Kemiskinan dan PDRB Provinsi Jawa Tengah Spesifikasi Model dan Uji Hipotesis Parameter Model

Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2007 Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2008 Gambar 5.1 P Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2009 Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Pola persebaran jumlah penduduk miskin tahun 2007 sampai 2011 59 enduduk Miskin Tahun 2010 enduduk Miskin Tahun 2011 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2007 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2008 Gambar 5.2 Pol Persentase Penduduk Miskin Tahun 2009 Persent Persent ola persebaran persentase penduduk miskin tahun 2007 sampai 2011 sentase Penduduk Miskin Tahun 2010 sentase Penduduk Miskin Tahun 2011 Kelas keempat untuk jumlah penduduk miskin 288000 orang sampai kurang dari 384000 orang, dan kelas kelima adalah untuk jumlah penduduk miskin lebih dari 384000. Berdasarkan pembagian kelas tersebut menunjukkan bahwa kelas pertama menunjukkan kelompok kabupatenkota dengan jumlah penduduk miskin yang terendah dan kelas kelima menunjukkan kelompok kabupatenkota dengan jumlah penduduk miskin tertinggi. Perbedaan degradasi warna dari terang ke gelap merepresentasikan kelompok kabupatenkota dengan jumlah penduduk miskin dari rendah ke tinggi. Secara umum sebagian besar kabupatenkota menempati kelas kedua dan yang paling sedikit adalah menempati kelas kelima. Dari tahun ke tahun terjadi pergeseran warna pada beberapa kabupatenkota, hal ini terjadi karena berubahnya jumlah penduduk miskin. Sebagai contoh Kabupaten Kebumen pada tahun 2007, 2008 dan 2009 berada di kelas keempat, namun pada tahun berikutnya yaitu tahun 2010 dan 2011 bergeser posisinya ke kelas ketiga. Hal ini berarti jumlah penduduk miskin Kabupaten Kebumen di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan. Berdasarkan Gambar 5.1 terdapat kabupatenkota yang relatif tetap pada posisinya data dari tahun 2007 sampai 2011. Sebagai ilustrasi, Kabupaten Brebes dengan jumlah penduduk miskin terbesar, yaitu pada kelas kelima warna gelaptua, dan Kabupaten Banyumas menempati kelas keempat, untuk selengkapnya kabupatenkota dengan degradasi warna yang sama dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 5.1. Untuk melihat persebaran persentase penduduk miskin, pembagian banyaknya kelas dan panjang interval kelas dilakukan dengan cara yang sama sebagaimana pada jumlah penduduk miskin. Kelas pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima berutur-turut adalah untuk persentase penduduk miskin kurang dari 6, 6 sampai kurang dari 12, 12 sampai kurang dari 18, 18 sampai kurang dari 24 dan di atas 24. Berdasarkan pembagian kelas tersebut diperoleh pola persebaran persentase penduduk miskin yang tersaji pada Gambar 5.2. Pola persebaran jumlah penduduk miskin Gambar 5.1 dan persentase penduduk miskin Gambar 5.2 berbeda. Perbedaan pola persebaran ini dikarenakan adanya faktor koreksi, yaitu jumlah penduduk atau populasi penduduk di setiap kabupatenkota. Berdasarkan Gambar 5.2 persentase penduduk miskin untuk kabupatenkota di Provinsi Jawa Tengah sebagian besar mengalami pergeseran dari kelas keempat ke kelas ketiga atau bergeser ke posisi tengah. Pergerakan persentase penduduk miskin dari tahun ke tahun di kabupatenkota cukup dinamis, hal ini dapat dilihat dari perubahan degradasi warna pada kabupatenkota. Jika dibandingkan antara persebaran jumlah penduduk miskin Gambar 5.1 dan persebaran persentase penduduk miskin Gambar 5.2 terdapat perbedaan. Misalnya dalam persebaran persentase penduduk miskin Kabupaten Brebes menempati kelas kelima untuk tahun 2007 sampai tahun 2009, namun untuk tahun 2010 dan 2011 bergeser ke kelas keempat. Hal ini menunjukkan bahwa untuk Kabupaten Brebes, secara persentase mengalami penurunan penduduk miskin. Namun apabila dilihat dari jumlah penduduk miskin, Kabupaten Brebes selalu menempati kelas kelima. Berdasarkan Gambar 5.2, secara umum persebaran persentase penduduk miskin, untuk kelas keempat dan kelas ketiga lebih dominan dibandingkan dengan kelas lainnya.

5.8.2 Analisis Korelasi

Analisis korelasi berfungsi untuk melihat hubungan linier antara dua peubah. Pada model, koefisien korelasi antara peubah tak bebas dan peubah bebas dapat dijadikan sebagai tahap untuk menentukan arah atau tanda hubungan tersebut. Sedangkan analisis korelasi antar peubah bebas dapat dijadikan sebagai informasi ada atau tidak adanya multikolinier. Korelasi antara peubah tak bebas dan peubah bebas serta korelasi antar peubah bebas disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Korelasi antar peubah PDK MISKIN POPU LASI SMP SHTK TANI SHTK IND SHTK PDG SHTK JASA POPULASI 0.803 0.000 SMP 0.564 0.782 0.000 0.000 SHTKTANI 0.546 0.353 0.188 0.000 0.000 0.013 SHTKIND -0.338 -0.139 -0.037 -0.588 0.000 0.067 0.627 0.000 SHTKPDG -0.389 -0.311 -0.296 -0.747 0.062 0.000 0.000 0.000 0.000 0.418 SHTKJASA -0.565 -0.428 -0.389 -0.742 0.099 0.8 0.000 0.000 0.000 0.000 0.193 0.000 PDRBKAP -0.33 -0.045 0.019 -0.54 0.331 0.382 0.431 0.000 0.553 0.801 0.000 0.000 0.000 0.000 Nilai-p p-value dari setiap korelasi antara dua peubah ditunjukkan oleh nilai yang ada dalam tanda kurung, “ ”. Berdasarkan Tabel 5.2 terlihat bahwa korelasi antar peubah bebas menunjukkan bahwa nilai-p p-value sebagian besar kurang dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar antar peubah bebas berkorelasi secara linier Tabel 5.2. Jumlah penduduk atau populasi merupakan peubah bebas yang mempunyai hubungan positif paling kuat dengan jumlah penduduk miskin dibandingkan dengan peubah bebas lainnya, yaitu sebesar 0.8 dengan nilai p p-value 0.000, signifikan pada taraf signifikansi 0.05. Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat pula bahwa jumlah penduduk miskin mempunyai hubungan positif dengan jumlah tenaga kerja berpendidikan setara SMP dan share tenaga kerja sektor pertanian. Hal ini berarti ketika populasi, jumlah tenaga kerja berpendidikan setara SMP dan Share tenaga kerja pertanian meningkat maka jumlah penduduk miskin akan meningkat. Sementara itu, share tenaga kerja sektor industri, sektor perdagangan, sektor jasa dan PDRB perkapita mempunyai hubungan negatif dengan jumlah penduduk miskin, hal ini berarti jika faktor-faktor tersebut meningkat maka jumlah penduduk miskin akan menurun. Korelasi antar peubah bebas signifikan pada taraf signifikansi 5, dan hal ini sebagai informasi awal untuk terjadinya multikolinier.