Pati Resisten Simpulan dan Saran

dengan lambat slowly digestible starch dan pati resisten resistant starchRS. Klasifikasi pati berdasarkan karakteristik nutrisi terbagi dua yaitu pati yang dapat dicerna dan yang tidak dapat dicerna RS Sajilata et al. 2006. Pati dapat dimodifikasi melalui cara hidrolisis, oksidasi, ikat silang cross- linking atau cross bonding dan subtitusi. Modifikasi secara hidrolisis dapat terjadi karena adanya enzim a-amilase yang dapat memecah pati menjadi unit-unit yang lebih kecil dengan memotong ikatan-ikatan glikosidiknya. Kerja enzim amilase pada amilosa berlangsung dalam dua langkah yaitu langkah pertama terjadi degradasi secara sempurna menjadi maltosa dan maltotriosa oleh hasil serangan enzim secara acak. Ciri terjadinya hidrolisis ini adalah penurunan kekentalan dan kemampuan dalam mengikat iodium dengan sangat cepat. Langkah kedua jauh lebih lambat dari yang pertama dan meliputi hidrolisis oligosakarida dengan pembentukan glukosa dan maltosa. Bakteri asam laktat telah dilaporkan dapat memfermentasi bahan pangan yang mengandung amilosa seperti singkong dan serealia. Oleh karena itu bakteri ini disebut bakteri asam laktat amilolitik. Diantara strain yang telah diisolasi dari bahan pangan berpati yaitu Lactobacillus plantarum, L. fermentum yang telah diisolasi dari fermentasi pati singkong di Colombia dan juga makanan tradisional Filipina yang terbuat dari ikan nasi dan makanan tradisional Nigeria Sanni et al. 2002. Bakteri ini mampu menghasilkan enzim a-amilase yang menghidrolisis sebagian pati seperti pati jagung, kentang, atau singkong dan beberapa substrat berpati lainnya Reddy et al. 2008.

2.4 Pati Resisten

Pati ada yang dapat dicerna dan ada yang tidak dapat dicerna Sajilata et al. 2006. Sejumlah besar pati yang tidak dapat dicerna yang masuk ke dalam usus besar merupakan substrat terpenting bagi mikroflora kolon. Pati tersebut dapat resisten terhadap pencernaan sehingga disebut pati resistan resistant starchRS. Pati resisten tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan di usus halus dan ketika mencapai usus besar dimanfaatkan oleh mikroflora kolon Asp dan Bjorck 1992. RS digolongkan sebagai serat pangan British Nutrition Foundation 2005. Jumlah rata-rata konsumsi serat pangan adalah 12-17 gram USDA 2000. CSIRO Division of Human Nutrition Australia, merekomendasikan konsumsi RS sebanyak 20 gram setiap hari untuk memperoleh manfaat kesehatan. Kadar pati resisten dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa yang tinggi berkorelasi positif dengan kadar RS yang dihasilkan. Makanan yang mengandung amilosa tinggi, contoh tepung jagung kadar amilosa 70 memiliki kadar RS lebih tinggi, yaitu 20g100g berat kering, dibandingkan tepung jagung kadar amilosa 25 dengan kadar RS 3g100g berat kering Sajilata et al. 2006. Menurut Sajilata et al. 2006 panjang rantai amilosa tidak berpengaruh terhadap derajat polimerisasi DPn RS yang dihasilkan. DPn RS berkisar antara 19-29 yang berasal dari panjang rantai amilosa yang berbeda DPn amilosa berkisar antara 40-610. Hal ini menunjukkan RS mungkin dibentuk oleh aggregasi rantai amilosa dengan residu 24 unit glukosa. Thompson 2000 melaporkan bahwa panjang rantai amilosa dengan DPn meningkatkan RS menjadi diatas 28, sedangkan amilosa dengan DPn diatas 260 menghasilkan RS kurang dari 28. Ada empat macam resistant starch RS yang dikelompokkan berdasarkan asal terbentuknya. RS tipe I adalah jenis pati yang terperangkap di dalam matriks sel, seperti pati pada polong-polongan. RS tipe II adalah pati alami yang berupa granula dan resisten terhadap enzim pencernaan, contohnya pati jagung yang kaya amilosa dan pati pisang mentah native banana starch. RS tipe III adalah pati yang sudah mengalami retrogradasi karena pemanasan dan pendinginan berulang- ulang. RS tipe IV adalah pati yang telah dimodifikasi secara kimia yang banyak digunakan oleh industri makanan Gonzales et al. 2004; Aparicio-Saguilan et al. 2005. Klasifikasi RS berdasarkan mekanisme dan struktur yang berkontribusi terhadap ketahanannya dalam enzim pencernaan. RS I, resisten dalam saluran pencernaan disebabkan pati ini dilindungi dari enzim pencernaan oleh komponen lain yang secara normal ada dalam matriks pati. RS II, resisten terhadap saluran pencernaan diakibatkan struktur granula dan arsitektur molekulnya. RS III, sifat resistennya diakibatkan bentuknya tidak bergranula struktur kristal, pati ini terutama dihasilkan selama proses pemasakan dan pendinginan pati saat pengolahan makanan pati terlepas dari struktur granulanya dan mungkin rantai glukosanya membentuk kristal atau retrogradasi sehingga sulit untuk dicerna. RS IV, sifat resistensinya diakibatkan ikatan kimia yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan Englyst et al. 1992; Eerlingan dan Delcour 1995; Skrabanja dan Kreft 1998; Topping dan Clifton 2001; Onyango et al. 2006; Okoniewska dan Witwer 2007. RS tipe III merupakan tipe pati resisten yang paling sering digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Pembentukan RS tipe III terjadi karena granula pati mengalami gelatinisasi. Granula dirusak dengan pemanasan dan terjadi pelepasan amilosa dari granula ke dalam larutan. Pada saat pendinginan, rantai polimer terpisah sebagai ikatan ganda membelit double helix dan distabilkan oleh ikatan hidrogen Wu dan Sarko 1978 di dalam Sajilata et al. 2006. Menurut Mangala et al. 1999 perlakuan suhu berpengaruh terhadap kadar pati resisten yang dihasilkan. Suhu autoklaf meningkatkan kadar RS pati beras baik yang difermentasi maupun yang tidak difermentasi terlebih dahulu. Setelah diberi perlakuan pemanasan suhu tinggi sehingga terjadi gelatinisasi, pati dapat mengalami pembentukan kembali ke struktur awalnya secara perlahan membentuk struktur kompak yang distabilkan oleh ikatan hidrogen yang dikenal dengan istilah retrogradasi Winarno 1997. Penelitian Murangga et al. 2007 pada hewan percobaan tikus menunjukkan bahwa bioavailabilitas tepung pisang meningkat jika tepung pisang mendapatkan proses perlakuan panas dimasak atau diekstrusi, dibandingkan dengan bioavailabilitas tepung pisang dasar tanpa proses perlakuan panas. Pati dari native banana mengandung RS yang tinggi dan memiliki daya cerna yang rendah Englyst et al. 1992. Tabel 5 menunjukkan bahwa RS yang terkandung pada pati alami pisang adalah 1.51 dan mengalami peningkatan 10 kali setelah diberi perlakuan pemanasan bertekanan pada suhu 121°C selama 1 jam autoclaved starch Aparicio-Saguilan et al. 2005. Pati resisten tertinggi diperoleh pada suhu otoklaf 120ºC Sievert dan Pomeranz 1989 dan suhu retrogradasi 4ºC Niba 2003. Pati resisten tipe III yang berasal dari pati kacang polong dilaporkan oleh Lehmann et al. 2003 memiliki suhu transisi antara 146.8ºC dan 150.4ºC, dimana tingginya suhu transisi menunjukkan bahwa pati resisten ini stabil terhadap pemanasan. Jumlah RS tipe III dapat meningkat saat makanan dipanggang atau dalam bentuk pasta dan produk sereal Shamai et al. 2003. Tabel 5 Komposisi kimia pati pisang alami native, diasamkan lintnerized dan yang diotoklaf autoclaved Kandungan Native Lintnerizeed Native- autoclaved Lintnerized- autoclave Air 4.89±0.53 a 7.99±0.09 b 9.31±0.14 c 5.69±0.2 a Protein 1,2 1.69±0.12 a 0.45±0.03 b 0.96±0.03 c 0.46±0.03 b Lemak 1 2.31±0.27 a 0.13±0.02 b 1.65±0.25 c 0.12±0.03 b Abu 0.45±0.1 a 0.14±0.03 b 0.71±0.17 a 0.15±0.01 b Amilosa 37.0±0.5 a 44.8±1.4 b 43.2±0.9 b 45.5±1.9 b Pati Resisten 1 1.51±0.1 a 2.61±0.13 b 16.02±0.24 c 19.34±0.54 d Aparicio-Saguilan et al. 2005 nilai dengan huruf yang sama dalam satu baris tidak berbeda secara signifikan p0.05 1 dry basis 2 Nx 5.85 Amilosa pati RS tipe III bersifat stabil terhadap panas, sangat kompleks dan tahan terhadap enzim amilase. Sebagian pendapat menyebutkan bahwa RS tidak memenuhi kriteria sebagai prebiotik karena efeknya tidak spesifik. Namun berdasarkan hasil metabolitnya terlihat bahwa penggunaan beberapa RS pada makanan oleh bakteri-bakteri kolon dapat bersifat mendukung kesehatan. Di samping itu, pati jagung yang kaya amilosa terbukti merupakan bahan bifidogenik yang sangat potensial, terutama dalam bentuk yang dimodifikasi secara kimiawi. Jumlah pati resisten pada pisang mentah lebih tinggi yaitu 4.7 gram dibandingkan kentang 3.2 gram pada takaran penyajian yang sama Mendosa 2008. Aparicio-Saguilan et al. 2005 melaporkan bahwa pati pisang cavendish Musa paradisiaca yang sudah tua tapi belum matang mengandung pati resisten RS sebesar 1.51 bk. Kadar RS pada pisang ini akan meningkat sebanyak dua kali jika dihidrolisis dengan asam litnerized starch dan meningkat sebesar 12-13 kali Tabel 5 jika kemudian dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 121°C selama 1 jam autoclaved starch Aparicio-Saguilan et al. 2005. Linierisasi amilopektin menggunakan asam organik asam laktat dan enzim pululanase secara signifikan meningkatkan pembentukan RS selama pemanasan pada suhu autoklaf Sajilata et al. 2006. Onyango et al. 2006 melaporkan bahwa RS III tertinggi dihasilkan dari konsentrasi asam laktat 10 mmolL. Manfaat yang dapat diperoleh dari perlakuan fermentasi baik dengan cara spontan maupun dengan penambahan kultur adalah adanya asam laktat yang diproduksi oleh bakteri asam laktat sehingga membantu dalam meningkatkan kadar pati resisten. Beberapa strain bakteri asam laktat BAL yang tumbuh pada fermentasi spontan dapat menghasilkan beberapa jenis asam organik terutama asam asetat, asam laktat dan asam n-butirat Greenhill et al. 2008. Fermentasi secara tradisional pada tepung singkong dalam pembuatan tepung fufu dengan menggunakan BAL, yaitu kultur Lactobacillus plantarum SL 14 dan L. plantarum SL 19 dapat meningkatkan kadar amilosa tepung fufu jika dibandingkan dengan kontrol tanpa fermentasi Sobowale et al. 2007. L. plantarum L137 yang diisolasi dari makanan fermentasi tradisional ikan dan nasi menghasilkan enzim amilolitik dan pululanase amilopululanase yang mampu menghidrolisis ikatan amilosa dan amilopektin Kim et al. 2008; Kim et al . 2009. Pati resisten RS memiliki potensi efek fisiologis dalam usus halus dan usus besar. Respon insulin setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung sejumlah RS lebih rendah jika dibandingkan dengan setelah mengkonsumsi pati yang dapat dicerna Cherbuy et al. 2004. RS dalam usus halus menurunkan respon glikemik dan insulemik pada manusia penderita diabetes, hiperinsulemik, dan disiplidemia Okoniewska dan Witwer 2007. Suplemen serat pangan dan RS berpotensi dalam memperbaiki sensitifitas hormon insulin Robertson et al. 2005. Menurut Lehmann 2002, dibandingkan FOS Fruktooligosakarida, RS memiliki beberapa keuntungan diantaranya tidak menyebabkan konstipasi, mampu menurunkan kolesterol, mampu menurunkan indeks glikemik, dengan sumber yang lebih banyak beragam. Pati resisten RS tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi insulin postprandial, glukosa, triasilgliserol, dan asam lemak bebas dalam darah Higgins et al . 2004, tidak mengubah serum lipid, urea, H 2 , dan CH 4 dalam serum Jenkins et al . 1998 dan memperbaiki profil lipid darah British Nutrition Foundation. 2005. Reduksi respon glikemik ditingkatkan oleh kombinasi RS dan serat pangan yang larut. Konsumsi makanan yang mengandung serat pangan ini memperbaiki metabolism glukosa Behall et al. 2006. Perubahan jumlah asupan RS mampu mengubah aktivitas fermentasi dalam kolon Le Leu et al. 2003. RS memberikan efek yang signifikan terhadap kesehatan kolon pada manusia dan memudahkan defekasi Phillips et al. 1995. RS mampu mereduksi kehilangan cairan fekal dan memperpendek durasi diare pada anak remaja dan orang dewasa yang menderita kolera Ramakrishna et al. 2000. Jenie et al. 2006 melaporkan RS III dan RS IV penambahan 0.2 POCl 3 dari berat tepung yang berasal dari umbi garut, singkong dan kimpul dapat dimanfaatkan oleh bakteri probiotik yaitu Lactobacillus casei, Lactobacillus plantarum , dan Bifidobacterium bifidum sebagai prebiotik secara in vitro dan ketiga probiotik tersebut menghasilkan SCFA short chain fatty acid yaitu asam asetat sebanyak 0.04.

2.5 Serat Pangan