56
56 cenderung tinggi 0,68 E 0,75 dan indeks dominansi yang rendah 0,09 D
0,37. Untuk stratifikasi ketebalan mangrove rendah stasiun III IV kepadatan
total gastropoda mencapai 7 indm
2
sedangkan yang hidup hanya dua jenis yaitu Telescopium telescopium dan Terebralia sulcata. Di lapisan ini mengindikasikan
adanya degradasi lingkungan yang menyebabkan berkurangnya biota-biota yang hidup bergantung pada ekosistem mangrove. Jenis Telescopium telescopium mampu
bertahan hidup tanpa ada vegetasi mangrove dan biasanya melimpah di tanah bekas areal tambak.
Untuk stratifikasi ketebalan mangrove sedang stasiun V VI kepadatan gastropoda mencapai 18 indm
2
. Rata-rata semua jenis gastropoda ditemukan di lokasi ini dengan jenis yang terbanyak adalah Terebralia sulcata. Jenis ini lebih
menyukai adanya vegetasi mangrove dan termasuk jenis penghuni asli ekosistem mangrove. Keadaan kerapatan pohon sangat menguntungkan bagi kepadatan
makrozoobentos, karena pohon merupakan tunjangan yang berarti bagi kehidupan makrozoobentos. Tegakan dan tajuk pohon mampu berperan sebagai penghalang
langsung dari sinar matahari atau sebagai naungan bagi makrozoobentos Arief
2003.
4.7. Upaya Pengelolaan Mangrove secara Berkelanjutan
Ekosistem mangrove adalah salah satu ekosistem yang berkembang di wilayah pesisir. Keberlangsungan ekosistem ini tidak hanya didukung oleh aspek ekologi
semata dengan proses ekologi yang begitu kompleks, namun eksistensinya pun melibatkan aspek lain yang memiliki peranan lebih besar diantaranya aspek sosial-
budaya, ekonomi dan kelembagaan. Kawasan mangrove pesisir Pulau Dua di luar Cagar Alam Pulau Dua
merupakan kawasan pesisir milik pemerintah khususnya kawasan yang ditumbuhi mangrove mulai ketebalan 100 m hingga dibawah 20 meter dari garis pantai yang
tersusun mulai dari area Pelabuhan Karangantu hingga mendekati area yang terdekat dengan Kawasan Cagar Alam. Sebagai batasan kawasan ini secara visual dapat
ditunjukkan dengan adanya tanggul tambak sebagai batasan antara ekosistem
57
57 mangrove milik pemerintah dan areal pertambakan milik pengusaha Gambar
24.
Upaya pengelolaan suatu kawasan ekosistem tidak terlepas dari hubungannya dengan sektor lain. Hal ini hendaknya diperhatikan lebih mendalam agar tujuan
pengelolaan yang diharapkan tidak tercapai secara parsial. Banyak contoh pengelolaan
yang hanya
fokus pada
satu sektor
tertentu dan
tidak mempertimbangkan beberapa sektor yang ada dalam pembangunan suatu kawasan.
Padahal diperlukan keterpaduan antarsektor untuk upaya pengelolaan kawasan pesisir secara berkelanjutan.
Beberapa langkah utama dalam upaya pengelolaan diantaranya adalah mengidentifikasi masalah dan menetapkan tujuan pengelolan. Dalam identifikasi
masalah idealnya diperlukan kajian mengenai inventarisasi masalah baik dari segi ekologi sumberdaya, sosial-ekonomi, maupun pemerintahan. Pada pembahasan ini
hanya dibatasi dari segi ekologi sumberdaya yang meliputi karaketristik lingkungan dan sumberdaya.
Langkah berikutnya adalah menetapkan tujuan. Kajian mangrove dikawasan ini terkait dengan identifikasi masalah yang diangkat di awal sehingga tujuan utama
Gambar 24. Ilustrasi batasan kawasan mangrove pesisir Pulau Dua di luar Cagar Alam
58
58 yang harus dicapai adalah memperbaiki kondisi ekosistem mangrove dengan harapan
fungsi ekologis khususnya dalam hal meningkatkan produksi sumberdaya perikanan dapat segera pulih sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh para penguna termasuk
warga setempat. Berdasarkan hasil kajian ekologi terdapat beberapa parameter ekologi
mangrove yang menujukan adanya degradasi ekosistem. Kajian utama dari ekologi mangrove adalah mangrove itu sendiri dan hubungannya dengan komunitas lain
sebagai pengguna ekosistem tersebut. Tidak terlepas dari hal ini, sejumlah pengaruh parameter lingkungan pun ikut berperan dalam menentukan status ekologi mangrove
di kawasan ini baik karakteristik lingkungan perairan maupun substrattanah. Secara umum kawasan ini memiliki ketebalan mangrove yang tidak merata bervariasai
mulai dari ketebalan mangrove yang tertinggi mencapai 100 m hingga dibawah 20 meter dari garis pantai. Selain itu, ditemukan sejumlah kategori tegakan mangrove
yang bervariasi mulai dari pohon, anakan, dan semai. Oleh karena itu, upaya pengelolaan mangrove yang lebih tepatt untuk kawasan ini adalah dengan sistem
rehabilitasi dibeberapa titik Gambar 25. Desain pengelolaan tersebut merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang
dapat dilakukan. Desain ini, menggambarkan bahwa pengelolaan kawasan dibagi menjadi zona-zona tertentu dengan harapan adanya keefektifan upaya. Sistem zonasi
ini terdiri atas zona inti dan zona penyangga. Zona inti difokuskan untuk perlindungan dan pemulihan kawasan green belt sejauh 100 m dari garis pantai.
Upaya perlindungan tanpa rehabilitasi difokuskan pada vegetasi mangrove dewasa ditunjukkan dengan warna hijau tua sedangkan upaya rehabilitasi sekaligus
perlindungan ditunjukan dengan area berwarna hijau muda. Untuk upaya rehabilitasi di zona inti difokuskan pada lahan mangrove yang sangat kritis, kerapatan mangrove
yang sangat rendah, dan memiliki komposisi tegakan muda anakan dan semai yang lebih banyak.
59
59 Gambar 25. Desain pengelolaan mangrove pesisir Pulau Dua
Untuk zona penyangga difokuskan pada lahan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak, namun di zona ini ada modifikasi rehabilitasi mangrove
yaitu dengan mengkombinasikan antara tambak dan penanaman mangrove atau biasa dikenal dengan sistem silvofishery. Upaya ini dimaksudkan sebagai langkah
alternatif antara pemerintah dan para pengusaha tambak supaya tujuan pemulihan mangrove dapat tercapai juga disertai dengan kegiatan perikanaan budidaya yang
tetap berlangsung. Pelaku di zona inti dilakukan oleh pemerintah setempat ataupun melalui
kerjasama dengan institusiLSM terkait dibidang rehabilitasi mangrove sedangkan di zona penyangga dapat dilakukan kerjasama antara pemerintah dan para pengusaha
tambak setempat sehingga pihak-pihak ini akan saling menguntungkan.
60
60
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Komunitas mangrove yang ditemukan di kawasan ini terdiri atas 4 empat jenis, yaitu Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata
mangrove sejati dan Acanthus illicifolius mangrove asosiasi. Kerapatan mangrove tertinggi dimiliki oleh jenis Avicennia marina mencapai 9 ind100 m
2
disertai dengan INP yang mencapai 300, sedangkan jenis lainnya memiliki peran yang sangat kecil.
Hal ini ditunjukkan dengan kisaran INP 43-220. Komposisi tegakan rata-rata didominasi oleh tegakan anakan yang banyak ditemui hampir setiap stasiun
pengamatan. Kondisi mangrove yang sangat kritis ditemui pada zona ketebalan mangrove rendah.
Kondisi lingkungan perairan masih mendukung untuk kehidupan biota ekosistem mangrove. Namun, beberapa parameter yang telah melebihi baku mutu
menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51MNLHI2004, adalah kadar kekeruhan, ammonia, fosfat dan nitrat, sehingga status perairan di
kawasan ini dapat dikatakan mengalami penyuburan akibat adanya masukan bahan organik yang bersumber dari aktivitas warga setempat, selain dipengaruhi oleh
keberadaan mangrove yang ikut berperan sebagai penyuplai bahan organik. Secara umum karakteristik substrat di kawasan ini tergolong liat. Bagi jenis
Avicennia spp., kondisi ini akan sedikit menyulitkan untuk masa pertumbuhan mangrove khususnya pada stadia semai dan anakan mengingat bahwa karakteristik
fisik substrat liat sangat rapat dan sulit ditemukan rongga-rongga udara sehingga dapat menyulitkan akar-akar mangrove muda untuk mulai tumbuh dan berkembang.
Demikian pula halnya dengan gastropoda, umumnya gastropoda yang memiliki kebiasaan meliang infauna lebih menyukai substrat berlumpur, sehingga dengan
kondisi seperti ini keberadaan gastropoda yang hidup adalah jenis-jenis dari golongan epifauna yang tersebar di permukaaan substrat atau menempel pada
perakaran, batang, bahkan daun mangrove. Jenis gastropoda yang ditemukan adalah Telescopium telescopium, Terebralia
sulcata, Terebra bifrons, Cerithidea cingulata dan Littorina saxatilis. Komposisi tertinggi adalah Terebralia sulcata mencapai 51 , artinya jenis ini memiliki