untuk menjalankan pekerjaaan dan tugas yang lebih tinggi, serta memiliki kepuasan batin yang tinggi untuk menikmati suatu pekerjaan. Sebaliknya,
seseorang yang memiliki self esteem rendah mungkin hanya akan puas berada pada pekerjaan-pekerjaan pada tingkat yang rendah, serta kurang
percaya pada kemampuan diri sendiri Nurainun dkk, 2012. Pada hubungannya dengan budgetary slack pada penganggaran
partisipatif, manajer bawah penyusun anggaran yang memiliki self esteem yang tinggi diharapkan dapat menjadi internal control bagi dirinya sendiri
untuk mengurangi atau bahkan menghindari slack pada anggaran yang diusulkan karena mereka memandang bahwa pribadi mereka begitu
penting, berharga, dan berpengaruh dalam perusahaan. Dengan perasaan tersebut, maka akan timbul kepercayaan diri yang tinggi atas pekerjaan
yang dilakukan karena memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukan akan mencapai keberhasilan dan menciptakan hasil yang optimal. Slack
tidak akan diciptakan karena mereka yakin bahwa mereka dapat mencapai target anggaran yang diusulkan sesuai dengan kemampuan kinerja terbaik
yang mereka yakini.
2. Pengaruh Etika terhadap Budgetary Slack
Etika dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan atau norma yang ketetapannya diatur dalam kaidah kehidupan bermasyarakat yang
berfungsi sebagai internal control dalam diri setiap manusia untuk menjalankan dan menyikapi berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat atau profesi.
Menurut teori keagenan, pertimbangan etis biasanya muncul dalam situasi adanya konflik self interest dan beban moral bagi pihak lain.
Pertimbangan etis secara keseluruhan ditentukan oleh karakteristik situasi dan individual yang berkembang dari norma sosial internal. Agen yang
termotivasi secara etis, melakuak self control yang efektif Rutledge dan Karim 1999; Steven 2002.
Dalam hubungannya dengan budgetary slack pada penganggaran partisipatif, manajer bawah penyusun anggaran yang memiliki etika yang
tinggi diharapkan memiliki self control yang kuat untuk tidak melakukan senjangan anggaran karena ia menyadari bahwa secara etika, hal tersebut
merupakan perbuatan yang tidak etis, meskipun ia tahu bahwa hal tersebut akan menguntungkan bagi dirinya sendiri, tetapi pertimbangan
etisnya akan lebih memilih untuk bersikap jujur dan tidak melakukan slack pada anggaran yang disusun.
3. Pengaruh Skema Kompensasi Slack Inducing terhadap Budgetary
Slack
Menurut Riswandari 2004, slack inducing pay scheme atau fixed pay plus bonus merupakan skema kompensasi dimana pembayaran
kompensasi adalah berupa gaji tetap ditambah bonus. Bonus didapatkan apabila bawahan bisa mencapai hasil kinerja aktual yang melebihi target
anggaran yang diusulkannya. Namun apabila hasil kinerja aktualnya sama dengan atau kurang dari target anggaran yang diusulkan, maka bawahan
hanya menerima kompensasi berupa gaji tetap saja dan tanpa denda penalty.
Dalam hubungannya dengan budgetary slack pada penganggaran partisipatif, apabila perusahaan menerapkan metode slack inducing dalam
memotivasi karyawannya untuk mencapai hasil kinerja yang maksimal, maka dalam menyusun anggaran secara partisipatif, manajer bawah
penyusun anggaran akan cenderung merahasiakan informasi privat mengenai kinerja aktual yang sebenarnya dimiliki untuk menciptakan
slack pada anggaran yang diusulkan karena termotivasi untuk mendapatkan bonus apabila hasil kinerja aktualnya melebihi target
anggaran yang diusulkan. Terlebih apabila hasil kinerja aktualnya sama dengan atau kurang dari anggaran yang diusulkan mereka tidak akan
mendapatkam denda, maka mereka akan cenderung berpikiran bahwa tidak ada salahnya mengusulkan anggaran dibawah estimasi kinerja
terbaiknya, karena dengan begitu mereka merasa akan lebih mudah untuk mencapai target anggaran tersebut pada kinerja aktualnya dan berpeluang
lebih besar untuk mendapatkan bonus dari perusahaan. 4. Pengaruh Skema Kompensasi
Truth Inducing terhadap Budgetary Slack
Menurut Riswandari 2004, truth inducing pay scheme merupakan skema kompensasi dimana perusahaan hanya membayar kompensasi pada
tingkat yang sudah ditetapkan. Apabila perusahaan menggunakan bentuk skema pembayaran kompensasi menggunakan truth inducing, maka
bawahan akan cenderung mengakui produktivitas yang sebenarnya dapat mereka capai karena perusahaan hanya membayar pada level yang telah
ditetapkan saja. Apabila bawahan dapat menghasilkan lebih atau kurang dari level yang telah ditetapkan perusahaan, maka perusahaan tidak akan
memberikan bonus dan akan memberikan denda penalty. Penelitian yang berkaitan dengan skema kompensasi truth inducing
pertama kali diteliti oleh Weitzman 1976 dalam Kaplan dan Atkinson 1998 dengan menggunakan sistem “The New Soviet Incentive Model”,
yaitu skema pembayaran sebagai standar dalam mengungkapkan kinerja potensial yang dapat dicapai bawahan. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa bawahan akan cenderung melakukan senjangan anggaran lebih rendah jika atasan memberi kompensasi dengan skema
truth inducing. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Ketika perusahaan
menetapkan skema kompensasi truth inducing, bawahan akan memperkirakan dengan tepat dan sangat hati-hati untuk menentukan
berapa besarnya kapasitas produktif yang dimiliki oleh unit maupun fungsi pusat pertanggungjawabannya. Tindakan tersebut perlu dilakukan
karena tingkat yang dianggarkan tersebut akan menjadi patokantolak ukur penerimaan bonus bagi mereka. Jika ternyata anggarannya meleset
dari kinerja aktualnya, baik itu lebih tinggi atau lebih rendah, maka mereka akan mendapatkan denda berupa pemotongan gaji pokok.
Sehingga dengan diterapkannya skema kompensasi truth inducing,