Sesungguhnya diluar hal-hal yang sudah diuraikan diatas, hal-hal yang tekait dengan HAM khususnya dibidang hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya, Majelis umum PBB juga banyak menghasilkan deklarasi maupun konvensi yang terkait dengan penjaminan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia. Misalnya deklarasi atau konvensi tentang diskriminsi terhadap hak-hak perempuan maupun anak-anak, Konvensi Internasional yang menyangkut tentang
perkawinan, kewarganegaraan, dan pengungsi dimana didalamnya diatur agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi diskriminasi.
Peran PBB didalam memerangi diskriminasi HAM ini menunjukkan bahwa isu HAM ini merupakan isu universal yang didalam proses perlindungannya perlu
juga ada kegerakan universal yang secara bersama-sama memberi keseriusan untuk menjamin pelaksanaan HAM tersebut. Kendatipun demikian setiap apa yang
diupayakan PBB didalam proses penengakan HAM setiap negara yang menjadi pesertanya diberi kewenangan untuk merespon bagaimana penegakkan HAM dalam
konteks lokal masing-masing negara tersebut.
2. Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Perlindungan Kebebasan Beragama.
Pada tanggal 28 Oktober 2005 Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan pengesahan atau ratifikasi atas dua instrimen internasional Hak
Asasi Manusia HAM, yakni Internasional Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights ICESCR atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Universitas Sumatera Utara
Sosial, dan Budaya, dan Internasional Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ICCPR, masing-masing
dengan UU No. 11 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2005. Sebenarnya tidak ada suatu ketentuanpun, baik didalam hukum nasional maupun didalam hukum
internasional, yang mewajibkan Negara meratifikasi konevensi atau perjanjian internasional. Majelis Umum PBB hanya mengimbau agar Negara-negara anggotanya
meratifikasi perjanjuan internasional itu. Negara tetap mempunyai kedaulatan penuh untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi perjanjian internasional dan jika melakukan
ratifikasi, maka kepentingan nasional tetap diletakkan sebagai pertimbangan utamanya.
150
Pada perkembangannya dewasa ini ada tuntutan dari masyarakat internasional maupun kekuatan-kekuatan didalam negeri sendiri misalnya LSM yang
menghendaki negara anggota PBB meratifikasi konvensi-konevensi tentang HAM, karena hal tersebut dianggap mendasar sebagai tuntutan universal umat manusia.
Oleh sebab itu, meski semula bukan kewajiban hukum, banyak negara kemudian melakukan ratifikasi, dengan demikian negara tersebut terikat untuk
melaksanakannya. Ratifikasi kedua instrument tersebut dikeluarkan dalam bentuk UU karena,
menurut UU No. 24 Tahun 2000 tentang Pembuatan Perjanjian Internasional, yang
150
Mahfud MD loc.cit. hal 200, sebagaimana dikutip dari Sumaryo Suryokusumo, “Ratifikasi Konvensi-Konvensi Internasional dan Perspektif Sistem Perundang-undangan Indonesia”, dalam
Laporan Forum Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum, BPHN DepKum-HAM, 7-9 September 2004, hal. 138.
Universitas Sumatera Utara
menyangkut hal-hal tertentu harus dilakukan dengan UU sedangkan yang menyangkut hal lainnya dilakukan dengan Keputusan Presiden. Hal-hal tertentu yang
harus dilakukan dengan UU adalah konvensi atau perjanjian internasional yang menyangkut:
151
1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan mereka;
2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
3. Kedaualatan atau hak berdaulat negara;
4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5. Pembentukan kaidah hukum baru;
6. Pinjaman danatau hibah luar negari.
Hak atas Kebebasan Berpikir, Berkeyakinan dan Beragama ini semakin diperjelasnya penjaminan hak tersebut dengan diaturnya hal tersebut didalam UU No.
12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada Pasal 18:
152
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara
individu maupun bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, ketaatan, pengalaman, dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk
menganut atau meneriman suatu agama atau kepercayaanya sesuai dengan pilihannya.
3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya
dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindugi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau hak dan
kebebasan dasar orang lain.
4. Negara-negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati
kebebasan orangtua, dan jika ada wali, wali yang sah, untuk memastikan
151
Ibid. hal. 20
152
Hukum Online, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik,
http:hukumonline.compusatdatadetail , diakses tanggal 26 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Penyusunan draft Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, argument-argumen serupa mengemuka lagi. Dalam keberatannya atas kalimat
“hak ini mencakup kebebasan berganti agama atau keyakinan’, delegasi dari Saudi Arabia mengemukakan”
153
sebagian agama menekankan pentingnya usaha misionaris, bahkan dirancang aktivitas-aktivitas pemindahan agama proselytizing activities, sedangkan yang
lain tidak demikian. Kemudian, negara kuat dengan agama cenderung menggantikan agama orang, jika menggemgam media massa, maka bisa
menimbulkan keraguan pada pemeluk agama lain. Jika individu itu memang harus menikmati kebebasan beragama secara penuh, maka ia harus dilindungi
dari tekanan, upaya pemindahan agama proselytism dan juga dari kesalahan dan bid’ah heresy. Banyak orang yang benar-benar dapat dibujuk untuk
berganti agama bukan saja lantaran dalil-dalil intelektual dan moral meyakinkan, melainkan juga lantaran karena kelemahan dan kemudahannya
tertipu. Kalimat kedua pada pasal itu terlalu menekankan hak untuk mengubah agama seseorang. Lagi pula pilihan kata-kata tidak bersyarat yang diambil tidak
mempertimbangkan pola piker yang berlaku di sejumlah masyarakat, dan tidak pula ia mencermati situasi individu-individu, dalam beberapa masyarakat
lain,yang tidak menyesuaikan diri dengan standar-standar kukuh dan individu yang misalnya, semata-mata memiliki agama ateis.
Alih-alih mencoret kalimat itu secara utuh, tercapai kompromi untuk mengubah
bahasanya menjadi ‘ hak ini harus mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri; yang lantas diambil
secara bulat tanpa syarat. Rumusan ini didasarkan pada usulan-usulan yang diajukan oleh Brazil, Filipina dan Inggris. Komite Hak Asasi Manusia mengidikasikan bahwa
kebebasan’ Unutk menganut atau menerima’ Mencakup kebebasan’ Untuk mengganti
153
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
agama atau kepercayaan ateistik, sebagaimana juga mencakup kebebasan mempertahankan agama atau kepercayaan seseorang.
154
Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan 1981 menyatakan bahwa, “Setiap orang
memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaannya, dan kebebasan baik sendiri
atau dalam bersama dengan orang lain, baik secara publik maupun pribadi untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan
ketaatan”. Hingga saat ini instrumen internasional yang satu ini belum diratifikasi oleh Indonesia.
155
Deklarasi Hak Orang-Orang Minoritas Secara Etnik, Bahasa, dan Agama Hak Kelompok Minoritas menguraikan mengenai pengaturan kebebasan beragama
dalam pasal-pasal berikut:
156
1. Pasal 2 ayat 1 “Orang-orang yang termasuk bangsa atau suku bangsa,
agama, dan bahasa minoritas selanjutnya disebut sebagai orang orang yang termasuk kaum minoritas mempunyai hak untuk menikmati kebudayaan
mereka, untuk memeluk dan menjalankan agama mereka sendiri, dan untuk menggunakan bahasa mereka sendiri, dalam lingkungan sendiri dan umum
dengan bebas dan tanpa gangguan atau tanpa segala bentuk diskriminasi”, 2 Orang-orang yang termasuk kaum minoritas mempunyai hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi, dan publik secara efektif.
2. Pasal 4 ayat 2 “Negara harus melakukan upaya-upaya untuk menciptakan
kondisi-kondisi yang berpihak untuk memugkinkan seseorang dari kelompok minoritas mengekspresikan karakter mereka dan mengembangkan
kebudayaan, bahasa, agama, tradisi dan kebiasaan mereka, kecuali praktek-
154
Ibid.
155
Ibid
156
Ibid
Universitas Sumatera Utara
praktek tertentu melanggar hukum nasional dan berlawanan dengan standar- standar internasional. Pasal 4 ayat 5 “Negara harus mempertimbangkan
upaya-upaya yang tepat sehingga seseorang dari kelompok minoritas dapat berpartisipasi secara penuh dalam kemajuan ekonomi dan pembangunan
Negaranya.
3. Pasal 7 “Negara harus bekerja sama untuk mempromosikan penghormatan
terhadap hak-hak yang tertera didalam deklarasi ini. 4.
Pasal 8 ayat 2 “pelaksanaan terhadap hak-hak yang tertera didalam deklarasi ini tidak boleh mengurangi penikmatan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan
Dasar yang terlah dikenal secara universal oleh semua orang. Pasal 8 ayat 4” tidak ada ketentuan dalam deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagai
pembolehan atas segala aktivitas yang berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa, termasuk kesetaraan kedaulatan,
integritas territorial dan kemerdekaan politik Negara-negara.
Hingga saat ini belum ada kebijakan dari pemerintah kita untuk meratifikasi konvensi ini sebagaimana konvensi internasional lainnya. Kembali ditegaskan karena
sebenarnya tidak ada suatu ketentuanpun, baik didalam hukum nasional maupun didalam hukum internasional, yang mewajibkan Negara meratifikasi konevensi atau
perjanjian internasional. Majelis Umum PBB hanya mengimbau agar Negara-negara anggotanya meratifikasi perjanjuan internasional itu. Negara tetap mempunyai
kedaulatan penuh untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi perjanjian internasional dan jika melakukan ratifikasi, maka kepentingan nasional tetap diletakkan sebagai
pertimbangan utamanya. Jika Indonesia tidak meratifikasi suatu konvensi pasti ada pertimbagana khusus yang berhubungan dengan kepentingan nasional demikian juga
berhubungan dengan nilai filosofis yang termaktub didalam Pancasila.
Universitas Sumatera Utara
C. Penjabaran Konstitusi RI Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama di Indonesia.