. Konsep mattering merupakan konsep yang tidak terjadi secara langsung, namun memerlukan proses untuk kemudian seseorang memiliki persepsi


(24)

mengenai kebermaknaan dirinya. Sehingga penelitian ini ingin mengetahui gambaran family matters pada remaja yang mengalami ketunaan sejak lahir.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian yaitu “Bagaimana Gambaran Family Matters Pada Remaja Tunadaksa?” C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran family matters pada remaja tunadaksa.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah kekayaan informasi serta perkembangan ilmu di bidang psikologi, secara khusus dalam bidang psikologi perkembangan mengenai gambaran family matters pada remaja tunadaksa.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada remaja tunadaksa ataupun pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan ketunaan, agar mengetahui apa itu konsep family matters dan bagaimana gambaran family matters pada remaja tunadaksa, yang secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap perkembangan kepribadian remaja itu sendiri. Dengan mengetahui hal ini, diharapkan keluarga, secara khusus orang


(25)

tua yang memiliki anak tunadaksa dapat memberikan dukungan yang sesuai kebutuhan, sehingga remaja tunadaksa memiliki perkembangan yang maksimal ditengah-tengah keterbatasan yang mereka miliki.

b. Secara umum, penelitian ini juga diharapkan dapat berfungsi sebagai penambah informasi yang berisi pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai remaja tunadaksa terkait dengan topik penelitian. Hal ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat luas, tentang bagaimana harus bersikap ketika berhadapan dengan remaja tunadaksa.

c. Sebagai bahan atau acuan bagi peneliti selanjutnya yang hendak melanjutkan atau mengembangkan penelitian ini.

E. Sistematika Penelitian

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Dalam bab ini akan disajikan uraian secara singkat mengenai latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tinjauan teoritis yang digunakan sebagai acuan dalam membahas masalah. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah : teori mattering, meliputi defenisi mattering,


(26)

komponen mattering, proses pemahaman diri (self-understanding); tunadaksa, meliputi defenisi, klasifikasi tunadaksa, aspek perkembangan remaja tunadaksa; remaja, meliputi defenisi remaja, kategori remaja, aspek-aspek perkembangan remaja; family matters pada remaja tunadaksa.

BAB III: Metode Penelitian

Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan peneliti, dalam hal ini penelitian kualitatif; metode pengumpulan data, meliputi wawancara; alat pengumpulan data, meliputi alat perekam dan pedoman waawancara; subjek dan lokasi penelitian, meliputi karakteristik subjek penelitian, jumlah subjek penelitian, teknik pengambilan subjek, lokasi penelitian; prosedur penelitian, meliputi tahap pralapangan, tahap pelaksanaan penelitian, tahap pencatatan data dan metode analisa data.

BAB IV: Analisa dan Interpretasi Data yang memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan.


(27)

BAB V: Kesimpulan dan Saran berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian lanjutan.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A . Family Matters 1. Defenisi

Konsep mattering didefenisikan sebagai sebuah persepsi mengenai kebermaknaan individu didalam lingkungan sekitarnya (Elliot,2009). Seseorang dapat memiliki persepsi ini terhadap orang-orang yang spesifik (contoh:teman, kekasih, guru); institusi sosial (contoh: keluarga dan perusahaan); komunitas individu secara keseluruhan ataupun masyarakat luas. Persepsi ini tidak selamanya harus dimiliki oleh individu terhadap semua orang, namun hanya berlaku pada orang-orang yang dianggap menjadi figur penting saja. Hal ini mengindikasikan bahwa pengalaman-pengalaman mattering pada setiap individu berbeda-beda, karena adanya pengalaman-pengalaman personal maupun pengalaman sosialisasi yang berbeda pula. Pengalaman-pengalaman personal tersebut pada akhirnya membuat individu melakukan instropeksi terhadap hubungan mereka dengan individu ataupun institusi lain sehingga membentuk suatu persepsi tentang kebermaknaan mereka terhadap lingkungan.

Konsep mattering sepenuhnya bersifat kognitif. Berdasarkan hal tersebut maka perkembangan kognitif individu memiliki pengaruh yang penting bagi pengalaman mattering seseorang. Hal ini disebabkan seiring berkembangnya kemampuan kognitif seseorang, maka konstruksi mengenai diri menjadi lebih kompleks, yang berperan


(29)

dalam menentukan pemahaman mengenai kebermaknaan itu sendiri. Ketika mattering tidak tercapai khususnya pada figur yang dianggap penting, misalnya pada orang tua, maka hal tersebut akan menjadi suatu bentuk penolakan diri yang mendalam pada individu (Elliot,2009).

Konsep ini menjadi teori utama yang digunakan oleh peneliti dalam melihat bagaimana persepsi remaja tunadaksa itu sendiri mengenai kebermaknaan mereka dalam lingkungan, secara khusus didalam keluarga, berdasarkan indikator-indikator yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Didalam penelitian digunakan istilah family matters untuk merujuk kepada konsep mattering yang diaplikasikan didalam kehidupan keluarga. Hal ini menjadi penting, mengingat interaksi ataupun perlakuan dari lingkungan secara khusus keluarga, akan memberikan kontribusi terhadap bagaimana individu memandang dirinya sendiri, terkait dengan keterbatasan yang mereka miliki sebagai penyandang tunadaksa.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpukan, bahwa family matters merupakan konsep yang bersifat kognitif, yang dimunculkan dalam bentuk persepsi mengenai kebermaknaan diri dalam lingkungan, secara khusus keluarga, yang dipelajari berdasarkan pengalaman personal serta pengalaman sosialisasi.

2. Komponen Mattering

Terdapat tiga komponen yang menjadi indikator dalam melihat gambaran family matters pada individu (Elliot,2009).


(30)

a. Awareness

Komponen ini melibatkan individu sebagai fokus bagi perhatian orang lain, yang sepenuhnya bersifat kognitif. Seseorang akan merasa penting apabila orang lain merealisasikan keberadaan mereka dan memandang mereka sebagai seorang individu yang dapat dibedakan dari orang lain meskipun ditengah keramaian. Selain itu, Komponen ini juga mengindikasikan reaksi yang dimunculkan oleh lingkungan, misalnya keluarga, terhadap kehadiran partisipan serta keterlibatan partisipan ditengah-tengah keluarga.

b. Importance

Komponen kedua dari mattering bersifat lebih kompleks, yang mengisyaratkan sebuah hubungan antara individu dengan orang lain yang dianggap penting bagi mereka. Ketika orang lain menyediakan dukungan secara emosional, mau melakukan sesuatu agar apa yang diperlukan terpenuhi, atau turut merasa bangga dengan prestasi yang dicapai, menginvestasikan waktu dan energi mereka untuk kebaikan individu, maka hal tersebut mengindikasikan bahwa individu tersebut menjadi bagian yang penting dalam dunia mereka.

c. Reliance

Pada komponen ini, seorang individu merasa bermakna jika orang lain melihat diri individu tersebut sebagai individu yang dapat menjadi solusi bagi keperluan atau kebutuhan orang lain.


(31)

Berdasarkan tiga komponen yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa ketiga komponen ini sepenuhnya bersifat kognitif. Persepsi mengenai kebermaknaan diri oleh individu muncul bila orang lain menyadari keberadaan dirinya seutuhnya (awareness), menyediakan dukungan secara emosional, menginvestasikan waktu, energi serta bersedia berkorban demi terpenuhinya apa yang diperlukan (importance) serta apabila individu dapat menjadi solusi bagi keperluan ataupun kebutuhan orang lain, misalnya dalam memberikan bantuan ataupun solusi atas permasalahan orang lain (reliance).

3. Faktor Pendukung Mattering

Adapun faktor pendukung mattering yakni proses pemahaman diri (self-understanding). Pemahaman terhadap diri menjadi bagian yang tidak terlepas dalam tercapainya mattering. Para ahli sosial mengemukakan tiga proses utama yang menciptakan suatu bentuk pemahaman terhadap diri sendiri.

a. Reflected Appraisal

Proses yang pertama yakni reflected appraisal, yang menegaskan bahwa konsep diri secara mendalam dipengaruhi oleh bagaimana orang lain bereaksi terhadap individu (Sullivan, 1947, dalam Elliot, 2009). Orang lain secara berkesinambungan akan mengkomunikasikan seperti apa dan bagaimana individu tersebut dalam pandangan mereka, dan secara tidak langsung pemahaman itu akan diinternalisasi sehingga membentuk konsep diri individu. Proses ini memiliki kemungkinan menjadi sumber mattering yang paling kuat, karena feedback yang didapatkan dari figur yang


(32)

dianggap penting akan menentukan persepsi seberapa penting individu tersebut bagi orang lain (Elliot, 2009).

b. Social Comparison

Proses lain dalam menciptakan suatu pemahaman terhadap diri sendiri yakni melalui social comparison. Proses ini melibatkan bagaimana individu membandingkan diri dengan orang lain dalam menentukan kesesuaian dengan orang lain, apakah sama atau berbeda, lebih baik atau lebih buruk (Festinger, 1957, dalam Elliot, 2009). Proses ini juga menjadi salah satu cara lain dalam menilai seberapa penting individu tersebut bagi orang lain melalui bagaimana individu memaknai kualitas hubungan yang dibangun individu dengan orang lain. Dengan kata lain individu mendapatkan informasi yang bernilai mengenai dirinya sendiri melalui proses ini.

c. Self Atribution

Proses ini lebih didasarkan pada observasi terhadap perilaku yang dimiliki oleh seseorang dan situasi seperti apa yang mengakibatkan perilaku tersebut muncul, yang disebut sebagai self-attribution. Melalui proses ini individu mempelajari sesuatu mengenai dirinya sendiri dengan menaruh perhatian pada apa yang dilakukan (Bem, 1972, dalam Elliot, 2009). Proses ini juga dapat menjadi salah satu cara dalam menilai mattering individu, misalnya dengan sekedar mengingat berapa kali individu tersebut menanggapi permintaan akan dukungan emosional yang diperlukan orang lain.


(33)

B. Tunadaksa 1. Defenisi

Tunadaksa didefenisikan sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal, yang dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931, dalam Somantri,2006). Keadaan tundaksa ini dapat menjadi suatu kondisi yang menghambat kegiatan inidividu akibat gangguan ataupun kerusakan yang dialami sehingga dapat mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan ataupun untuk berdiri sendiri.

Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa tunadaksa merupakan suatu kondisi, dimana individu memiliki keterbatasan secara fisik yang disebabkan berbagai macam faktor seperti faktor keturunan, kesalahan ketika proses kelahiran, penyakit ataupun peristiwa-peristiwa traumatik. Faktor-faktor penyebab diatas dapat memiliki dampak yang berbeda-beda pada individu. Misalnya, individu yang mengalami kondisi cacat sebagai hasil dari faktor keturunan ataupun kesalahan ketika proses kelahiran , akan mengalami hambatan dalam kecakapan fungsi motoriknya. Sementara itu, dampak secara psikologis lebih kuat terjadi pada individu yang mengalami kondisi kecacatan ketika mencapai usia tertentu, dimana kondisi normal pernah dialami, misalnya disebabkan oleh peristiwa-peristiwa traumatik (Somantri,2006).


(34)

2. Klasifikasi Tunadaksa

Tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Koening, dalam Somantri 2006):

1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau merupakan keturunan, yakni: a. Club-foot (kaki seperti tongkat)

b. Club-hand (tangan seperti tongkat)

c. Polydactylism (jari yang lebih dari lima baik pada tangan maupun kaki) d. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang

lainnya)

e. Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka) f. Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup g. Cretinism (kerdil/katai)

h. Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal) i. Hydrocephalus (kepala yang besar karena berisi cairan) j. Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang)

k. Herelip (gangguan pada bibir dan mulut)

l. Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha)

m. Congenital Amputation (bayi yang lahir tanpa anggota tubuh tertentu) n. Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang)

o. Coxa valga (gangguan pada sendi paha , terlalu besar) p. Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit sipilis)


(35)

2. Kerusakan pada waktu kelahiran :

a. Erb‟s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik pada waktu kelahiran)

b. Fragilitas osium (tulang yang rapuh atau mudah patah) 3. Infeksi :

a. Tuberkolosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku) b. Osteomyelitis (radang didalam dan disekeliling sumsum tulang karena

bakteri)

c. Poliomyelitis (infeksi virus yang menyebabkan kelumpuhan)

d. Pott‟s Disease (tuberculosis sumsum tulang belakang)

e. Still‟s Disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan

permanen pada tulang)

f. Tuberkulosis pada lutut atau sendi lainnya 4. Kondisi Traumatik :

a. Amputasi (anggota tubuh yang dibuang akibat kecelakaan) b. Kecelakaan akibat luka bakar

c. Patah tulang 5. Tumor :

a. Oxoxtosis (tumor tulang)

b. Osteosis fibrosa cystic (kista yang berisi cairan didalam tulang)

Berdasarkan pemamparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tunadaksa dapat dibedakan menjadi lima klasifikasi, berdasarkan faktor penyebabnya, yakni


(36)

kerusakan yang dibawa sejak lahir atau keturunan, kerusakan pada waktu kelahiran, infeksi, kondisi traumatik dan tumor. Perbedaan faktor penyebab terjadinya tunadaksa dapat menimbulkan perbedaan dalam hal kondisi fisik dan psikologis pula, misalnya bila dilihat dari usia ketika kondisi kecacatan terjadi.

3. Aspek Perkembangan Individu Tunadaksa

Aspek perkembangan pada individu tunadaksa hampir sama dengan individu normal pada umumnya, yang meliputi perkembangan secara fisik, kognitif serta psikososial yakni perkembangan sosial serta emosi dan kepribadian individu. Semua dari aspek perkembangan ini tentunya akan sangat dipengaruhi oleh kondisi ketunaan itu sendiri. Dampak psikologis akibat ketunaan kebanyakan muncul dari reaksi lingkungan ketika berinteraksi dengan individu tunadaksa. Selain itu, dampak psikologis juga berkaitan dengan proses penerimaan diri individu terhadap kondisi fisik mereka, mengingat pada masa remaja, individu menjadi lebih fokus dengan kondisi fisik nya daripada aspek lain dalam diri mereka (Papalia, 2007).

Secara umum perkembangan fisik pada individu normal dengan individu tunadaksa dapat dikatakan hampir sama, namun tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna ataupun adanya anggota tubuh lain yang mengalami kerusakan ataupun yang terpengaruh akibat kerusakan tersebut (Somantri, 2006).

Perkembangan kognitif individu tunadaksa mengalami hambatan dalam prosesnya. Hal ini disebabkan terganggunya proses adaptasi, dimana proses ini dapat


(37)

berjalan sebagaimana mestinya apabila adanya suatu lingkungan yang memberikan dorongan serta individu yang memiliki anggota tubuh yang lengkap dalam arti fisik dan biologik. Bagi individu tunadaksa proses adaptasi ini tidak berjalan sempurna akibat keterbatasan fisik yang mereka miliki, meskipun dukungan dari lingkungan telah mereka dapatkan, karena faktor internal maupun eksternal harus terjadi bersama-sama. Hambatan dalam keterampilan motorik akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan keterampilan motorik yang lebih kompleks pada tahap selanjutnya.

Faktor usia pertama kali mengalami ketunaan menarik untuk disoroti. Individu yang mengalami kecacatan ketika mereka sudah berada pada usia tertentu, baik pada remaja ataupun dewasa, keterampilan-keterampilan tertentu biasanya sudah dikuasai karena mereka pernah berada pada kondisi individu yang normal. Akan tetapi kondisi seperti ini bagi mereka adalah suatu kemunduran sehingga efek secara psikologis sebenarnya lebih cenderung terjadi pada individu ini daripada efek perkembangan fisik. Sedangkan pada individu yang mengalami kecacatan sejak lahir ataupun ketika berada pada usia kanak-kanak, akan mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif mereka, karena terhambatnya usaha untuk menguasai keterampilan yang akan mengarah kepada terhambatnya fungsi-fungsi normal secara keseluruhan (Somantri, 2006). Namun baik individu yang mengalami ketunaan akibat peristiwa traumatik ataupun sejak lahir akan mengalami reaksi dari lingkungan seperti


(38)

keluarga, teman sebaya serta masyarakat pada umumnya yang berdampak pada kondisi psikologis individu tunadaksa tersebut (Somantri, 2006).

Penyesuaian diri terhadap lingkungan menjadi tantangan bagi individu tunadaksa. Sikap serta perlakuan yang dimunculkan oleh lingkungan dapat berpengaruh terhadap penyesuaian diri yang mereka lakukan. Selain itu sikap orang tua, teman sebaya, keluarga, serta masyarakat pada umumnya dapat mempengaruhi konsep diri dari individu tunadaksa, yang terbentuk melalui interaksi ataupun respon yang dimunculkan lingkungan terhadap diri mereka (Somantri, 2006). Hal ini akan mengarah kepada suatu bentuk evaluatif yang kemudian membentuk penilaian mereka terhadap diri mereka sendiri berdasarkan penilaian yang dibuat oleh lingkungan terhadap mereka (Dacey & Kenny, 1997).

Tuntutan lingkungan secara langsung memberikan pengaruh dalam kehidupan sosial individu tunadaksa. Masyarakat yang menjadikan prestasi sebagai tolak ukur keberhasilan akan menyebabkan individu tunadaksa akan menarik diri dari pergaulan akibat keterbatasan yang mereka miliki. Selanjutnya dikatakan bahwa individu tunadaksa yang berada pada usia sekolah yang lebih tinggi akan cenderung merasa tertolak dibandingkan dengan individu tunadaksa yang berada pada usia sekolah dasar (Somantri, 2006). Selain itu, individu tundaksa sering tidak terlibat dalam kegiatan yang melibatkan kelompok sosial, yang mungkin harus tinggal dirumah karena kondisinya ataupun mungkin tidak terlibat dalam aktivitas sekolah.


(39)

Kondisi sosial pada individu tunadaksa akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian mereka. Selanjutnya Somantri (2006) mengemukakan bahwa perkembangan kepribadian individu tunadaksa secara keseluruhan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu tingkat ketidakmampuan akibat ketunaan yang juga tidak terlepas dari perlakuan individu normal terhadap mereka. Respon yang dimunculkan individu tunadaksa terhadap ketunadaksaaanya sesuai dengan gaya hidup yang terbentuk pada masa kanak-kanak melalui hambatan dan pengalaman yang dihadapi individu tersebut.

Perkembangan kepribadian tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan ataupun faktor pembawaan mereka, tetapi bagaimana mereka mengartikan kedua faktor tersebut. Selain itu, faktor usia pertama kali ketika ketunaan terjadi memberikan pengaruh pada tingkat tertentu seperti secara psikologis. Selanjutnya, nampak atau tidaknya kondisi tunadaksa menunjukkan pengaruh terhadap kepribadian individu tundaksa terutama mengenai gambaran tubuhnya (body image) dan dukungan dari keluarga serta masyarakat pada umumnya akan membantu individu untuk mengembangkan rasa berharga pada dirinya ketika lingkungan menunjukkan hal yang sama.


(40)

C. Remaja 1. Defenisi

Papalia (2007) mendefenisikan tahap remaja sebagai masa transisi perkembangan antara kanak-kanak dengan dewasa yang melibatkan perubahan yang signifikan dalam kondisi fisik, kognitif, serta sosial, yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Tranisisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai. Kata “remaja” berasal dari bahasa Latin yaitu adolescene yang berarti to grow atau to grow maturity. Hal ini mendeskripsikan bahwa masa remaja menjadi masa dimana individu bertumbuh ke arah perkembangan yang lebih mendekati kedewasaan atau kematangan, dimana bagian dari masa dewasa meliputi proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kemantangan kognitif yang ditandai dengan kemampuan berpikir secara abstrak (Hurlock,1990;Papalia & Olds,2001 dalam Jahja,2011).

2. Aspek-Aspek Perkembangan Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi yang melibatkan perubahan yang signifikan pada aspek fisik, kognitif serta psikososial, yang meliputi perkembangan sosial dan kepribadian. Semua aspek tersebut mempengaruhi kondisi psikologis individu (Papalia,Olds,2007).


(41)

a. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik ditandai dengan adanya peningkatan hormon yang menjadi pendorong dalam munculnya perubahan-perubahan secara fisik seperti organ-organ yang berkaitan dengan organ reproduksi maupun organ-organ yang secara tidak langsung berkaitan dengan hal itu, seperti pertumbuhan payudara pada perempuan, perluasan daerah bahu pada laki-laki, perubahan dalam suara, tekstur kulit, pertumbuhan rambut didaerah tertentu, dan sebagainya. Namun perubahan fisik, seperti peningkatan berat dan tinggi badan secara tajam juga terjadi pada masa ini, yang pada umumnya berlangsung selama dua tahun sebelum remaja mencapai kematangan seksual (Papalia,Olds,2007). Perubahan yang cepat secara fisik yang disertai dengan kematangan seksual yang terjadi, baik secara internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan dan sistem respirasi, maupun secara eksternal seperti tinggi badan, berat badan dan proporsi tubuh sangat berpengaruh pada konsep diri mereka (Jahja,2011).

Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada masa ini memiliki dampak secara psikologis bagi diri remaja itu sendiri, yang disebabkan karena kebanyakan remaja menjadi lebih fokus dengan penampilannya daripada aspek lain dalam diri mereka. Selama masa remaja sebagian besar dari self-esteem dipengaruhi oleh perasaan seberapa menarik individu secara fisik, karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap evaluasi diri yang positif, popularitas, penerimaan teman sebaya, juga perkembangan kepribadian, hubungan sosial serta perilaku sosial pada remaja (Rice & Dolgin, 2008).


(42)

Fokus dengan body image, yakni keyakinan yang bersifat deskriptif dan evaluatif mengenai penampilan seseorang sering mulai terjadi pada pertengahan kanak-kanak atau lebih awal dan semakin intens pada masa remaja terutama pada remaja perempuan (Papalia, Olds,2007), yang semakin meningkat pada awal remaja madya yang dipengaruhi oleh penekanan budaya terhadap atribut fisik. Selain itu, menerima keadaan fisik diri sendiri menjadi salah satu tugas perkembangan remaja (Zulkifli, 2005) yang menjadi komponen yang penting pada konsep diri serta self-esteem remaja (Dacey & Kenny, 1997).

b. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif ditandai dengan meningkatnya kemampuan dalam berpikir secara abstrak yang menjadi ciri pada tahap perkembangan operasi formal serta berkembangnya struktur kognitif yang merupakan kemampuan mental yang bersifat kualitatif ataupun kuantitatif (Dacey & Kenny, 1997). Papalia (2007) menambahkan bahwa kemampuan berpikir secara abstrak juga memiliki implikasi emosional.

c. Perkembangan Sosial dan Kepribadian

Salah satu yang menjadi ciri pada masa remaja yakni terjadinya peningkatan emosional yang terjadi pada masa remaja awal, dimana Hall,1904 (dalam Rice & Dolgin,2008) menyebutnya sebagai periode “sturm und drang” atau masa “storm & stress”. Peningkatan emosional dapat merupakan hasil dari perubahan fisik serta peningkatan hormon yang terjadi ataupun yang berasal dari lingkungan sosial mereka,dimana terdapat banyak tuntutan serta tekanan yang ditujukan pada mereka,


(43)

misalnya dalam hal berperilaku, kemandirian dan tanggung jawab, serta mulai memperluas lingkungan sosial mereka (Jahja, 2011).

Keluarga menjadi komponen lingkungan sosial yang sangat penting bagi remaja, dimana keluarga merupakan sistem sosial pertama dimana anak terlibat didalamnya. Dukungan orang tua serta ketergantungan secara emosional pada masa ini memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan psikologis serta perasaan nyaman terhadap diri mereka sendiri.

Hubungan remaja dengan orang tua juga berkaitan dengan kelekatan (attachment) antara remaja dengan orang tua. Orang tua yang sensitif, hangat dan responsif akan membantu anak untuk mengembangkan secure attachment yang berpengaruh terhadap kepercayaan diri mereka untuk berinteraksi dengan dunia sosial serta lebih berkompeten secara sosial. Gaya kelekatan ini juga berkontribusi terhadap pandangan yang positif terhadap diri mereka sendiri sehingga kurang cenderung untuk bergantung pada sikap yang dimunculkan oleh orang lain. Selain itu kecenderungan anak untuk mengalami depresi juga lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak merasakan kelekatan dengan orang tua yang cenderung untuk merasa tertolak serta kurangnya kepercayaan diri (Dacey & Kenny, 1997). Aspek-aspek perkembangan remaja ini bertujuan melihat setiap aspek perkembangan yang terjadi pada individu tunadaksa serta pengaruh ketunaan yang dialami seorang individu terhadap aspek perkembangannya.


(44)

D. Family Matters Pada Remaja Tunadaksa

Pemahaman remaja terhadap dirinya sendiri sangat dipengaruhi oleh bagaimana orang lain menilai diri mereka, serta bagaimana orang lain bereaksi terhadap mereka yang kemudian diinternalisasi menjadi bagian yang utuh dalam diri mereka (Sulivan, 1947 dalam Elliot, 2009). Hal ini juga berlaku pada remaja tunadaksa ditengah-tengah keterbatasan yang mereka miliki. Bagaimana perilaku orang lain terhadap mereka akan sangat mempengaruhi persepsi mereka terhadap diri mereka sendiri.

Keluarga menjadi sumber utama bagi remaja tundaksa untuk memberikan dukungan secara emosional, serta berperan sebagai „protektor‟ bagi mereka terhadap ancaman yang bersifat fisik ataupun psikologis (Sanders, 2006). Hal ini mengingat bahwa remaja tunadaksa rentan untuk mengalami tekanan secara emosional, terkait dengan kondisi fisik yang mereka alami. Sleeper (2008) menambahkan bahwa orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus berperan dalam melatih mereka. Dalam hal ini orang tua membantu mereka dalam mengembangkan pemikiran yang independen, percaya diri, kreatif yang membantu pertumbuhan personal mereka dalam mempersiapkan masa depan.

Ancaman secara fisik dan psikologis rentan untuk dialami oleh individu berkebutuhan khusus, misalnya pada remaja tunadaksa. Elliot (2009) mengemukakan bahwa ancaman, tersebut dapat diatasi ketika individu memilki persepsi bahwa mereka menjadi bagian yang penting dalam lingkungan secara khusus pada orang tua, yang disebut sebagai mattering.


(45)

Konsep mattering sendiri sebenarnya merupakan salah satu dimensi konsep diri yang merupakan suatu kondisi dimana kita meyakini akan kebermaknaan diri bagi orang lain melalui proses sosialisasi yang kita pelajari dari lingkungan. Orang tua serta masyarakat yang menunjukkan sikap menolak akan mengakibatkan anak tunadaksa menjadi merasa rendah diri, tidak berdaya, merasa tidak pantas, frustasi, merasa bersalah, merasa benci, dan sebagainya (Somantri,2006). Individu mampu menghargai diri mereka sendiri apabila lingkungan menerima mereka apa adanya sehingga memunculkan perasaan bahwa dirinya adalah suatu individu utuh dan berbeda dari orang lain.

Penilaian serta sikap yang diberikan lingkungan secara khusus orang tua akan berpengaruh terhadap bagaimana individu akan memandang dirinya sendiri melalui proses interaksi yang terjadi. Hal ini sesuai dengan konsep reflected appraisal yang dikemukakan oleh Sullivan (dalam Elliot,2009), dimana individu akan menginternalisasikan pandangan individu terhadap mereka, sehingga membentuk pandangan serta konsep diri mereka sendiri.

Pengalaman mattering pada masing-masing individu berbeda, karena pada dasarnya setiap individu berada pada kondisi yang berbeda pula, sebagaimana pada individu tunadaksa. Individu tunadaksa menjadi rentan untuk mengalami tekanan secara psikologis, terutama pada individu yang mengalami kecacatan setelah berada pada usia tertentu, dimana menjalani kehidupan yang normal pernah dialami. Kondisi ini yang pada akhirnya menjadikan mereka sebagai individu yang memiliki kebutuhan khusus akibat keterbatasan yang mereka alami. Keluarga secara khusus


(46)

orang tua menjadi sangat penting dalam memberikan dorongan secara emosional ataupun mengajarkan mereka bagaimana memiliki sikap yang positif terhadap diri mereka sendiri (Smith, 2002). Hal ini tentunya akan sangat membantu individu tunadaksa untuk mengatasi tekanan emosional yang mereka alami, sehingga mattering dapat menyelamatkan individu dari kerusakan konsep diri yang parah akibat reaksi yang dimunculkan oleh orang lain.


(47)

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagi metode ilmiah (Moleong, 2006).

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode studi kasus intrinsik. Penelitian dengan metode ini dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa ada upaya mengeneralisasi (Poerwandari, 2007). Penelitian dengan metode studi kasus dilakukan untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan makna sesuatu/subjek yang diteliti (Alsa, 2003).

Keterbatasan yang dimiliki oleh individu tunadaksa secara khusus pada remaja membuat mereka mengalami pengalaman-pengalaman secara psikologis yang tidak menyenangkan, seperti rasa malu dan minder, ataupun melalui sikap yang dimunculkan lingkungan secara khusus keluarga terhadap mereka. Hal ini akan mempengaruhi cara pandang individu terhadap diri mereka sendiri. Pengalaman


(49)

seperti ini tentunya tidak dialami oleh individu normal, sehingga perbedaan ini menjadi alasan peneliti untuk menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus intrinsik.

B. Partisipan Penelitian dan Lokasi Penelitian 1. Partisipan Penelitian

a. Karakteristik Partisipan Penelitian

Dalam penelitian ini subjek dipilih sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Adapun karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah :

a.1. Individu yang mengalami cacat fisik (tunadaksa)

Pemilihan partisipan ini sesuai dengan tujuan peneliti melakukan penelitian yaitu untuk melihat bagaimana gambaran family matters pada remaja tunadaksa. Dalam penelitian ini individu tunadaksa yang menjadi partisipan penelitian adalah individu yang mengalami kecacatan sejak lahir, baik karena faktor keturunan ataupun kesalahan dalam proses kelahiran. Hal ini dikarenakan individu yang mengalami kecacatan sejak lahir, menunjukkan dinamika penerimaan, penolakan, dukungan yang bersifat lebih kompleks, dimana individu secara berkesinambungan telah memiliki pengalaman ditengah-tengah keluarga, sejak mereka lahir hingga mencapai usia remaja


(50)

a.2. Tingkat IQ (Inteligence Quotient) rata-rata

Tingkat IQ pada partisipan penelitian ini dapat dilihat dari keterlibatan partisipan dalam mengikuti pendidikan di sekolah normal. Hal ini untuk melihat kemampuan individu dalam berkomunikasi serta pemahaman partisipan yang diharapkan dapat membantu kelancaran proses penelitian, misalnya dalam keterlibatan pada proses wawancara.

a.3. Masih memiliki keluarga/orang tua

Hal ini berkaitan dengan tujuan peneliti dalam melihat dinamika hubungan individu dengan keluarga secara khusus orang tua, sehingga gambaran family matters dapat terlihat.

a.4. Berada pada usia 12-20 tahun

Usia ini berada pada rentang usia remaja (Papalia,2007). Pada masa ini remaja mengalami berbagai bentuk perubahan baik dalam hal fisik, kognitif serta emosional yang berdampak pada kondisi psikologis mereka.

b. Jumlah Partisipan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti merencanakan untuk memilih 2 partisipan agar dapat memperoleh gambaran secara mendalam dan menyeluruh tentang bagaimana gambaran family matters pada remaja tunadaksa. Penetapan jumlah sampel ini dilakukan dengan alasan karena pada umumnya penelitian kualitatif menampilkan karakteristik (a) tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada


(51)

kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian, (b) tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian, (c) tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks (dalam Poerwandari, 2009)

c. Prosedur Pengambilan Partisipan

Teknik pengambilan partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan teori atau konstruk operasional (theory based/operational construct sampling). Partisipan dipilih sesuai dengan kriteria tertentu berdasarkan suatu teori atau konstruk operasional yang sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel penelitian benar-benar representatif atau benar-benar mewakili fenomena yang akan diteliti. Hanya individu yang memenuhi kriteria dan mewakili fenomenalah yang diteliti (Poerwandari 2009).

Pada penelitian ini pengambilan partisipan dilakukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Soemantri (2006) yang menjelaskan mengenai karakterisitik individu tunadaksa sejak lahir serta Papalia (2007) yang menjelaskan mengenai rentang usia remaja.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan Medan. Hal ini dipilih agar memudahkan peneliti untuk mendapatkan partisipan penelitian ini.


(52)

C. Metode Pengambilan Data

Penelitian kualitatif merupakan penelitan yang bersifat terbuka dan luwes, metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam. Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif disesuaikan dengan masalah penelitian, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif antara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap dokumen, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan studi riwayat hidup (Poerwandari, 2009). Metode dasar yang pada umumnya banyak digunakan dalam penelitian kualitatif adalah metode wawancara dan observasi. Dalam pengambilan data, penelitian ini juga menggunakan metode wawancara dan observasi.

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Banister dkk (dalam Poerwandari, 2009) menyatakan wawancara kualitatif dilakukan jika peneliti bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami oleh individu berkaitan dengan topik yang diteliti, dan bertujuan untuk melakukan eksplorasi terhadap topik tersebut, dimana hal ini tidak dapat dilakukan dengan metode lain.

Metode wawancara yang akan digunakan dalam mengumpulkan data pada penelitian ini adalah pendekatan wawancara dengan pedoman umum. Wawancara dengan pedoman umum dapat berbentuk wawancara terfokus, yaitu wawancara yang


(53)

mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau aspek-aspek tertentu dari kehidupan dan pengalaman subjek. Wawancara dengan pedoman umum juga dapat berbentuk wawancara mendalam, yaitu wawancara dimana peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara mendalam dan menyeluruh.

Dalam proses wawancara dengan pedoman umum ini, peneliti menggunakan pedoman wawancara, yang menampilkan topik-topik yang harus digali dari subjek yang dapat dilakukan secara acak, tanpa harus menentukan urutan pertanyaan. Pedoman wawancara ini digunakan untuk membantu peneliti mengingat aspek-aspek yang harus dihahas dan digali secara mendalam dari diri subjek, dan sekaligus menjadi daftar checklist untuk melihat apakah aspek-aspek yang relevan dengan topik yang diteliti telah dibahas atau ditanyakan.

Wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan yang dimaksudkan untuk mengungkapkan aspek-aspek tingkah laku, nilai maupun perasaan subjek. Pertanyaan ini mengungkap tentang apa yang dilakukan atau biasa dilakukan subjek, proses pemahaman dan interpretasi subjek serta untuk memperoleh pemahaman tentang aspek afektif atau perasaan dalam diri subjek terkait dengan topik dalam penelitian yakni family matters pada remaja tunadaksa. Pertanyaan juga harus bersifat netral, tidak bersifat mengarahkan. Wawancara juga menggunakan pertanyaan terbuka (open-ended question) untuk dapat mendorong subjek berbicara lebih luas tentang topik yang diteliti, mengembangkan pemahaman tentang pemikiran dan perasaan


(54)

subjek tanpa mengarahkan dan membuat subjek merasa diarahkan. Peneliti dapat melakukan probing untuk menggali data dengan lebih jelas dan detail agar dapat menarik kesimpulan yang baik.

2. Observasi

Penelitian ini juga akan menggunakan metode pendukung yaitu observasi. Patton (dalam Poerwandari, 2009) menjelaskan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data yang paling esensial dalam penelitian, terutama dalam penelitian kualitatif. Observasi mengacu pada kegiatan yang dilakukan dengan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi ini bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang diteliti, aktivitas-aktivitas yang berlangsung dan makna suatu kejadian dengan melihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati. Melalui observasi, peneliti juga dapat melakukan pengecekan dan memperoleh keyakinan tentang keabsahan data yang telah diperoleh dari wawancara Hal-hal yang penting untuk diobservasi selama proses wawancara adalah lingkungan fisik tempat dilakukannya wawancara, penampilan fisik subjek, siapa yang hadir disana, aktivitas apa yang berlangsung, perilaku subjek kepada peneliti selama wawancara, perubahan ekspresi wajah subjek selama wawancara berlangsung, hal-hal yang menimbulkan gangguan selama proses wawancara dan hal-hal lain yang sering dilakukan subjek.


(55)

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Instrumen yang terpenting dalam pengumpulan data pada penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri (Poerwandari, 2009). Peneliti sangat berperan dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendeteksi topik tersebut, mengumpulkan data, hingga analisis, menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian. Dalam mengumpulkan data-data peneliti membutuhkan alat bantu (instrumen penelitian). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 4 alat bantu, yaitu:

1. Alat perekam (tape recorder)

Alat perekam berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara, agar peneliti dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban dari subjek. Alat perekam ini juga berguna agar peneliti lebih mudah memutar dan mengulang kembali hasil rekaman proses wawancara yang sebelumnya telah dilakukan dan dapat menanyakan subjek kembali bila masih ada hal-hal yang belum lengkap atau perlu untuk diperjelas. Poerwandari (2009) juga menyatakan bahwa proses wawancara perlu direkam dan dibuat transkip wawancaranya secara verbatim (kata demi kata). Menggunakan alat perekam atau alat bantu lain merupakan tindakan bijaksana daripada hanya sekedar mengandalkan ingatan atau memori peneliti. Dalam pengumpulan data, alat perekam baru dapat dipergunakan setelah mendapat ijin dari subjek untuk mempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung.


(56)

2. Pedoman wawancara

Dalam proses wawancara peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara secara umum, yang menampilkan topik-topik yang harus digali dari subjek yang dapat dilakukan secara acak, tanpa harus menentukan urutan pertanyaan. Hal ini perlu digunakan untuk membantu peneliti mengingat aspek-aspek yang harus dihahas dan digali secara mendalam dari diri subjek, dan sekaligus menjadi daftar checklist untuk melihat apakah aspek-aspek yang relevan dengan topik yang diteliti telah dibahas atau ditanyakan. Pedoman wawancara juga digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yakni gambaran family matters pada remaja tunadaksa. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang dimaksudkan untuk mengungkapkan aspek-aspek tingkah laku, nilai maupun perasaan subjek.

3. Alat tulis dan kertas

Alat tulis yang digunakan dalam membantu penelitian ini seperti kertas, pulpen atau pensil untuk mencacat hal-hal penting yang ditemukan selama proses pengambilan data.

E. Kredibilitas Penelitian

Dalam penelitian kualitatif konsep validitas digantikan dengan konsep kredibilitas. Kredibilitas penelitian kualitatif mengacu pada keberhasilannya


(57)

mencapai tujuan mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial dan pola interaksi yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan atau kompleksitas aspek-aspek yangditeliti dan interaksi dari berbagai aspek merupakan salah satu ukuran kredibilitas dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2009).

Upaya untuk meningkatkan kredibilitas dalam penelitian kualitatif, ada beberapa langkah atau upaya yang dilakukan peneliti (dalam Poerwandari, 2009), antara lain dengan :

1. Mencatat secara bebas hal-hal penting dengan serinci dan sedetail mungkin tentang pengamatan objektif terhadap setting, subjek atau partisipan atau hal-hal lain yang terkait.

2. Mendokumentasikan data-data yang telah terkumpul dengan rinci, lengkap dan rapi.

3. Memanfaatkan langkah dan proses yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya sebagai saran bagi peneliti sehingga pengumpulan data dapat terjamin berkualitas.

4. Mengikutsertakan pihak lain yang dapat memberikan saran-saran dan pembelaan („devil‟s advocate‟) serta akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terkait dengan analisis yang dilakukan peneliti. Dalam hal ini adalah dosen pembimbing bertindak sebagai professional judgment.


(58)

F. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian terdapat beberapa tahap penelitian yang harus dilakukan, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pencatatan serta tahap analisis dan interpretasi data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti mempersiapkan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut :

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi mengenai fenomena yang terjadi terkait topik penelitian, seperti data awal tentang topik yang diteliti serta data-data lain misalnya jurnal dan artikel yang dapat mendukung penelitian.

b. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun pedoman wawancara berdasarkan landasan teori yang telah disusun sebelumnya yaitu teori Eliiot (2009) mengenai Family Matters, serta remaja tunadaksa yang dikemukakan oleh Somantri (2006). Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, peneliti melakukan professional judgement dalam hal ini adalah dengan dosen pembimbing untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara.


(59)

Pernyataan informed consent ini dibuat sebagai bukti bahwa partisipan telah menyepakati bahwa dirinya bersedia untuk berpartisipasi sebagai partisipan dalam penelitian ini secara sukarela tanpa adanya paksaan dari siapapun. Dalam informed consent peneliti harus menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya secara ringkas.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Mempersiapkan alat-alat penelitan yaitu tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara yang telah disusun, yang digunakan untuk mendukung proses pengumpulan data..

e. Persiapan untuk mengumpulkan data

Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu mengumpulkan informasi tentang calon partisipan penelitian dan memastikan bahwa calon partisipan tersebut telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah mendapatkan calon partisipan yang sesuai, peneliti menghubungi calon partisipan untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

f. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan untuk berpartisipasi sebagai partisipan penelitian, peneliti melakukan komunikasi untuk membuat janji bertemu dengan partisipan dan berusaha membangun rapport yang baik dengan partisipan penelitian. Setelah itu, peneliti dan partisipan penelitian menentukan dan menyepakati bersama waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan pengambilan data lewat wawancara.


(1)

memiliki kekurangan ( self-understanding-social comparison)

manusia memiliki kekurangan

4 x menyatakan hubungan dengan teman sebaya ( self-understanding-social comparison)

P2.W3.b.307-308.h.29 Ketika menghadapi masalah, partisipan menceritakannya kepada teman, atau masalah itu dipendam oleh partisipan sendiri

Kondisi pendukung mattering

P2.W2.b.382.h.20 Ketika memiliki masalah partisipan memilih untuk menceritakannya kepada teman

Kondisi pendukung mattering

P2.W1.b.397-412.h.10 Partisipan menceritakan permasalahan yang dialaminya dengan sahabat

Kondisi pendukung mattering

P2.W1.b.313-314.h.8 Ketika memiliki masalah pribadi partisipan menceritakannya kepada teman

Kondisi pendukung mattering 2 x menyatakan

kehidupan sosial partisipan

( self-understanding-social comparison)

P2.W3.b.600-602.h.35 Partisipan memiliki banyak teman

Kondisi pendukung mattering P2.W3.b.588-592.h.35 Partisipan termasuk

orang yang pendiam, ketika berada disekolah partisipan banyak menghabiskan waktu sendiri

Kondisi pendukung mattering

5 x menyatakan reaksi psikologis ketika

membandingkan diri dengan orang lain ( self-understanding-social comparison)

P2.W3.b.399-404.h.31 Pernah merasakan sedih ketika membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki kondisi fisik yang normal

Kondisi pendukung mattering

P2.W4.b.155-170.h.39-40 Ketika menyadari kondisi fisik yang berbeda dari orang lain, partisipan merefleksikan kondisi fisiknya, merasa sedih,namun proses itu tidak berlangsung lama

Kondisi pendukung mattering


(2)

P2.W2.b.5-8.h.12 Timbul kesedihan ketika membandingkan diri dengan orang lain

Kondisi pendukung mattering

P2.W2.b.54-62.h.13 Masih sedikit merasakan

minder ketika

membandingkan diri dengan orang lain

Kondisi pendukung mattering

P2.W3.b.100-112.h.24 Ketika menyadari kondisi fisik yang berbeda, partisipan merasa sedih dan mempertanyakan kepada diri sendiri mengapa kondisinya berbeda dari orang lain, namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena partisipan memberikan semangat kepada dirinya dan menyadari bahwa apa yang sudah terjadi tidak perlu disesali

Kondisi pendukung mattering

1 x menyatakan keoptimisan yang dimiliki oleh partisipan

(self understanding- self attribution)

P2.W2.b.174-179.h.16 Partisipan memiliki keoptimisan dalam meraih cita – citanya

Kondisi pendukung mattering

2 x menyatakan sumber dorongan yang dimiliki partisipan

(self understanding- self attribution)

P2.W3.b.115-118.h.24 Partisipan memberikan semangat kepada dirinya untuk tidak mudah putus asa, dan menghadapi setiap cobaan dengan ikhlas dan sabar

Kondisi pendukung mattering

P2.W3.b.433-436.h.31 Hal yang membuat partisipan semangat kembali ketika mengalami pengalaman

yang tidak

menyenangkan terkait kondisi fisiknya adalah semangat dari diri sendiri dan mendekatkan diri kepada Tuhan

Kondisi pendukung mattering


(3)

3 x menyatakan kemampuan

sosialisasi partisipan (self understanding- self attribution)

P2.W3.b.563-585.h.34-35 Partisipan sebenarnya memiliki kemampuan sosialisasi namun adakalanya tidak suka bersosialisasi dengan alasan malas untuk keluar rumah atau malas apabila disuruh mengemukakan pendapat ketika berada didalam kelompok

Kondisi pendukung mattering

P2.W3.b.597.h.35 Partisipan enggan bersosialisasi bukan karena kondisi fisiknya namun karena kemauan partisipan sendiri

Kondisi pendukung mattering

P2.W4.b.132-135.h.39 Partisipan menyatakan dirinya sebagai orang yang tertutup sehingga tidak mudah untuk bercerita kepada orang lain misalnya keluarga

Kondisi pendukung mattering

1 x menyatakan syarat untuk membuat keluarga bangga

(self understanding- self attribution)

P2.W4.b.190-193.h.40 Menurut partisipan, hal yang dapat membuat keluarga bangga dengan partisipan adalah prestasi yang diraih partisipan, serta kemauannya dalam membantu orang tua

Kondisi pendukung mattering

3 x menyatakan penerimaan diri partisipan

(self understanding- self attribution)

P2.W2.b.72-77.h.13 Partisipan sudah menerima kondisi fisiknya sebagai takdir yang harus diterima

Kondisi pendukung mattering

P2.W1.b.107-116.h.3 Partisipan menyatakan sudah menerima kondisi fisik karena menyadari hal tersebut sebagai pemberian Tuhan yang tidak dapat berubah

Kondisi pendukung mattering

P2.W1.b.425-429.h.10 Ketika sedang sendiri, partisipan pernah mengeluh terkait kondisi fisiknya, namun pada akhirnya menerima sebagai pemberian dari

Kondisi pendukung mattering


(4)

Tuhan

Langkah 4

Dinamika yang dialami Partisipan

1. Gambaran Family Matters

FAKTOR FAMILY MATTERS

Awareness

Reliance Importance

1. Partisipan tidak merasa tertolak

ketika berada ditengah – tengah

keluarga

2. Partisipan menyadari memiliki

hubungan yang dekat dengan

keluarga berdasarkan penyediaan dukungan emosional

Partisipan menyatakan dukungan emosional yang diterima dari keluarga

1. Partisipan memiliki tugas dan

tanggung jawab dikeluarga

2. Partisipan memiliki kemampuan

dalam menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan kepadanya

3. Partisipan memiliki kemampuan

dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya


(5)

2. Kondisi Pendukung Family Matters

KONDISI PENDUKUNG FAMILY MATTERS

Self-understanding (Reflected Appraisal)

Self-understanding (Social

Comparison)

Self-understanding (Self-Atribution)

1. Reaksi negatif dari lingkungan

membuat partisipan memiliki

perasaan tertolak

2. Perasaan tertolak yang dimiliki

partisipan perlahan menghilang

karena dukungan dari teman sebaya

3. Kepercayaan diri yang ada didalam

partisipan dipengaruhi oleh

dukungan keluarga,

4. Partisipan memandang dirinya

sebagai individu yang berguna bagi orang lain

1. Partisipan memiliki reaksi psikologis

negatif ketika membandingkan

dirinya dengan orang lain

2. Perlahan reaksi negatif itu hilang

karena adanya dukungan dari

lingkungan sosial partisipan serta pengaruh positif yang didapatkan

partisipan dari organisasi yang

diikuti partisipan

3. Menyadari bahwa setiap individu

memiliki kekurangan, memberikan

pengaruh terhadap berkurangnya

reaksi negatif dalam diri partisipan

4. Partisipan memaknai hubungan

sosialnya sebagai hubungan yang berkualitas dan bermakna

1. Partisipan memiliki kemampuan

bersosialisasi, namun kurang minat

bersosialisasi karena hambatan

personal partisipan

2. Partisipan memiliki keoptimisan

untuk meraih kesuksesan meskipun memiliki keterbatasan fisik. Hal ini karena keoptimisan didalam diri partisipan

3. Partisipan terlibat dalam


(6)