Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Garut (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong)

(1)

ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

RAKYAT SAPI POTONG DI KABUPATEN GARUT

(Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong)

SRI KUNCORO

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Garut (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013 Sri Kuncoro NIM H44090005


(4)

(5)

ABSTRAK

SRI KUNCORO. Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Garut (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong). Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.

Pemenuhan akan kebutuhan daging sapi perlu pengembangan ternak sapi potong di daerah-daerah agar ketersediaan daging dapat tercukupi. Perlu pemahaman apakah daerah tersebut pantas dilakukan pengembangan atau tidak, maka dibutuhkan informasi dengan menganalisis aktivitas ekonomi peternak dan wilayah mana yang berpotensi. Hasil penelitian berdasarkan analisis LQ menyatakan bahwa Kecamatan Malangbong memiliki nilai LQ sebesar 6.34 paling tinggi diantara kecamatan lain. Biaya total dari peternak dengan kandang pribadi sebesar Rp 30 313 639 dan kandang komunal sebesar Rp 29 710 747. Pendapatan bersih peternak kandang pribadi sebesar Rp 6 436 361 dengan R/C rasio sebesar 1.21 dan rentabilitas 21 persen. Sedangkan keuntungan peternak kandang komunal sebesar Rp 7 039 253 dengan R/C rasio sebesar 1.24 dan rentabilitas 24 persen. Perhitungan KPPTR efektif Kecamatan Malangbong menghasilkan nilai negatif sebesar -3 150.99. Perhitungan didapat dari selisih KPPTR Maksimum dengan Populasi Satuan Ternak yang ada di Kecamatan Malangbong. Hasil negatif artinya Kecamatan Malangbong sudah tidak mampu menampung jumlah ternak ruminansia terutama sapi potong. Maka pengembangan perlu dilaksanakan di wilayah lain yang memiliki KPPTR positif.

Kata Kunci: Sapi Potong , Analisis LQ, KPPTR, Pendapatan.

ABSTRACT

SRI KUNCORO. Potential Development Analysis of Public Beef Cattle Breeding

in Kabupaten Garut (Case: Kecamatan Malangbong’s Breeding). Supervised by RIZAL BAHTIAR.

Development of beef cattle breeding need to be conducted in order to fulfill the public demand of beef. The necessary informations to conduct the development of beef cattle breeding are the breeding's potential in every region and economic activities of the farmers in the region. The results of this research declare that farming activities in Kecamatan Malangbong with LQ analysis amounted 6.34 which means it is the highest breeding activities in Kabupaten Garut. The total cost of a private enclosure with a farmers amounting to IDR 30 313 639 and communal cages of IDR 29 710 747. Private cage breeders net income amounting to IDR 6 436 361 with R/C ratio of 1.21 and earning ratios

of 21 percent. While the profits communal cages breeders amounted to IDR 7 039 253 with R/C ratio of 1.24 and earning ratios of 24 percent.

Calculation of effective KPPTR in Kecamatan Malangbong produce a negative value of -3 150.99. Calculations obtained from the difference between the Maximum KPPTR Livestock Population Unit in Kecamatan Malangbong. Negative result means Kecamatan Malangbong is not able to accommodate the number of ruminant livestock, especially cattle. Then the development of should be implemented in other regions that have a positive KPPTR.


(6)

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

RAKYAT SAPI POTONG DI KABUPATEN GARUT

(Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong)

SRI KUNCORO

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

(9)

Judul Skripsi: Analisis Potensi Pengembangan Petemakan Rakyat Sapi Potong di

Nama

Kabupaten Garut Malangbong) : Sri Kuncoro

(Studi Kasus : Petemakan Kecamatan

NIM : H44090005

Disetujui oleh

Rizal Bahtiar, S.Pi M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

at MT


(10)

Judul Skripsi : Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Garut (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong)

Nama : Sri Kuncoro NIM : H44090005

Tanggal Lulus:

Disetujui oleh

Rizal Bahtiar, S.Pi M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis yang dimulai sejak bulan Januari 2013 ini berjudul Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Garut (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong).

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Joko Suwarno dan Ibu Suharni selaku orangtua tercinta yang selalu mendoakan dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis, serta Noviana selaku adik tersayang yang selalu menyemangati dan mendoakan. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada Bapak Rizal Bahtiar, SPi. M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian karya tulis ini. Kepada Bapak Luqman selaku staff Dinas Peternakan Kabupaten Garut dan Ibu Elie yang telah memberi izin tinggal di Garut sehingga sangat membantu penulis ketika penelitian berlangsung. Kepada Lidya Agustina selaku teman terdekat penulis yang selalu membantu dan menyemangati penulis. Terimakasih kepada teman-teman ESL 46, senior-senior ESL 45 dan 44, terutama Aulia Putri Adniey, Iftitatul Fajriah, Khoirunissa Cahya, Lungit, Nur Cahya yang telah memberi semangat dan dorongan kepada penulis selama proses penulisan karya tulis ini. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Fajar Cahya, Galuh Mutdamant, Hilman Firdaus yang selalu memberikan ide-ide segar untuk penulisan karya tulis ini. Kepada teman-teman kontri, terutama Fachri Aditya, Bias Berlio, M Rizky Pratama, Bayu Rooskandar yang selama proses penulisan karya tulis ini membantu meminjamkan laptop dan seluruh anak-anak kontri yang memberikan pengalaman yang berharga selama penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor.

Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2013


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I PENDAHULUAN……… 13

1.1 Latar Belakang……….. 13

1.2 Perumusan Masalah……….. 6

1.3 Tujuan Penelitian……….. 7

1.4 Manfaat Penelitian……… 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian……….... 7

II TINJAUAN PUSTAKA………. .8

2.1 Identifikasi usaha peternakan……… 8

2.2 Pendapatan Usaha Ternak………... 14

2.3 Analisis Location Quation (LQ)………. 17

2.4 Kapasitas Penambahan Populasi ternak Ruminansia (KPPTR)……….. 17

2.5 Penelitian Terdahulu………... 18

III KERANGKA PEMIKIRAN……… 20

IV METODE PENELITIAN………. 22

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian………. 22

4.2 Jenis dan Sumber Data……… 22

4.3 Penentuan Jumlah Sampel………...22

4.4 Metode Pengumpulan Data………. 23

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data………... 23

V GAMBARAN UMUM……….. 28

5.1 Karakteristik Wilayah Kecamatan Malangbong………. 28

5.2 Sosial Masyarakat Kabupaten Garut………... 32

VI HASIL DAN PEMBAHASAN……… 40

6.1 Wilayah Basis dan Non Basis Ternak Sapi Potong di Kabupaten Garut 40 6.2 Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong………. 42


(13)

6.3 Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia di Kecamatan

Malangbong………50

6.4 Kelompok Wilayah Pengembangan Ternak Sapi Potong Kabupaten Garut………...52

SIMPULAN DAN SARAN………... 56

DAFTAR PUSTAKA……… 58

LAMPIRAN………... 60


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Sasaran Populasi dan Produksi Tahun 2012 dan 2013 ... 2

2. Produksi Daging Sapi Tahun 2008 - 2012 dalam ton (5 Besar Provinsi) ... 3

3. Populasi Ternak (Ekor) di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 (10 Besar) ... 3

4. Jumlah Populasi dan Kapasitas Produksi Ternak Besar Kabupaten Garut Tahun 2011 ... 4

5. Populasi Sapi Potong (ekor) di Kabupaten Garut (3 Besar) ... 5

6. Nilai Konversi Hijauan Penghasil Rumput ... 26

7. Nilai Konversi Hijauan Hasil Sisa Pertanian ... 26

8. Proporsi Wilayah Menurut Ketinggian di Atas Permukaan Laut ... 29

9. Proporsi Wilayah Menurut Kemiringan Lahan ... 29

10.Proporsi Wilayah Menurut Penggunaan Lahan ... 30

11.Tabel Sumber daya yang ada di Kecamatan Malangbong ... 31

12.Jumlah ternak ruminansia Kabupaten Garut (2006-2011) ... 31

13.Jumlah populasi sapi potong di 3 kecamatan ... 32

14.Demografi di Kecamatan Malangbong ... 33

15.Karakteristik responden di daerah penelitian ... 34

16.Analisis usaha penggemukan ternak sapi potong (1 periode panen=120 hari) ... 38

17.Wilayah basis dan nilai LQ ≥ ternak sapi potong Kabupaten Garut ... 40

18.Wilayah non basis dengan nilai LQ < 1 ternak sapi potong Kabupaten Garut ... 41

19.Jenis dan Penyusutan Peralatan Usaha ternak Kandang Pribadi ... 43

20.Jenis dan Penyusutan Peralatan Usaha ternak Kandang Komunal ... 45

21.Penyusutan Kandang Pribadi dan Kandang Komunal ... 47

22.Biaya pemeliharaan ternak untuk 3 ekor sapi potong pada kandang pribadi (Panen 4 bulan) ... 47

23.Biaya pemeliharaan ternak untuk 3 ekor sapi potong pada kandang komunal (Panen 4 bulan) ... 48


(15)

24.Struktur pengeluaran biaya usaha ternak sapi potong (kandang

pribadi) ... 48

25.Struktur pengeluaran biaya usaha ternak sapi potong (kandang komunal) ... 49

26.Pendapatan bersih usaha ternak sapi potong di daerah penelitian ... 49

27.Populasi riil ternak ruminansia di Kecamatan Malangbong ... 50

28.Konversi hijauan pakan rumput di Kecamatan Malangbong ... 51

29.Konversi pakan jerami di Kecamatan Malangbong ... 51

30.Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Kecamatan Malangbong ... 52

31.Pengelompokan Wilayah Berdasarkan Nilai KPPTR dan LQ ... 53

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Bagan Kerangka Pemikiran ... 21

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta Lokasi dan Gambar Lokasi Penelitian ... 61

2. Kuesioner Penelitian ... 62

3. Daftar wawancara peternak sapi potong di kecamatan Malangbong ... 66

4. Nilai LQ Sapi Potong di Kabupaten Garut 2013 ... 67

5. Hasil Perhitungan Produktivitas Lahan Penghasil Jerami (Bahan Kering(ton/thn)) ... 68

6. Konversi Hijauan per kecamatan melalui Pendekatan Potensi Lahan ... 70

7. Nilai KPPTR Sapi Potong Kabupaten Garut Berdasarkan Sumberdaya Lahan ... 72


(16)

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengandalkan sektor pertanian dalam menjaga ketahanan pangan serta meningkatkan perekonomian. Sektor pertanian sangat penting perannya khususnya bagi negara-negara yang sedang berkembang. Menurut Mujiyanto 2001, Pentingnya peranan sektor pertanian ditunjukkan oleh beberapa faktor yaitu sektor pertanian memberikan andil yang besar terhadap pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB); sektor pertanian menyerap banyak tenaga kerja terutama tenaga kerja diperdesaan; sektor pertanian menyiapkan bahan kebutuhan pokok bagi konsumsi penduduk; sektor pertanian menyediakan bahan baku bagi kepentingan industri; dan sektor pertanian memiliki sifat kokoh terhadap goncangan-goncangan ekonomi yang terjadi.

Sektor pertanian memiliki subsektor peternakan merupakan bagian integral dari sistem pembangunan katahanan pangan. Peternakan menghasilkan produk hewani yang berkontribusi besar dalam penyediaan kebutuhan keluarga akan kalori dan protein hewani yang berperan dalam penambahan kualitas pangan dan asupan gizi masyarakat. Selain itu, sektor peternakan saat ini sudah mulai berkembang menjadi salah satu alternatif usaha yang menguntungkan yang memberikan kesempatan kerja bagi sebagian besar masyarakat. Oleh sebab itu, pengembangan peternakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian nasional, karena permintaan protein hewani akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan bergizi tinggi.

Berdasarkan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2012, konsumsi hasil ternak berupa daging segar di Indonesia tahun 2011 sebesar 5.110 kg/kapita/tahun atau mengalami kenaikan sebesar 5.38 persen bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 4.849 kg/kapita/tahun. Hal ini menunjukan kebutuhan daging terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk di


(17)

2

Indonesia yang sebesar 1.5 persen pertahun. Permintaan akan kebutuhan produk hewani diprediksi terus meningkat, sehingga menjadikan subsektor peternakan sebagai penghasil daging khususnya di usaha ternak sapi potong terlihat sangat berpotensial untuk dikembangkan oleh para peternak domestik dan tidak lagi mengandalkan impor daging.

Pemerintah mengupayakan usaha pengembangan peternakan domestik dari peternakan rakyat untuk mengurangi impor sapi potong dari luar negeri dengan mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang rencananya terlaksana pada tahun 2014. Konsumsi daging sapi saat ini sebesar 1.98 kg perkapita per tahun dengan total konsumsi 484.07 ribu ton. Ketersediaan populasi sapi potong pada tahun 2012 sebesar 15.99 juta ekor dan ditargetkan pada tahun 2013 akan meningkat menjadi sebesar 18.80 juta ekor untuk memenuhi permintaan konsumsi daging sapi yang diperkirakan akan mencapai 521.41 ribu ton. Sasaran populasi dan produksi daging dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Sasaran Populasi dan Produksi Tahun 2012 dan 2013

No. Uraian 2012 2013* Pertumbuhan

I Konsumsi

1 Perkapita per tahun (kg) 1.98 2.11 6.13%

2 Total konsumsi (000 ton) 484.07 521.41 7.71% II Produksi daging (000 ton) 484.05 521.41 7.72%

1 Produksi lokal 399.32 449.28 12.51%

2 Impor 84.74 72.13 -14.88%

Proporsi impor daging (%) : 17.51 13.83 -20.97% A Ex sapi bakalan (daging) 50.83 41.64 -18.07%

Setara ekor 282 596 213 925 -24.30%

B Daging 33.97 30.49 -10.25%

III Populasi (ekor) 17 946 114 18 806 907 4.80%

1 Sapi Potong 15 995 946 16 816 218 5.13%

2 Sapi Perah 630 326 661 353 4.92%

3 Kerbau 1 319 842 1 329 336 0.72%

Catatan: *) tahun 2013 adalah target capaian

Sumber: Musyawarah Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2013

Pengurangan impor sapi dan masih terbatasnya produksi daging sapi lokal membuat ketersediaan sapi di pasaran menipis. Akibatnya terjadi kelangkaan sehingga harga daging sapi tidak stabil dan cenderung naik. Perlu pengembangkan usaha ternak sapi potong agar mempunyai produktifitas yang tinggi untuk


(18)

3 memenuhi permintaan penduduk dengan mengoptimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimiliki, ditambah dengan sarana dan prasarana serta dukungan pemerintah. Pengembangan dapat dioptimalkan dari wilayah-wilayah yang memiliki potensi besar dalam sumber daya.

Tabel 2 Produksi Daging Sapi Tahun 2008 - 2012 dalam ton (5 Besar Provinsi)

Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012*

Jawa Timur 85 173 107 768 109 016 112 447 114 749 Jawa Barat 70 010 70 662 76 066 78 476 84 128 Jawa Tengah 45 736 48 340 51 001 60 322 62 462 Sumbar 16 026 18 322 20 442 20 287 20 898 Banten 25 882 18 728 20 326 25 806 27 695 INDONESIA 392 511 409 310 436 452 485 333 505 477 Catatan: *) Angka sementara / Preliminary figures

Sumber: Statistik Peternakan dan kesehatan hewan, 2012

Pengembangan usaha ternak perlu disebar ke wilayah potensial lainnya. Berdasarkan Tabel 2, Jawa Barat merupakan wilayah yang memiliki produksi daging sapi terbesar kedua setelah Jawa Timur. Jawa Barat menyediakan stok untuk kebutuhan daging sapi di Indonesia sebesar 16.64 persen. Jumlah populasi sapi di Jawa Barat terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan prospek pasar yang tinggi. Segmen konsumsinya terindikasi muncul dari kebutuhan daging sapi Jawa Barat yang terkenal rendah kolestrol, maupun bisnis rumah makan yang menyuguhkan menu khas daerah Jawa Barat.

Tabel 3 Populasi Ternak (Ekor) di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 (10 Besar)

Kabupaten/Kota Jumlah Sapi Potong

Tahun 2011

Kab. Tasikmalaya 50 662

Kab. Sumedang 41 614

Kab. Bandung 36 849

Kab. Ciamis 36 389

Kab. Bogor 33 220

Kab. Subang 31 933

Kab. Garut 28 378

Kab. Cianjur 28 023

Kab. Kuningan 26 406

Kab. Bekasi 25 477


(19)

4

Daerah penyediaan sapi potong di Jawa Barat cukup merata di berbagai sentra wilayah peternakan sapi potong. Kabupaten Tasikmalaya memiliki populasi tertinggi sebesar 50 662 ekor. Selain Tasikmalaya, Kabupaten lain juga memiliki populasi yang cukup banyak sebagai wilayah sebagai penyedia daging sapi yang salah satunya terdapat di Kabupaten Garut yaitu sebesar 28 378 ekor. (Tabel 3)

Kabupaten Garut telah dicangkan sebagai kawasan andalan bagi pengembangan agribisnis di Jawa Barat, karena secara geografis sebagian besar terdiri atas dataran rendah dan merupakan lahan kering dengan tanaman campuran dan perkebunan. Ketertarikan masyarakat Kabupaten Garut sangat tinggi terhadap sub-sektor peternakan, khususnya peternakan sapi potong (Sapi Simental, Hereford, Limousin, Brahman, Brangus, dan Peranakan Onggole). Hal ini disebabkan keuntungan dari beternak sapi potong cukup menjanjikan dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dari tanaman pangan yang cenderung semakin menurun. Selain itu, harga sarana dan prasarana produksi pertanian yang semakin meningkat dan ketersediaan lahan pertanian yang semakin berkurang membuat sub-sektor peternakan semakin menarik untuk diusahakan. Sapi potong diharapkan berkembang di wilayah Kabupaten Garut, mengingat potensi lahannya untuk pengembangan masih cukup tersedia dan populasi penduduknya belum sepadat di wilayah lainnya. Jumlah populasi dan kapasitas produksi ternak cukup menjanjikan sebagai salah satu usaha penyediaan stok daging nasional dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah Populasi dan Kapasitas Produksi Ternak Besar Kabupaten Garut Tahun 2011

Ternak Besar

Jumlah Populasi

(Ekor)

Produksi

Daging (Kg) Kulit (Lbr) Susu (Ltr)

Sapi Perah 21 858

2 604 252 96 400 21 631 469

Sapi Potong 28 378

Kerbau 17 372 807 367 3 260 0

Kuda 0 0 0 0

Domba 788 582 1 153 714 21 720 0

Kambing 81 923 350 051 0 0

Jumlah 938 113 4 915 384 121 380 21 631 469


(20)

5 Besar tingkat produksi pada tahun 2011 terhadap daging ternak besar menunjukkan bahwa permintaan konsumen dalam kebutuhan daging tinggi. Produksi daging paling besar didapat dari daging sapi sebesar 52.98 persen dari total produksi daging ternak besar di Kabupaten Garut. Produksi tersebut diperoleh oleh jumlah populasi yang besar di Kabupaten Garut. Beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Garut yang mempunyai populasi sapi potong yang tinggi berada di wilayah Kecamatan Malangbong, Cibalong dan Selaawi. Jumlah populasi dapat dilihat di Tabel 5.

Tabel 5 Populasi Sapi Potong (ekor) di Kabupaten Garut (3 Besar)

Kecamatan Sapi Potong

2009 2010 2011

Malangbong 2 011 1 341 9 336

Cibalong 1 487 1 405 3 020

Selaawi 3 379 2 963 2 518

Jumlah Total Seluruh Kecamatan 12 587 12 925 28 378

Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Garut,2012

Populasi sapi potong di Kabupaten Garut dalam kurun waktu 3 tahun terakhir berturut-turut mulai dari tahun 2009-2011 menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Menurut dinas peternakan Kabupaten Garut hal tersebut disebabkan antara lain: permintaan pasar terhadap komoditas daging sapi yang berasal dari ternak sapi potong cukup tinggi, potensi lahan sebagai ketersediaan sumber pakan serta budaya masyarakat sangat mendukung untuk pengembangan usaha ternak sapi potong, kesesuaian kondisi agroklimat, dukungan pemerintah daerah terhadap sektor peternakan cukup baik, dan potensi hewan ternak sapi potong ini tidak hanya digunakan sebagai pemenuh protein hewani saja tetapi memiliki banyak manfaat termasuk kotorannya dapat bernilai ekonomis. Berdasarkan informasi tersebut untuk memenuhi produksi nasional diperlukan Analisis Potensi Lahan Kecamatan Malangbong Guna Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong Di Kabupaten Garut untuk mengetahui wilayah basis usaha ternak sapi potong sebagai penyedia sapi potong, tingkat pendapatan peternak, serta keberlanjutan wilayah Kecamatan Malangbong sebagai potensi wilayah pengembangan Kabupaten Garut berbasiskan peternakan kerakyatan.


(21)

6

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan data Sensus Sapi 2011 atau Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau Tahun 2011, terdapat 6.4 juta peternak rakyat dengan populasi sapi nasional sebanyak 15.99 juta ekor. Sesuai data tersebut, stok sapi dirasa masih kurang untuk mencukupi kebutuhan daging karena di pasar domestik harga daging masih tinggi dengan alasan kelangkaan. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan wilayah mana yang menjadi basis dari ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di suatu wilayah domestik dalam penelitian ini yaitu di Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut.

Penyediaan sapi potong untuk memenuhi permintaan daging sapi salah satunya dapat dipenuhi dari pengembangan usaha peternakan sapi potong domestik. Hal tersebut dinilai dapat menjadi solusi dari permasalahan produksi domestik yang belum mampu memenuhi kebutuhan sebagian masyarakat yang masih mengandalkan importisasi sapi. Pengembangan peternakan yang berkelanjutan memerlukan pengetahuan besarnya keuntungan dan potensi yang terdapat di wilayah pengembangan serta ketersediaan hijauan makanan ternak yang sangat vital diperlukan dalam usaha ternak.

Pemenuhan akan kebutuhan daging sapi perlu pengembangan ternak sapi potong di daerah-daerah agar ketersediaan daging dapat tercukupi. Perlu pemahaman apakah daerah tersebut pantas dilakukan pengembangan atau tidak, maka dibutuhkan informasi dengan menganalisis aktivitas ekonomi peternak dan wilayah mana yang berpotensi.

Beberapa permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1 Apakah Kecamatan Malangbong merupakan wilayah basis pengembangan sapi potong di Kabupaten Garut?

2 Berapa besar tingkat biaya dan pendapatan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Malangbong?

3 Berapa nilai kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia di Kecamatan Malangbong?


(22)

7 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, penelitian dilakukan untuk mengkaji wilayah peternakan sapi potong di Kabupaten Garut, diantaranya : 1 Mengidentifikasi Kecamatan Malangbong terhadap wilayah basis

pengembangan sapi potong di Kabupaten Garut

2 Menghitung tingkat biaya dan pendapatan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Garut.

3 Mengidentifikasi nilai kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia di Kecamatan Malangbong

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitaian ini diharapkan dapat berguna bagi:

1 Para peneliti ternak sapi potong dalam pengembangan ternak sapi potong, 2 Pihak yang membutuhkan informasi tentang pengembangan ternak sapi

potong di Kecamatan Malangbong.

3 Pemerintah setempat dalam mengambil kebijakan dan keputusan dalam pengembangan ternak sapi potong.

4 Peternak atau investor yang ingin mengembangkan usaha peternakan sapi potong.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terbatas pada sebagian wilayah di Kabupaten Garut yang dianggap mewakili daerah penelitian. Konsentrasi penelitian ditujukan di Kecamatan Malangbong karena di daerah tersebut memiliki populasi sapi potong terbesar. Selain itu, di Kecamatan Malangbong akan dilihat pendapatan peternak sapi potong serta data-data hijauan yang ada. Data-data hijauan diambil melalui dinas-dinas terkait.


(23)

8

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi usaha peternakan

Menurut PP no. 16/1977 tentang usaha peternakan, di Indonesia terdapat dua macam usaha peternakan, yaitu perusahaan dan peternakan rakyat. Dalam penelitian ini akan lebih membahas peternakan rakyat. Peternakan rakyat adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang jumlah dan maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Dalam sensus pertanian 1993, digunakan batasan jumlah ternak pada peternakan rakyat untuk komoditas sapi dan kerbau sekurang-kurangnya 2 ekor.

Peternakan rakyat dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu dari sifatnya berupa usaha sambilan yang bertujuan menambah pendapatan rumah tangga dengan skala kecil berkedudukan individual kemudian di kelola secara tradisional. Peternakan sebagai usaha sambilan di mana peternakan masih merupakan pendukung dari pekerjaan tetap masyarakat dan hanya untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Biasanya pendapatan dari ternak tidak dominan, misalnya kurang dari 30 persen total pendapatan dari pekerjaannya (Soekardono 2009). 2.1.1 Sumberdaya Peternakan

Jenis-jenis dan jumlah ternak yang dapat dikembangkan tergantung pada potensi alam yang ada di suatu daerah. Potensi alam tersebut ditentukan oleh tersedianya tanah pertanian dan peternakan, kesuburan tanah, topografi, iklim, tersedianya air sepanjang tahun. Apabila suatu daerah menghasilkan makanan bagi ternak maka biasanya akan terdapat peternakan yang baik (Irfan 1992 dalam Elburdah 2008).

Dalam usahatani terdapat beberapa unsur yaitu lahan, tenaga kerja dan modal. Lahan merupakan basis untuk usaha peternakan atau merupakan faktor produksi sumber makanan ternak pokok berupa rumput, limbah ataupun produk utama pertanian (Suparini 2000 dalam Elburdah 2008).


(24)

9 2.1.2 Sapi Potong

Ada 3 bangsa sapi potong utama di Indonesia, yaitu sapi Ongole, sapi Bali, dan sapi Madura serta hasil-hasil persilangannya baik yang sudah diakui sebagai suatu bangsa atau galur, maupun yang belum. Sapi potong yang paling tinggi populasinya diantara ketiga bangsa tersebut adalah Ongole, khususnya Peranakan Ongole (PO), yang merupakan hasil grading up dari sapi Jawa (Pane 2003).

Sapi PO dan Ongole yang mempunyai tanda-tanda punuk besar dengan lipatan-lipatan kulit yang terdapat dibawah leher dan perut, telinga panjang menggantung, tanduk pendek, namun yang betina lebih panjang dari yang jantan, warna bulu putih atau putih kehitaman dengan warna kulit kuning. Penyebaran sapi PO hampir masuk ke seluruh Jawa, dan berbagai wilayah di Sumatera dan Sulawesi (Talib dan Siregar 1998). Menurut Sugeng (2000) bahwa sapi Ongole yang ada pada saat ini populasinya terbanyak diantara bangsa-bangsa sapi Indonesia. Sapi Ongole pertama kali didatangkan dari India ke Pulau Sumba oleh pemerintah Belanda pada tahun 1897.

Sapi potong merupakan salah satu sumberdaya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya dalam kehidupan masyarakat. Sapi potong adalah hewan sapi ternak yang dipelihara atau dikembangkan bertujuan untuk memproduksi daging. Sapi tipe pedaging bercirikan laju pertumbuhannya cepat hingga mencapai dewasa dan efisiensi pakannya tinggi (Santosa 2004).

2.1.3 Sistem Pemeliharaan Sapi Potong

Menurut Rahardi (2003) secara umum tipologi usaha peternakan yang dapat dipilih jika ingin terjun dalam usaha tersebut antara lain: (1) sebagai usaha sambilan dimana dikelola secara sambilan, tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha sambilan ini dibawah 30 persen dari total pendapatan keluarga; (2) Usaha peternakan sebagai cabang usaha, tingkat pendapatan yang biasa diperoleh dari usaha ternak sebagai cabang usaha sekitar 30–70 persen; (3) Usaha peternakan sebagai usaha pokok, tingkat pendapatan yang biasa diperoleh dari usaha ternak sebagai usaha pokok berkisar 70–100 persen; dan (4) Usaha peternakan sebagai usaha industri, usaha peternakan dikelola secara industri, tingkat pendapatan yang


(25)

10

diperoleh dari usaha ini mencapai 100 persen. Pemeliharaan ternak sapi oleh peternak dapat dikategorikan dalam tiga cara, yaitu:

1. Pemeliharaan intensif, dalam cara ini ternak dipelihara dalam kandang dan biasanya disebut kereman;

2. Pemeliharaan semi intensif, dalam cara ini ternak dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari; dan

3. Pemeliharaan ekstensif, dalam cara ini sapi dipelihara dengan dilepas pada lahan atau padang rumput yang luas.

2.1.4 Budidaya Ternak Sapi Potong 2.1.4.1 Perkandangan

Kandang berfungsi sebagai tempat berteduh atau berlindung dari hujan serta sebagai tempat istirahat yang nyaman. Kandang untuk sapi potong biasa dibuat dari bahan–bahan sederhana dan murah, tetapi harus dibuat dengan konstruksi yang cukup kuat (Murtidjo 1990).

Secara umum, terdapat dua tipe kandang yaitu: kandang individual dan kandang koloni. Tujuan kandang individu adalah memacu pertumbuhan sapi potong lebih pesat karena ruang gerak sapi terbatas. Ukuran kandang individu 2.5x1.5m. Kandang koloni dipergunakan bagi sapi bakalan dalam 1 periode penggemukan yang ditempatkan dalam satu kandang dengan luas minimum 6 m2. Kandang memiliki banyak fungsi yang mendukung suksesnya usaha sapi potong yaitu : 1) melindungi sapi potong dari gangguan cuaca, 2) tempat sapi beristirahat yang nyaman sekaligus aman dari gangguan hewan pengganggu atau predator, 3) sarana yang memudahkan penanganan ternak, terutama dalam pemberian pakan, minum, perawatan kesehatan, 4) penampung kotoran dan sisa-sisa pakan, 5) mengontrol ternak agar tidak merusak berbagai fasilitas yang tersebar di seluruh area peternakan (Soeprapto dan Abidin 2006).

Pemilihan lokasi kandang yang sesuai diantaranya dengan mempertimbangkan letak yang strategis, kondisi tanah dan kesesuaian iklim untuk ternak sapi. Peternakan sapi akan ideal jika dibangun tidak jauh dari areal persawahan, perladangan, perkebunan dan di lokasi tersebut kegiatan pertanian dan peternakan dapat saling menunjang. Ternak memanfaatkan sisa hasil


(26)

11 pertanian, sedangkan pertanian akan memanfaatkan limbah kandang seperti kotoran dan air urin ternak sebagai pupuk. Lokasi kandang sebaiknya cukup jauh dari tempat pemukiman agar bau dan limbah peternakan tidak mengganggu penghuni pemukiman. Jarak kandang dari tempat pemukiman minimum 50 m atau dengan membangun tembok atau pagar tanaman setinggi 3 m untuk meredam angin. Lokasi peternakan juga harus memiliki sumber air bersih yang akan digunakan sebagai sumber air minum, pembuatan pakan, membantu proses pengampasan dan membersihkan areal kandang (Sarwono 2001).

2.1.4.2 Pakan

Secara tradisional, sapi potong hanya membutuhkan hijauan makanan ternak sebagai pakan. Berbeda dengan tradisional, usaha penggemukan yang orientasi terhadap keuntungan harus memperhatikan penggunaan pakan konsentrat. Hal ini agar dapat dicapai keuntungan yang diperoleh dalam waktu yang relatif singkat (Abidin 2000).

Sugeng (2006) menyatakan bahan pakan ternak sapi pada pokoknya bisa digolongkan menjadi 3, yakni pakan hijauan, pakan penguat dan pakan tambahan. Idealnya makanan harus tersedia untuk sapi secara tidak terbatas. Bahan pakan hijauan secara umum diberikan sebanyak 10 persen dari berat badan dan pakan penguat cukup 1 persen dari berat badan.

Menurut Smith (1988) dalam Hermansyah (2006) bahwa idealnya, makanan harus tersedia untuk sapi secara tidak terbatas. Sebagai ancar–ancar kasar, seekor hewan dengan berat kira–kira 500 kg makan 20–24 kg rumput gajah segar tiap hari, atau jika hijauan kering diperlukan 4–5 kg tiap hari. Banyaknya makanan tiap ekor harus diperhatikan sehingga keperluannya tiap hari dapat ditambah atau dikurangi.

Menurut Santosa (2003) bahwa ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan untuk menata padang penggembalaan berdasarkan lamanya lahan dipergunakan sebagai sumber pakan ternak. Secara garis besar, penataan tersebut dapat dikelompokan menjadi 2 terus–menerus dipergunakan sebagai penghasil pakan ternak dan dipergunakan secara bergiliran dengan tanaman lain. Beberapa cara tata laksana padang rumput tersebut adalah sebagai berikut:


(27)

12

1. Padang rumput permanen

Padang rumput permanen adalah padang rumput yang terus-menerus dipergunakan sebagai sumber pakan ternak dalam jangka waktu yang cukup lama. Cara ini paling tepat apabila digunakan pada daerah yang bertopografi miring karena dapat mencegah terjadinya erosi tanah.

2. Padang rumput jangka pendek

Padang rumput jangka pendek hanya dipergunakan dalam jangka waktu dua atau lima tahun saja. Setelah masa pemakaian sebagai padang penggembalaan, lahan ini akan diolah dan digunakan untuk tanaman lain.

3. Padang rumput rotasi jangka panjang

Sistem padang rumput ini penggunaannya mencapai 6–10 tahun. Tata laksana penggunaannya perlu kombinasi dari kedua sistem diatas.

4. Padang rumput sementara

Padang rumput ini hanya dipergunakan sebagai sumber tanaman pakan untuk beberapa bulan saja atau paling lama satu tahun. Tujuan dari penggunaan sistem ini adalah sebagai sumber pakan ternak pada saat kritis, menjaga kesuburan tanah dalam sistem pergiliran tanaman, dan memperbaiki struktur tanah.

Pada dasarnya, sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat. Hal yang terpenting adalah pakan dapat memenuhi protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Sarwono 2001).

Menurut Santosa (2003) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya:

1. Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya;

2. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan jumlah yang mencukupi keperluan;

3. Bahan pakan harus mempunyai harga layak dan sedapat mungkin mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar;


(28)

13 4. Bahan pakan harus diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan yang demikian, usahakan agar bahan pakan tersebut hanya satu macam saja;

5. Bahan pakan harus dapat diganti oleh bahan pakan lain yang kandungan zat– zat makanannya hampir setara; dan

6. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakan perbedaan warna, bau, atau rasa dari keadaan normalnya.

2.1.4.3 Penanganan Kesehatan

Penyakit sapi sering berjangkit di Indonesia, baik yang menular maupun yang tak menular. Penyakit menular yang berjangkit pada umumnya menimbulkan kerugian besar bagi peternak. Penyakit menular merupakan ancaman bagi peternak, walaupun tidak langsung mematikan, akan tetapi bisa merusakan kesehatan ternak sapi berkepanjangan, mengurangi pertumbuhan, dan bahakan menghentikan pertumbuhan sama sekali (Sugeng 2006).

Beberapa penyakit yang biasa berjangkit di Indonesia antara lain : anthrax (radang limpa), surra, penyakit mulut dan kuku, penyakit radang paha (blackleg), brucellosis (keguguran menular), kuku busuk (foot rot), cacing hati, cacing perut, cacing paru-paru, bloat (Sugeng 2006). Usaha pencegahan penyakit yang dilakukan para peternak tidak menjamin ternak sapi terbebas dari penyakit.

Menurut Soeprapto dan Abidin (2006), upaya pencegahan penyakit pada ternak sapi dapat dilakukan dengan cara, yaitu:

1. Pemanfaatan kandang karantina

2. Menjaga kebersihan sapi bakalan beserta kandangnya 3. Vaksinasi berkala

4. Melarang impor sapi atau daging sapi dari negara yang tidak terbebas PMK 5. Pemberian obat cacing secara berkala

2.1.4.4 Modal

Modal adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru, dalam hal ini hasil pertanian. Modal petani yang berupa barang diluar tanah adalah ternak beserta kandang,


(29)

14

cangkul, bajak dan alat-alat pertanian lainnya, pupuk, bibit, hasil panen yang belum dijual, tanaman yang masih disawah dan lain-lain (Mubyarto 1989).

2.1.4.5 Pemasaran

Menurut Mubyarto (1994) Pemasaran atau distribusi diartikan sama dengan tataniaga yaitu suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Ditegaskan oleh Soekartawi (1993) bahwa pemasaran atau marketing pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen.

Menurut Rahardi (2003) bahwa pemasaran merupakan proses kegiatan atau aktivitas menyalurkan produk dari produsen ke konsumen. Peternak atau pengusaha yang telah menghasilkan produk peternakan menginginkan produknya sampai dan diterima oleh konsumen, agar produk tersebut sampai dan diterima oleh konsumen, peternak harus melalui beberapa kegiatan pemasaran. Peternak atau pengusaha yang telah berproduksi, selanjutnya akan melakukan kegiatan pemasaran produk. Kegiatan pemasaran peternakan terdiri dari pengumpulan informasi pasar, penyimpanan, pengangkutan dan penjualan. Peternak harus memahami pola pemasaran yang akan dijalankan, pola pemasaran merupakan jalur distribusi suatu produk dari produsen melalui beberapa pelaku pemasaran hingga sampai ke konsumen. Secara umum produk peternakan memiliki tiga pola pamasaran, yaitu pemasaran melalui koperasi, kemitraan dan umum.

2.2 Pendapatan Usaha Ternak

Menurut Soekardono (2009), proses produksi adalah proses memadukan beberapa input menjadi satu atau lebih output. Proses produksi dalam usaha ternak sapi potong merupakan pengorganisasian dari berberapa input antara lain sapi potong, pakan, tenaga kerja dan faktor lingkungan. Selain itu proses produksi juga mengangkut biaya-biaya yang dikeluarkan baik yang dibayar secara tunai atau diperhitungkan, disebut juga biaya produksi. Biaya produksi (input) yang dikeluarkan terdiri dari biaya tidaktetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap pada usaha ternak sapi potong antara lain: penyusutan peralatan


(30)

15 dan kandang, tenaga kerja tetap dan sewa lahan, sedangkan yang termasuk biaya variable adalah pembelian bakalan, pakan dan ongkos transportasi.

2.2.1 Biaya Produksi

Lipsey dkk. (1989) dalam Hadiwijoyo (2009) menerangkan bahwa biaya adalah faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output. Selanjutnya dikatakan biaya total adalah seluruh biaya yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Biaya total dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: (1) biaya tetap (fixed cost), dimana besar kecilnya biaya tetap tidak berubah dengan berubahnya output, sehingga besarnya biaya tetap pada saat output sama dengan satu atau seribu unit besarnya tetap sama; (2) Biaya variable (variable cost), dimana biaya ini selalu berubah dengan berubahnya output.

1. Biaya tetap (fixed cost)

Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan untuk beberapa kali proses produksi bahkan harus dikeluarkan walaupun tidak berlangsung proses produksi. Biaya tetap terdiri dari :

Biaya penyusutan

Biaya penyusutan terdiri dari penyusutan ternak, penyusutan kandang dan penyusutan peralatan. Perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode straight line, yaitu dengan rumus harga awal dikurangi harga akhir kemudian dibagi daya tahan.

Pajak dan Bunga modal

Pajak yaitu kewajiban yang harus dibayar oleh suatu usaha. Bungamodal dihitung dengan menjumlahkan modal tetap dan modal tidak tetap kemudian dikalikan bunga modal.

2. Biaya tidak tetap (variabel cost)

Biaya tidak tetap adalah biaya operasional artinya biaya yang berubah tergantung pada besar kecilnya produksi yang dihasilkan. Biaya tidak tetap meliputi biaya variabel yang teratur setiap hari seperti pakan dan biaya variabel yang tidak teratur setiap hari seperti obat-obatan, listrik, gaji, IB, perbaikan, transportasi dan lain-lain (Prawirokusumo 1990).


(31)

16

Mubyarto (1989) menambahkan bahwa dalam usaha sapi potong rakyat, faktor produksi tenaga kerja keluarga peternak merupakan sumbangan keluarga pada produksi peternakan dan tidak pernah dinilai dengan uang. Secara ekonomis, tenaga kerja merupakan suatu faktor produksi dan bagian dari biaya dalam suatu usaha. Usaha peternakan yang demikian selalu berskala kecil, bersifat sederhana dan tradisional, walaupun demikian pengalaman beternak yang cukup lama akan memberikan informasi pada tujuan beternak yaitu memberikan nilai tambah bagi kehidupannya.

2.2.2 Penerimaan

Jumlah total penerimaan dari suatu proses produksi dapat ditentukan dengan mengalikan jumlah hasil produksi dengan harga produk bersangkutan. Penerimaan adalah nilai yang diperoleh dari penjualan hasil produksi. Hernanto (1991) menyatakan bahwa penerimaan usaha tani (farm receipts) sebagai penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi jumlah penambahan investasi dan nilai penjualan hasil serta nilai penggunaan yang dikonsumsi rumah tangga.

2.2.3 Ukuran Pendapatan

Pendapatan usahatani merupakan selisih dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh (Hernanto1989). Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani, sama halnya dengan usaha ternak. Karena merupakan mengukur ukuran keuntungan usaha ternak yang dapat dipakai untuk membandingkan penampilan beberapa usaha ternak (Soekartawi 1986).

2.2.4 Return Cost Ratio

Analisis R/C adalah singkatan dari Revenue Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan antara penerimaan dan biaya. Secara teoritis bila rasio R/C = 1 artinya tidak untung dan tidak pula rugi (Soekartawi 1995). Rasio penerimaan dan biaya merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keuntungan relatif dari suatu usaha berdasarkan perhitungan finansial, dimana akan diuji


(32)

17 seberapa besar setiap rupiah dari biaya yang dikeluarkan yang dapat memberikan penerimaan.

2.2.5 Rentabilitas

Rentabilitas suatu usaha menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut atau dengan kata lain rentabilitas merupakan kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan laba selama periode tertentu (Riyanto 1984). Analisis rentabilitas pada dasarnya lebih penting daripada masalah laba karena laba yang besar bukan merupakan ukuran bahwa suatu usaha telah dikerjakan secara efisien. Efisien baru dapat diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh dengan kekayaan atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Tinggi rendahnya rentabilitas dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :

1. Volume penjualan

2. Efisiensi manajemen terutama dalam menekan biaya 3. Tenaga kerja

4. Jumlah modal

2.3 Analisis Location Quation (LQ)

Menurut Budiharsono (2001), metode Location Quation digunakan untuk mengetahui penggolongan suatu sektor wilayah ke dalam sektor basis dan non basis. Location Quation merupakan suatu perbandingan besarnya sektor atau kegiatan terhadap besarnya peranan sektor tersebut pada wilayah yang lebih luas. Apabila LQ suatu sektor bernilai lebih dari atau sama dengan satu (≥1), maka sektor tersebut merupakan sektor basis. Sedangkan bila LQ suatu sektor kurang dari satu (<1), maka sektor tersebut merupakan sektor non basis.

2.4 Kapasitas Penambahan Populasi ternak Ruminansia (KPPTR) Potensi wilayah dapat diketahui dengan metode pengembangan pemetaan potensi wilayah. Pendekatan perhitungan potensi wilayah dan pengembangan ternak ruminansia dapat dihitung dengan cara perhitungan Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (Ayuni 2005). Metode ini merujuk pada metode Nell


(33)

18

dan Rollinson (1974), digunakan untuk melihat seberapa besar suatu wilayah berpotensi untuk menambah populasi ternak ruminansia berdasarkan ketersediaan hijauan dan tenaga kerja di wilayah tersebut. Metode ini dapat lebih jelas dilihat pada bab metode peelitian.

2.5Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini terkait analisis potensi lahan untuk pengembangan peternakan rakyat sapi potong pernah dilakukan sebelumnya. Salah satunya Hardyastuti (2008) mengkaji tentang pengembangan peternakan dengan judul “Strategi Pengembangan Wilayah Kabupaten Grobogan Sebagai Sentra Produksi Sapi Potong”. Tujuan penelitian tersebut selain mengidentifikasi potensi dan kendala yang dimiliki oleh Kabupaten Grobogan, sehingga dapat direkomendasikan strategi yang tepat untuk usaha pengembangan wilayahnya sebagai sentra produksi sapi potong. Dengan alat analisis LQ menunjukkan bahwa Kabupaten Grobogan memiliki delapan kecamatan yang tingkat kepemilikan sapi potongnya relatif lebih baik dari yang lain (LQ>1). Hasil analisis KPPTR menunjukkan bahwa nilai total KPPTR efektif Kabupaten Grobogan -24.480 ST. Tetapi hal ini tidak berarti setiap wilayah di Kabupaten Grobogan memiliki nilai KPPTR efektif yang negatif.

Penelitian yang dilakukan oleh Hermansyah (2006) dengan judul “Kajian Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur” salah satu tujuannya adalah menganalisa tingkat pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta dengan melihat nilai Return Cost ratio (R/C rasio). Berdasrkan perhitungan menunjukan bahwa pemeliharaan ternak sapi potong oleh peternak masih bersifat tradisional. Kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong sebesar 11,11% dari total pendapatan keluarga atau sebesar Rp 1 054 020.26 per tahunnya. Nilai Return Cost ratio (R/C rasio) menunjukan angka 1,51. Hal ini menegaskan bahwa usaha ternak sapipotong dapat dikembangkan di daerah Kecamatan Agrabinta.


(34)

19 Lain halnya dengan Sutisna (2008) mengkaji wilayah pengembangan

dengan judul penelitian “Identifikasi Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Garut” menggunakan metode analisis Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR). Kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia sapi potong menunjukan masih mampu untuk menampung penambahan jumlah ternak sapi potong di setiap wilayah kecamatan-kecamatan Kabupaten Garut. Peningkatan jumlah ternak sapi potong, dapat menambah jumlah wilayah basis populasi sapi potong dan lebih menyebar ke seluruh wilayah kecamatan. Wilayah yang diprioritaskan yaitu, kecamatan Caringin, Bungbulang, Cikelet, Pameungpeuk, Cibalong, Cisompet, dan Malangbong karena termasuk wilayah basis populasi sapi potong dan mempunyai KPPTR positif atau mempunyai daya dukung dilihat dari potensi hijuannya untuk pakan sapi potong.

Ketiga penelitian tersebut memiliki kesamaan dalam menganalisis tujuan penelitian dalam tulisan ini. Jenis kegiatan yang dikaji dalam penelitian ini adalah potensi lahan dan aktivitas peternak sebagai acuan guna pengembangan ternak sapi potong. Lokasi penelitian berada di Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut dimana tempat yang memiliki populasi sapi potong terbanyak sehingga layak untuk diidentifikasi potensi lahannya


(35)

20

III

KERANGKA PEMIKIRAN

Kebutuhan pangan yang bergizi menjadikan kebutuhan daging sapi meningkat. Sehingga diperlukan peranan sektor peternakan dalam pengembangan suatu wilayah yang dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya peternakan dan pengelolaan sumberdaya alam dengan baik, serta dengan dukungan faktor-faktor lain seperti sumberdaya manusia, kelembagaan dan kebijakan pemerintah.

Usaha ternak tersebut dengan pengembangan usaha ternak sapi potong berguna untuk memenuhi kebutuhan daging sapi secara lokal maupun nasional. Usaha ternak salah satunya dapat dilihat dari budidaya yang dilakukan oleh peternak. Budidaya dilakukan di wilayah yang merupakan wilayah basis atau wilayah yang memiliki populasi sapi yang cukup banyak. Selanjutnya, budidaya ternak sapi potong dapat didukung oleh aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Budidaya yang terjadi yang dilakukan oleh peternak pada umumnya masih bersifat tradisional, dimana usaha ternak sapi potong masih dianggap sebagai usaha sambilan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian pengembangan peternakan, khususnya ternak sapi potong sebagai salah satu sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Identifikasi usaha ternak guna pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Garut dapat dilihat dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan di Kecamatan Malangbong sebagai sentra sapi potong. Usaha ternak sapi potong diawali dengan menganalisis LQ berguna mengetahui apakah wilayah Kecamatan Malangbong merupakan wilayah basis atau non basis dan melihat wilayah Kecamatan lainnya di Kabupaten Garut. Aspek ekonomi ini menganalisa tingkat pendapatan peternak dengan menentukan R/C rasio dan tingkat rentabilitasnya. Aspek lingkungan menganlisa daerah hijauan dalam upaya pengembangan wilayah ternak sapi potong di Kecamatan Malangbong berdasrkan sumber pakan. Selain Kecamatan Malangbong, akan dilihat di Kabupaten Garut, wilayah mana yang masih mampu menampung penambahan populasi ternak sapi potong dengan analisis KPPTR. Setelah itu dianalisa hubungan antara tingkat pendapatan dan daerah hijauan yang baik, hal ini dimaksudkan untuk menentukan keberlanjutan


(36)

21 pengembangan usaha ternak sapi potong di daerah tersebut. Bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran Usaha Peternakan Sapi

Wilayah Basis dan Non Basis

Aspek Ekonomi Aspek Lingkungan

Biaya Produksi :

- Biaya Tetap (Fixed Cost)

- Biaya tidak tetap (variabel cost)

Total Revenue:

Penjualan Ternak

Daerah Hijauan

Analisis Ekonomi (Pendapatan)

Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong

R/C Rasio Rentabilitas


(37)

22

IV

METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat selama bulan Maret-April 2013. Penetapan lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan rekomendasi dan pertimbangan bahwa di wilayah tersebut merupakan daerah sentra usaha peternakan sapi potong yang cukup menjanjikan.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara secara langsung dengan pembeli daging sapi (rata-rata pembelian) dan peternak sapi potong (biaya dan penerimaan). Data sekunder yang digunakan antara lain data-data yang terkait dengan daerah penelitian diperoleh dari studi pustaka dan literatur dari berbagai lembaga terkait seperti Dinas Perternakan, Badan Pusat Statistik, Perpustakaan LSI, Perpustakaan Daerah Kabupaten Garut, dan lembaga terkait lainnya. Data-data tersebut dapat untuk mengetahui keadaan umum daerah penelitian seperti letak dan luas daerah, kondisi lahan, dan populasi sapi potong.

4.3 Penentuan Jumlah Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode non-probability sampling yaitu snowball sampling. Menurut Prasetyo dan Jannah (2008), snowball sampling digunakan apabila peneliti tidak mempunyai informasi mengenai anggota populasi dan hanya memiliki satu nama anggota populasi. Karena bersifat homogen, peternak yang dipilih adalah peternak di daerah penelitian yang memelihara tenak sapi potong sebanyak 22 responden.


(38)

23 4.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam analisis ekonomi dan pengembangan usaha penggemukan ternak sapi potong di Kabupaten Garut dilakukan melalui wawancara, pengisian kuisioner, dan mengumpulkan data-data dari Badan Pusat Statistik.

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1 Analisis Deskriptif

Metode deskriptif menurut Whitney (1960) dalam Nazir (2003), merupakan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode deskriptif ini memiliki tujuan membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode deskriptif ini digunakan untuk menjawab beberapa tujuan penelitian yang akan dilakukan. Penjelasan secara deskriptif berdasarkan informasi dan data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung. 4.5.2 Analisis LQ

Metode LQ digunakan untuk menganalisis keadaan suatu wilayah apakah suatu wilayah tersebut merupakan sektor basis atau non basis (Budiharsono, 2001 dalam Sutisna, 2008), dalam hal ini terutama populasi ternak sapi potong di Kabupaten Garut. Metode LQ dirumuskan sebagai berikut:

LQ = (vi/vt)/(Vi/Vt) Keterangan:

vi = Populasi Sapi Potong Kecamatan vt = Jumlah Kepala Keluarga Kecamatan Vi = Populasi Sapi Potong Kabupaten Vt = Jumlah Kepala Keluarga Kabupaten

Apabila LQ suatu sektor bernilai lebih dari atau sama dengan 1 (≥ 1), maka sektor

tersebut merupakan sektor basis. Sedangkan bila LQ suatu sektor kurang dari 1 (< 1), maka sektor tersebut merupakan sektor non basis.


(39)

24

4.5.3 Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Ternak Sapi Potong

Analisis ekonomi digunakan untuk mengetahui besarnya biaya produksi, penerimaan, pendapatan, R/C rasio dan rentabilitas usaha peternakan sapi potong. Biaya total (total cost) adalah semua pengeluaran untuk proses produksi baik biaya tetap (fixed cost) maupun biaya tidak tetap (variabel cost). Penulisan secara matematis sebagai berikut:

TC = TFC + TVC (Prawirokusumo 1990)

Keterangan: TC = Total Cost (Rp/th) TFC = Total Fixed Cost (Rp/th) TVC = Total Variabel Cost (Rp/th) Tabel perhitungan biaya-biaya dalam usaha ternak

Uraian Jumlah

Biaya Variabel

Pakan ……

Obat-obatan ……

Perlengkapan

Air ...

Listrik ……

Transportasi ……

Biaya Tetap

Sewa Kandang ……

Penyusutan Kandang ……

Penyusutan Peralatan ……

Tenaga Kerja ……

Pembelian Bakalan ……

Total Biaya ……

Penerimaan (total revenue) adalah hasil yang diterima peternak dari penjualan output produksi. Penulisan secara matematis sebagai berikut:

TR = Pq x Q (Prawirokusumo 1990)

Keterangan: TR = Total Revenue (Rp)

Pq = Price of quantity / harga produk per satuan(Rp/kg) Q = Quantity / produksi (kg)

Tabel perhitungan penerimaan dari penjualan ternak Uraian

Bobot (kg)

Jumlah (ekor)

Harga (Rp)

Nilai Rata-rata

Penjualan Ternak Sapi ….. ….. ….. ……


(40)

25

Pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan peternak. Penulisan secara matematis yaitu:

P = TR – TC (Prawirokusumo 1990)

Keterangan: P = Pendapatan (Rp/th) TR = Total Revenue (Rp/th) TC = Total Cost (Rp/th)

Perhitungan R/C rasio dipergunakan untuk melihat efisien atau layak tidaknya usaha ternak sapi potong. Apabila nilai R/C rasio=1, maka usaha tersebut masih dapat dijalankan tetapi usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi. Jika R/C rasio > 1 maka usaha tersebut layak dijalankan. perhitungan R/C rasio dengan rumus sebagai berikut:

R/C = Revenue / Cost (Soekartawi, dkk, 1986)

Rentabilitas adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Rumus matematisnya adalah sebagai berikut:

R = x 100% (Riyanto 1984)

Keterangan : R = Rentabilitas (%) L = Laba (Rp/th) MU = Modal Usaha (Rp)

Tabel perhitungan keuntungan, R/C rasio dan rentabilitas

Uraian Nilai Rata-rata

Total Penerimaan (TR) ……. Total Biaya (TC) ……. Keuntungan (TR-TC) …….

R/C Rasio ……


(41)

26

4.5.4 Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia

Metode Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) merupakan suatu pendekatan untuk menunjukkan kemampuan atau kapasitas wilayah dalam penyediaan makanan ternak. Metode Nell dan Ro llinson (1974) merupakan metode langsung yang memperhitungkan setiap sumber hijauan. Dalam metode ini hijauan yang digunakan adalah hijauan yang berasal dari padang rumput permanen, sawah bera, tanah kering/tegalan, perkebunan dan hutan. Sumber hijauan makanan ternak juga didapatkan dari Hijauan Hasil Sisa Pertanian (HHSP/limbah pertanian). Limbah pertanian yang digunakan adalah jerami padi, jerami jagung, daun ubi jalar, daun ubi kayu, daun kacang kedelai dan daun kacang tanah. Produksi HHSP diperoleh dengan mengalikan masing-masing luas panen limbah pertanian dengan konversinya sehingga didapat hijauan asal limbah pertanian dalam satuan ton BK per tahun.

Tabel 6 Nilai Konversi Hijauan Penghasil Rumput Jenis Lahan Nilai Konversi

Sawah Bera 10% dari total persawahan Galangan Sawah 3% dari total persawahan

Tegalan/Kering semusim 1% dari total Tegalan/Kering semusim Kebun Campuran 5% dari total kebun campuran

Perkebunan 5% dari total perkebunan

Padang, Semak 15 ton/ha/tahun rata-rata produksi padang rumput

Hutan 5% dari total hutan

Tabel 7 Nilai Konversi Hijauan Hasil Sisa Pertanian

Jenis Jerami Nilai konversi HHSP

Padi Luas panen (ha) x 0.23 (ton/ha/thn)

Jagung Luas panen (ha) x 0.80 (ton/ha/thn) Ubi Kayu Luas panen (ha) x 0.26 (ton/ha/thn) Ubi Jalar Luas panen (ha) x 1.20 (ton/ha/thn) Kedelai Luas panen (ha) x 1.07 (ton/ha/thn) Kacang tanah Luas panen (ha) x 1.44 (ton/ha/thn)

Hijauan yang tersedia diperoleh dengan menjumlahkan hijauan rumput dengan limbah pertanian dalam satuan ton BK per tahun. Kapasitas tampung suatu wilayah dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:


(42)

27 KT (ST/tahun)

=

Keterangan :

6.29 = kebutuhan bahan kering ternak per ekor/hari 365 = banyaknya hari dalam 1 tahun

Kapasitas tampung yang diperoleh dalam ST per tahun akan digunakan dalam menghitung nilai Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) dengan rumus sebagai berikut :

KPPTR (ST/tahun) = KT – Populasi Riil

Populasi riil ternak yang didapatkan dari penjumlahan total ternak ruminansia dalam ST, dengan ketentuan :

1. Untuk sapi, 1 ekor sapi = 0.7 ST, atau Dewasa (umur >2 thn) = 1 ST

Muda (umur 1-2 thn) = 0.5 ST Dara (umur <1) = 0.25 ST 2. Untuk kerbau, 1 ekor kerbau = 0.8 ST

3. Untuk kambing dan domba, 1 ekor kambing/domba = 0.14 ST

Definisi Istilah

1. Sumberdaya Peternakan adalah segala sesuatu (faktor produksi) yang digunakan dalam usaha ternak sapi potong yang meliputi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya lingkungan pendukung.

2. KPPTR adalah kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia, yaitu suatu pendekatan untuk menunjukan kemampuan atau kapasitas wilayah dalam penyediaan makanan ternak serta melihat apakah dari ketersediaan hijauan dan tenaga kerja masih memungkinkan untuk dilakukan penambahan ternak. 3. Location quation adalah koefisien yang akan menunjukan apakah suatu


(43)

28

V

GAMBARAN UMUM

5.1 Karakteristik Wilayah Kecamatan Malangbong 5.1.1 Wilayah Administratif Kecamatan Malangbong

Kecamatan Malangbong terletak di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah sekitar 9 260.2 ha. Secara geografis Kecamatan Malangbong berbatasan dengan wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sumedang,

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya,

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibatu dan Kecamatan Kersamanah,

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Selaawi.

Kecamatan Malangbong tahun 2011 terdiri dari 24 desa atau kelurahan yang terbagi dalam 70 dusun, 136 Rukun Warga RW/RK dan sebanyak 631 Rukun Tetangga. Kelurahan Malangbong merupakan desa/kelurahan dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) paling banyak sebanyak 32 RT dan Rukun Warga (RW) sebanyak 8 RW. Kecamatan dengan RT paling sedikit adalah desa Sakawayana dengan jumlah RT sebanyak 8 RT dan 6 RW. Desa yang menjadi lokasi penelitian untuk mengamati peternak terdapat di desa Mekarasih. Di desa Mekarasih memiliki sumberdaya lahan dan hijauan pakan ternak yang cukup memadai untuk beternak sapi potong. Akibatnya di desa Mekarasih juga terdapat perusahaan besar sapi potong yaitu PT. Citra Agro Buana Semesta.

5.1.2 Proporsi Wilayah Kecamatan Malangbong

Kecamatan Malangbong terletak di wilayah sebelah utara Kabupaten Garut sebagian besar desa-desanya terletak didaerah lereng atau punggung bukit. Kecamatan Malangbong memiliki iklim tropis, curah hujan yang cukup tinggi, dengan rata-rata curah hujan perbulan 13.85 hari. Hari hujan yang banyak dan lahan yang subur serta ditunjang dengan banyaknya aliran sungai baik, hal ini menyebabkan sebagian besar dari luas wilayahnya dipergunakan untuk lahan pertanian.


(44)

29 Kecamatan Malangbong memiliki ketinggian wilayah yang berada di dataran tinggi berkisar antara 500 - 1 700 meter dari permukaan air laut. Luas wilayah paling besar yang berada pada ketinggian berkisar antara 500 sampai 1000 mdpl sebesar 70 persen. Sisanya 30 persen wilayah Kecamatan Malangbong berada pada ketinggian diatas 1000 mdpl. Proporsi wilayah berdasarkan ketinggian di Kecamatan Malangbong dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Proporsi Wilayah Menurut Ketinggian di Atas Permukaan Laut

Ketinggian Proporsi

0-25 mdpl 0%

25-100 mdpl 0%

100-500 mdpl 0%

500-1000 mdpl 70%

> 1000 mdpl 30%

Sumber: Profil Kecamatan Malangbong 2011

Kemiringan di wilayah Kecamatan Malangbong cukup curam dan terjal. Persentase kemiringan yang berada sekitar 0-2 persen sebesar 16 persen dan 15-40 sebesar 16 persen. Rata-rata kemiringan di Kecamatan Malangbong berkisar 2-5 persen tidak terlalu curam sehingga pada wilayah ini bisa digunakan untuk lahan pertanian. Proporsi wilayah menurut kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Proporsi Wilayah Menurut Kemiringan Lahan

Kemiringan Proporsi

0-2 % 16%

2-5 % 36%

15-40 % 16%

> 40 % 33%

Sumber: Profil Kecamatan Malangbong 2011

Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Malangbong didominasi oleh kegiatan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Luas lahan di Kabupaten Garut menurut penggunaannya terdiri atas tegalan/kering semusim sebesar 30 persen yang merupakan proporsi terbesar. Luas lahan persawahan memiliki proporsi terbesar kedua yaitu sebesar 24 persen. Penggunaan wilayah lainnya yaitu kebun campuran sebesar 18 persen, hutan sebesar 14 persen dan perkampungan 12 persen. Rincian proporsi penggunaan lahan di Kecamatan Malangbong dapat dilihat pada Tabel 10.


(45)

30

Tabel 10 Proporsi Wilayah Menurut Penggunaan Lahan

Penggunaan Proporsi

Perkampungan 12%

Industri 0%

Pertambangan 0%

Persawahan 24%

Tegalan/Kering Semusim 30%

Kebun Campuran 18%

Perkebunan 0%

Padang Semak 0%

Hutan 14%

Perairan Darat 0%

Lain-lain 2%

Sumber: Profil Kecamatan Malangbong 2011

5.1.3 Komoditas Unggulan Kecamatan Malangbong

Sektor pertanian di Kecamatan Malangbong merupakan sektor yang sangat dominan, oleh karena itu kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi berpihak pada pembangunan perekonomian rakyat terutama di daerah pedesaan guna meningkatkan perekonomian rakyat petani. Salah satu sektor pertanian yang perlu dikembangkan adalah peternakan. Peternakan di Kecamatan Malangbong cukup mempunyai potensi untuk dikembangkan karena dilihat dari wilayahnya cukup untuk mendukung perkembangan peternakan, kemudian sumberdaya manusia yang dimiliki cukup melimpah untuk mengelola peternakan yang dikembangkan serta didukung kebijakan pemerintah dalam pengembangan peternakan .

Kecamatan Malangbong memiliki potensi untuk mengembangkan komoditas unggulan. Komoditas pangan, sayuran, buah-buahan, perkebunan, tersebar di beberapa wilayah. Kecamatan Malangbong memiliki komoditas unggulan pertanian berupa padi, petai, ubi kayu, sawo, melinjo, pisang dan jagung. Kemudian cengkeh, kopi, kunir dan teh menjadi unggulan komoditas perkebunan. Beberapa komoditas unggulan yang komoditas peternakan di Kecamatan Malangbong yaitu domba, sapi potong dan sapi perah. Komoditas-komoditas tersebut memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah Kecamatan Malangbong khususnya dan Kabupaten Garut umumnya. Sektor sumberdaya yang ada di Kecamatan Malangbong dapat dilihat pada Tabel 11.


(46)

31 Tabel 11 Tabel Sumber daya yang ada di Kecamatan Malangbong

Sektor Uraian

Pertanian Padi, Petai, Ubi Kayu, Sawo, Melinjo,

Pisang, Jagung

Peternakan Ternak Besar = 14 867

Unggas = 97 250

Kehutanan -

Perkebunan Cengkeh, Kopi, Kunir, The

Kelautan -

Pertambangan Kaolin

Sumber: Profil Kecamatan Malangbong 2011

Peternakan di Kecamatan Malangbong mempunyai potensi untuk dikembangkan karena didukung sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia yang baik untuk mengelola peternakan. Jumlah populasi ternak di Kecamatan Malangbong berperan besar terhadap jumlah peternakan di Kabupaten Garut sehingga perkembangan ternak dari tahun ke tahun terus meningkat. Populasi dan perkembangan ternak ruminansia di Kabupaten Garut dari tahun 2006-2011 disajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah ternak ruminansia Kabupaten Garut (2006-2011) Jenis

Ternak

Jumlah Ternak (ekor) Perkem

bangan (%/thn)

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Sapi

Potong 8 566 11 633 12 099 12 587 12 925 28 378 166.09 Sapi

Perah 14 157 15 297 16 197 16 637 17 302 21 858 46.98 Kerbau 17 425 15 872 12 392 9 564 9 564 17 372 27.98 Domba 416 158 509 025 589 676 601 469 802 522 788 582 71.85 Kambing 73 122 75 193 76 846 78 315 75 481 81 923 11.86

Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kab. Garut, 2012

Perkembangan lima jenis ternak ruminansia pada Tabel 11 menunjukan bahwa perkembangan ternak sapi potong memiliki perkembangan yang paling cepat sebesar 166.09 persen per tahun, sedangkan domba memiliki perkembangan sebesar 71.85 persen per tahun, dan yang paling rendah perkembangannya adalah ternak ruminansia kambing yaitu sebesar 11.86 persen per tahun.

Kecamatan malangbong terletak di wilayah bagian utara Kabupaten Garut. Kecamatan Malangbong memiliki luas wilayah sebesar 9 260 ha. Lokasi penelitian untuk mengamati peternak berlangsung di Kecamatan Malangbong


(1)

70

Lampiran 6 Konversi Hijauan per kecamatan melalui Pendekatan Potensi Lahan

No. Kecamatan

Luas Lahan (Ha) Produksi Hijauan (ton BK/tahun)

Asumsi Produksi Hijauan (ton BK/tahun) Persawahan Tegalan/ Kering semusim Kebun

Campuran Perkebunan

Padang,

Semak Hutan

Sawah Bera

Galangan

Sawah Tegalan/ Kering semusim

Kebun

Campuran Perkebunan

Padang,

Semak Hutan

10% 3% 1% 5% 5% 15 5%

1 Cisewu 664 8962 2,581.00 0 214 2,531.00 996 298.8 1344.3 1935.75 0 3210 1898.25 9683.1

2 Caringin 1473 1216 1,772.00 0 454 3,437.00 2209.5 662.85 182.4 1329 0 6810 2577.75 13771.5 3 Talegong 1078 996 2,419.00 569 4 3,472.00 1617 485.1 149.4 1814.25 426.75 60 2604 7156.5 4 Bungbulang 3659 976 1,545.00 431 1,758.00 4,623.00 5488.5 1646.55 146.4 1158.75 323.25 26370 3467.25 38600.7

5 Mekarmukti 144 2805 1,562.89 0 0 0 216 64.8 420.75 1172.1675 0 0 0 1873.7175

6 Pamulihan 207 322 641 1,288.00 363 9,625.00 310.5 93.15 48.3 480.75 966 5445 7218.75 14562.45 7 Pakenjeng 1785 4481 5,990.00 994 101 4,510.00 2677.5 803.25 672.15 4492.5 745.5 1515 3382.5 14288.4 8 Cikelet 1042.89 3173 2,322.00 4,407.00 845 4,436.00 1564.335 469.3005 475.95 1741.5 3305.25 12675 3327 23558.336

9 Pameungpeuk 1125 466 758 0 480 704 1687.5 506.25 69.9 568.5 0 7200 528 10560.15

10 Cibalong 885 1165 1,058.00 6,422.00 177 7,641.00 1327.5 398.25 174.75 793.5 4816.5 2655 5730.75 15896.25 11 Cisompet 1179 1425 2,528.00 4,408.00 862 4,817.00 1768.5 530.55 213.75 1896 3306 12930 3612.75 24257.55

12 Peundeuy 852 1057 729 0 305 1,933.00 1278 383.4 158.55 546.75 0 4575 1449.75 8391.45

13 Singajaya 1507 1574 1,597.00 105 25 953 2260.5 678.15 236.1 1197.75 78.75 375 714.75 5541

14 Cihurip 214 1224 798.58 0 150 809 321 96.3 183.6 598.935 0 2250 606.75 4056.585

15 Cikajang 218 901 1,771.00 4,261.00 16 3,218.00 327 98.1 135.15 1328.25 3195.75 240 2413.5 7737.75 16 Banjarwangi 1687 1788 2,861.00 1,599.00 93 2,779.00 2530.5 759.15 268.2 2145.75 1199.25 1395 2084.25 10382.1 17 Cilawu 1486 570 1,910.00 1,521.00 20 1,085.00 2229 668.7 85.5 1432.5 1140.75 300 813.75 6670.2 18 Bayongbong 815.92 439 762.98 0 0 1,715.00 1223.88 367.164 65.85 572.235 0 0 1286.25 3515.379

19 Cigedug 674 8 458 245 0 876 1011 303.3 1.2 343.5 183.75 0 657 2499.75


(2)

71

20 Cisurupan 1965.5 1073 1,547.00 97 0 1,967.00 2948.25 884.475 160.95 1160.25 72.75 0 1475.25 6701.925

21 Sukaresmi 797 670 684 0 28 507 1195.5 358.65 100.5 513 0 420 380.25 2967.9

22 Samarang 1677 637 1,019.00 0 7 1,011.00 2515.5 754.65 95.55 764.25 0 105 758.25 4993.2

23 Pasirwangi 1464 738 1,158.00 0 0 319 2196 658.8 110.7 868.5 0 0 239.25 4073.25

24 Tarogong

Kidul 337 38 0 224 0 505.5 151.65 0 28.5 0 3360 0 4045.65

25 Tarogong

Kaler 1055.5 824 388.5 0 0 547 1583.25 474.975 123.6 291.375 0 0 410.25 2883.45

26 Garut Kota 504 174 303 0 27 394 756 226.8 26.1 227.25 0 405 295.5 1936.65

27 Karangpawitan 1818 834 818 0 0 391 2727 818.1 125.1 613.5 0 0 293.25 4576.95

28 Wanaraja 474 43 1,935.00 0 0 87 711 213.3 6.45 1451.25 0 0 65.25 2447.25

29 Sucinaraja 492 298 1,342.66 0 0 417 738 221.4 44.7 1006.995 0 0 312.75 2323.845

30 Pangatikan 533 36 384 0 0 168 799.5 239.85 5.4 288 0 0 126 1458.75

31 Sukawening 1483 396 389 0 0 636 2224.5 667.35 59.4 291.75 0 0 477 3720

32 Karangtengah 670 419 225 0 0 230 1005 301.5 62.85 168.75 0 0 172.5 1710.6

33 Banyuresmi 955 821.98 800.69 0 214 307 1432.5 429.75 123.297 600.5175 0 3210 230.25 6026.3145

34 Leles 967 2513 879 0 0 572 1450.5 435.15 376.95 659.25 0 0 429 3350.85

35 Leuwigoong 411 232 72 0 0 218 616.5 184.95 34.8 54 0 0 163.5 1053.75

36 Cibatu 1232 400 809 0 4 637 1848 554.4 60 606.75 0 60 477.75 3606.9

37 Kersamanah 165 172 223 0 0 227 247.5 74.25 25.8 167.25 0 0 170.25 685.05

38 Cibiuk 127.97 448 422 0 111 111 191.955 57.5865 67.2 316.5 0 1665 83.25 2381.4915

39 Kadungora 1322 332 446 0 15 532 1983 594.9 49.8 334.5 0 225 399 3586.2

40 Bl. Limbangan 1887.5 1518 1,698.50 0 11 1,158.00 2831.25 849.375 227.7 1273.875 0 165 868.5 6215.7

41 Selaawi 974 207 995 0 18 310 1461 438.3 31.05 746.25 0 270 232.5 3179.1

42 Malangbong 2157 2717 1,591.00 0 36 1,289.00 3235.5 970.65 407.55 1193.25 0 540 966.75 7313.7 Total 44164.28 49050.98 52231.8 26347 6562 71199 66246.42 19873.926 7357.647 39173.85 19760.25 98430 53399.25 304241.34 Max 304241.34


(3)

72

Lampiran 7 Nilai KPPTR Sapi Potong Kabupaten Garut Berdasarkan Sumberdaya

Lahan

No.

Kecamatan

Jerami

(ton/thn)

Hijauan

(ton/thn)

BK

(ton/thn)

KTTR

Maks

Populasi

Riil (ST)

KPPTR

Efektif

1

Cisewu

2338.25

9683.10

12021.35

5236.12

3845

1391

2

Caringin

4716.97

13771.50

18488.47

8053.00

3145

4908

3

Talegong

6516.34

7156.50

13672.84

5955.46

2667

3288

4

Bungbulang

4990.36

38600.70

43591.06

18986.89

6541

12446

5

Mekarmukti

2771.65

1873.72

4645.37

2023.38

3227

-1203

6

Pamulihan

3723.55

14562.45

18286.00

7964.81

2559

5406

7

Pakenjeng

2851.38

14288.40

17139.78

7465.55

3480

3986

8

Cikelet

5425.83

23558.34

28984.17

12624.59

3889

8736

9

Pameungpeuk

3423.27

10560.15

13983.42

6090.74

4075

2016

10

Cibalong

8046.61

15896.25

23942.86

10428.76

5778

4650

11

Cisompet

1589.47

24257.55

25847.02

11258.15

4443

6816

12

Peundeuy

1243.94

8391.45

9635.39

4196.87

2924

1273

13

Singajaya

730.74

5541.00

6271.74

2731.77

4044

-1312

14

Cihurip

3046.45

4056.59

7103.04

3093.86

2150

944

15

Cikajang

1608.03

7737.75

9345.78

4070.73

8894

-4823

16

Banjarwangi

3668.40

10382.10

14050.50

6119.96

3454

2665

17

Cilawu

4198.56

6670.20

10868.76

4734.09

8935

-4201

18

Bayongbong

4815.29

3515.38

8330.67

3628.58

8158

-4530

19

Cigedug

483.74

2499.75

2983.49

1299.51

7967

-6668

20

Cisurupan

1233.31

6701.93

7935.24

3456.34

9036

-5580

21

Sukaresmi

1194.52

2967.90

4162.42

1813.02

2756

-943

22

Samarang

3027.95

4993.20

8021.15

3493.76

3244

250

23

Pasirwangi

1477.11

4073.25

5550.36

2417.56

3282

-864

24

Tarogong Kidul

2212.96

4045.65

6258.61

2726.05

2203

523

25

Tarogong Kaler

1069.32

2883.45

3952.77

1721.70

2531

-810

26

Garut Kota

2464.09

1936.65

4400.74

1916.82

3279

-1362

27

Karangpawitan

3658.32

4576.95

8235.27

3587.02

3981

-394

28

Wanaraja

2238.32

2447.25

4685.57

2040.89

3624

-1583

29

Sucinaraja

1839.19

2323.85

4163.04

1813.29

3101

-1288

30

Pangatikan

2718.98

1458.75

4177.73

1819.69

2599

-779

31

Sukawening

3315.23

3720.00

7035.23

3064.32

2837

228

32

Karangtengah

2899.18

1710.60

4609.78

2007.88

1880

128

33

Banyuresmi

5850.46

6026.31

11876.77

5173.15

3655

1519

34

Leles

4322.57

3350.85

7673.42

3342.30

3078

265

35

Leuwigoong

3092.78

1053.75

4146.53

1806.10

1634

172

36

Cibatu

2990.40

3606.90

6597.30

2873.58

3396

-523

37

Kersamanah

1573.27

685.05

2258.32

983.65

2198

-1214

38

Cibiuk

2802.88

2381.49

5184.37

2258.15

1635

623

39

Kadungora

3920.31

3586.20

7506.51

3269.60

3689

-419

40

Bl. Limbangan

3165.48

6215.70

9381.18

4086.15

4272

-186

41

Selaawi

3745.73

3179.10

6924.83

3016.24

3421

-404

42

Malangbong

5456.21

7313.70

12769.91

5562.17

8713

-3151


(4)

73

Lampiran 8 Dokumentasi penelitian


(5)

74

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1991 di Sragen, Jawa Tengah.

Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Joko

Suwarno dan Ibu Suharni. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2003 di SDN

Pesanggrahan 01 Pagi Jakarta Selatan, pendidikan lanjutan menengah pertama

diselesaikan pada tahun 2006 di SMP Negeri 235 Jakarta dan pendidikan lanjutan

menengah atas diselesaikan pada tahun 2009 di SMA Negeri 47 Jakarta.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa Institut Pertanian

Bogor (USMI) pada tahun 2009, selama mengikuti pendidikan, penulis aktif

dalam kegiatan organisasi REESA (Resourse Environmental of Economics

Student Assosiation) pada tahun 2010

2011 sebagai staf Enterpreneurship,

sedangkan pada tahun 2011

2012 sebagai Ketua Club Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan.


(6)