Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan

15 15 Kira-kira 12 jam setelah dikeluarkan, telur menetas menjadi larva yang pada stadium pertama disebut nauplius. Setelah mengalami pergantian kulit beberapa kali, kemudian menjadi zoea. Pada stadium zoea, larva mulai mengambil makanan disekitarnya. Makanan udang pada stadium larva adalah alga renik microalga terutama Diatom, berbagai jenis zooplankton. Udang dikenal bersifat omnivor yang memakan tumbuhan, hewan kecil, dan detritus. Bentuk zoea akan berubah menjadi mysis, kemudian bermetamorfosis menjadi stadium post-larva. Anakan udang yang bersifat planktonik ini kemudian beruaya migrasi ke pantai, cenderung ke perairan muara sungai. Pada stadium post-larva, anakan udang merayap atau melekat pada benda-benda di dasar perairan. Dimuara- muara sungai, terlebih di perairan sekitar ekosistem mangrove, anakan udang ini banyak ditemukan. Anakan udang ini, hidup dengan menyesuaikan diri pada salinitas yang bervariasi antara 4-35 PSU. Untuk mencapai tingkat juwana juvenil Penaeus merguensis melewati 14 tingkatan dengan 18-22 kali berganti kulit. Udang- udang muda ini segera kembali ke laut untuk tumbuh menjadi besar, dewasa dan akhirnya memijah. Dari menetas sampai stadium post-larva memerlukan waktu sekitar 1 bulan, dari post-larva menjadi juvenil sekitar 3-4 bulan, sedangkan dari juvenil sampai dewasa diperlukan waktu selama 8 bulan Nontji 2005.

2.6. Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsanegara, dan disiplin ilmu Cicin-Sain and Knect 1998; Kay and Alder 1999 in Sadelie et al. 2003. Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini paling kurang memiliki empat tahapan utama yaitu : 1 penataan dan perencanaan, 2 formulasi, 3 implementasi, dan 4 evaluasi Cicin-Sain and Kneckt 1998 in Sadelie 2003. Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan 16 16 permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari pengelolaan ini adalah keterpaduan integration dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada : 1 pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah eko-hidrologis yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; 2 kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan 3 kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan produk dan jasa lingkungan pesisir. Salah satu faktor penyubur terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan sumberdaya pesisir adalah lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Untuk mengatasi kondisi tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan dinasinstansi daerah seperti Bappeda, Perikanan dan Kelautan, Pariwisata, Industri dan Perdagangan, Perhubungan dan kepelabuhan, BPN, dan lain-lain. Upaya yang harus dilakukan adalah menghilangkan ego sektor dengan penegasan kembali fungsi dan kewenangan masing-masing dinasinstansi terkait, serta harus ada selalu diadakan rapat-rapat koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri. Di samping kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakatLSM, serta dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan monitoringevaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah pembangunan berkelanjutan Sadelie et al.2003. 17

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2009 di sekitar Kawasan Pesisir Pulau Dua di luar Cagar Alam Pulau Dua, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten Gambar 4. Lokasi penelitian merupakan salah satu kawasan pesisir di Kecamatan Kasemen yang berada di dua desa yaitu Desa Banten dan Sawahluhur, yang memiliki ketinggian 0-10 meter di atas permukaan laut dpl dengan suhu udara rata- rata 32 o C. Secara geografis, lokasi penelitian berbatasan dengan beberapa wilayah, diantaranya: sebelah Utara : Teluk Banten dan Laut Jawa, sebelah Timur : Cagar Alam Pulau Dua, sebelah Selatan : Desa Margaluyu, sebelah Barat : Pelabuhan Perikanan Karangantu. Di sepanjang garis pantai terdapat ekosistem mangrove yang secara visual ketebalannya tidak sama bahkan beberapa tempat tidak ditemukan sejumlah vegetasi mangrove. Di belakang mangrove terdapat lahan pertambakan yang tersebar meluas hingga lebih kurang 2 km dari areal mangrove. Sistem estuaria terdekat adalah Sungai Cengkok dan Sungai Pelabuhan yang bermuara ke Teluk Banten. Kedua sungai ini merupakan percabangan dari Sungai Cibanten yang dibendung pada jarak 2 km dari garis pantai sehingga lokasi ini dikenal dengan nama Bendungan Karet Cibanten. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada 6 enam stasiun pengamatan Tabel 1. Pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan adanya perbedaan tingkat degradasi ekosistem mangrove. Analisis laboratorium untuk kualitas air dan identifikasi organisme yang berasosiasi dengan mangrove dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, sedangkan analisis substrat dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.