tempat tinggal di wilayah pinggiran hinterland, selain itu status kawasan Sungai Raya sebagai kota baru pemerintahan yang berpotensi akan berkembang pesat
menjadi kawasan perkotaan. Sehubungan dengan karakteristik lahan di kawasan Sungai Raya yang
notabene merupakan wilayah bergambut, maka meningkatnya pembangunan perumahan di kawasan tersebut menimbulkan permasalahan-permasalahan
lingkungan, sosial, ekonomi dan teknologi. Seperti diketahui bahwa lahan gambut merupakan ekosistem yang mengemban misi lingkungan yang besar, sehingga laju
ekspansinya perlu dikontrol dan dikendalikan. Potret kondisi di lapangan memberikan gambaran bahwa trend rumah tapak yang dikembangkan oleh developer mendapat
respon yang sangat baik dari masyarakat, sementara tipologi rumah panggung sudah mulai ditinggalkan dan dianggap kuno. Pembangunan rumah tapak dianggap
tidak berwawasan lingkungan karena berpotensi merusak ekosistem gambut. Lahan gambut yang akan dijadikan permukiman di drain hingga level maksimal kemudian
ditimbun dengan tanah mineral sehingga gambut tidak tersisa lagi. Kondisi ini telah menghilangkan fungsi ekologi gambut sebagai peredam banjir dan penyimpan
karbon yang sangat baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat
terhadap tipologi bangunan tempat tinggal yang berwawasan lingkungan, mengetahui tingkat kemampuan masyarakat secara financial, mengetahui minat dan
preferensi masyarakat terhadap perumahan yang layak huni, serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dalam memilih tempat
tinggal, seperti: usia, tingkat pendidikan, penghasilan, status sosial, lokasi, mata pencaharian.
6.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk mengetahui persepsi dan minat masyarakat terhadap perumahan dan permukiman adalah metode analisis kuantitatif yang
berasal dari rekapitulasi kuesioner responden. Uji kuantitatif terhadap persepsi masyarakat menggunakan Skala Likert dalam bentuk tabulasi, persentase dan grafik.
Proses pengolahan data menggunakan perangkat lunak software komputer dengan program Excel. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey dan
wawancara interview dengan menggunakan kuesioner. Penentuan sample dilakukan dengan metode purposive sampling melalui
beberapa tahapan, yaitu: 1 membagi responden menjadi dua kelompok cluster yaitu responden yang bekerja di Sungai Raya dan responden yang bekerja di Kota
Pontianak dalam radius yang tidak terlalu jauh dari Sungai Raya dengan pertimbangan pemilihan lokasi tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja; 2
Jumlah sampel masing-masing cluster ditentukan 35 responden, sehingga total sampel dua lokasi tersebut sebanyak 70 responden; 3 penentuan responden
berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut: 70 responden dengan kriteria belum memiliki rumah sendiri dan 30 sudah memiliki rumah dengan pertimbangan
responden terpilih akan berpeluang besar untuk memilih tempat tinggal di kawasan Sungai Raya, merupakan keluarga muda atau baru bekerja, dan berpenghasilan
baik.
6.3 Hasil dan Pembahasan 6.3.1 Identitas Umum Responden
Terdapat beberapa karakteristik responden berdasarkan tempat tinggal dan tempat bekerja, yaitu; 1 Responden bekerja di Sungai Raya dan tinggal di Sungai
Raya; 2 Responden bekerja di Sungai Raya tetapi tinggal di Pontianak; 3 Responden bekerja di Pontianak dan tinggal di Pontianak; dan 4 Responden
bekerja di Pontianak tetapi tinggal di Sungai Raya. Karakter yang terbentuk diatas disebabkan kawasan Sungai Raya yang juga berfungsi sebagai hinterland Kota
Pontianak, merupakan lokasi strategis dengan jarak tempuh yang relatif terjangkau untuk skala kota sehingga menjadi sasaran utama sebagai lokasi tempat tinggal.
Selain itu, ibukota Kabupaten Kubu Raya yang juga berkedudukan di Sungai Raya menjadikan kawasan ini sebagai cikal bakal kota baru mandiri kota baru
pemerintahan walaupun pada awalnya pemenuhan kebutuhan masyarakat Sungai Raya masih bergantung pada fasilitas Kota Pontianak kota baru satelit.
Berdasarkan distribusi usia responden, pengelompokan dilakukan
berdasarkan rentang usia yang dikelompokkan menjadi 4 empat, yaitu responden yang berusia 15 – 25 tahun, 26 – 35 tahun, 36 – 45 tahun, dan 46 – 55 tahun. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia 36 – 45 tahun dengan persentase sebanyak 47, kemudian urutan kedua adalah responden
berusia 26 – 35 tahun sebanyak 34, urutan ketiga responden berusia 46 – 55 tahun 10 dan paling sedikit responden berusia 15 – 25 tahun 9. Usia
responden antara 36 sd 55 tahun dengan persentase yang besar menunjukkan usia kerja produktif yang dapat dijadikan indikator tingkat kemapanan dan kematangan
dalam pengambilan keputusan Gambar 39a.
Sementara berdasarkan distribusi jenis kelamin menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 49 orang dengan persentase 70
dan 30 untuk jenis kelamin perempuan dengan jumlah 21 orang Gambar 39b.
Gambar 39. Distribusi Usia a dan jenis kelamin b Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebagian besar
merupakan penduduk asli Kalbar yaitu sebanyak 46 responden 66 dan sebesar 34 atau 24 responden merupakan penduduk pendatang yang antara lain berasal
dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Jakarta Gambar 40a. Bagi sebagian penduduk pendatang ada yang sudah lama merantau ke Kalbar sehingga
sudah menetap di Kalbar, selain itu ada juga yang baru bermigrasi beberapa tahun dikarenakan mutasi pekerjaan.
Dilihat dari jenis pekerjaan responden, diketahui bahwa sebagain besar responden pada penelitian ini bermata pencaharian sebagai karyawan swasta yaitu
sebanyak 26 responden dengan persentase sebesar 37, kemudian diikuti oleh PNSpolisiABRI sebesar 23, profesi dosenguru 21, wiraswasta 13 dan
pedagangpetani serta pensiunan masing-masing sebesar 3 Gambar 40b.
70 30
Laki-laki Perempuan
b
9 34
47 10
15 - 25 tahun 26 - 35 tahun
36 - 45 tahun 46 - 55 tahun
a
Gambar 40. Distribusi daerah asal a dan pekerjaan b Sementara untuk tingkat pendidikan responden dikelompokkan mulai dari
tingkat SD sampai perguruan tinggi S1S2. Hasil distribusi tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa sebesar 51 responden merupakan sarjana S1 dan
S2 dengan persentase terbesar, pada urutan kedua responden dengan pendidikan SLTASMK yaitu sebesar 30, selanjutnya responden dengan pendidikan diploma
D3D4 sebesar 15, dan responden dengan pendidikan SLTP dan SD masing- masing sebesar 3 dan 1 Gambar 41.
66
34
Penduduk asli Pendatang
23 21
37 13
3 3
PNSPolisiABRI DosenGuru
Karyawan Swasta PengusahaWiraswasta
PedagangPetani Pensiunandll
b a
Gambar 41. Distribusi tingkat pendidikan Berdasarkan distribusi status pernikahan, hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar responden berstatus menikah yaitu sebesar 77, dan responden yang berstatus belum menikah sebesar 21, sementara sebesar 2
dengan status lainnya Gambar 42a. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar responden telah berkeluarga dimana kebutuhan tempat
tinggal sudah menjadi kebutuhan pokok yang prioritas.
Gambar 42. Distribusi status pernikahan a dan jumlah anak b
1 3 30
15 51
SD SLTP
SLTASMK Diploma D3D4
Sarjana S1S2
67 31
2
0 - 2 orang 3 - 4 orang
4 orang 21
77 2
Belum menikah Menikah
Lainnya…
b a
Selanjutnya Gambar 42b menunjukkan jumlah anak yang dimiliki oleh masing-masing responden yang telah berkeluarga, dimana sebagain besar
responden merupakan keluarga kecil dengan 0 – 2 orang anak yaitu sebesar 67 dan responden dengan 3 – 4 orang anak sebesar 31, sedangkan responden yang
memiliki lebih dari 4 orang anak sebesar 2. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa tipe hunian yang dibutuhkan untuk keluarga tersebut termasuk tipe hunian kecil
sampai sedang. Tipe hunian kecil sampai sedang dapat diinterpretasikan sebagai
rumah tipe 45 hingga tipe 75 dengan spesifikasi memiliki 2 atau 3 kamar tidur.
Sementara itu distribusi responden berdasarkan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dapat dijelaskan pada Gambar 43.
Gambar 43. Distribusi jumlah anggota keluarga Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga dengan persentase
terbesar adalah 2 – 4 orang anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah yaitu sebesar 52, sementara anggota keluarga berjumlah 5 – 6 orang sebesar 41 dan
anggota keluarga yang berjumlah lebih dari 6 orang hanya sebesar 7. Responden dengan jumlah anggota keluarga antara 5 – 6 orang atau lebih menunjukkan indikasi
bahwa keluarga tersebut sebagian besar masih tinggal bersama orang tua. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan total dalam sebulan
dikelompokkan menjadi 5 lima kelompok penghasilan yang dapat dilihat pada Gambar 44. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan persentase
terbesar adalah responden berpenghasilan antara 1 juta sd 2.5 juta yaitu sebesar 35, urutan kedua adalah responden berpenghasilan 2.5 juta sd 5 juta sebesar
27, sementara pada urutan ketiga adalah responden dengan penghasilan antara 5 juta sd 10 juta yaitu sebesar 23, sedangkan responden berpenghasilan kurang
dari 1 juta dan lebih dari 10 juta masing-masing hanya sebesar 7. Kelompok
52 41
7
2 - 4 orang 5 - 6 orang
6 orang
responden dengan penghasilan 2.5 juta dapat dikategorikan sebagai kelas menengah bawah, yang berpenghasilan antara 2.5 – 5 juta termasuk kategori kelas
menengah, sementara penghasilan 5 – 10 juta termasuk kategori kelas menengah atas dan penghasil 10 juta termasuk kategori kelas atas. Hal ini dapat dijadikan
acuan untuk menentukan ratio tipe rumah yang akan dibangun. Ratio yang biasanya digunakan untuk pemerataan tipe rumah berdasarkan kebijakan perumahan dan
permukiman adalah 1 : 2 : 3 atau 1 : 3 : 6 artinya setiap pembangunan 1 unit rumah mewah harus diimbangi dengan membangun 2 atau 3 unit rumah menengah dan 3
atau 6 unit rumah sederhana. Data responden menunjukkan persentase responden kelas menengah dan kelas bawah yang cukup besar sehingga dapat menggunakan
ratio 1 : 3 : 6.
Gambar 44. Distribusi penghasilan total per bulan
6.3.2 Karakteristik Responden
Selain data-data umum responden yang telah dijabarkan diatas, dalam penelitian ini juga akan dijelaskan informasi-informasi yang lebih khusus, seperti:
status kepemilikan rumah, kemampuan responden secara finansial, serta beberapa pertimbangan dan alasan yang terkait dengan perumahan dan permukiman.
Berdasarkan distribusi status kepemilikan rumah, sebelumnya secara purposive telah ditentukan bahwa lebih dari 70 responden adalah yang belum memiliki rumah
sendiri. Dalam penelitian ini status kepemilikan rumah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu: responden yang sudah memiliki rumah sendiri dan responden yang
belum memiliki rumah sendiri. Selanjutnya untuk yang berstatus belum memiliki rumah akan dibedakan menjadi status sewakontrakkost dan status masih tinggal
bersama orang tuakeluarga. Distribusi responden berdasarkan status kepemilikan rumah dapat dilihat pada Gambar 45.
7
36 27
23 7
Rp. 1 juta Rp. 1 juta - Rp. 2.5 juta
Rp. 2.5 juta - Rp. 5 juta Rp. 5 juta - Rp. 10 juta
Rp. 10 juta
Gambar 45. Distribusi status kepemilikan rumah Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa responden dengan status sudah memiliki
rumah sendiri sebesar 29, sementara responden yang berstatus sewakontrakkost sebesar 33 dan responden yang masih tinggal bersama orang tuakeluarga
sebesar 38. Jika dilihat dari status penghasilan responden, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang sudah memiliki rumah sendiri memiliki
penghasilan rata-rata per bulan sebesar 5 juta. Gambar 46a menjelaskan berbagai alasan responden sehingga belum
memiliki rumah sendiri yang dibedakan menjadi 3 kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan yang paling banyak adalah karena dana yang dimiliki
belum mencukupi yaitu sebesar 58, sementara di urutan kedua dengan alasan mutasi pekerjaan, belum menikah dan lain-lain sebesar 24, dan sekitar 18
dengan pertimbangan masih menemani orang tua. Responden yang mengemukakan alasan belum mencukupi secara finansial rata-rata memiliki penghasilan kurang dari
sama dengan 2.5 juta rupiah. Berdasarkan perhitungan logis dapat diprediksi dalam jangka waktu 2-3 tahun kedepan dengan kondisi finansial yang semakin meningkat,
rencana untuk memiliki rumah sendiri akan dapat menjadi kenyataan. Dalam penelitian ini juga diperoleh informasi tentang minat responden untuk
memiliki rumah sendiri Gambar 46b. Dari 50 responden yang belum memiliki rumah dapat dilihat bahwa antusiasme responden untuk memiliki rumah sendiri sangat
besar yaitu dengan persentase 82, sementara 18 lainnya menyatakan tidak berminat dengan pertimbangan masih menemani orang tua, menempati rumah
dinas, masih banyak keperluan yang lebih mendesak dan beberapa pertimbangan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan sandang sudah menjadi kebutuhan
pokok yang prioritas seiring dengan semakin tingginya tuntutan kehidupan.
20 23
27 29
33 38
10 20
30 40
50 60
70
Rumah Sendiri SewaKontrakKost
Tinggal dengan Orang TuaKeluarga
Gambar 46. Distribusi pertimbangan terhadap status kepemilikan rumah a dan minat untuk memiliki rumah sendiri b
Berkaitan dengan sistem pembayaran yang dipilih masing-masing responden dibedakan menjadi 3 sistem pembayaran, yaitu: cash, cash bertahap dan kredit.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa sebagian besar responden memilih pembayaran dengan sistem kredit yaitu sebesar 69. Hal ini dapat dikaitkan dengan
jenis pekerjaan responden yang sebagian besar adalah karyawan negeriswasta dengan sistem pembayaran gaji yang rutin setiap bulannya. Sementara responden
yang memilih sistem pembayaran secara cash sebesar 15 dengan penghasilan rata-rata per bulan diatas 10 juta dan jenis pekerjaan sebagian besar adalah
pengusaha wiraswasta. Hanya sekitar 7 responden yang memilih sistem pembayaran secara cash bertahap. Penjelasan dapat dilihat pada Gambar 47a.
Dalam penelitian ini dapat diketahui kisaran harga rumah yang sesuai dengan kemampuan masing-masing responden yang dibedakan menjadi 4 kelompok kisaran
58
18 24
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Dana belum mencukupi
Menemani orang tua mutasi,belum
menikah,dll
82
18 20
40 60
80 100
120 140
Ya Tidak
b a
harga. Persentase terbesar adalah harga rumah kurang dari Rp. 100 juta rupiah yaitu sebesar 44, pada urutan kedua dengan harga rumah antara Rp. 100 – 250 juta
rupiah dengan persentase sebesar 36, sementara pada urutan ketiga dengan harga rumah berkisar antara Rp. 250 – 500 juta yaitu sebanyak 16, dan yang
paling sedikit adalah harga rumah dengan kisaran harga Rp. 500 juta – 1 milyar yaitu sekitar 4. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan membayar ability
to pay responden yang masih tergolong rendah dimana secara sosial termasuk kategori masyarakat strata rendah. Distribusi kisaran harga rumah masing-masing
responden dapat dijelaskan pada Gambar 47b.
Gambar 47. Distribusi sistem pembayaran a dan kisaran harga rumah b Bagi responden yang memilih sistem pembayaran kredit, pada penelitian ini
juga diperoleh informasi tentang kesediaan membayar responden setiap bulannya untuk mencicil rumah. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pilihan paling banyak
10 20
30 40
50 60
70 80
Rp. 100 juta Rp. 100 juta -
Rp. 250 juta Rp. 250 juta -
Rp. 500 juta Rp. 500 juta -
Rp. 1 milyar 20
40 60
80 100
120 140
Cash Cash bertahap
Kredit
4 16
36 44
69
15 7
a
b
adalah cicilan kurang dari Rp. 1 juta rupiah yaitu sebesar 51, urutan kedua terbanyak adalah cicilan antara Rp. 1 – 2.5 juta rupiah sebanyak 43, sedangkan di
urutan terakhir dengan harga cicilan berkisar antara Rp. 2.5 – 5 juta rupiah yaitu sebesar 6. Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa untuk cicilan kurang
dari satu juta, maka harga rumah yang dapat ditawarkan adalah seharga Rp. 50 juta dengan asumsi masa kredit 10 tahun dan bunga bank sebesar 12 per tahun, yaitu
dengan cicilan Rp. 916.667,- per bulan. Sementara untuk cicilan antara 1 - 2.5 juta per bulan, maka prediksi harga rumah yang dapat ditawarkan berkisar antara Rp. 70
– Rp. 135 juta rupiah. Ilustrasi mengenai kisaran harga cicilankredit rumah dapat dilihat pada Gambar 48.
Gambar 48. Distribusi kisaran cicilan rumah
6.3.3 Pemahaman Lingkungan dan PemilihanTipologi Perumahan
Pada penelitian ini dapat diketahui pemahaman responden terhadap eksploitasi lahan gambut dan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Beberapa
pertanyaan diajukan terkait masalah pembangunan perumahan di lahan bergambut khususnya di kawasan Sungai Raya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi: a isu
lingkungan tentang pemanasan global global warming dan gas rumah kaca GRK, b persentase sumber emisi CO
2
Indonesia yang terbesar akibat dari penggundulan hutan dan alih fungsi lahan, c kemampuan lahan gambut dalam menyimpan karbon
10x hutan tropis WI-IP, 2006, d ekosistem gambut sebagai pengatur hidrologi dan peredam banjir, dan e tanggapan responden terhadap kemungkinan dampak dan
kerusakan lingkungan yang terjadi. Melalui penelitian ini juga dapat diketahui preferensi masyarakat terhadap tipologi bangunan maupun lokasi permukiman yang
diminati ditinjau dari beberapa aspek.
10 20
30 40
50 60
70 80
90
Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 -
Rp. 2.500.000 Rp. 2.500.000 -
Rp. 5.000.000 Rp. 5.000.000 -
Rp. 10.000.000 6
43 51
Hasil penelitian tentang pemahaman responden terhadap isu lingkungan menunjukkan bahwa sebagian besar responden atau sekitar 44 responden kurang
memahami tentang beberapa isu lingkungan yang diajukan dengan kata lain hanya sebatas pernah mendengar isu tersebut saja. Sementara 34 responden mengakui
bahwa mereka tahu dan sangat paham tentang permasalahan lingkungan yang terkait pembangunan permukiman di lahan gambut. Hanya sekitar 15 saja yang
menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu dan tidak paham mengenai isu lingkungan tersebut.
Gambar 49. Pemahaman lingkungan a, minat terhadap hunian ramah lingkungan b Hasil penelitian juga menunjukkan sikap optimistik responden dimana 100
responden menyatakan bahwa mereka sangat peduli terhadap kelestarian lingkungan dan mendukung segala upaya pengendalian untuk meminimalisasi
dampak kerusakan lingkungan khususnya yang terkait pembangunan permukiman di lahan gambut kawasan Sungai Raya. Sebanyak 97 responden menyatakan bahwa
Paham Kurang Paham
Tidak Paham Series1
24 31
15 Series2
34,29 44,29
21,43 5
10 15
20 25
30 35
40 45
50
Sangat Berminat Kurang Berminat
Tidak Berminat Series1
68 2
Series2 97,14
2,86 20
40 60
80 100
120
jumlah jumlah
a
b
mereka sangat berminat untuk memiliki hunian yang ramah lingkungan, dan 3 menyatakan kurang berminat Gambar 49b
Berdasarkan alternatif lokasi permukiman, dalam hal ini ditawarkan 3 tiga lokasi permukiman dengan karakteristik serupa yaitu lahan bergambut, pada wilayah
hinterland, dan secara eksisting sudah berkembang sebagai kawasan permukiman. Ketiga lokasi tersebut meliputi: a Sungai Raya, b Sungai Kakap Pal, dan c
Seberang Siantan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase paling banyak yaitu sebesar 80 responden memilih kawasan Sungai Raya sebagai alternatif
pertama, sementara pada urutan kedua atau sekitar 16 responden memilih kawasan Sungai Kakap Pal dan hanya sebesar 4 responden yang memilih
kawasan Siantan Gambar 50 . Hal ini menunjukkan bahwa kawasan Sungai Raya memiliki beberapa kelebihan sebagai alternatif lokasi permukiman, antara lain:
aksesibilitas yang baik dilalui oleh jalan nasional arteri primer, kedekatan lokasi dengan kawasan pendidikan dan perkantoran di jalan Ahmad Yani Pontianak,
kegiatan perekonomian cukup berkembang, ketersediaan sarana dan prasarana permukiman yang memadai, dan industri perumahan yang berkembang pesat.
Gambar 50. Alternatif pilihan lokasi tempat tinggal Sementara untuk kawasan Sungai Kakap dimana kegiatan perekonomian belum
berkembang pesat sehingga daerah tersebut masih relatif sepi, perumahan masih sangat jarang dan akses kendaraan umum terbatas. Demikian juga kawasan
Siantan, kondisi geografis yang terpisah oleh Sungai Kapuas dimana akses yang tersedia hanya satu buah jembatan penyebrangan yang menuju pusat kota satu
jembatan lainnya di pinggiran kota dan satu buah terminal kapal ferry penyeberangan sehingga menjadi pertimbangan besar untuk memilih lokasi tempat
tinggal di kawasan tersebut.
Sungai Raya Sungai Kakap Pal
Seberang Siantan Series1
56 11
3 Series2
80,00 15,71
4,29 10
20 30
40 50
60 70
80 90
jumlah
Distribusi responden menurut tipe hunian yang diminati dikelompokkan menjadi 5 pilihan yang meliputi: A rumah besar dengan halaman yang luas,
B rumah sederhana untuk keluarga kecil, C rumah kecil tetapi memiliki halaman luas untuk berkebun, D rumah murah yang penting bisa punya tempat tinggal
sendiri, dan E rumah dengan desain arsitektur dan interior yang menarik. Beberapa pilihan diatas dapat dipilih lebih dari satu, dengan tujuan untuk melihat
kecenderungan minat dan preferensi responden terhadap hunian yang diminati atau dengan kata lain rumah idaman. Gambar 51 menunjukkan distribusi pilihan
responden:
Gambar 51. Distribusi tipologi hunian yang diminati Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah dengan desain arsitektur dan interior
yang menarik paling banyak dipilih oleh responden yaitu sebesar 43, pada urutan kedua adalah rumah kecil dengan halaman luas untuk berkebun sebanyak 29,
selanjutnya di urutan ketiga tipe rumah sederhana untuk keluarga kecil sebesar 14, 8 untuk tipe rumah besar dengan halaman luas, dan sebesar 5 memilih rumah
murah. Hasil distribusi tentang tipologi hunian yang diminati responden menggambarkan selera atau keinginan yang cukup tinggi dimana desain bangunan
menjadi prioritas dalam memilih rumah tinggal. Hal ini cukup kontradiktif jika dibandingkan dengan kemauan membayar willingness to pay responden dimana
persentase terbesar untuk harga rumah adalah kurang dari Rp. 100 juta dengan cicilan kurang dari Rp. 1 juta per bulan.
Selain itu, dalam penelitian ini dapat juga diketahui beberapa pertimbangan dalam memilih rumah tinggal yang dikelompokkan menjadi enam kriteria. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 6 pilihan jawaban, 4 diantaranya terdistribusi dengan baik, dan 2 pilihan lainnya kurang menjadi prioritas. Empat kriteria yang
A B
C D
E Series1
8 14
29 5
43 Series2
8,08 14,14
29,29 5,05
43,43 5
10 15
20 25
30 35
40 45
50
A x
is T
it le
jumlah
menjadi pertimbangan utama adalah: 1 kualitas bangunandesainfinishing C sebanyak 26, ketersediaan sarana dan prasarana E sebanyak 22, kedekatan
lokasi terhadap tempat bekerja B sebanyak 21, dan harga rumah A sebanyak 20. Sementara dua kriteria yang kurang menjadi prioritas meliputi lokasi berada di
pusat keramaian D sebesar 8 dan jauh dari pusat kota F sebesar 2.
Gambar 52. Distribusi pertimbangan dalam pemilihan tempat tinggal a dan pemilihan tipe struktur yang sesuai di lahan gambut b
Selanjutnya Gambar 52b menunjukkan persepsi responden terhadap tipe struktur bangunan yang sesuai dan cocok di lahan gambut, dalam hal ini dibedakan
menjadi dua yaitu tipe struktur panggung dan struktur telapak lajur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 79 responden beranggapan bahwa struktur bangunan
yang cocok untuk di lahan gambut adalah struktur panggung, sementara sekitar 21 beranggapan bahwa struktur tapak yang sesuai. Hal ini menggambarkan bahwa
sebenarnya responden cukup paham mengenai kondisi lahan gambut yang
Struktur panggung Struktur telapak lajur
Series1 55
15 Series2
78,57 21,43
10 20
30 40
50 60
70 80
90 A
B C
D E
F Series1
23 24
29 9
25 2
Series2 20,54
21,43 25,89
8,04 22,32
1,79 5
10 15
20 25
30 35
jumlah
jumlah
a
b
tergolong tanah lunak sehingga tiang-tiang pancang pondasi merupakan solusi yang cukup rasional dengan pertimbangan kondisi lahan yang cenderung selalu basah.
Namun kondisi di lapangan menunjukkan hal sebaliknya dimana rumah panggung sudah tidak diminati lagi. Hal ini ditandai dengan jumlah rumah panggung yang
ditemukan di lapangan sudah sangat sedikit. Rumah panggung juga dianggap tidak modern dan secara arsitektur sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada dasarnya, dalam prinsip-prinsip mendesain sebuah bangunan, aspek struktur dan arsitektur merupakan dua unsur berbeda yang harus dikemas sebagai
satu kesatuan yang utuh. Struktur bangunan lebih ditekankan kepada faktor kekuatan bangunan firmitas dimana bangunan dapat berdiri kokoh diatas lahan
yang tersedia, sementara arsitektur lebih ditekankan kepada aspek estetika secara visual yang biasanya diaplikasikan pada facade tampak bangunan. Sehingga
walaupun sebuah bangunan menggunakan struktur panggung, tidak berarti bahwa estetika bangunan tidak bisa diperoleh secara maksimal. Dengan rekayasa teknologi
dan kemampuan mendesain yang baik, bentuk struktur apapun bisa dipadankan dengan tampilan façade bangunan yang menarik. Seiring dengan kemajuan
teknologi khususnya dibidang desain arsitektur, industri perumahan saat ini tampil dengan desain yang baik rumah tapak sehingga menarik minat masyarakat untuk
memiliki rumah-rumah yang ditawarkan oleh developer. Hal ini menyebabkan semakin jauh kesenjangan antara tipologi rumah panggung dengan tipologi rumah
tapak yang tengah menjadi primadona saat ini. Berdasarkan konsep desain menurut distribusi luas lantai, dikenal dua
macam tipologi bangunan yaitu secara horizontal landed housing dan secara vertikal highrise building. Fenomena yang berkembang di kota besar dengan
keterbatasan lahan yang tersedia, maka hunian vertikal menjadi solusi tempat tinggal yang cukup diminati kalangan masyarakat tertentu. Beberapa tahun belakangan ini,
di Kota Pontianak mulai berkembang tipologi hunian vertikal untuk kelas menengah bawah middle low yang ternyata cukup diminati. Secara toponym, hunian vertikal
kelas menengah bawah lebih dikenal dengan istilah rumah susun rusun. Beberapa unit rusun telah dibangun di kawasan jeruju dan kawasan pendidikan Universitas
Tanjungpura dan Politeknik Negeri Pontianak. Animo masyarakat yang sangat tinggi terhadap rusun hargasewa murah menjadi pertimbangan utama untuk terus
melakukan penambahan unit hunian. Pemilihan tipologi hunian yang diminati oleh responden dalam hal ini
dibedakan menjadi 3 kelompok model hunian, yaitu: Model A Hunian Vertikal
4-8 lantai, Model B Hunian Horizontal 2-3 lantai, dan Model C Hunian Horizontal 1 lantai Gambar 53.
Gambar 53. Preferensi Model Hunian vertikal, bertingkat, tidak bertingkat Dari ketiga model tipologi hunian yang ditawarkan, distribusi pilihan responden
menunjukkan bahwa pilihan terbanyak adalah Model A dengan persentase sebesar 53, sementara di urutan kedua adalah Model B dengan persentase 29 dan di
urutan ketiga adalah model C dengan persentase sekitar 19.
Gambar 54. Distribusi pemilihan model hunian yang diminati
Model A Model B
Model C Series1
37 20
13 Series2
52,86 28,57
18,57 10
20 30
40 50
60
jumlah
MODEL B
Hunian horizontal 2-3 lantai Lahan gambut yang dibutuhkan
cukup luas. Pembangunan sarana prasarana
kurang efisien lahan menyebar. Potensi menyebabkan banjir cukup
besar. Potensi lepasnya CO
2
dari gambut cukup besar.
Biaya konstruksi relatif rendah, tapi harga lahan cukup tinggi.
Konstruksi betonkayu.
MODEL A
Hunian vertikal rusunapartemen Lahan gambut yang dibutuhkan
relatif sedikit. Efisien dalam pembangunan
sarana prasarana. Potensi menyebabkan banjir relatif
kecil. Potensi lepasnya CO
2
dari gambut relatif kecil.
Biaya konstruksi cukup tinggi, tapi harga lahan rendah.
Menggunakan konstruksi beton
MODEL C
Hunian horizontal 1 lantai Lahan gambut yang dibutuhkan sangat
luas. Pembangunan sarana prasarana
kurang efisien lahan menyebar. Potensi menyebabkan banjir sangat
besar. Potensi lepasnya CO
2
dari gambut sangat besar.
Biaya konstruksi rendah, tapi harga lahan tinggi.
Konstruksi betonkayu
Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa minat responden terhadap hunian vertikal cukup besar. Dari 37 responden 52.86 yang memilih model vertikal,
dapat diketahui informasi karakteristik responden sebagai berikut:
Gambar 55. Distribusi penghasilan responden yang memilih model vertikal
Gambar 56. Status kepemilikan rumah dan sistem pembayaran yang dipilih
Gambar 57. Kisaran harga rumah sistem pembayaran cash
2 10
15 9
1 2
4 6
8 10
12 14
16
1,000,000 1 - 2,5 juta 2,5 - 5 juta 5 - 10 juta
10 juta 5.41
27.03 40.54
24.32
2.70
5 5
3 2
1 2
3 4
5 6
100 juta 100 - 250 juta 250 - 500 juta 500 juta - 1 M
5 10
15 20
25
rumah sendiri sewadgn ortu Cash
Credit 59.46
40.54 54.05
45.95
15 17
20 22
33.33 33.33
20.00 13.33
Gambar 58. Kisaran cicilan rumah sistem pembayaran credit
6.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 70
dengan rentang usia antara 36 – 45 tahun dengan persentase terbesar yaitu 46. Sebanyak 66 responden merupakan penduduk asli Kalbar dengan jenis pekerjaan
dominan adalah karyawan swasta yaitu sebesar 37. Selanjutnya sebanyak 51 responden dengan tingkat pendidikan sarjana dan 77 berstatus menikah. Jumlah
anak yang dimiliki responden antara 0 – 2 orang anak sebesar 67 dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah antara 2 – 4 orang sebesar 52. Tingkat
pendapatan responden berkisar antara Rp. 1 – 2.5 juta rupiah per bulan dengan persentase sebesar 36 termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
Berdasarkan status kepemilikan rumah, sekitar 70 responden belum memiliki rumah sendiri, yang terdistribusi sebanyak 38 masih tinggal dengan orang
tua dan 32 berstatus sewakost. Alasan belum memiliki rumah sendiri sebanyak 58 responden menyatakan belum memiliki dana yang cukup, dimana 82
menyatakan berniat dan berencana untuk memiliki rumah sendiri. Dapat diketahui juga sistem pembayaran yang dipilih apabila hendak membeli rumah yaitu sebanyak
69 responden memilih sistem pembayaran kredit, kemampuan mencicil Rp. 1 juta sebanyak 51 dan antara Rp. 1 – 2.5 juta sebanyak 43. Kisaran harga
rumah yang mampu dibeli oleh responden yaitu Rp. 100 juta sebanyak 44 dan antara Rp. 100 – 250 juta sebanyak 36.
Berdasarkan tingkat pemahaman responden terhadap lahan gambut dan kerusakan lingkungan, sebanyak 44 menyatakan kurang paham terhadap isu
lingkungan tersebut. Namun demikian sekitar 97 responden berminat untuk
8 10
2 2
4 6
8 10
12
1 juta 1 - 2.5 juta
2.5 - 5 juta 5 - 10 juta
40 50
10
memiliki hunian yang ramah lingkungan. Menurut distribusi pemilihan lokasi tempat tinggal 80 responden memilih kawasan Sungai Raya sebagai lokasi tempat tinggal.
Sementara berdasarkan tipologi hunian yang diminati, sebanyak 43 responden menyatakan lebih memilih hunian dengan desain arsitektur yang menarik.
Pertimbangan utama dalam memilih tempat tinggal secara berturut-turut adalah: kualitas bangunan 26, ketersediaan sarana dan prasarana 22, kedekatan
dengan lokasi tempat kerja 21 dan harga rumah 20. Berdasarkan persepsi responden terhadap jenis struktur bangunan yang sesuai dan cocok di lahan gambut
79 menyatakan struktur panggung yang sesuai untuk lahan gambut. Sebanyak 53 responden berminat terhadap tipologi hunian vertikal Model A, 29 memilih
hunian horizontal 2-3 lantai Model B dan 19 memilih hunian horizontal 1 lantai Model C.
Karakteristik responden yang memilih model hunian vertikal 53 adalah sebagai berikut: a sebagian besar responden 40.54 berpenghasilan antara 2,5-5
juta rupiah termasuk golongan MBR, b sebanyak 54.05 responden yang belum memiliki rumah sendiri masih tinggal bersama orang tua, c sebagian besar memilih
sistem pembayaran kredit 59.46, d harga rumah cash yang terjangkau oleh responden maksimal Rp. 250 juta rupiah, dan e cicilan rumah yang dapat disisihkan
maksimal Rp. 2,5 juta rupiah per bulan.
127
VII DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA
Abstrak
Hasil analisis keberlanjutan permukiman di kawasan Sungai Raya secara umum kurang berlanjut, sehingga perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan statusnya
hingga mencapai status berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan awal bahwa faktor manajemen lahan
merupakan faktor kunci didalam pengelola permukiman berkelanjutan dengan cara menekan laju konversi lahan untuk permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk
mendesain model permukiman berkelanjutan di kawasan bergambut model fisik dan model dinamik. Metode analisis dengan menggunakan sistem dinamik dengan
software Stella dan metode Composite Performance Indeks CPI. Hasil perencanaan model fisik dinyatakan dalam bentuk ‘Model Hunian Vertikal’ sebagai
solusi untuk memenuhi kebutuhan rumah tinggal pada lahan yang minimal. Sementara untuk meminimalisir degradasi lingkungan dinyatakan dalam bentuk
‘Model Struktur Panggung’ yang mampu mempertahankan ekosistem gambut dan meminimalisir degradasi lingkungan. Kedua model tersebut dianalisis untuk
mendapatkan varian model terbaik sekaligus untuk memvalidasi model yang diusulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keempat varian model yang
dianalisis horizontal tapak, horizontal panggung, vertikal tapak, dan vertikal panggung diketahui bahwa model vertikal panggung merupakan model terbaik
dengan skor 322.50, selanjutnya model vertikal tapak skor: 300, model horizontal tapak skor: 160, dan model horizontal panggung skor: 154.17. Hasil analisis
skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya menunjukkan bahwa dari keempat skenario yang diusulkan, maka skenario 4 konversi ke hunian
vertikal sebesar 50 pada lahan eksisting dan 75 pada lahan baru merupakan skenario terbaik, dengan efisiensi lahan mencapai 37 sehingga terdapat surplus
lahan sebesar 217.950 ha, menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak 27,933 unit hingga tahun 2032, penambahan proporsi RTH mencapai 58.65. Surplus lahan
dapat dialokasikan sebagai lahan cadangan untuk menambah jumlah hunian sebanyak 29,060 unit atau memperpanjang daya dukung lahan sampai dengan
tahun 2060. Subsidi hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah MBR dalam bentuk suku bunga rendah 7.25 flat 15 tahun, dengan harga Rp. 99
jutaunit dan cicilan Rp. 1.043.750,-bulan. Harga tersebut telah sesuai dengan kemampuan dan daya beli masyarakat.
Kata kunci : model, permukiman, berkelanjutan, kawasan bergambut. 7.1 Pendahuluan
Pertumbuhan rumah tapak di kawasan Sungai Raya saat ini terus mengalami peningkatan. Kondisi dan karakteristik lahan di Sungai Raya yang
sebagian besar merupakan lahan bergambut, menimbulkan kekhawatiran terjadinya degradasi lingkungan yang disebabkan secara ekologis tidak memenuhi kriteria
128
keberlanjutan. Rumah tapak semakin diminati oleh masyarakat karena dianggap lebih kokoh dan modern dibanding rumah panggung. Sebagian besar masyarakat
berpendapat bahwa rumah panggung secara visual kurang menarik. Padahal dibalik kesederhanaannya, rumah panggung justru memiliki filosofi yang lebih
berwawasan lingkungan karena proses pembangunannya relatif tidak merusak ekosistem gambut. Pembangunan rumah tapak yang notabene menggunakan
pondasi lajur batu kali dan bertumpu pada tanah keras, berimplikasi pada rusaknya struktur tanah gambut yang menyebabkan kondisi tidak balik kembali irreversible.
Perlakuan seperti ini berpotensi menyebabkan terjadinya bencana ekologis berupa bencana banjir dan lepasnya sejumlah gas rumah kaca CO
2
dan CH
4
Penataan kawasan permukiman perkotaan di Sungai Raya sepertinya cukup mendesak untuk dilakukan mengingat tingkat kemajuan pembangunan di kawasan
tersebut cukup tinggi. Hingga tahun 2012 diperkirakan lebih dari 2.000 Ha lahan gambut telah dikonversi menjadi kawasan permukiman built up area.
Permasalahan kunci yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana upaya untuk mengurangi laju konversi lahan gambut, namun disisi lain kebutuhan perumahan
dan permukiman dapat terpenuhi. Hal ini pada dasarnya berkorelasi terhadap upaya efisiensi dan optimalisasi lahan, dimana model hunian vertikal dapat menjadi
salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah keterbatasan lahan seperti halnya di kota-kota besar yang padat penduduknya. Tidak menutup kemungkinan model
hunian vertikal juga dapat diimplementasikan pada lahan gambut perkotaan yang tentunya perlu dibarengi dengan rekayasa teknologi agar memenuhi syarat secara
konstruksi, sanitasi, dan estetika. yang
tersimpan didalam gambut. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan pengembangan model permukiman perkotaan di lahan bergambut secara berkelanjutan.
Pada penelitian ini akan dikembangan 2 dua macam model, yaitu model ikonik dan model dinamik. Model ikonik merupakan perwakilan fisik dari beberapa
hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda yang dapat divisualisasikan dalam bentuk dua dimensi ataupun tiga dimensi. Sementara model
dinamik adalah model yang memiliki keterkaitan secara dinamik antar komponen dan antar waktu yang dapat digunakan untuk membantu dalam pengambilan
keputusan lintas disiplin sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif.
129
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain model permukiman perkotaan di kawasan bergambut Sungai Raya secara berkelanjutan yang dapat digunakan
sebagai bahan rekomendasi bagi pemerintah daerah khususnya pemerintah Kabupaten Kubu Raya untuk merumuskan kebijakan dibidang pembangunan
perumahan dan permukiman di kawasan tersebut.
7.2 Metode Penelitian