Unsur Pembangun Cerpen

a. Unsur Pembangun Cerpen

Cerita pendek atau cerpen merupakan sebuah totalitas yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, cerpen mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat. Cerpen juga merupakan

Tomkins dan Hoskinson (dalam Sukino, 2010: 145), berpendapat bahwa unsur-unsur sebuah cerpen terdiri atas: 1) permulaan/pengantar, tengah/isi, dan akhir cerita, 2) pengulangan atau reptisi, 3) konflik, 4) alur/plot, 5) latar/ seting, 6) penokohan, 7) tema, dan 8) sudut pandang penceritaan.

Adapun pendapat Suroto yang dikutip Sukino (2010: 156), cerpen pada dasarnya dibangun atas dasar unsur-unsur tema, amanat, perwatakan, latar, tokoh, dialog, dan pusat pengisahan. Cerita yang baik memiliki keseluruhan unsur-unsur yang membangun jalan cerita yang memiliki unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik meliputi tema, penokohan, alur/plot, latar/seting, gaya bahasa, dan sudut pandang penceritaan. Kedua unsur tersebut harus dipahami dalam mengkaji cerpen. Berpijak dari uraian tentang unsur-unsur pembangun cerpen di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pembangun cerpen terdiri dari tema, tokoh/perwatakan, seting, alur atau sudut pandang, dan gaya bagasa yang semua unsur tersebut berjalinan membangun makna baru.

1) Unsur intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Dengan demikian, unsur intrinsik sebuah cerpen adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Keterpaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah cerpen berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut pandang kita sebagai pembaca, unsur-unsur cerita inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah cerpen. Unsur- Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Dengan demikian, unsur intrinsik sebuah cerpen adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Keterpaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah cerpen berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut pandang kita sebagai pembaca, unsur-unsur cerita inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah cerpen. Unsur-

Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra. Tema yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan menyangkut persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan. ....... Tema (theme), menurut Stanton dan Kenney, adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67). Dengan demikian tema sebagai pangkal tolak pencerita dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Dengan pernyataan ini, tema merupakan sesuatu yang menjadi ide pikiran atau persoalan yang dinyatakan dalam sebuah cipta rasa. Sebab itulah penyikapan tema yang diberikan pengarang dengan pembaca cenderung terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut.

Sedangkan Burhan Nurgiyantoro (2005: 70), memberi terminologi tema adalah dasar cerita, gagasan dasar umum cerita. Dasar (utama) cerita sekaligus berarti tujuan (utama) cerita. Jika dilihat dari sudut pengarang, dasar cerita dipakai sebagai panutan pengembangan cerita, dilihat dari sudut pembaca ia akan bersifat sebaliknya. Berdasarkan cerita yang dibeberkan itulah pembaca berusaha menafsikan apa dasar utama cerita itu, dan hal itu Sedangkan Burhan Nurgiyantoro (2005: 70), memberi terminologi tema adalah dasar cerita, gagasan dasar umum cerita. Dasar (utama) cerita sekaligus berarti tujuan (utama) cerita. Jika dilihat dari sudut pengarang, dasar cerita dipakai sebagai panutan pengembangan cerita, dilihat dari sudut pembaca ia akan bersifat sebaliknya. Berdasarkan cerita yang dibeberkan itulah pembaca berusaha menafsikan apa dasar utama cerita itu, dan hal itu

17) menyatakan bahwa tema adalah gagasan pokok (subject –matter) yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya. Tema bersifat khusus (diacu dari penyair), objektif (semua pembaca harus menafsirkan sama), dan lugas (bukan makna kias yang diambil dari konotasinya).

Tema dalam cerpen bisa disamakan dengan fundamental sebuah bangunan. Tentu saja tidak mungkin mendirikan sebuah banguanan tanpa fundamental. Dengan kata lain, tema ialah pokok sebuah cerpen; pesan atau amanat. Dasar tolak untuk membuat rangkaian cerita; dasar tolak untuk bercerita (Korrie Layun Rmpan, 1995: 36). ......... Pengarang cerpen yang baik biasanya memasukkan temanya secara tersamar dalam seluruh elemen ceritanya. Mungkin juga lewat jalan pikirannya, perasaan, setting, atau kejadian untuk lebih memperrtegas penyajian tema. Biasanya sebuah cerpen yang baik selalu menyatu, berbagai unsurnya tidak pecah-pecah tetapi secara serempak mengurus ke suatu tujuan karena digiring oleh tema. Cerita yang baik selalu mempunyai tema, yaitu pokok maslah yang mendominasi masalah lainnya dalam cerita itu.

Menurut Sareb Putra (2010: 97) dalam bukunya The Art of Narrative writing , dituliskan bahwa tema ialah: (1) gagasan tentang hidup yang datang dari cerita; (2) dapat dinyatkan secara sejelas-tegas atau tersurat; 3) bukan merupakan ringkasan alur cerita atau gagasan utama cerita; (4) gagasan

......... Cara menafsirkan tema cerita adalah sebagai berikut: (1) jangan sampai bertentangan dengan setiap rincian cerita; (2) harus dapat dibuktikan secara langsung dalam teks; (3) penafsiran tema tidak hanya berdasarkan pikiran; dan (4) berkaitan dengan rincian cerita yang ditonjolkan (mungkin disebutkan sebagai bagian dari judul).

Tema adakalanya dinyatakan secara jelas (eksplisit), tetapi tidak mudah dalam menentukan tema sebuah karya sastra karena tema itu lebih sering bersifat implisit. Dengan demikian untuk menemukan tema sebuah cerita rekaan haruslah dipahami dari keseluruhan unsur cerita itu. Oleh karena itu, tema akan ditemukan dengan cara membaca intens dan menemukan unsur-unsur pembangun lainnya. Tema dalam cerita rekaan biasanya diangkat dari khasanah kehidupan sehari-hari, yang merupakan masalah hakiki manusia seperti cinta kasih, kebahagiaan, perjuangan hidup, petualangan, dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2003: 142). Jadi tema karya sastra itu selalu berkaitan dengan makna kehidupan. Uraian tentang tema di atas dapat ditarik simpulan, bahwa tema merupakan gagasan utama, gagasan pokok yang menjadi dasar cerita.

(b) Tokoh dan penokohan Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin Sebuah cerita yang disebut dengan tokoh.

penokohan. Semua karangan memiliki tokoh, terutama novel atau cerpen. Tokoh merupakan pelaku yang digambarkan dalam peristiwa sebuah cerita, sedangkan tokoh atau para pelaku cerita menggambarkan, melukiskan tokoh atau para pelaku cerita. Atar Semi (2000: 37) mendefinisikan bahwa ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dalam fiksi, yaitu: (1) Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak

atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya.

(2) Secara dramatik, yaitu penggambar perwatakan yang tidak diceritakan langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui pemilihan nama tokoh, melalui pengambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian dan melalui dialog baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan orang lain.

Penokohan dalam suatu fiksi biasanya mengacu pada perbaruan minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita. Tokoh dapat diwujudkan sebagai manusia, binatang, atau benda. Sifat kepribadian atau watak tokoh bermacam- macam corak. Penokohan erat hubungannya dengan alur, karena masing- masing tokoh berperilaku menghubungkan peristiwa yang satu dengan yang lainnya dalam cerpen.

Tokoh-tokoh memiliki watak yang menyebabkan terjadinya konflik dan konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita. Tokoh dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah

protagonis adalah tokoh yang menentang arus atau yang menimbulkan perasaan antipati atau benci pada diri pembaca. Kedua jenis tokoh ini mendominasi cerita maka disebut juga tokoh sentral yang berarti tokoh yang dipentingkan.dan menjadi pusat penceritaan. Yang menjadi kebalikan tokoh sentral adalah tokoh bawahan atau tokoh sampingan. Tokoh lain adalah tokoh wirawan yaitu tokoh penting termasuk sentral tetapi bukan tokoh protagonios dan antagonis. Sedangkan tokoh bawahan yang dapat diandalkan disebut tokoh andalan, dan tokoh tambahan adalah tokoh yang dijadikan latar belakang saja dan tidak dipandang penting.

Pembahasan yang mendalam tentang istilah penokohan, sesui pendapat Burhan Nurgiyantoro (1995: 166) bahwa “penokohan” lebih luas

pengertiannya daripada “tokoh”. Penokohan sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan sebagai tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang, serta tokoh tripikal dan tokoh netral. (1) Tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam karya fiksi. Tokoh tambahan adalah tokoh yang

penampilan tokoh. Sementara, tokoh protagonis dan tokoh antagonis. (2) Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi atau yang biasa disebut hero. Tokoh antagonis adalah tokoh yang sering menjadi penyebab konflik. Perbedaan tersebut berdasarkan fungsi penampilan tokoh. (3) Tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu watak tertentu, dan tidak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap sebagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya. (4) Tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan watak dalam plot yang dikisahkan. Perbedaan tersebut berdasarkan perkembangannya atau terjadinya perwatakan. (5) Tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya atau sesuatu yang lebih bersifat mewakili. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Perbedaan tersebut berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia di kehidupan nyata. Jadi, tokoh dan penokohan merupakan cara pengarang dalam menampilkan tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja

menyampaikan ide, amanat, plot, dan tema. (c) Alur atau Plot Alur atau plot adalah hal penting dalam sebuah cerpen. Burhan Nurgiyantoro (1995: 113) menyatakan bahwa alur diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat. Boulton (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 145) mendefinisikan bahwa alur berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan datang.

Jenis alut atau plot menurut Nugraheni Eko Wardani (2009: 39), yaitu: (1) plot garis lurus atau progresif; (2) plot sorot balik atau flash back. dan (3) plot gabungan. Teknik progresif atau kronologis, artinya cerita berurutan dari awal hingga akhir. Teknik umpan balik atau flash back artinya bahwa cerita yang seharusnya ada pada bagian akhir diletakkan di depan. Teknik compound plot atau alur majemuk, artinya di samping mengandung alur utama juga terdapat alur bawahan, yakni cerita- cerita tambahan yang dikisahkan pengarang untuk memberikan latar belakang dan keseimbangan cerita.

.. Plot merupakan unsur yang sangat penting untuk memahami fiksi. Hukum plot menurut Keney meliputi adanya plausibility, surprise, suspense, dan unity. Palusibility artinya kebolehjadian, bahwa secara logis

Surprise artinya cerita harus memberikan kejutan kepada pembaca. Hal ini berkaitan dengan suspense, yang berarti kejutan itu memberikan rasa ingin tahu pembaca (atau pendengar) karena ceritanya tidak terduga-duga sebelumnya. Unity atau kesatuan cerita yang padu, tidak berupa bagian- bagian terpisah seperrti fragmen-fragmen, namun ada benang merah yang menyatukan dari awal hingga akhir (Nugraheni Eko Wardani, 2009: 39).

Selain alur atau plot, di dalam cerpen terdapat pula apa yang dinamakan suspense. Korrie Layun Rampan (1995: 48-50) memaparkan pengertian suspense, adalah salah satu unsur cerpen yang berupa ketegangan cerita. Ketegangan ini biasanya dibangun dari suasana yang berrnagkat dari watak atau peristiwa. Ketegangan dan suasana yang berangkat dari watak atau peristiwa. Ketegangan yang dibangun baik oleh pengarang merupakan daya pikat yang hebat dan mengikat, sehingga pembaca seakan-akan tidak sabar mengikuti cerita, ingin cepat-cepat mengetahui akhir ceritanya.

Suspense memang suatu teknik. Pengarang dapat memanfaatkan suspense ini semaksimum mungkin, meskipun ia tidak berrtumpu pada suspense itu sendiri. Cerita yang baik bukan karena ia selalu tegang tetapi pengarannya memlihara ketegangan di sepanjang cerita. Selanjutnya, Mari Sareb Putra (2010: 94) mengemukakan, bahwa suspense (ketegangan) yaitu rasa tegang (sense of worry) yang dimunculkan pengarang dengan apa yang akan terjadi dan siapa melakukannya.

Berdasarkan keterangan di atas, alur dapat diartikan sebagai unsur intrinsik yang ada dalam cerita rekaan yang mengatur bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa yang lain dalam satu rentetan peristiwa.

(d) Sudut Pandang (Point of view) Pemilihan sudut pandang dalam suatu cerita akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Burhan Nurgiyantoro (2005: 248) menyatakan bahwa sudut pandang pada hakikatnya adalah strategi, teknik, siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu dikemukakan dalam karya fiksi merupakan pandangan hidup pengarang dari kehidupannya.

Point of view atau sudut pandang adalah titik tolak pengarang sebagai pencerita „akuan‟ yang berada dalam cerita atau pencerita „diaan‟

yang berada di luar cerita, pusat kisahan. Berdasarkan pengertian tersebut maka ada tiga jenis sudut pandang, yaitu: (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku”, teknik ini disebut

teknik akuan, (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, teknik ini disebut teknik diaan, (3) teknik yang

disebut omniscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas, pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam berceritanya, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan.

266) menjelaskan bahwa sudut pandang ada tiga macam yaitu sudut pandang persona ketiga, gaya “dia‟. Sudut pandang ini ada dua macam yaitu sudut pandang “dia” mahatahu, dan “dia” terbatas atau “dia” sebagai pengamat. Sudut pandang “dia” mahatahu dalam literatur bahasa Inggris

dikenal dengan istilah-istilah the omniscient point of view, third-person omniscient, the omniscient narrator . Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang dapat menceritakan apa saja hal- hal yang menyangkut tokoh “dia”. Narator mengetahui segalanya. Sudut pandang “dia” terbatas pengarang melukiskan apa yang dilihat,

didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja. Sedangkan sudut pandang persona pertama disebut juga first-person point of view , “aku” ada dua macam yaitu “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. “Aku” tokoh utama, aku menjadi tokoh utama cerita praktis menjadi tokoh protagonis. „Aku” sebagai tokoh

tambahan aku muncul bukan sebagai tokoh utama melainkan sebagai tokoh tambahan, first-person peripheral. Tokoh aku hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Sudut pandang campuran yaitu pengarang berganti-ganti dalam tekni penceritaan dari teknik satu ke teknik yang lain. Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran ini, campuran antara sudut pandang orang pertama dan orang ketiga.

sudut pandang dalam cerita rekaan merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal itu akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. sudut pandang difungsikan oleh pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa dalam cerita rekaan kepada pembaca.

(e) Gaya Bahasa Bahasa adalah sesuatu yang sangat penting, karena segala sesuatu hanya dapat diungkapkan dengan menggunakan bahasa. Begitu juga dengan sastra. Apa yang ada dalam pikiran sastrawan atau pun kreativitas sastrawan dapat menjadi sebuah karya sastra yang baik dan bernilai seni tinggi hanya jika diungkapkan dengan bahasa. Oleh karena itu, bahasa dalam sastra berfungsi sebagi sarana komunikasi. Untuk memperoleh efektivitas pengungkapan dan nilai keindahan, bahasa dalam sastra dibuat sedemikian rupa sehingga berbeda dengan bahasa nonsastra.

Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 273) yang menyatakan bahwa pada umumnya bahasa yang ada dalam karya sastra berbeda dengan bahasa nonsastra. Bahasa yang digunakan mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif. Sebagai kebalikan dari bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah yang rasional dan denotatif. Ciri adanya unsur pikiran bukan hanya memonopoli bahasa nonsastra, tetapi bahasa sastra pun memilikinya, sebaliknya ciri unsur emotif pun bukan hanya monopoli bahasa sastra. Unsur pikiran dan Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 273) yang menyatakan bahwa pada umumnya bahasa yang ada dalam karya sastra berbeda dengan bahasa nonsastra. Bahasa yang digunakan mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif. Sebagai kebalikan dari bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah yang rasional dan denotatif. Ciri adanya unsur pikiran bukan hanya memonopoli bahasa nonsastra, tetapi bahasa sastra pun memilikinya, sebaliknya ciri unsur emotif pun bukan hanya monopoli bahasa sastra. Unsur pikiran dan

Dalam sebuah penulisan karya sastra selalu ada gaya bahasa yang khas yang dituliskan oleh pengarang atau penulis. Inilah menjadi kekayaan si pengarang atau penilis. Kekayaan sebuah karya atau tulisan kreatif terletak pada unsur-unsur bahasa dan bentuk yang menimbulkan keragaman dan kompleksitas, serta interaksi yang baik antara unsur-unsur tersebut dengan sesamanya serta dengan dunia nyata yang berada di lingkungan karya itu sendiri

Gaya erat hubungannya dengan nada cerita. Gaya merupakan pemakaian bahasa yang spesifik dari seorang pengarang. Dengan kata lain gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri. Gaya adalah cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan. Dengan cara yang khas itu kalimat- kalimat yang dihasilkannya menjadi hidup. Karena itu, gaya bahasa dapat menimbulkan perasaan tertentu, dapat menimbulkan reaksi tertentu, dan dapat menimbulkan tanggapan pikiran pembaca. Semua itu menyebabkan karya sastra menjadi indah dan bernilai seni.

Gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang. Cara bagaimana Gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang. Cara bagaimana

Berbagai pendapat-pendapat di atas kita dapat disimpulkan bahwa pengarang mengungkapkan unsur-unsur pembangun cerita rekaan dengan gaya bahasanya yang khas. Jadi bahasa adalah sarana penghubung antara pengarang dengan pembaca dalam menyampaikan maksud dari isi karyanya.

(f) Latar (Setting) Segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita disebut setting/ latar. Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus bersatu dengan tema dan plot untuk menghasilkan cerpen yang baik, padat, dan berkualitas.

Jika saja settingnya dapat dipindahkan kemana saja, berarti setting/latar itu tidak integral dengan tema dan plot. Latar atau setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun setting juga dikaitkan dengan tempat dan waktu. Korrie Layun Rampan (1995: 42) berpendapat bahwa latar atau setting betumpu pada tempat dan waktu. Tempat merujuk pada suatu kawasan secara geografik, konkret dan setting waktu merujuk pada suatu waktu tertentu. Akan tetapi latar dalam cerpen sastra tidak hanya menjadi latar belakang akan tetapi ia harus mendukung cerita secara keseluruhan.

karena amat berkaitan dengan watak tokoh, dan watak tokoh ini juga ditentukan dengan cara hidup mereka, yang berkaitan dengan budaya setempat.

Pengertian latar menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216) disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Setting tidak hanya menampilkan tempat dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan hidup dapat tampil sebagai setting. Memunculkan adat istiadat dan kebiasaan hidup sebagai setting tentu tidak mudah. Untuk menampilkannya, tentu saja pengarang harus sudah akrab atau bergaul secara dekat dengan hal tersebut. Dalam hal ini posisi pengarang dapat saja sebagai bagian dari masyarakatnya atau pengarang melakukan observasi dengan terjun langsung demi mendapat gambaran yang nyata tentang masyarakat yang akan dituju.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa latar tidak hanya mengacu pada tempat dan waktu saja, atau dengan kata lain latar tidak hanya mengacu pada satu macam. Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) membedakan unsur latar ke dalam tiga bagian pokok, yaitu sebagai berikut.

a. Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, dan mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan a. Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, dan mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan

b. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah waktu terjadinya peristiwa

dalam cerita fiksi. Masalah waktu terjadinya tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca mengenai waktu tersebut digunakan untuk masuk ke dalam suasana cerita.

c. Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, misalnya kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain-lain

(h) Amanat Sebuah karya sastra diciptakan tidak hanya sebagai sesuatu yang dapat memberi hiburan atau pun memberi keindahan terhadap penikmatnya, tetapi juga dapat menjadi sesuatu yang berguna oleh penikmatnya, begitu juga dengan cerpen. Apa yang diungkapkan dan diceritakan dalam cerpen dapat menjadi suatu pelajaran, pengalaman, ataupun nasihat bagi pembaca. Hal-hal tersebut sebenarnya merupakan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Amanat dapat juga diartikan sebagai pesan, berupa ide, gagasan, ajaran moral, dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan atau dikemukakan pengarang lewat cerita. Amanat dalam sebuah cerita bisa disampaikan secara implisit maupun eksplisit. Secara implisit misalnya disiratkan dalam tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Secara eksplisit misalnya di tengah atau akhir cerita, pengarang Amanat dapat juga diartikan sebagai pesan, berupa ide, gagasan, ajaran moral, dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan atau dikemukakan pengarang lewat cerita. Amanat dalam sebuah cerita bisa disampaikan secara implisit maupun eksplisit. Secara implisit misalnya disiratkan dalam tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Secara eksplisit misalnya di tengah atau akhir cerita, pengarang

2) Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang terdapat di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur ekstrinsik tersebut berpengaruh terhadap totalitas sebuah karya sastra. .. Empat faktor yang saling berkaitan dalam karya sastra (Wellek dan Warren dalam Herman J.Waluyo, 2003: 61) yaitu:

(a) Biografi pengarang Karya seseorang tidak akan lepas dari pengarangnya. Jika seseorang menulis beberapa karya dalam hidupnya, maka karya-karya tersebut dapat ditelusuri melalui biografinya.

(b) Psikologis (proses kreatif) Yang dimaksud faktor psikologis adalah aktivitas psikologis pengarang ketika menciptakan karya sastra tersebut. Dalam proses penciptaan sastra ada proses psikologis yaitu kreativitas dan inspirasi pengarang. Faktor psikologis yang terpenting bagi seorang penulis cerita rekaan adalah dalam menciptakan tokoh dan wataknya. Tokoh- tokoh dan wataknya harus sedemikian hidup sehingga meyakinkan pembaca akan kebenaran cerita. Cerita yang tidak didasari oleh aspek psikologis yang hidup akan terasa dibuat-buat

(c) Sosiologis Faktor sosiologis dalam cerita rekaan diuraikan berdasarkan asumsi bahwa cerita rekaan adalah potret atau cermin kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan kehidupan sosial adalah profesi atau institusi, problem hubungan sosial, adat istiadat antar hubungan manusia dengan lainnya, dan sebagainya. Faktor sosiologis dalam karya sastra ini juga menekankan bahwa ada hubungan antara sastra dan faktor sosial, bahkan karya sastra dikatakan sebagai dokumen sosial.

aliran filsafat tertentu dalam berkarya seni. Dengan memahami aliran filsafat yang dianut oleh pengarang saat pengarang itu berkarya, pembaca akan lebih mudah menangkap makna karya sastra tersebut.

Faktor-faktor ekstrinsik (biografi, psikologis, sosiologis, dan filosofis) tidak dapat dianalisis secara terpisah dalam karya sastra karena aspek-aspek tersebut begitu komplek dan padu. Bertolak pengertian-pengertian kemampuan menulis dan cerpen yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan menulis cerpen adalah kecakapan seseorang untuk menuangkan gagasan, ide, buah pikiran, pengalaman kepada orang lain dalam bentuk karya sastra berbentuk prosa yang pendek, baik cerita maupun jumlah halamannya dan cerita di dalamnya merupakan pengalaman hidup pengarang yang mengandung nilai- nilai edukatif dan bertujuan menghibur pembacanya.