BAB III PENJABARAN KONSTITUSI RI DIDALAM MENJAMIN
PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERAGAMA
A. Penjabaran Konsitusi dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia .
Konsitusi suatu negara termuat dalam Undang-Undang Dasar dan berbagai aturan konvensi. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar merupakan aturan dasar atau
aturan pokok negara yang menjadi sumber dan dasar dari terbentuknya aturan hukum yang lebih rendah. Disebut aturan dasar atau aturan pokok negara karena ia hanya
memuat aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar atau bersifat pokok dan masih merupakan norma tunggal, tidak disertai norma sekunder.
117
Hans Kelsen dalam teori hierarki norma stufenbau theory berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu susunan hierarki. Suatu norma yang lebih
rendah berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi itu, berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi lagi.
Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu yang dikenal dengan istilah grundnorm norma
dasar. Norma dasar sebagai norma tertinggi itu dibentuk langsung oleh masyarakat
117
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta: Kencana, 2011, hal 53.
Universitas Sumatera Utara
dan menjadi sumber bagi norma-norma yang lebih rendah, oleh karena itu norma dasar itu disebut sebagai presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu.
118
Oleh karena kedudukan konstitusi sebagai aturan dasar suatu negara, berada dibawah grundnorm atau staatsfundamentalnorm maka pada saat pertama kali
konsitusi dibentuk, ia harus mengikuti dan menyusaikan diri dengan situasi negara pada saat itu, karena keabsahan dan legitimasi suatu konstitusi yang pertama kali
dibentuk dalam suatu negara tidak bergantung kepada teknik dan prosedur pembentukan konstitusi sebagaimana lazimnya, tetapi akan sangat bergantung kepada
berhasil atau tidaknya suatu “revolusi grondwet” yang terjadi pada Negara yang bersangkutan.
119
Teori ilmu hukum dikenal adanya tiga hal yang menjadikan kaidah hukum dapat dinyatakan berlaku yaitu:
1 Hal berlakunya kaidah hukum secara yuridis. Dengan mengacu kepada teori
Stufenbau, Hans Kelsen mengatakan bahwa kaidah hukum akan berlaku secara yuridis apabila penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi.
Sementara W. Zevenbergen mengatakan bahwa berlakunya kaidah hukum secara yuridis jikalau kaidah tersebut terbentuk menurut cara-cara yang
ditetapkan.
120
2 Hal berlakunya kaidah hukum secara sosiologis, yang intinya adalah
efektivitas kaidah hukum didalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dikenal dua teori, yaitu pertama, teori kekuasaan, yang pada pokoknya
menyatakan bahwa kaidah hukum itu dipaksakan berlaku oleh penguasa, diterima atau tidak oleh warga masyarakat. Kedua, teori pengakuan, yang
menyatakan bahwa berlakunya kaidah hukum itu didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat.
121
118
Hans Kelsen, Loc. cit, hal 113
119
Ibid, hal. 55
120
Puwadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal kaidah Hukum, Bandung: Alumni, 1986, hal. 108.
121
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
3 Hal berlakunya kaidah hukum secara filosofis, artinya adalah bahwa kaidah
hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum rechtsidee sebagai nilai positif yang tertinggi uberpositieven wert, misalnya, Pancasila dan keadilan.
122
Perundang-undangan merupakan kegiatan pembentukanproses membentuk peraturan-peraturan Negara baik ditingkat pusat maupun daerah
123
. Peraturan Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara yang merupakan hasil
pembentukan peraturan-peraturan baik ditingkat pusat maupun daerah.
124
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa sesuai dengan kelaziman atau prinsip umum, sebuah undang-undang memiliki kedudukan lebih rendah daripada
Undang-Undang Dasar atau Konsitusi; oleh karenanya norma hukum peraturan perundang-undangan yang berlawanan dengan norma hukum Undang-Undang Dasar
atau konstitusi dinyatakan tidak berlaku. Hierarki norma hukum ini sudah diformalkan dalam Ketetapan Majelis
125
No: IIIMPR2000 tentang “Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan”. Menurut Tap MPR ini, sumber
hukum dasar nasional adalah Pancasila dengan tata urutan perundang-undangan sebagai berikut:
126
1 Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya;’
122
Ibid.
123
M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Bandung: Mandar Maju, 2009, hal.28-29
124
Ibid.
125
Munculnya Tap MPR ini merupakan koreksi atas Ketetapan MPRS Nomor XXMPRS1966 mengenai hierarki peraturan perundang-undangan, seperti yang disinggung dalam konsideran Tap
MPR No. IIIMPR2000 huruf e, baca: Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: In-Dhill-co, 1989 seperti yang dikutip oleh Taufiqurrohman Syahuri, Hal.56
126
Sekretariat MPR, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sidang Tahuan MPR RI tanggal 7-18 Agustus 2000, Jakarta, 2000.
Universitas Sumatera Utara
2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3 Undang-Undang;
4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
5 Peraturan Pemerintah;
6 Keputusan Presiden yang bersifat mengatur;
7 Peraturan Daerah.
Tata urutan peraturan perundangan berdasarkan Tap MPR ini mengalami
perubahan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU PPP, sehingga tata urutan atau hierakinya
menjadi sebagai berikut: 1
Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia 1945; 2
Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3
Peraturan Pemerintah; 4
Peraturan Presiden; 5
Peraturan Daerah. Tidak jelas apa yang menjadi pertimbangan dari pembentuk Undang-undang
No.10 tahun 2004 tidak memasukkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Dari sisi
yuridis tentu kebijakan dari pembentuk UU No. 10 Tahun 2004 ini tentulah suatu kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip norma hokum yang berjenjang,
yang artinya ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 ini bertentangan dengan TAP MPR No. IIIMPR2000, dimana dalam konsideran UU No. 10 Tahun 2004 tidak
disebutkan Tap MPR No. IIIMPR2000 sebagai salah satu dasar dari pembentukan UU No. 10 Tahun 2004. Tetapi anehnya dalam Penjelasannya disebutkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
pembentukan UU No. 10 Tahun 2004 itu guna memenuhi perintah ketentuan Pasal 6 Tap MPR No. IIIMPR2000 Tentang Sumber Hukum Tertib Hukum.
127
Disisi lain, apa yang terjadi pada pembentukan UU No. 10 Tahun 2004 yang mengeluarkan Tap MPR dari tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana
ditetapkan dalam Tap MPR No. IIIMPR2000 jelas memperlihatkan adanya ketidak konsistenan pembentuk UU dalam membentuk suatu Undang-Undang dengan
meperhatikan ketentuan yang ada, apalagi berupa suatu peraturan perundang-undagan yang lebih tinggi kedudukannya dari UU.
128
Kekeliruan mengeluarkan Tap MPR dari jenis tata susunan peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 akhirnya
disadari pembentuk UU. Hal ini ditandai dengan diundangkannya UU No. 12 Tahun 2011 yang diundangkan pada tanggal 12 agustus 2011 lalu yang memasukkan
kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undagan. Meskipun UU No. 12 Tahun 2011 dalam pertimbangannya menyebutkan dalam konsideran
adanya kekurangan pada UU No. 10 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Tap MPR sebagai salah satu jenis dari susunan peraturan perundang-
undangan. Dalam hubungan ini UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
129
1 UUD 1945:
2 Ketetapan MPR;
127
Dunia Hukum, Kajian dan Analisa Hukum, http:boyyendratamin.blogspot.com
, diakses tanggal 25 Mei 2012
128
Ibid.
129
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
3 UUPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4 Peraturan Pemerintah;
5 Peraturan Presiden;
6 Peraturan Daerah Provinsi;
7 Peraturan Daerah KabupatenKota.
Berlakunya konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu Negara. Jika
Negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimiasi konsitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang
menentukan berlaku tidaknya konstitusi. Hal inilah yang disebut para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada diluar dan sekaligus
diatas sistem yang diaturnya. Karena itu, dilingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konsitusi
130
Sehubungan dengan legitimasi konstitusi ini, Constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum hierarchy of law. Konstitusi merupakan
hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi
bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang bersifat universal, maka agar peraturan-peraturan yang
tingkatannya berada dibawah Undang Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, . Dalam hal ini
Indonesia termasuk didalamnya.
130
Jimmly Asshiddiqie, Loc. Cit, hal. 22
Universitas Sumatera Utara
peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.
131
Perundang-undangan sebagai manifestasi filosofis atau pandangan hidup bangsa maksudnya perundang-undangan itu merupakan abstraksi nilai dan derivasi
nilai. Pergeseran nilai disebabkan pengaruh berbagai faktor. Perbedaaan persepsi mengenai nilai-nilai, sesuai dengan perbedaan pandangan hidup bangsa atau
masyarakat. Dalam hal ini perundang-undangan dalam arti tampilan peraturan- peraturan hukum berupa undang-undang, Perpu, PP, Perda, SK Surat Keputusan,
dan lain-lain diciptakan melalui pertimbangan itu, baik pihak eksekutif maupun legislatif mempergunakan pendekatan paradogma filosofis. Misalnya: sejauh mana
peraturan itu akan memberikan keadilan dan jaminan atas HAM, kenyamanan fisik dan mental pada semua personil dirumah tangga lihat UU tentang KDRT, UU
tentang pengupahan tenaga kerja, UU tentang pemilu, dan lain-lain.
132
Peraturan Perundang-undangan juga sebagai resultan perkembangan masyarakat. Maksudnya peraturan perundang-undangan merupakan hasil
perkembangan masyarakat; telah diketahui bahwa masyarakat dan manusia senantiasa mengalami perkembangan secara terus menerus, baik pekembagan politik, ekonomi,
sosial budaya, bahkan sampai kepada ilmu pengetahuan dan teknologi dan mental masyarakat tersebut. Perkembangan ini disebabkan beberapa faktor yang sangat kuat
yaitu; adanya cara berpikirpandangan hidup masyarakat, aspirasi dan tuntutan
131
Ibid 23
132
M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Bandung: Mandar Maju, 2009, hal.30-31.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat akan suatu keadilan, kepatutan kenyataan kewajaran, tata nilai, struktur sosial, pengelompokkan sosial, serta cita-cita hukum yang membawa masyarakat
menuju suatu keadaan baik. Cita-cita hukum yang dimaksud yaitu atau disebut dengan ius contituendum.
Contituendum ini adalah suatu produk perkembangan masyarakat yang menjadi cikal bakal peraturan hukum dimasa datang, namun sebelum peraturan ini dipergunakan
pemerintah harus melihat atau memperhatikan kearah mana peraturan ini akan membawa masyarakat kedepan maupun kearah mana masyarakat membawa
peraturan ini kelak semua ini harus diperhatikan dengan pertimbangan yang benar- benar matang. Dalam membentuk suatu peraturan, pemerintah harus melihat keadaan
masyarakat sebelum membuatnya agar pembentukan peraturan tersebut. Sebagai salah satu hak yang paling fundamental, pelaksanaan kebebasan
beragama atau berkepercayaan didasarkan pada delapan norma Tore Lindholm, W.
Cole Durham, Jr., Bahia G. Tahzib-Lie dan Nazila Ghanea, 2004 sebagai berikut:
133
1. Internal freedom kebebasan internal. Berdasarkan pada norma ini, setiap
orang dipandang memiliki hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama. Norma ini juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki,
mengadopsi, mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaannya.
2. External freedom kebebasan eksternal. Norma ini mengakui kebebasan
133
Syamsul Arifin, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Kebebasan Beragama Berkeyakinan, sebagaimana dikutip Menurut Nicola Colbran, Legal Advisor, Norwegian Centre for
Human Rights, University of Oslo, kedelapan norma tersebut juga merupakan inti hak kebebasan beragama atau berkepercayaan. Pandangan ini dikemukakan oleh Colbran pada saat menyajikan
makalah, Hak Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan, pada workshop dengan tema, Memperkuat Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek dan Tantangan, kerjasama antara
Norwegian Centre for Human Rights NCHR , University of Oslo, dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia PUSHAM-UII, Yogyakarta. Workshop dilaksanakan pada 13-
15 November 2007
Universitas Sumatera Utara
mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi
kebebasan beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi maupun publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan
bersama-sama orang lain.
3. Noncoercion tanpa paksaan. Norma ini menekankan adanya kemerdekaan
individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan
memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapa pun.
4. Nondiscrimination tanpa diskriminasi. Berdasarkan norma ini, negara
berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di dalam wilayah kekuasaanya dan yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan
beragama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan,pandanga politik dan pandangan lainnya, asal-
usul bangsa, kekayaan, status kelahiran.
5. Rights of parent and guardian hak orang tua dan wali. Menurut norma ini,
negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang abash secara hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak
mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau
berkepercayaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.
6. Corporate freedom and legal status kebebasan berkumpul dan memperoleh
status hukum. Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas
keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi .
7. Limits of permissible restrictions on external freedom pembatasan yang
diperkenankan terhadap kebebasan eksternal. Kebebasan untuk mewujudkan atau mengeskpresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan
oleh hukum dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan dan moral dan hak-hak dasar lainnya.
8. Nonderogability Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau
berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun. Indonesia adalah negara yang tidak perlu lagi diragukan menerima dan
mengakui kebebasan beragama, bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan mengikat. Agar semangat dalam konstitusi itu tetap terjaga,
pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama tetap diperlukan. Hanya saja, dalam membuat aturan hukum termasuk aturan soal agama, perlu konsisten mengacu
pada Pancasila yang telah menggariskan empat kaidah penuntun hukum nasional.
Universitas Sumatera Utara
Kaidah-kaidah ini tidak terlepas dari kedudukan Pancasila yang menjadi cita hukum rechtside dan harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia.
134
Kaidah-kaidah penuntun itu antara lain:
135
1. Hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara
teritorial maupun ideologis. Hukum-hukum di Indonesia tidak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah maupun ideologi.
2. Hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. Hukum di
Indonesia tidak dapat dibuat berdasar menang-menangan jumlah pendukung semata tetapi juga harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang
benar.
3. Membangun keadilan sosial. Tidak dibenarkan munculnya hukum-hukum yang
mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial-ekonomi karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah tanpa perlindungan negara.
Hukum harus mampu menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu dimenangkan oleh yang
kuat.
4. Membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Hukum tidak boleh
mengistimewakan atau mendiskrimasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan agama. Indonesia bukan negara agama yang mendasarkan
pada satu agama tertentu dan bukan negara sekuler yang tak peduli atau hampa spirit keagamaan. Hukum negara tidak dapat mewajibkan berlakunya
hukum agama, tetapi negara harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan melaksanakan ajaran agama karena
keyakinan dan kesadarannya sendiri.
Proses penyusunan aturan soal agama, kaidah pertama dan keempat di atas harus diperhatikan, hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa
dan pada saat bersamaan membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Harus disadari, agama dalam arti keyakinan merupakan wilayah privat sehingga negara
tidak memiliki kewenangan untuk mengaturnya. Sehingga, pengaturan terbatas pada
134
Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi….Op. cit, hal. 12
135
Ibid
.
Universitas Sumatera Utara
bagaimana masing-masing orang mengekspresikan keyakinannya supaya tidak merugikan atau melanggar hak orang lain.
136
Proses penjabaran konstitusi didalam peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah sudah memiliki kaidah atau norma hukum tersendiri. Dengan
dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Sehingga jika mengacu dan tetap berpedoman kepada aturan tersebut
sebenarnya, didalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan akan diminimalisir konflik antar peraturan atau ketidaksinkronan satu sama lain antara
aturan yang berderajat tinggi dengan aturan yang derajatnya lebih rendah. Ketidaksinkronan ini dapat terjadi karena tidak memenuhi asas-asas pembuatan
peraturan perundang-undangan yang baik dan muatan yang tidak mengandung asas- asas yang sudah diatur didalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan. Demikian juga turunan tersebut tidak memenuhi unsur berlaku baik secara yuridis, sosiologis, maupun filosofis. Sangat memungkinkan bertentangan jika salah
satu unsut tersebut tidak termaktub didalam aturan-aturan tersebut. Penjabaran konsitusi kedalam aturan-aturan yang derajatnya lebih rendah
sangat dibutuhkan sebagai petunjuk dan acuan sebagai pelaksanaan dari kebebasan beragama di Indonesia. Hendaknya aturan yang merupakan penjabaran tersebut dapat
memperjelas segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia karena banyak perbedaaan persepsi mengenai nilai-nilai,
136
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan perbedaan pandangan hidup bangsa didalam masyarakat. Untuk menyamakan persepsi inilah aturan hukum memiliki peran yang besar. Sehingga
penjabaran tersebut benar-benar memperjelas secara yuridis perihal kebebasan beragama.
B. Perlindungan HAM Melalui Kovenan Internasional