Proses pembangkitan data dirancang sebagai berikut : 1
Tentukan matriks konstiguitas W={w
ij
} 2
Tetapkan parameterkoefisien autokorelasi λ=0.3, δ=0.3 dan 0.5, β=1 dan ρ∈{-0.3, -0.1,0.1,0.3}.
3 Tentukan peubah bebas X
= 1 + 2, 1 menyebar seragam 8,15 dan 2 menyebar seragam -5,5
4 Bangkitkan
š
•
yang menyebar seragam -5,5 5
Bangkitkan 3
•
menyebar normal dan eksponensial bebas identik dengan nilai tengah nol dan ragam 1.
6 Bangkitkan
r
•
berdasarkan persamaan :
r
•
= S − ÇÕ
• 0p
–ýr
•
− 1 +
•
s + S − üÕ
• 0p
5š
•
+ 3
•
8—
Setelah memperoleh r
•
, hitung rata-rata untuk setiap i, i=1,…,N dan
konstruksi W-AMOEBA menggunakan statistik Getis lokal dan Getis lokal termodifikasi Gnew.
7 Duga parameter-parameter
Ç, ý, s, ü menggunakan metode SYS-GMM dari model yang menggunakan WG, WGnew dan WC, dan tentukan
kuadrat tengah sisaan 8
Ulangi Tahap 1 sampai 7 sebanyak S kali 9
Hitung RMSE
R
dari model untuk ketiga jenis matriks pembobot spasial, WG, WGnew
dan WC dan bandingkan hasilnya.
4.7 Hasil dan Pembahasan
Konsentrasi pada penelitian ini adalah membandingkan performa matriks pembobot spasial yang dikonstruksi melalui prosedur AMOEBA, sehingga dalam
pembangkitan data simulasi digunakan parameter λ dan β tertentu, yang
dispesifikasi λ=0.3, 0.5 dan β=1. Asumsi kestabilan model panel spasial dinamis
maka harus dikondisikan | λ|+δ1. Nilai-nilai λ dan δ yang diambil positif untuk
memperoleh nilai peubah tak bebas y positif agar statistik Getis lokal terdefinisi. Berdasarkan beberapa alas an ini maka koefisien lag spasial pada bagian SLM
δ dan koefisien lag spasial pada bagian SEM
ρ diambil beberapa nilai, yaitu , δ=0.3 dan 0.5 serta ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3.
Data simulasi dibangkitkan berdasarkan model yang mengacu pada Cizek et al. 2011 dengan menggunakan matriks kontiguitas contiguity sebagai
dasar pembangkitan data pada SLM W dan SEM M. Dalam kasus ini dicoba untuk
3
•
yang meyebar normal, saling bebas dan identik dengan nilai tengah nol dan ragam satu. Dalam pembangkitan data deret waktu, untuk menghilangkan
pengaruh nilai awal ketika membangkitkan data deret waktu, maka untuk deret waktu sebelum 100-T diabaikan Hsiao, 2003.
Peubah yang menjadi perhatian dalam mengkonstruksi matriks pembobot spasial AMOEBA adalah rata-rata
r =
∑
H4 4WX
, = 1,2, … , . Karena r bergantung pada variasi y
it
dicoba menggunakan T=3, T=5 dan T=7. Pembandingan performa matriks pembobot AMOEBA dengan matriks kontiguitas
pada model, menggunakan kriteria akar rata-rata kuadrat tengah sisa relatif RMSE
R
.
Idealnya simulasi ditentukan sampai tidak ada lagi perubahan RMSE
R
pada simulasi berikutnya, sehingga umumnya jumlah simulasi diseting sangat besar.
Karena dalam perancangan matriks pembobot spasial AMOEBA untuk kasus ini dipengaruhi oleh banyaknya unit spasial N, hal ini tentunya akan memakan waktu
yang cukup lama. Oleh karena itu banyaknya simulasi didasarkan pada plot antara RMSE
R
dengan jumlah simulasi. Sebagai ilustrasi, dalam merancang matriks pembobot AMOEBA untuk menentukan apakah sebuah unit spasial
termasuk include atau exclude, dibutuhkan evaluasi sebanyak ∑
– − 1—
•0p ‚p
= ∑ – − 1—
•0p ‚5
− – − 1 0 — = 2
•0p
− 1. Oleh karena itu waktu yang dibutuhkan untuk satu kali simulasi bergantung pada
banyaknya unit spasial N. Jumlah simulasi B yang dicoba dalam kasus ini adalah 30, 40, 50 dan 60. Sedangkan parameter-parameter koefisien lag waktu,
koefisien autokorelasi spasial pada SLM dan koefisien autokorelasi SEM untuk membangkitkan data adalah
λ=0.3, δ =0.3, β =1, dan ρ =0.3. Plot RMSE
R
dan banyaknya simulasi B 30, 40, 50 dan 60 untuk T=3 disajikan pada Gambar 4.2.
Mengacu pada Gambar 4.2, terlihat perubahan akar kuadrat tengah sisa relatif RMSE
R
setelah simulasi ke-40 relatif stabil dan ini menunjukkan bahwa dalam kasus parameter yang dicobakan, cukup menggunakan simulasi sebanyak
40. Namun dalam simulasi ini mengambil batas simulasi 50, hal ini untuk mengurangi perubahan untuk kasus variasi parameter-parameter selainnya dan
untuk T=5 dan T=7.
Gambar 4.2 Plot jumlah simulasi dan RMSE
R
untuk WC, WG dan WGnew Dengan menggunakan jumlah simulasi 50 B=50 diperoleh RMSE
R
untuk variasi parameter-parameter
λ, δ dan ρ pada T=3,5 dan 7 Tabel 4.1.
Berdasarkan Tabel 4.1, dapat dilihat bahwa pada kasus T=3, RMSE
R
dari model yang menggunakan matriks pembobot AMOEBA dengan statistik Getis lokal WG
paling besar dibandingkan dengan matriks contiguity WC dan matrik AMOEBA dengan statistik Getis termodifikasi WGnew.
0.0000 0.0500
0.1000 0.1500
0.2000 0.2500
B30 B40
B50 B60
R M
S E
R
Jumlah simulasi
WC WG
WGnew
Tabel 4.1 Pembandingan RMSE
R
dari model dengan WC, WG dan WGnew λ
δ ρ
WC WG
Wgnew T=3
0.3 0.3
-0.3 0.1853
0.2288 0.1636
0.3 0.3
-0.1 0.1895
0.2141 0.2262
0.3 0.3
0.1 0.1948
0.2246 0.1744
0.3 0.3
0.3 0.2004
0.2312 0.1837
0.3 0.5
-0.3 0.0927
0.1390 0.1137
0.3 0.5
-0.1 0.0955
0.1401 0.0819
0.3 0.5
0.1 0.0975
0.1392 0.0849
0.3 0.5
0.3 0.1002
0.1383 0.0918
0.5 0.3
-0.3 0.0875
0.1170 0.0764
0.5 0.3
-0.1 0.0899
0.1203 0.0791
0.5 0.3
0.1 0.0920
0.1254 0.0853
0.5 0.3
0.3 0.0944
0.1171 0.0913
T=5 0.3
0.3 -0.3
0.1319 0.1138
0.1231 0.3
0.3 -0.1
0.1463 0.1455
0.1311 0.3
0.3 0.1
0.1617 0.1667
0.1623 0.3
0.3 0.3
0.1791 0.1764
0.1587 0.3
0.5 -0.3
0.0674 0.0904
0.0537 0.3
0.5 -0.1
0.0746 0.0939
0.0598 0.3
0.5 0.1
0.0827 0.0983
0.0670 0.3
0.5 0.3
0.0915 0.0722
0.0749 0.5
0.3 -0.3
0.0621 0.0690
0.0513 0.5
0.3 -0.1
0.0688 0.0752
0.0575 0.5
0.3 0.1
0.0762 0.0833
0.0635 0.5
0.3 0.3
0.0843 0.0896
0.0692 T=7
0.3 0.3
-0.3 0.1555
0.1676 0.1264
0.3 0.3
-0.1 0.1711
0.1656 0.1675
0.3 0.3
0.1 0.1919
0.1880 0.1538
0.3 0.3
0.3 0.2147
0.2043 0.1719
0.3 0.5
-0.3 0.0781
0.0741 0.0746
0.3 0.5
-0.1 0.0870
0.1109 0.0572
0.3 0.5
0.1 0.0969
0.1160 0.0715
0.3 0.5
0.3 0.1085
0.1245 0.0790
0.5 0.3
-0.3 0.0784
0.0723 0.0539
0.5 0.3
-0.1 0.0869
0.0798 0.0605
0.5 0.3
0.1 0.0969
0.0880 0.0717
0.5 0.3
0.3 0.1081
0.0997 0.1019
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa model dengan matriks pembobot WGnew
secara umum memberikan RMSE
R
yang lebih kecil baik dibandingkan dengan RMSE
R
model WC maupun WG. Sebagai ilustrasi, dari dua belas
kombinasi parameter ya lebih besar dibandingka
perubahan dimana terdap lebih baik dibandingkan
hasil yang diperoleh WG T
=7 tidak terlihat ad memberikan performa te
Temuan lain dari T λ =0.3 dan δ=0.5 mengh
ketika kedua parameter Hal ini diduga sebagai
peubah bebas X dan pen ini dapat ditangkap oleh
kajian dan perhatian lebi lag
spasial δ terhadap R
fokus kajian yakni pem merupakan koefisien lag
Berdasarkan koefis 4.1 terdapat kecenderunga
WG, dan WGnew cende
demikian untuk melihat RMSE
R
dari ketiga per simulasi pada
λ=0.3, β= Gambar 4.3 menyajika
spasial, δ= 0.1, 0.2, 0.3,
Gambar 4.3 D Berdasarkan Gamba
dari model dengan WC,
0.0000 0.0500
0.1000 0.1500
0.2000 0.2500
0.3000 0.3500
0.1
R M
S E
R
yang dicoba, hanya dua RMSE
R
model deng kan model dengan WC. Pada kasus T=5 ter
apat beberapa RMSE
R
dari model dengan WG an dengan WC dan WGnew akan tetapi dari
WGnew masih memberikan performa terbaik.
adanya perubahan, yakni secara keseluruha terbaik dengan nilai RMSE
R
yang paling minim i Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa untuk
λ =0.5 da ghasilkan RMSE
R
yang cenderung lebih kecil di r tersebut kecil
λ=δ=0.3 baik untuk T=3, 5 ai dampak dari proses pembangkitan data di
pengaruh unit spesifik tetap η yang tinggi, sehi
oleh kedua parameter tersebut λ dan δ. Nam
ebih lanjut difokuskan pada bagaimana perubaha p RMSE
R
untuk λ dan ρ yang tetap. Hal ini s
mbandingan performa matriks pembobot spas ag
spasial pada model. fisien lag spasial
δ, sebagaimana yang tersa ungan dimana RMSE
R
model dengan matriks pe nderung lebih kecil seiring dengan meningkatn
hat trend keterkaitan atau pengaruh perubaha performa matriks pembobot spasial, maka di
=1, ρ=0.3, untuk variasi δ= 0.1, 0.2, 0.3, 0.4,
kan diagram batang RMSE
R
pada variasi koe 0.4, 0.5 dan 0.6 untuk pada T=7.
Diagram batang RMSE
R
untuk variasi δ pada T
mbar 4.3 terdapat kecenderungan penurunan , WG maupun WGnew seiring dengan mening
0.2 0.3
0.4 0.5
0.6
Koefisien lag spasial δ
δδ δ
WC WG
WGne 49
dengan WGnew terdapat sedikit
G yang sedikit
dari keseluruhan k. Pada kasus
uruhan WGnew nimum.
0.5 dan δ=0.3 atau
il dibandingkan 5 maupun T=7.
dimana variasi ehingga variasi
amun demikian ubahan koefisien
ni sesuai dengan pasial dimana
δ saji pada Tabel
pembobot WC, tnya
δ. Namun han
δ terhadap dicoba dengan
0.4, 0.5 dan 0.6. koefisien lag
da T=7 n RMSE
R
baik ningkatnya nilai
new
δ. Namun demikian performa matriks WC cenderung lebih baik dibandingkan matriks WG ketika
δ ≥ 0.4, sedangkan pada δ 0.4 performa matriks WG lebih baik dibandingkan performa matriks WC. Berdasarkan Gambar 4.3 performa
matriks WGnew menunjukkan hasil yang konsisten dan paling baik diantara matriks WC dan WG, dimana model dengan WGnew memberikan RMSE
R
yang paling kecil untuk berbagai variasi
δ yang dicoba.
4.8 Simpulan
Berdasarkan pada proses pembangkitan data dengan spesifikasi parameter λ=0.3 dan 0.5, δ=0.3 dan 0.5, β=1, ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3 serta untuk T=3, 5
dan 7, dan matriks kontiguitas WC sebagai acuan dalam pembangkitan data, matriks pembobot AMOEBA dengan statistik Getis termodifikasi WGnew
memberikan performa terbaik. Pada berbagai parameter dan T yang dicoba, nilai- nilai RMSE
R
dari model dengan WGnew memberikan hasil paling minimum. Pengaruh perubahan koefisien lag spasial
δ terhadap RMSE
R
pada koefisien lag waktu
λ dan koefisien lag spasial sisaan ρ sama dengan 0.3, terdapat kecenderungan penurunan nilai RMSE
R
seiring dengan peningkatan δ.
Dari sisi performa WG dan WC, untuk koefisien lag spasial yang kurang dari 0.4 δ 0.4 performa WG lebih baik daripada performa WC sedangkan untuk
koefisien lag spasial minimal 0.4 δ ≥0.4 performa WC lebih baik daripada
performa WG. Namun demikian hasil perbandingan secara keseluruhan untuk koefisien lag spasial 0.1 sampai 0.6
δ =0.1,..., 0.6, WGnew memberikan performa terbaik dimana RMSE
R
dari model dengan WGnew paling minimum. Dalam konstruksi matriks pembobot menggunakan prosedur AMOEBA
terdapat beberapa baris yang mempunyai elemen nol untuk semua kolom sehingga perlu dipertimbangkan pemisahan unit-unit spasial baris yang mempunyai elemen
nol semua dengan yang tidak nol semua melalui fungsi indikator pada model.
5 PEMODELAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI PROVINSI JAWA TENGAH
5.1 Pendahuluan
Masalah kemiskinan merupakan salah satu permasalahan mendasar yang menjadi pusat perhatian baik di pemerintahan pusat ataupun daerah. Berbagai
upaya kerap dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun daerah dalam membantu penduduk miskin, diantaranya: Bantuan Langsung Tunai BLT, beras untuk
keluarga miskin RASKIN, jaminan kesehatan masyarakat dan lain-lain. Beberapa bantuan tersebut merupakan sebuah penyelesaian sementara, yang dapat
membantu memecahkan masalah kemiskinan. Akan tetapi untuk dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, perlu adanya pengkajian lebih mendalam
akar permasalahan kemiskinan di wilayah yang bersangkutan. Oleh karena itu perlu dikaji secara lebih seksama faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah
penduduk miskin sehingga dampak-dampak negatif yang muncul dari kemiskinan itu dapat diminimalisir.
Jumlah penduduk miskin bulan Maret 2013 di Indonesia mencapai 28.07 juta orang. Sementara itu pada bulan Maret 2013, pulau Jawa merupakan pulau
dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia, namun secara persentase pulau Jawa menempati kedua terkecil setelah Pulau Kalimantan Berita Resmi
Statistik, Juli 2013. Oleh karena itu terdapat kaitan yang sangat erat antara jumlah penduduk miskin dan populasi penduduk di suatu wilayah. Provinsi Jawa
Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk miskin yang berada di peringkat kedua terbesar di Indonesia setelah Provinsi Jawa
Timur BPS, 2012 diolah. Namun dari sisi persentase penduduk miskinnya, Provinsi Jawa Tengah menempati urutan ke-12 terbesar di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, populasi penduduk mempunyai hubungan positif dengan jumlah penduduk miskin. Hal ini berarti meningkatnya
populasi penduduk berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk miskin Siregar dan Wahyuniarti, 2008.
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah, dapat pula mempengaruhi jumlah penduduk miskin yang ada di daerah bersangkutan. Hal ini terjadi karena
pertumbuhan ekonomi suatu daerah berkaitan erat dengan perkembangan lapangan usaha yang tersedia di daerah tersebut yang dapat menampung penduduk
usia produktif untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Salah satu indikator yang sering digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah
Produk Domestik Regional Bruto PDRB. Dari sisi produksi terdapat sembilan lapangan usaha sebagai penyumbang PDRB. Diantara sembilan sektor lapangan
usaha tersebut terdapat empat sektor lapangan usaha yang dominan di Provinsi Jawa Tengah. Keempat sektor lapangan usaha itu adalah sektor pertanian, sektor
industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor jasa BPS Jawa Tengah, 2011. Keempat sektor ini memiliki peranan penting dalam menyerap tenaga
kerja di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu banyaknya tenaga kerja yang terserap pada keempat sektor dominan ini share tenaga kerja menjadi
perhatian dalam melihat pengaruhnya terhadap jumlah penduduk miskin.
Selain share tenaga kerja pada empat sektor dominan, perlu juga dikaji pengaruh populasi penduduk, kualitas sumberdaya manusia serta PDRB perkapita
terhadap jumlah penduduk miskin. Berdasarkan data dari BPS diketahui bahwa
posisi suatu daerah tidak sama jika dilihat dari jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskinnya. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh populasi
penduduk terhadap tingkat kemiskinan di suatu daerah. Kualitas sumberdaya manusia juga berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin, karena pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kesempatan lebih tinggi untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Jumlah penduduk miskin
juga sangat dipengaruhi oleh pendapatan perkapita penduduknya. PDRB perkapita di kabupatenkota di Provinsi Jawa Tengah sangat berpengaruh dalam
penentuan garis kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu setiap daerah di Provinsi Jawa Tengah senantiasa berusaha untuk meningkatkan
pendapatan perkapita penduduknya agar dapat berada di atas garis kemiskinan. Jika pendapatan perkapita penduduknya semakin meningkat diharapkan dapat
mengurangi jumlah penduduk miskin di daerah yang bersangkutan.
Pada penelitian ini, selain share tenaga kerja empat sektor dominan, populasi penduduk, PDRB perkapita dan pendidikan, dikaji pula interaksi spasial
antar wilayah yang saling berdekatan. Interaksi spasial ini diperlukan untuk melihat bagaimana pengaruh tetangga antar kabupatenkota terhadap jumlah
penduduk miskin di kabupatenkota tertentu. Dampak adanya faktor interaksi spasial dalam model adalah munculnya endogeneitas, sehingga penduga
parameter yang relevan digunakan dalam penelitian ini adalah metode SYS- GMM.
Berdasarkan latar belakang di atas, konsentrasi penelitian ini adalah mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin dan faktor
interaksi spasial kabupatenkota yang bertetangga dengan melibatkan jenis matriks pembobot spasial yang berbeda dalam model. Tujuan penelitian ini
adalah mendapatkan performa matriks pembobot terbaik yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin dan interaksi spasial
di Provinsi Jawa Tengah serta dapat merumuskan implikasi kebijakan dari hasil analisis yang diperoleh.
5.2 Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Jawa Tengah
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di pulau Jawa yang diapit oleh dua provinsi besar yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur. Letak
Provinsi Jawa Tengah antara 5
o
40’ dan 8
o
30’ Lintang Selatan dan antara 108
o
30’ dan 111
o
30’ Bujur Timur. Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota. Luas wilayah pada tahun 2010 adalah sebesar
3.25 juta hektar atau 25.04 persen dari luas Pulau Jawa atau 1.7 persen dari luas Indonesia. Wilayah provinsi Jawa Tengah terdiri dari luas sawah sebesar 992 ribu
hektar dan luas bukan lahan sawah sebesar 2.26 juta hektar BPS Jawa Tengah, 2012.
Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 adalah 32.64 juta orang dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang hampir
merata yaitu jumlah laki-laki sebanyak 16.27 juta orang dan jumlah perempuan 16.37 juta orang. Kepadatan penduduknya mencapai 1003 orang per km
2
. Pada tahun 2011 jumlah rumah tangga di Provinsi Jawa Tengah adalah 8.9 juta rumah
tangga dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 3.7 BPS Jawa Tengah, 2012. Secara proporsional jumlah penduduk terbesar adalah penduduk usia produktif
atau kelompok umur angkatan kerja 15-64 tahun yaitu sebanyak 21.99 juta