42 Campbell 1996 mengatakan bahwa ada 3 tiga konflik yang dapat terjadi
dalam usaha mencapai tujuan Permukiman yang Berwawasan Lingkungan, yaitu : 1. Konflik Properti Property Conflict, yaitu konflik yang terjadi antara
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi, konflik antara pemilik rumah dan penyewa, atau konflik antara pengelola kawasan dan pekerja.
2. Konflik Sumberdaya Resource Conflict, yaitu konflik tentang prioritas sumberdaya alam. Dari aspek bisnis sedapat mungkin memanfaatkan
sumberdaya alam secara bijaksana, namun pada saat yang bersamaan juga dibutuhkan kebijakan tentang konservasi sumberdaya alam tersebut untuk
kepentingan masa yang akan datang. 3. Konflik Pembangunan Development Conflict, yaitu melaksanakan kegiatan
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa harus merusak lingkungan hidup.
Untuk mendukung pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan Sustainable Development, undang-
undang penataan ruang dan undang-undang perumahan dan permukiman perlu ditaati dan kemampuan pemerintah perlu ditingkatkan. Pembangunan yang tidak
memperhatikan kondisi kemampuan daya dukung serta kelestarian lingkungan akan cenderung menurunkan kemampuan daya dukung lingkungan tersebut
degradasi lingkungan. Oleh karena itu pembangunan permukiman harus diarahkan pada kondisi ideal atau berada pada kondisi daya dukung lingkungan
yang optimal.
2.4.3 Pengembangan Bangunan Tinggi Berwawasan Lingkungan
Salim 2000 dalam bukunya ‘Kembali ke Jalan Lurus’ mengemukakan bahwa pengalaman negara maju menunjukkan proses pembangunan yang
mengubah struktur ekonomi pertanian menjadi ekonomi industri yang selalu disertai dengan tingkat urbanisasi yang tinggi. Keperluan pembangunan dalam
memenuhi kebutuhan permukiman mendorong permintaan akan ruang lingkungan. Keterbatasan ruang di kota mendorong tumbuhnya kebutuhan untuk
membangun ke atas sehingga melahirkan konsep bangunan tinggi high rise building.
Di Indonesia, beberapa kota besar telah menunjukkan perkembangan bangunan tinggi yang cukup pesat. Meningkatnya jumlah penduduk dan semakin
mahalnya harga lahan di kota menjadikan pembangunan bangunan tinggi tak
43 dapat dihindari. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana
menata bangunan tinggi yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa kehadiran bangunan tinggi membawa 2 dua dampak penting: Pertama,
kehadiran bangunan tinggi yang mempengaruhi 1 sirkulasi udaraangin, penetrasi sinar matahari, ancaman api pada saat terjadi kebakaran, potensi kehancuran
pada saat terjadi gempa, meningkatkan kebutuhan air dan menghasilan limbah buangan. Kedua, meningkatnya konsentrasi penduduk sehingga meningkatkan
kepadatan penduduk. Lebih lanjut Salim 2000 menjelaskan bahwa pembangunan bangunan
tinggi umumnya dilaksanakan oleh pihak swasta mengingat dana yang dibutuhkan sangat besar sehingga terjadi pertumbuhan secara parsial yang menghasilkan
serangkaian egoisme bangunan tinggi sebagai wajah kota. Danishworo mengecam tumbuhnya bangunan tinggi yang tidak tertata menyebabkan pola parcel
development dimana setiap arsitektur berlomba-lomba menunjukkan ke-akuannya, sehingga menyebabkan polusi arsitektur. Hal ini ditengarai belum adanya sistem
zonasi yang mantap pada suatu kawasan perkotaan. Bangunan tinggi juga membutuhkan aksesibilitas yang tinggi, sehingga gejala yang ditimbulkan
selanjutnya adalah pola ribbon development di sepanjang jalan yang menyebabkan kemacetan lalu lintas yang serius. Oleh karena itu, untuk
menghindari pola parcel and ribbon development, perlu kiranya dilakukan zonasi seperti yang tertuang dalam rencana tata ruang.
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membuka jalan bagi pengembangan zonasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kota
Kabupaten, sehingga dapat menjadi acuan bagi pengembangan bangunan tinggi dalam proporsi yang wajar.
2.5 Ekosistem Lahan Gambut