Gaya Kepemimpinan Situasional Gaya Kepemimpinan
• Kadar dukungan sosio emosional yang disediakan oleh pemimpin
Perilaku Hubungan. •
Tingkat escapan atau kematangan yang diperlihatkan oleh anggota dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam mencapai
tujuan tertentu. Menurut Hersey Blanchard 1982, ada empat gaya Kepemimpinan
yang harus diadopsi dan disesuaikan dengan 4 karakter kesiapan dan kematangan bawahan. Empat gaya kepemimpinan situasional dalam teori ini adalah :
a. Gaya S1 : Memberikan tahu telling. Gaya ini ditandai dengan komunikasi
satu arah,
bersifat instruksi-instruksi
yang mengarahkan bawahan secara ketat di dalam menyelesaikan tugas-
tugasnya. b. Gaya S2 : Mempromosikan selling. Gaya ini ditandai dengan
komunikasi dua arah dari pemimpin, walaupun masih memberikan pengarahan tetapi pemimpin meminta masukan dari bawahan
sebelum membuat keputusan. Pemimpin Juga memberikan dukungan sosioemosional agar bawahan turut bertanggung jawab
dalam pekerjaanya. c. Gaya S3 : Berpartisipasi participating. Pemimpin selalu
melibatkan bawahan untuk berpartisipasi di dalam setiap aktivitas kerja.
d. Gaya S4 : Mendelegasikan delegating. Gaya ini ditandai dengan kebebasan dan pendelegasian tugas serta wewenang yang luas
kepada bawahan. Pemimpin hanya memberikan sedikit pengarahan dan pengawasan, karena kemampuan dan keahlian bawahan sangat
tinggi dalam menyelesaikan tugasnya dengan efektif dan efesien. Menurut Siagian 2005, gaya kepemimpinan dapat dikategorikan menjadi
lima tipe, yaitu 1. Gaya Otokratik yang dalam hal pengambilan keputusan, seorang
manajer yang otokratik akan bertindak sendiri, menggunakan pendekatan formal dalam pemeliharaan hubungan, gaya otokratik
berpendapat bahwa
para bawahanya
mempunyai tingkat
kedewasaan lebih rendah dari pada pemimpin.
2. Gaya Paternalistik yaitu kepemimpinan yang menunjukkan kecenderungan pengambilan keputusan sendiri dan berusaha
menjualnya kepada bawahan, memperlakukan bawahanya sebagai orang yang belum dewasa, dan berorientasi terhadap penyelesaian
tugas dan hubungan baik dengan bawahan. 3. Gaya Kharismatik dalam pengambilan keputusan dapat bersifat
otokratik dan
demokratis. Orientasi
gaya kepemimpinan
kharismatik mengedepankan hubungan dengan bawahan yang orientasi relasional bukan kekuasaan dan berusaha agar tugas-tugas
terselenggara dengan sebaik-baiknya. 4. Gaya Laissez faire mempunyai karakteristik yang paling menonjol
terlihat pada gayanya yang santai dalam memimpin organisasi. Dalam hal pemeliharaan hubungan dengan bawahanya, gaya
kepemimpinan ini pada umumnya sangat mementingkan orientasi yang sifatnya relasional.
5. Gaya Demokratik dianggap paling ideal. Karakteristik dari gaya kepemimpinan demokratik terlihat dari hal pemeliharaan hubungan
yang menekankan
hubungan serasi
dengan bawahan,
memperlakukan bawahan sebagai orang yang dewasa, dan menjaga keseimbangan orientasi penyelesaian tugas-tugas dan orientasi
hubungan yang sifatnya relasional. Menurut Robbins 2003, pada teori Neokharismatik terdapat tiga macam
gaya kepemimpinan, yaitu : 1. Kepemimpinan Kharismatik adalah kepemimpinan yang muncul
karena atribusi yang diberikan oleh pengikutnya dari kemampuan seorang pemimpin yang heroik. Pemimpin kharismatik memiliki
lima ciri, yaitu memiliki visi, mau mengambil resiko dalam melaksanakan visi, peka terhadap keadaan lingkungan dan
pengikutnya, dan mempunyai perilaku yang tidak biasa. Sejalan dengan pendapat diatas menurut Anom 2008, kharisma
merupakan sebuah atribusi yang berasal dari proses interaktif antara pemimpin dan pengikut. Atribut-atribut karisma antara lain
rasa percaya diri, keyakinan yang kuat, sikap tenang, kemampuan
berbicara, dan yang penting adalah atribut-atribut dan visi pemimpin relevan dengan kebutuhan pengikut.
2. Kepemimpinan Transformasional menurut Robbins 2003, pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mencurahkan
perhatian pada kebutuhan pengembangan diri pengikut, mengubah paradigma pengikut terhadap masalah dengan cara-cara baru, dan
mempunyai kemampuan untuk memotivasi pengikut dalam mencapai tujuan. Menurut Anom 2008, pemimpin transformasi
merupakan pemimpin yang mengarahkan pengikutnya kepada cita- cita dan nilai nilai moral yang tinggi.
3. Kepemimpian Visioner menurut Robbins 2003, kepemimpinan visioner merupakan kemampuan untuk menciptakan suatu visi
yang realistis, dapat dipercaya, dan atraktif dengan masa depan organisasi. Keterampilan yang dimiliki oleh pemimpin visioner
adalah kemampuan menjelaskan visi kepada orang lain, mampu mengungkapkan visi dalam kepemimpinanya, dan mampu
memperluas visi pada konteks kepemimpinan yang berbeda.
2.2. Budaya Organisasi 2.2.1 Konsep Budaya Organisasi.
Tampaknya terdapat kesepakatan yang luas bahwa budaya organisasi mengacu ke system makna bersama yang dianut oleh anggota-
anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan
seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu. Riset paling baru mengemukakan tujuh karakteristik primer yang menangkap
hakikat dari budaya organisasi, yaitu : 1.
Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana para karyawan diharapkan
memperlihatkan presisi kecermatan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil Sejauh mana manajemen memusatkan perhatian
pada hasil bukanya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
4. Orientasi
orang. Sejauh
mana keputusan
manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang di dalam
organisasi. 5.
Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasarkan tim, bukannya berdasar individu.
6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif
dan bukannya santai-santai. 7.
Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan.
Setiap karakterisik tersebut berada pada kontinum dari rendah ke tinggi. Maka dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan
diperoleh gambaran gabungan atas budaya organisasi itu Robbins, 2003 Sementara itu Ravasi dan Schultz 2006, menyatakan bahwa budaya
organisasi adalah kumpulan dari asumsi-asumsi pemikiran yang menjadi panduan untuk menginterpretasikan sesuatu serta bertindak dalam suatu organisasi dengan
cara-cara yang pantas. Pada waktu yang bersamaan, sebuah perusahaan juga dapat memiliki budaya uniknya sendiri. Pada organisasi yang lebih besar, terkadang
terdapat perbedaan budaya atau bahkan konflik budaya yang lahir karena perbedaan karakteristik pada manajemen perusahaan. Budaya organisasi dapat
memiliki dua aspek, positif dan negatif. Sedangkan Van der Post, et all mengartikan budaya organisasi sebagai sekumpulan nilai-nilai, kepercayaan-
kepercayaan, dan tingkah laku yang membentuk identitas inti dari organisasi dan membantu membentuk karyawan agar sesuai dengan keinginan organisasi.
Dengan banyaknya pengertian mengenai budaya organisasi, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya organisasi itu merupakan sekumpulan nilai-nilai serta
kepercayaan dan tingkah laku yang di pegang teguh oleh setiap individu dalam organisasi tersebut yang akan membuat organisasi tersebut berbeda dengan
organisasi lainnya.