2.5 bv tepung pisang mengandung RS III, bebas lemak dan gula-gula sederhana. Ketiga media tersebut kemudian disterilkan terlebih dahulu.
Selanjutnya masing-masing media yang telah diinokulasikan tiga bakteri asam laktat tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37
o
C. Setelah inkubasi 24 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam
larutan pengencer NaCl 0.85 9 ml dan divorteks untuk pengenceran 10
-1
. Pengenceran dilakukan sampai 10
-8
dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan secara duplo pada pengenceran 10
-5
-10
-8
menggunakan MRSA dalam cawan petri. Cawan petri diinkubasi pada suhu 37
o
C dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode BAM 2001
dalam satuan cfuml.
3.7. Analisis Statistik
Data hasil penelitian diolah secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam ANOVA, yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf signifikasi
5 apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata antar sampel dengan menggunakan Software
SPSS 16.0 Production Facility.
3.8. Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan pada tahap modifikasi tepung pisang melalui perlakuan pemanasan otoklaf baik dengan maupun tanpa fermentasi spontan
adalah rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu dua perlakuan fermentasi tanpa pemanasan otoklaf, dua perlakuan kombinasi fermentasi dengan satu siklus
pemanasan otoklaf dan tiga perlakuan pemanasan otoklaf berulang tanpa fermentasi yang masing-masing perlakuan dilakukan dalam dua kali ulangan.
Model linear rancangan acak lengkap yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + A
i
+ ?
ij
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Seleksi Jenis Pisang
Empat jenis pisang yaitu kepok, siam, uli dan tanduk Gambar 2 diolah menjadi tepung pisang dan dianalisis kandungan kimia serta sifat fisiknya. Pisang
terpilih untuk digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis pisang dengan kandungan pati dan amilosa yang paling tinggi, dengan mempertimbangkan juga
sifat-sifat seperti kandungan pati resisten, daya cerna pati in vitro dan derajat putih. Hasil pengeringan alami irisan dan tepung pisang yang dihasilkan dapat
dilihat pada Gambar 3.
kepok siam
uli tanduk
Gambar 2 Empat jenis pisang lokal
Gambar 3 Irisan dan tepung pisang alami konvensional
Hasil analisis sifat kimia dan fisik dari keempat jenis pisang Tabel 6 menunjukkan bahwa jenis pisang dengan kandungan pati resisten alami RS II
2.87 dan kadar serat pangan 10.13 tertinggi adalah pisang kepok. Pati resisten tipe II merupakan pati alami berupa granula yang bersifat resisten
terhadap enzim pencernaan Aparicio-Saguilan et al. 2005. Hasil analisis derajat putih menunjukkan bahwa tepung pisang tanduk memiliki tingkat kecerahan
75.28 tertinggi, sedangkan pisang uli memiliki daya cerna pati terendah, yaitu 27.72.
Tabel 6 Sifat Kimia dan Fisik Empat Jenis Pisang Lokal
Keterangan : Kadar amilosa berdasarkan pada 100 tepung pisang bebas lemak dan gula
bk = basis kering
Hasil analisis kadar pati dan amilosa pada Tabel 6 menunjukkan bahwa keempat jenis pisang memiliki kadar pati 61-73 dan amilosa 30-39 yang
tinggi serta hasil analisis daya cerna 27-45 yang relatif rendah, sehingga keempat jenis pisang tersebut memiliki potensi untuk menghasilkan kadar pati
resisten yang tinggi. Amilosa dibutuhkan dalam proses pembentukan pati resisten Sajilata et al. 2006.
Kandungan pati dan amilosa yang tinggi dapat membantu dalam peningkatan kadar pati resisten di dalam tepung pisang modifikasi yang
dihasilkan. Didalam penelitian ini hanya digunakan satu jenis pisang untuk diteliti lebih lanjut yaitu pisang tanduk, karena memiliki kadar pati dan amilosa paling
tinggi yaitu 73.65 bk dan 39.35 bk.
Tepung pisang
Hasil Analisis
Kadar air
bk Kadar
pati bk
Kadar amilosa
bk Kadar
amilopektin bk
Pati resisten
bk Serat
pangan bk
Daya cerna
pati bk
Derajat putih
Kepok 11.99 65.71
37.49 62.51
2.87 10.13
45.96 62.45
Siam 11.48 61.96
30.37 69.63
2.78 9.65
42.76 63.36
Uli 11.05 68.96
35.72 64.28
2.72 9.36
27.72 51.18
Tanduk 16.16 73.65
39.35 60.65
2.50 7.33
42.55 75.28
4. 2. Perubahan Mikroflora dan Sifat Kimia Selama Fermentasi Spontan 4.2.1. Perubahan Mikroflora Selama Fermentasi Spontan
Irisan pisang difermentasi secara spontan dengan cara direndam dalam akuades steril menggunakan erlenmeyer Gambar 4. Cairan fermentasi dari setiap
selang waktu 20 jam digunakan untuk menghitung jumlah total mikroorganisme amilolitik, bakteri asam laktat dan mesofiliknya yang tumbuh selama fermentasi
100 jam.
Gambar 4 Fermentasi spontan irisan pisang tanduk
Gambar 5 menunjukkan pola pertumbuhan mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan pisang tanduk. Tiga kelompok mikroorganisme yaitu
amilolitik, bakteri asam laktat dan mesofilik tumbuh dengan baik selama 100 jam fermentasi spontan pisang tanduk. Total bakteri mesofilik pada lama fermentasi
100 jam berkisar pada jumlah 8.4 sampai dengan 8.9 log cfuml, dengan jumlah tertinggi pada jam ke-60 yaitu 8.9 log cfuml. Hasil ini hampir serupa dengan
fermentasi spontan pada pati singkong dimana total bakteri mesofilik yang tumbuh mencapai 8.0 log cfug Lacerda et al. 2005.
Gambar 5 Pertumbuhan mikroorganisme amilolitik ¦
, bakteri asam laktat
?
dan mesofilik ?
selama fermentasi spontan pada pisang Jumlah awal bakteri mesofilik yang ada pada irisan pisang berkisar pada
1.87 log cfuml. Bakteri mesofilik yang tumbuh secara spontan dari irisan pisang memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup baik dimana pada fase eksponensial
yang berlangsung dari jam ke-0 hingga jam ke-40 terjadi peningkatan jumlah yang cukup tinggi yaitu sebanyak 6.55 log cfuml, selanjutnya hingga jam ke-100
pertumbuhan bakteri mesofilik berada pada fase stasioner. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang memiliki suhu optimum pertumbuhan
antara 20-40 ºC Fardiaz 1992. Jumlah awal mikroorganisme amilolitik adalah 1.75 log cfuml. Fase
eksponensial berlangsung hingga jam ke-40 8.38 log cfuml dan dilanjutkan dengan fase stasioner hingga fermentasi 100 jam. Total mikroorganisme amilolitik
tertinggi yaitu 9.1 log cfuml dicapai pada lama fermentasi 80 jam Gambar 5. Jumlah mikroorganisme amilolitik yang hampir sama dengan jumlah total bakteri
mesofilik, menunjukkan bahwa sebagian besar dari mikroba amilolitik merupakan bakter i yang bersifat mesofilik Gambar 5. Media pertumbuhan yang digunakan
untuk menghitung jumlah bakteri mesofilik adalah media yang kaya akan nutrisi sehingga menunjang pertumbuhan bakteri asam laktat, Bacillus cereus dan khamir
Carvalho et al. 1999. Beberapa jenis bakteri asam laktat seperti Lactobacillus
2 4
6 8
10
20 40
60 80
100
Log cfuml
Lama fermentasi jam
amylophilus Reddy et al. 2008 dan L. amylovorus Yomoto dan Ikeda 1995
dilaporkan bersifat amilolitik. Bakteri asam laktat BAL meningkat secara signifikan selama fermentasi
pisang berla ngsung, yaitu dari 1.38 log cfuml menjadi 7.8 log cfuml. BAL yang tumbuh kemungkinan termasuk kedalam mikroba amilolitik dan kelompok
mesofilik, karena suhu optimum pertumbuhan BAL adalah 30ºC Pederson 1971. Berbeda dengan pola pertumbuhan dari mikroorganisme amilolitik dan mesofilik,
pertumbuhan BAL hingga 100 jam masih mengalami peningkatan Gambar 5. Asam yang diproduksi oleh BAL selama fase pertumbuhan Gambar 6 mungkin
menghambat pertumbuhan mikroorganisme amilolitik dan mesofilik selain BAL.
Gambar 6 Perubahan nilai pH selama fermentasi spontan Pertumbuhan bakteri asam laktat memiliki peranan pada turunnya pH
cairan selama fermentasi spontan berlangsung Gambar 6. Fermentasi hingga 40 jam menurunkan pH paling besar yaitu dari 5.86 menjadi 4.60, kemudian pH
meningkat kembali menjadi 5.09 pada jam ke-100. Penurunan pH terjadi karena aktivitas bakteri asam laktat selama perendaman. Asam laktat merupakan asam
non volatil yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum yang umum terdapat selama fermentasi bahan pangan dengan kadar karbohidrat tinggi Johansson et al.
1995. Beberapa strain BAL yang tumbuh pada fermentasi spontan dapat menghasilkan beberapa jenis asam organik terutama asam asetat, asam laktat dan
asam n-butirat Greenhill et al. 2008.
5.86 5.60
4.60 4.70
4.78 5.09
1 2
3 4
5 6
7
20 40
60 80
100
pH
Lama fermentasi jam
4.2.2. Perubahan Kadar Pati Selama Fermentasi Spontan
Kadar pati selama fermentasi spontan 100 jam menunjukkan hasil yang relatif menurun dengan kisaran kadar pati dari 80.22 bk sampai dengan
71.83 bk Gambar 7. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan a=0.05, menunjukkan bahwa kadar pati pada lama fermentasi 80 jam berbeda nyata
dengan kadar pati awal Lampiran 18. Penurunan kadar pati ini kemungkinan disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme selama fermentasi, terutama
mikroba amilolitik.
Gambar 7 Perubahan kadar pati tepung pisang selama fermentasi spontan Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan mikroba amilolitik
Gambar 5, diketahui bahwa jumlah total mikroba amilolitik yang tumbuh pada fermentasi spontan pisang tanduk hingga 100 jam berkisar pada jumlah
8.5 log cfuml. Jumlah total mikroba amilolitik tersebut mempengaruhi terjadinya penurunan kadar pati karena mikroba amilolitik mampu menghasilkan enzim
amilase yang dapat mendegradasi pati menjadi glukosa yang lebih sederhana sehingga kadar pati tepung pisang mengalami penurunan. Selama fermentasi
dimana BAL juga turut berperan Gambar 5, diharapkan terjadi perubahan pada granula pati sehingga menjadi lebih mudah tergelatinisasi dan membentuk pati
resisten Reddy et al. 2008.
80.22?2.04
b
79.09?0.31
b
77.14?4.85
ab
73.84?2.06
ab
71.83?0.13
a
10 20
30 40
50 60
70 80
20 40
60 80
100
Kadar pati bk
Lama fermentasi jam
4.2.3. Perubahan Kadar Amilosa Selama Fermentasi Spontan
Kadar amilosa selama fermentasi spontan berlangsung hingga 100 jam mengalami penurunan dari 41.89 menjadi 35.07 Gambar 8. Hasil analisis
ragam dan uji lanjut Duncan a=0.05 menunjukkan bahwa kadar amilosa awal tepung pisang berbeda nyata dengan kadar amilosa pada lama fermentasi 80 jam
Lampiran 19. Hasil ini berkaitan dengan terjadinya penurunan kadar pati pada lama fermentasi yang sama yaitu 80 jam Gambar 7.
Gambar 8 Perubahan kadar amilosa tepung pisang selama fermentasi spontan Penurunan kadar amilosa pada tepung hasil fermentasi kemungkinan
disebabkan oleh aktivitas mikroba amilolitik dalam menghasilkan enzim amilase yang dapat memutuskan ikatan a-glikosidik rantai amilosa menjadi rantai lurus
dengan derajat polimerisasi yang lebih rendah atau menjadi gula-gula sederhana. Berdasarkan pada kurva pertumbuhan mikroorganisme selama fermentasi spontan
irisan pisang, terjadi peningkatan jumlah total mikroba amilolitik hingga mencapai 9.1 log cfuml pada lama fermentasi 80 jam Gambar 5.
Kadar amilosa awal irisan pisang berpengaruh terhadap pembentukan pati resisten yang diperoleh melalui proses pemanasan otoklaf. Kadar amilosa yang
tinggi berkorelasi positif dengan kadar pati resisten yang dihasilkan Sajilata et al. 2006. Proses pemanasan dan pendinginan menyebabkan amilosa mengalami
41.89?1.79
b
39.13?2.92
ab
37.63?4.0
ab
38.11?2.14
ab
35.07?1.71
a
37.13?0.98
ab
10 20
30 40
50
20 40
60 80
100
Kadar amilosa bk
Lama fermentasi jam
perubahan struktur menjadi struktur kristal pati resisten yang tahan terhadap enzim pencernaan.
Pembentukan kadar pati resisten dari tepung pisang modifikasi dipengaruhi oleh kadar pati dan amilosa awal irisan pisang sehingga pemilihan
lama fermentasi spontan perlu memperhatikan perubahan sifat fisikokimia irisan pisang selama fermentasi. Disamping itu perlu diperhatikan pula penurunan pH
selama fermentasi, dimana kondisi asam akan membantu meningkatkan pembentukan pati resisten pada saat pemanasan otoklaf.
Pemilihan lama fermentasi dipilih pada waktu irisan pisang belum mengalami degradasi pati dan amilosa yang berkelanjutan terlampau banyak
oleh enzim amilase hasil aktivitas mikroba amilolitik dengan bentuk fisik dan aroma yang dapat diterima oleh indera manusia belum mengalami kemunduran
mutu organoleptik akibat kerja mikroorganisme yang terlibat selama fermentasi spontan dalam mendegradasi pati dan menghasilkan asam.
Lama fermentasi spontan yang diteliti lebih lanjut untuk dikombinasikan dengan satu siklus pemanasan otoklaf pada pembuatan tepung pisang modifikasi
adalah 24 dan 48 jam. Kedua lama waktu tersebut juga mewakili dua kisaran nilai pH yaitu 5.6 24 jam dan 4.6 48 jam Gambar 6, dimana perubahan nilai pH
tersebut diakibatkan produksi asam laktat oleh bakteri asam laktat yang berperan selama fermentasi spontan.
4.3. Modifikasi Tepung Pisang Melalui Kombinasi Fermentasi Spontan dan Satu Siklus Pemanasan Otoklaf
4.3.1. Kadar Pati Resisten
Pada umumnya gelatinisasi terjadi pada suhu 40-120ºC tergantung dari asal tanaman dan kadar amilosanya. Selama proses pendinginan setelah
pemanasan, pati mengalami pembentukan kembali strukturnya secara perlahan yang disebut dengan retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali
membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Struktur ini biasanya sangat stabil. Amilosa pati ini membentuk RS tipe III yang
stabil terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim amilase
Sajilata et al. 2006. Irisan dan tepung pisang hasil siklus pemanasan otoklaf dapat dilihat pada Gambar 9.
A B
Gambar 9 Irisan pisang A dan tepung pisang B hasil pemanasan otoklaf
Kadar pati resisten pada tepung pisang fermentasi 24 dan 48 jam tanpa kombinasi pemanasan otoklaf masing-masing adalah 6.74 bk dan 8.62 bk,
sedangkan tepung pisang fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf adalah 15.24 bk dan 11.01 bk Gambar 10. Pemanasan otoklaf tanpa fermentasi
dapat meningkatkan kadar pati resisten tepung pisang dari 6.38 bk hingga menjadi 11.26 bk Gambar 10. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan
a=0.05, menunjukkan bahwa tepung pisang hasil fermentasi yang dilanjutkan maupun tanpa dilanjutkan dengan satu siklus pemanasan otoklaf memiliki kadar
pati resisten yang berbeda nyata Lampiran 20.
Gambar 10 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar pati resisten tepung pisang
2 4
6 8
10 12
14 16
Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam
Fermentasi 48 jam 6.38 0.06
a
6.74 0.28
a
8.62 0.69
b
11.26 0.0
c
15.24 0.02
d
11.01 0.03
c
Kadar pati resisten bk
Tanpa otoklaf Otoklaf
Peningkatan kadar pati resisten tepung pisang modifikasi hasil kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus pemanasan otoklaf disebabkan terjadinya
perubahan derajat polimerisasi amilosa dan linierisasi amilopektin dari pati tepung pisang akibat hidrolisis oleh amilase dan asam pada jumlah tertentu yang
diproduksi oleh mikroba amilolitik dan bakteri asam laktat selama fermentasi spontan 24 jam. Thompson 2000 melaporkan bahwa jika derajat polimerisasi
DPn amilosa lebih tinggi dari 300 DPn amilosa berkisar antara 40-610 dapat menyebabkan amilosa tidak mudah untuk mengkristal membentuk kristalitas
resisten. Linierisasi amilopektin menggunakan asam organik asam laktat dan enzim pululanase secara signifikan meningkatkan pembentukan pati resisten
selama pemanasan pada suhu otoklaf Sajilata et al. 2006. Penurunan kadar pati resisten yang terjadi pada lama fermentasi 48 jam
kemungkinan terjadi akibat aktivitas amilolitik dari enzim amilase mikroba amilolitik yang lebih kuat dan jumlah produksi asam oleh bakteri asam laktat yang
lebih banyak sehingga mengakibatkan pemutusan ikatan a-glukosidik pati hidrolisis pati yang lebih banyak dibandingkan pada lama fermentasi 24 jam.
Pati singkong yang diberi penambahan asam laktat 100 mmolL pH3.0 sebelum diberi perlakuan pemanasan otoklaf menghasilkan kadar pati resisten
yang lebih rendah jika dibandingkan pati singkong yang diberi penambahan asam laktat 1 dan 10 mmolL Onyango et al. 2006.
Peningkatan kadar pati resisten pada tepung pisang hasil fermentasi 24 jam dilanjutkan satu siklus pemanasan otoklaf 15.24 lebih tinggi dibandingkan
tepung pisang hasil satu siklus pemanasan otoklaf tanpa fermentasi 11.26. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan a=0.05, menunjukkan bahwa kadar
pati resisten tepung pisang modifikasi TPM hasil kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus pemanasan otoklaf berbeda nyata dengan kadar pati resisten
tepung pisang hasil satu siklus pemanasan otoklaf tanpa fermentasi Lampiran 20 tetapi tidak berbeda nyata dengan kadar pati resisten TPM hasil pemanasan
otoklaf dua siklus 15.90 Lampiran 30.
4.3.2. Kadar Pati
Hasil analisis kadar pati tepung pisang fermentasi 24 dan 48 jam adalah 71.51 dan 74.11, sedangkan kadar pati tepung pisang kontrol adalah 71.97.
Tepung pisang yang difermentasi dan diberi perlakuan satu siklus pemanasan otoklaf memiliki kadar pati 70.34 dan 70.21, sedangkan tepung pisang dengan
perlakuan satu siklus pemanasan otoklaf tanpa fermentasi memiliki kadar pati 74.11 Gambar 11. Apata 2008 melaporkan secara umum kadar karbohidrat
yang tersedia available carbohydrates seperti gula-gula sederhana glukosa, fruktosa, karbohidrat rantai pendek oligosakarida
rafinosa, stakiosa
, inulin, dan pati di dalam biji-bijian yang diotoklaf tidak mengalami perubahan yang nyata
sedikit menurun dibandingkan kadar karbohidrat yang tersedia pada bahan mentahnya.
Gambar 11 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar pati tepung pisang
Data kadar pati menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan kadar pati tepung pisang selama fermentasi 24 dan 48 jam baik dengan maupun tanpa
dikombinasikan dengan satu siklus pemanasan otoklaf. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis kadar pati selama fermentasi spontan hingga 100 jam Gambar 7
dimana kadar pati dari tepung pisang hasil fermentasi 24 dan 48 jam belum mengalami penurunan akibat hidrolisis pati oleh enzim amilase dan asam yang
diproduksi mikroba amilolitik dan bakteri asam laktat. Selain itu, pati resisten
10 20
30 40
50 60
70 80
Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam
Fermentasi 48 jam 71.97 3.18
a
71.51 2.89
a
74.11 2.69
a
75.11 0.54
a
70.34 0.71
a
70.21 1.73
a
Kadar pati bk
Tanpa otoklaf Otoklaf
merupakan bagian dari pati yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan manusia tetapi tetap terukur sebagai bagian dari total pati. Meningkatnya kadar
pati resisten dari tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf Gambar 10 menyebabkan kadar pati yang terukur tidak
mengalami perubahan. Berdasarkan hasil analisis kadar pati yang telah dilakukan dalam penelitian
ini, diketahui bahwa perlakuan kombinasi satu siklus pemanasan otoklaf baik dengan fermentasi maupun tanpa fermentasi serta perlakuan fermentasi tanpa satu
siklus pemanasan otoklaf tidak mengubah kadar pati dari tepung pisang tanduk. Hal ini sesuai dengan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan a=0.05, dimana
diketahui bahwa tidak ada perbedaan nyata antara kadar pati kontrol dengan kadar pati tepung pisang perlakuan Lampiran 21.
4.3.3. Kadar Amilosa
Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan a=0.05, menunjukkan bahwa kadar amilosa dari tepung pisang yang difermentasi 24 dan 48 jam tanpa
kombinasi pemanasan otoklaf yang masing-masing adalah 35.64 bk dan 34.95 bk, tidak berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol 35.68, tetapi
berbeda nyata dengan kadar amilosa dari tepung pisang hasil satu siklus pemanasan otoklaf 45.30 Gambar 12.
Gambar 12 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar amilosa tepung pisang
10 20
30 40
50
Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam
Fermentasi 48 jam 35.68 2.89
a
35.64 6.93
a
34.95 1.12
a
45.30 1.63
b
40.06 0.14
ab
42.90 1.05
ab
Kadar amilosa bk
Tanpa otoklaf Otoklaf
Tidak berubahnya kadar amilosa dari tepung pisang hasil fermentasi tanpa kombinasi dengan pemanasan otoklaf menunjukkan bahwa tepung pisang hasil
fermentasi selama 24 dan 48 jam belum mengalami degradasi amilosa. Hasil ini membuktikan bahwa tepung pisang hasil kedua lama fermentasi tersebut masih
memiliki potensi yang baik dalam menghasilkan pati resisten. Kadar amilosa tepung pisang hasil kombinasi fermentasi 24 dan 48 jam
dengan satu siklus otoklaf masing-masing adalah 40.06 bk dan 42.90 bk tidak berbeda nyata dengan kadar amilosa hasil satu siklus pemanasan otoklaf
45.30 dan kadar amilosa kontrol 35.68. Kadar amilosa hasil kombinasi fermentasi dengan pemanasan otoklaf jika dibandingkan kadar amilosa tepung
pisang hasil pemanasan otoklaf tanpa fermentasi sedikit mengalami penurunan, meskipun masih relatif tetap. Terjadinya sedikit penurunan kadar amilosa dapat
disebabkan oleh adanya penurunan suhu gelatinisasi dari granula pati. Penurunan suhu gelatinisasi akibat fermentasi dapat menyebabkan amilosa
yang tergelatinisasi selama proses pemanasan otoklaf mengalami peningkatan, sehingga amilosa yang mengalami gelatinisasi dan retrogradasi kemungkinan
tidak terukur lagi sebagai amilosa tetapi terukur sebagai pati resisten. Selama proses fermentasi struktur granula menjadi melemah, mengalami disintegrasi dan
leaching di bagian amorf sebagian granula sehingga mengubah suhu gelatinisasi
dari granula pati Aini 2009.
4.3.4. Daya Cerna Pati In Vitro
Peningkatan kadar pati resisten akan mengakibatkan terjadinya penurunan pada daya cerna patinya, akan tetapi hasil kombinasi fermentasi dengan satu
siklus pemanasan otoklaf pada irisan pisang menghasilkan tepung pisang modifikasi dengan daya cerna pati yang meningkat yaitu 60.85 bk dan
82.23 bk. Semakin lama fermentasi 48 jam menghasilkan peningkatan daya cerna pati yang lebih tinggi 82.23 Gambar 13. Hasil analisis ragam dan uji
lanjut Duncan menunjukkan bahwa daya cerna pati tepung pisang hasil fermentasi berbeda nyata dengan kontrol Lampiran 23.
Gambar 13 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap daya cerna pati tepung pisang
Daya cerna tepung pisang hasil fermentasi 24 jam tanpa otoklaf 52.99 lebih tinggi daripada daya cerna tepung pisang hasil fermentasi 48 jam tanpa
otoklaf 49.75. Hasil ini berkaitan dengan hasil pengukuran kadar pati resisten Gambar 10 yang menunjukkan bahwa kadar pati resisten tepung pisang hasil
fermentasi 48 jam tanpa otoklaf 8.62 lebih tinggi daripada tepung pisang hasil fermentasi 24 jam tanpa otoklaf 6.74.
Tepung pisang hasil fermentasi memiliki daya cerna yang lebih rendah dibandingkan tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus
pemanasan otoklaf Gambar 13, walaupun kadar pati resisten pada tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf lebih tinggi dari
pada tepung pisang hasil fermentasi tanpa otoklaf Gambar 10. Penyebab peningkatan daya cerna ini adalah karena proses fermentasi dan pemanasan
otoklaf dapat melemahkan ikatan a-glukosidik pati dan oligosakarida selain pati disakarida, tetrasakarida yang terdapat di dalam tepung pisang sehingga akan
memudahkan kerja enzim pencernaan. Hidrolisis yang terjadi selama proses fermentasi yaitu pemotongan ikatan a-glukosidik pati menjadi molekul-molekul
dengan berat molekul lebih rendah Wurzburg 1989.
10 20
30 40
50 60
70 80
90
Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam
Fermentasi 48 jam 41.75 0.51
a
52.99 0.01
c
49.75 6.24
bc
44.94 1.48
a
60.85 0.78
d
82.23 2.34
e
Daya cerna pati bk
Tanpa otoklaf Otoklaf
4.3.5. Kadar Serat Pangan Total
Kadar serat pangan total tepung pisang hasil fermentasi 24 dan 48 jam tanpa pemanasan otoklaf yang masing-masing adalah 7.54 bk dan 7.51 bk berbeda nyata
dengan kadar serat pangan total tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan pemanasan otoklaf yang masing-masing adalah 7.72 bk dan 7.93 bk Gambar 14.
Kadar serat pangan total yang tinggi dari tepung pisang perlakuan maupun kontrol yaitu antara 7-8 bk dapat memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh.
Gambar 14 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar serat pangan total tepung pisang
Kadar karbohidrat yang tidak tersedia unavailable carbohydrates, seperti selulosa, lignin dan polisakarida non-selulosa tidak mengalami penurunan selama
perlakuan otoklaf Apata 2008. Berdasarkan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata antara kadar serat pangan total tepung pisang
tanpa dan dengan satu siklus pemanasan otoklaf. Begitu pula dengan tepung pisang tanpa fermentasi dan dengan fermentasi Lampiran 24.
Meningkatnya kadar serat pangan total di dalam tepung pisang setelah diberi perlakuan fermentasi dengan atau tanpa satu siklus pemanasan otoklaf
berhubungan dengan meningkatnya kadar pati resisten Gambar 10. Haralampu 2000 menyatakan bahwa pati resisten teruji sebagai serat tidak larut tetapi
memiliki fungsi fisiologis seperti serat larut. Hal inilah yang menyebabkan
1 2
3 4
5 6
7 8
Tanpa ferment asi Ferm ent asi 24 jam
Ferm ent asi 48 jam
7.36 0.08
a
7.54 0.04
b
7.51 0.04
b
7.61 0.04
bc
7.72 0.09
c
7.93 0.01
d
S e
ra t
p a
n g
a n
t o
ta l
b k
Tanpa ot oklaf Ot oklaf
terjadinya peningkatan kadar serat pangan total pada tepung pisang tanduk hasil modifikasi.
4.4. Modifikasi Tepung Pisang Melalui Pemanasan Otoklaf Berulang 4.4.1. Kadar Pati Resisten
Kadar pati resisten tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang berkisar dari 8 bk hingga 15 bk Gambar 15, lebih tinggi
daripada kadar pati resisten kontrol tanpa otoklaf, yaitu sebesar 6.38 bk. Kadar pati resisten tertinggi dihasilkan oleh pemanasan otoklaf berulang dua
siklus yaitu sebesar 15.90 bk, dimana terjadi peningkatan sebesar 9.52 dibandingkan kadar pati resisten kontrol 6.38.
Gambar 15 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar pati resisten tepung pisang
Peningkatan kadar pati resisten berhubungan dengan peningkatan kadar amilosa Gambar 17 yang berasal dari bagian rantai pendek lurus amilopektin.
Wen et al. 1996 melaporkan bahwa amilopektin dapat terdegradasi oleh perlakuan fisik seperti pemanasan menjadi beberapa bagian rantai pendek lurus
a1,4 glukan yang mana dapat meningkatkan kadar pati resisten. Kadar pati resisten tepung pisang modifikasi TPM otoklaf dua siklus lebih tinggi daripada
2 4
6 8
10 12
14 16
kontrol 1 kali siklus
2 kali siklus 3 kali siklus
6.38 0.06
a
11.26 0.01
c
15.90 0.07
d
8.10 0.63
b
Kadar p ati resisten
bk
TPM hasil otoklaf satu siklus yaitu 11.26 bk sedangkan pada TPM otoklaf tiga siklus, kadar pati resisten menurun menjadi 8.1 bk Gambar 15.
Penurunan kadar pati resisten tepung pisang modifikasi TPM perlakuan otoklaf tiga siklus berhubungan dengan terjadinya sedikit penurunan pada kadar
amilosanya Gambar 17, dimana kadar amilosa pada TPM tiga siklus otoklaf masih relatif tinggi tetapi tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol.
Pembentukan pati resisten oleh proses pemanasan dan pendinginan dipengaruhi oleh proses kristalisasi amilosa. Jika kadar amilosa yang tersedia mengalami
perubahan, maka kadar pati resisten yang terbentuk juga akan mengalami perubahan.
Penambahan jumlah pengulangan siklus pemanasan otoklaf memiliki pengaruh yang berbeda di dalam meningkatkan kadar pati resisten. Peningkatan
kadar pati resisten di dalam penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Hickman et al
. 2009, dimana perlakuan otoklaf tiga kali pada tepung jagung dan gandum memberikan dampak peningkatan pati resisten dari 11 menjadi 13.3 untuk
tepung jagung sedangkan pada tepung gandum peningkatan yang terjadi hanya dari 9.1 menjadi 10.9. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan a=0.05,
menunjukkan bahwa pemanasan otoklaf berulang memberikan peningkatan kadar pati resisten pada TPM yang berbeda nyata dengan kadar pati resisten kontrol
Lampiran 25.
4.4.2. Kadar Pati
Pati merupakan komponen utama dari tepung pisang yang belum matang 63.50-74.65 Pacheco-Delahaye et al. 2008. Kadar pati tepung pisang
modifikasi setelah pemanasan berulang satu sampai dengan tiga kali berkisar pada 70.92-76.02 bk Gambar 16, dimana berdasarkan hasil analisis ragam
dan uji lanjut Duncan a=0.05 kadar pati tepung pisang setelah perlakuan satu, dua dan tiga kali siklus pemanasan tidak tidak berbeda nyata dengan kontrol
70.93 bk Lampiran 26. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan kadar pati dari pati garut termodifikasi dimana pemanasan otoklaf dan pendinginan yang diulang
sebanyak tiga hingga lima siklus tidak mempengaruhi kadar pati Pratiwi 2008.
Gambar 16 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar pati tepung pisang
Pengukuran kadar pati dilakukan dengan menggunakan metode hidrolisis oleh asam kuat. Asam kuat akan menghidrolisis seluruh pati struktur yang
kompleks termasuk pati resisten menjadi bentuk gula pereduksi. Kadar pati dihitung melalui konversi jumlah gula. Irisan pisang yang diberi perlakuan otoklaf
dan pendinginan suhu 4ºC, selama 24 jam satu hingga tiga siklus menghasilkan tepung pisang yang tidak mengalami perubahan kadar patinya pati tidak
mengalami penguraian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terukurnya pati resisten sebagai bagian dari pati selain amilosa dan amilopektin. Peningkatan
kadar pati resisten Gambar 15 dan amilosa Gambar 17 menyebabkan kadar pati yang terukur tidak mengalami perubahan. Selain amilosa dan amilopektin,
pati modifikasi pati resisten juga termasuk komponen pati Pratiwi 2008.
4.4.3. Kadar Amilosa
Kadar amilosa dari tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang berkisar antara 40.41-45.30 bk Gambar 17. Perlakuan pemanasan
berulang satu hingga tiga siklus menghasilkan tepung pisang dengan kadar amilosa yang lebih tinggi atau cenderung konstan jika dibandingkan kadar
amilosa kontrol 36 bk. Berdasarkan hasil analisis ragam dan hasil uji lanjut Duncan a=0.05, terjadi peningkatan kadar amilosa tepung pisang modifikasi
10 20
30 40
50 60
70 80
kontrol 1 kali siklus
2 kali siklus 3 kali siklus
71.97 3.18
a
75.11 0.54
a
76.02 2.21
a
70.93 0.51
a
Kadar pati bk
hasil siklus pemanasan berulang yang berbeda nyata dengan kadar amilosa tepung pisang kontrol Lampiran 27.
Gambar 17 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar amilosa
tepung pisang Peningkatan kadar amilosa pada tepung pisang modifikasi hasil
pemanasan otoklaf berulang merupakan indikasi terjadi pemutusan sebagian dari ikatan cabang amilopektin. Perolehan kadar amilosa yang lebih tinggi pada pati
pisang yang diberi perlakuan otoklaf dibandingkan yang tidak diberi perlakuan mengindikasikan terjadinya debranching sebagian pada amilopektin Aparicio-
Saguilan et al. 2005. Kadar amilosa yang meningkat pada tepung pisang modifikasi
menunjukkan bahwa tepung pisang modifikasi memiliki potensi yang baik sebagai prebiotik. Pati yang kaya amilosa setelah mengalami proses gelatinisasi dan
retrogradasi berpotensi menghasilkan pati resisten, dimana pati resisten tersebut apabila dapat melewati usus halus akan menjadi substrat untuk mendukung
pertumbuhan probiotik Sajilata et al. 2006.
4.4.4. Daya Cerna Pati In Vitro
Tepung pisang yang diberi pemanasan otoklaf satu kali, dua kali dan tiga kali memiliki daya cerna pati in vitro masing-masing adalah 44.94 bk,
41.35 bk dan 52.60 bk Gambar 18. Hasil analisis ragam dan uji lanjut
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
kontrol 1 kali siklus
2 kali siklus 3 kali siklus
35.68 2.89
a
45.30 1.63
b
43.03 1.28
b
40.41 1.74
ab
Kadar amilosa bk
Duncan a=0.05 menunjukkan bahwa daya cerna pati in vitro tepung pisang hasil otoklaf tiga kali siklus berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol, sedangkan
tepung pisang hasil otoklaf satu dan dua siklus tidak berbeda nyata dengan kontrol Lampiran 28.
Gambar 18 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap daya cerna pati tepung
pisang Peningkatan nilai daya cerna pati in vitro pada tepung pisang modifikasi
tiga siklus otoklaf kemungkinan disebabkan oleh adanya penguraian sebagian dari oligosakarida dan karbohidrat sederhana lain selain pati resisten yang terdapat di
dalam tepung pisang akibat proses otoklaf berulang sehingga terukur sebagai karbohidrat yang dapat dicerna. Selain itu, peningkatan daya cerna pati in vitro
pada tepung pisang modifikasi TPM hasil tiga siklus otoklaf juga berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar pati resisten pada TPM tersebut Gambar 15.
Daya cerna pati digunakan sebagai parameter awal untuk mengindikasikan terjadinya peningkatan kadar pati resisten TPM, karena TPM dengan daya cerna
yang lebih rendah kemungkinan memiliki kandungan pati resisten yang lebih besar. Peningkatan kadar pati resisten dapat menurunkan daya cerna pati in vitro
karena pati resisten dapat terukur sebagai serat pangan yang tidak larut Ranhotra et al
. 1991.
10 20
30 40
50 60
kontrol 1 kali siklus
2 kali siklus 3 kali siklus
40.15 0.51
a
44.94 1.48
a
41.35 2.93
a
52.61 3.87
b
daya cerna pati in vitro bk
4.4.5. Kadar Serat Pangan Total
Serat pangan dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu serat larut dan serat tidak larut. Kadar serat pangan total adalah jumlah dari serat pangan larut dan
serat pangan tidak larut. Pemanasan otoklaf berulang satu, dua dan tiga siklus menghasilkan kadar serat pangan total 7.61 bk, 8.2 bk dan 8.17 bk
Gambar 19. Berdasarkan hasil analisis analisis ragam dan uji lanjut Duncan a=0.05, kadar serat pangan total kontrol 7.36 berbeda nyata dengan serat
pangan total pada tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf satu, dua dan tiga siklus Lampiran 29.
Gambar 19 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar serat pangan total
tepung pisang Pemanasan otoklaf berulang dapat meningkatkan kadar serat pangan total
dari tepung pisang modifikasi TPM yang dihasilkan Gambar 19. Peningkatan kadar serat pangan total pada tepung pisang modifikasi TPM menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan kadar pati resisten yang terukur sebagai serat pangan tidak larut. Hasil serupa juga ditemukan pada pati garut yang dimodifikasi dengan
pemanasan otoklaf dimana kadar serat pangan meningkat setelah pemanasan akibat terbentuknya pati resisten Sugiyono et al. 2009.
Pemanasan otoklaf tiga siklus tidak lagi menghasilkan peningkatan kadar serat pangan total tidak berbeda nyata dengan TPM hasil dua siklus otoklaf pada
tepung pisang. Hasil ini sesuai dengan kadar pati resisten TPM tiga siklus otoklaf
1 2
3 4
5 6
7 8
kontrol 1 kali siklus
2 kali siklus 3 kali siklus
7.36 0.08
a
7.61 0.04
b
8.2 0.01
c
8.17 0.04
c
S erat
pangan total bk
yang mengalami penurunan Gambar 15, sedangkan daya cernanya mengalami peningkatan Gambar 18.
4.5. Viabilitas Bakteri Asam Laktat Pada Tepung Pisang Modifikasi
Beberapa penelitian in vivo yang dilakukan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa pati resisten memiliki potensi sebagai prebiotik yang
mendukung pertumbuhan probiotik. Kultur bakteri asam laktat BAL yang digunakan dalam penelitian ini adalah BAL kandidat probiotik yaitu Lactobacillus
acidophillus , Lactobacillus plantarum sa28k dan Lactobacillus fermentum 2B4.
Pengujian ini menggunakan media m-MRSB sebagai kontrol untuk melihat pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai oleh bakteri asam laktat kandidat
probiotik yang diujikan di dalam uji ini. Sel hidup dihitung setelah waktu inkubasi 24 jam. Jumlah kultur awal
yang diinokulasikan dalam uji viabilitas adalah 6.30 log cfuml L. acidophillus, 6.18 log cfuml L. plantarum sa28k dan 6.48 log cfuml L. fermentum 2B4.
Tepung pisang modifikasi TPM yang digunakan adalah tepung pisang hasil kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus otoklaf TPM
FO
dan tepung pisang hasil satu siklus otoklaf tanpa fermentasi TPM
O
yang kedua TPM tersebut sudah dihilangkan kandungan gula-gula sederhananya.
4.5.1. Lactobacillus acidophillus sp.
Pertumbuhan L. acidophillus sp. pada media air+TPM
FO
adalah sebanyak 1.41 log cfuml sedangkan pada media air+TPM
O
sebanyak 1.04 log cfuml Gambar 20. Media air digunakan untuk dapat mengamati pengaruh TPM secara
khusus dalam membantu meningkatkan pertumbuhan L. acidophillus sp., sehingga dapat menunjukkan sifat prebiotik suatu bahan yang ditambahkan ke dalam media
karena hanya bahan tersebut yang dapat digunakan sebagai sumber karbon nutrisi.
Gambar 20 Viabilitas L. acidophillus sp.pada beberapa media TPM Peningkatan pertumbuhan L. acidophillus sp. pada media m-
MRSB+TPM
FO
cukup baik yaitu sebanyak 2.51 log cfuml dan pada media m- MRSB+TPM
O
yaitu sebanyak 2.34 log cfuml. Akan tetapi, jika kita mengamati selisih pertumbuhan L. acidophillus sp. antara media m-MRSB sebagai media
kontrol dengan media m-MRSB+TPM sebagai media pertumbuhan, peningkatan pertumbuhan yang terjadi relatif kecil yaitu antara 0.34-0.51 log cfuml Gambar
20.
4.5.2. Lactobacillus plantarum sa28k
Uji viabilitas Lactobacillus plantarum sa28k menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan pada media air+TPM
FO
adalah sebanyak 0.54 log cfuml dan pada media air+TPM
O
adalah sebanyak 1.14 log cfuml Gambar 21. Berdasarkan jumlah peningkatan pertumbuhan L. plantarum sa28k
pada media air yang ditambahkan TPM, dapat disimpulkan bahwa TPM
O
lebih membantu pertumbuhan dari L. plantarum sa28k dibandingkan TPM
FO
. Respon pertumbuhan pada media air+TPM
FO
yang berbeda antara L. acidophillus
1.41 log cfuml dengan L. plantarum sa28k 0.54 log cfuml menunjukkan bahwa setiap strain memiliki skor aktivitas prebiotik yang berbeda.
Interaksi prebiotik dengan probiotik sangat tergantung pada strain bakteri bersifat spesifik, bukan hanya berdasarkan pada spesies Artanti 2009.
2 4
6 8
10
m-MRSB m-MRSB+TPMO m-MRSB+TPMF0
Air+TPM0 Air+TPMF0
8.30 8.64
8.81 7.34
7.71
Log cfuml
Gambar 21 Viabilitas L. plantarum sa28k pada beberapa media TPM Pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media m-MRSB+TPM
FO
sangat baik yaitu sebesar 2.63 log cfuml, sangat berbeda dengan pertumbuhannya pada
media air+TPM
FO
yang hanya mengalami peningkatan 0.54 log cfuml. Perbedaan ini menunjukkan bahwa L. plantarum sa28k sangat membutuhkan nutrisi yang
cukup untuk pertumbuhannya. Media m-MRSB merupakan media bebas gula sumber karbon yang masih mengandung pepton dan ekstrak khamir sumber
nitrogen serta mineral. Pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media m-MRSB+TPM
O
adalah sebanyak 2.57 log cfuml. Selisih peningkatan pertumbuhan yang terjadi antara media m-MRSB sebagai media kontrol dengan
media m-MRSB+TPM sebagai media pertumbuhan adalah antara 0.45- 0.51 log cfuml Gambar 21.
4.5.3 Lactobacillus fermentum 2B4
Peningkatan pertumbuhan L. fermentum 2B4 pada media air+TPM
FO
adalah sebanyak 1.63 log cfuml, sedangkan pada media air+TPM
O
adalah sebanyak 1.8 log cfuml Gambar 22. Pertumbuhan L. fermentum 2B4 1.63-
1.8 log cfuml pada media air+TPM jika dibandingkan dengan pertumbuhan L acidophillus sp.
1.04-1.41 log cfuml dan L. plantarum sa28k 0.54-1.14 log cfuml relatif lebih tinggi. Perbedaan jumlah peningkatan pertumbuhan pada
media air+TPM juga menunjukkan perbedaan kemampuan suatu BAL probiotik dalam memanfaatkan sumber nutrisi fermentasi prebiotik yang ada pada media
pertumbuhannya.
2 4
6 8
10
m-MRSB m-MRSB+TPMO m-MRSB+TPMF0
Air+TPM0 Air+TPMF0
8.3 8.75
8.81 7.32
6.72
Log cfuml
Gambar 22 Viabilitas L. fermentum 2B4 pada beberapa media TPM Uji viabilitas L. fermentum 2B4 menunjukkan bahwa peningkatan
pertumbuhan L. fermentum 2B4 pada media m-MRSB+TPM
FO
adalah sebanyak 2.52 log cfuml, sedangkan pada media air+TPM
O
adalah sebanyak 2.29 log cfuml. Selisih pertumbuhan L. fermentum 2B4 antara media m-MRSB
sebagai media kontrol dengan media m-MRSB+TPM sebagai media pertumbuhan adalah antara 0.41-0.64 log cfuml Gambar 22.
Hasil uji viabilitas terhadap ketiga BAL kandidat probiotik yaitu Lactobacillus acidophillus
sp., L. plantarum sa28k dan L. fermentum 2B4 yang ditumbuhkan pada media TPM bebas gula menunjukkan hasil bahwa TPM hasil
otoklaf baik dengan dikombinasi fermentasi TPM
FO
maupun tanpa fermentasi TPM
O
memiliki potensi dalam membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis kadar amilosa pada TPM
O
dan TPM
FO
dimana keduanya memiliki kadar amilosa dan kadar pati resisten yang relatif tinggi Gambar 10 dan Gambar 12.
Topping et al. 1997 melaporkan bahwa pati resisten dari pati dengan kadar amilosa tinggi memiliki granula-granula pati yang membentuk suatu pola
permukaan bagi probiotik untuk melekat pada usus bagian atas, sehingga dapat meningkatkan viabilitas probiotik. TPM sebagai sumber nutrisi masih
mengandung banyak karbohidrat dari pati yang bersifat tidak resisten, sehingga menyebabkan lebih mudah untuk dicerna dan dimetabolisme oleh probiotik.
Pengujian viabilitas probiotik pada TPM masih perlu dikonfirmasi dengan hanya menggunakan pati resistennya saja, bukan dalam bentuk tepung TPM.
2 4
6 8
10
m-MRSB m-MRSB+TPMO
m-MRSB+TPMF0 Air+TPM0
Air+TPMF0
8.36 8.77
9
8.28 8.11
Log cfuml
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Keempat jenis pisang yaitu pisang kepok, siam, uli dan tanduk memiliki potensi sebagai sumber pati resisten karena kandungan pati dan amilosanya yang
relatif tinggi. Fermentasi spontan irisan pisang tanduk melibatkan tiga kelompok mikroorganisme yang berperan selama fermentasi yaitu amilolitik, mesofilik dan
bakteri asam laktat. Upaya peningkatan kadar pati resisten melalui proses fermentasi irisan pisang terlebih dahulu dilanjutkan dengan pemanasan otoklaf
dipengaruhi oleh lama fermentasi dan jumlah siklus pemanasan otoklaf. Fermentasi spontan 24 jam merupakan lama fermentasi terbaik dalam
meningkatkan kadar pati resisten dari tepung pisang modifikasi yang dihasilkan, karena pada lama fermentasi tersebut terjadi pembentukan asam laktat penurunan
pH dan enzim amilase dalam jumlah tertentu. Fermentasi selama 24 jam dilanjutkan dengan satu siklus pemanasan otoklaf mampu meningkatkan kadar
pati resisten tepung pisang tanduk dari 6.38 bk menjadi 15.24 bk. Peningkatan kadar pati resisten yang sama 15.90 juga dapat diperoleh bila
pisang tidak difermentasi tetapi diberi pemanasan otoklaf sebanyak dua siklus. Penambahan siklus pemanasan otoklaf menjadi tiga siklus tidak lagi
meningkatkan kadar pati resisten bahkan menurunkannya, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan daya cerna pati. Kedua proses modifikasi terbaik juga
menghasilkan tepung pisang modifikasi dengan kadar serat pangan total yang tinggi 7.7-8.2 dan mendukung pertumbuhan probiotik 1-2 log cfuml yang
mengindikasikan potensinya sebagai kandidat prebiotik.
5.2. Saran