8 DESAIN KONSERVASI LAMUN
Kriteria dan indikator desain
konservasi lamun
serta strategi
pengelolaannya bersumber dari hasil analisis dan sintesis pada: 1 kondisi lamun dan kerusakan lamun, 2 keterkaitan ikan dengan lamun dan 3 fungsi
lamun terhadap ikan. Berkaitan dengan penentuan kriteria dan indikator tersebut dilakukan pembahasan tentang fungsi dari setiap kriteria dan indikator sesuai
dengan tujuan desain konservasi lamun untuk keberlanjutan ikan adalah sebagai berikut:
8.1 Kondisi lamun
Lamun memiliki atribut secara biologi yang dapat dijadikan parameter untuk menentukan kondisi lamun. Adapun parameter lamun yang digunakan dalam
penilaian kondisi lamun adalah jumlah jenis lamun pada tiap lokasi padang lamun, prosentase penutupan lamun canopy dan biomassa lamun. Hasil
penilaian dari ketiga parameter lamun tersebut sebagai dasar untuk menentukan katagori kondisi lamun yaitu pada katagori yaitu sangat baik, baik sedang dan
buruk Tabel 44. Katagori status lamun tersebut berfungsi sebagai alat untuk menilai perubahan kondidisi lamun akibat gangguan yang disebabkan oleh
aktivitas manusia maupun faktor alam. Berkaitan dengan tujuan konservasi lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan fungsi dari tiga parameter lamun
tersebut adalah untuk penilaian: 1 perubahan struktur populasi dan spesies ikan yang menggunakan padang lamun sebagai habitat secara permanen dan
sementara, 2 peran padang lamun dalam memelihara maintanance fungsi ekologinya terutama sebagai pembentuk struktur trofik melalui rantai makanan
detritus dan rantai makanan herbivora dan 3 keberlanjutan biota laut yang berasosiasi dengan lamun.
Tabel 44 Kondisi lamun di lokasi studi.
No Lokasi
Jumlah jenis
lamun Skor
Rata-rata penutupan
lamun Skor Rata-rata
biomassa gram
Skor Total
skor Kondisi
lamun 1
Gili Kere 8
7 18,01
1 251,84
1 9
Sedang 2
Kampung Baru
6 5
26,93 3
482,17 3
11 Sedang
3 Lungkak
8 7
23,70 1
411,59 3
11 Sedang
4 Poton
Bakau 6
5 30,06
3 448,26
3 11
Sedang
88
Kondisi lamun Tabel 44 dapat menunjukkan kontribusi tiap parameter lamun terhadap kondisi lamun. Pada padang lamun di Gili Kere jumlah jenis
lamun memiliki kontribusi paling tinggi yaitu sebesar 77,77 , selanjutnya di Kampung Baru jumlah jenis lamun berkontribusi sebesar 45,45 , Lungkak
sebesar 63, 63 dan Poton Bakau sebesar 54,54 . Parameter lain seperti penutupan lamun dan biomassa lamun berkontribusi sebesar 11,11 pada
padang lamun di Gili Kere. Perbedaan kontribusi yang cukup besar antara jumlah jenis lamun dengan dua parameter yang lain penutupan lamun dan biomassa
lamun mengindikasikan telah terjadi kerusakan lamun akibat gangguan dari aktivitas masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan karena pertumbuhan dan
perkembangan lamun selain disebabkan oleh faktor lingkungan seperti perubahan kondisi lingkungan perairan akibat peningkatan bahan organik dapat
menjadi pemicu pertumbuhan algae dan menyebabkan cahaya matahari menjadi berkurang yang berpengaruh pada proses potosintesis lamun. Selanjutnya
kerusakan morfologi lamun aktivitas masyarakat seperti nelayan dan masyarakat yang memanfaatkan areal lamun untuk mencari sumberaya yang bernilai
ekonomi dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan lamun terganggu, selain itu aktivitas yang cukup intensip dapat menyebabkan
meningkatnya kekeruhan. Hal ini telah dijelaskan oleh Kiswara 1999 yaitu kerusakan lamun di Pulau Seribu disebabkan oleh meningkatnya kekeruhan air
akibat perputaran perahu nelayan. Dalam hal ini parameter jumlah jenis lamun, penutupan lamun dan biomassa lamun sebagai instrumen untuk menilai kondisi
lamun dapat menjadi indikator konservasi lamun. Coles et al. 2008 menjelaskan penutupan lamun cukup efektif sebagai indikator untuk menilai tingkat kerusakan
lamun dan dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan konservasi. Selanjutnya Supriyadi 2009 melakukan penilaian terhadap kondisi lamun untuk
identifikasi daerah perlindungan lamun di Teluk Kotania dan Pelitijaya, selanjutnya Supriyadi 2010 di perairan Teluk Toli-Toli serta pulau sekitarnya.
8.2 Sumber Kerusakan lamun