Setelah menganalisa dari semua konsitusi yang mengatur masalah kebebasan beragama, baik dari UUD 1945, Konsitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 Pasca
Amandemen, bahkan dibandingkan dengan Konstitusi Malaysia, ditemukan keunikan masing-masing konsitusi didalam menuangkan perlindungan HAM khusus kebebasan
beragama didalam pasal demi pasal. UUD 1945 Pasca Amandemen jauh lebih lengkap dan komprehensif didalam mengatur masalah jaminanan atas kebebasan
beragama. Memuat dengan jelas uraian terhadap pelaksanaan dan jaminanan kebebasan beragama tersebut. Bahkan dengan jelas diatur pembatasan hak tersebut,
pengaturannya didalam undang-undang serta peran pemerintah didalam menjamin hak tersebut.
E. Konsitusi RI Sudah Cukup Memadai Menjamin Kebebasan Beragama.
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia.
100
100
Ada dua alasan pokok mengapa Pancasila yang dikemukakan dalam meletakkan Pancasila pada posisinya sebagai ideologi negara tidak dapat diganggu gugat. Pertama, Pancasila sangat cocok
sebagai platform kehidupan bersama bagi bangsa dan Indonesia yang sangat majemuk agar tetap terikat erat sebagai bangsa yang bersatu. Kedua, Pancasila termuat didalam pembukaan UUD 1945
yang didalamnya ada pernyataan kemerdekaan oleh bangsa Indonesia, sehinga jika Pancasila diubah, berarti pembukaan UUD pun harus diubah. Dan jika Pembukaan UUD diubah maka kemerdekaan
yang pernah dinyatakan didalam pembukaan itu, dianggap menjadi tidak ada lagi sehingga karenanya pula Negara Indonesia menjadi tidak ada atau bubar. Dalam kedudukannya sebagai perekat atau
pemersatu, Pancasila telah mampu memposisikan dirinya sebagai tempat kembali jika bangsa Indonesia terancam perpecahan. Selengkapnya lihat, Mahfud MD, Loc. Cit Hal 50
Dalam kedudukannya sebagai dasar dan ideologi negara yang tidak dapat dipersoalkan lagi bahkan sangat
kuat, maka pancasila harus dijadikan paradigma kerangka berpikir, sumber nilai, dan orientasi arah dalam pembangunan hukum termasuk semua pembaruannya. Pancasila
sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai
Universitas Sumatera Utara
perauran perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya; sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial
politik tempat hukum menjadi salah satu alatnya dan karenanya juga harus bersumber darinya.
101
Cara pandang terhadap Pancasila juga mengalami perbedaan bahkan kesimpangsiuran. Ada yang beranggapan bahwa Pancasila merupakan yuridis
kenegaraan. Pancasila dalam kedudukannya sebagai yuridis kenegaraan meliputi pembahasan Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara Republik Indonesia
sehingga meliputi pembahasan bidang yuridis dan ketatanegaraan, realisasi Pancasila dalam segala aspek penyelenggaraan negara secara resmi baik yang menyangkut
norma hukum, maupun norma moral dalam kaitannya dengan segala aspek penyelengaraan negara.
102
Norma hukum yang baik yang akan diberlakukan harus berdasarkan pada empat pertimbangan yaitu pertimbangan yang bersifat filosofis,
juridis, politis, dan sosiologis.
103
Sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di Indonesia, maka Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan
UUD 1945, kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yaitu meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya
101
Mahfud MD, Loc. Cit, sebagaimana dikutip dari Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyrakat, Berbangsa dan Bernegara,
Jakarta: BP-7 Pusat, 1992, hal.62.
102
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2008, hal. 20.
103
Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006, hlm. 242-244.
Universitas Sumatera Utara
dikonkritisasikan atau dijabarkan dalam pasal UUD 1945, serta hukum positif lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut dapat dirinci sebagai
berikut:
104
a Pancasila sebagai dasar negara adalah merupakan sumber dari segala
sumber hukum sumber tertib hukum Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan asas kerohanian tertib hukum Indonesia yang dalam
pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut kedalam empat pokok pikiran.
b Meliputi suasana kebatinan Geistlichenhinterground dari Undang Undang
Dasar 1945. c
Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis
d Mengandung norma yang mengharuskan Undang Undang Dasar 1945
mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara termasuk para penyelenggara partai dan golongan fungsional
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya sebagai berikut:
“…negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
e Merupakan sumber semangat bagi Undang Undang Dasar 1945 bagi
penyelengara negara dan pelaksana pemerintah. Dengan semangat pada asas kerohanian negara sebagai padangan kehidupan bangsa, maka dinamika
masyarakat dan negara akan tetap diliputi dan diarahkan kepada asas kerohanian bangsa.
Selain itu, Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu
sumber nilai norma serta kaidah, baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik tertulis atau Undang-Undang Dasar maupun tidak tertulis atau
104
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
konvensi. Dalam kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
105
Pernyataan Kaelan yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan yuridis kenegaraan adalah keliru. Ada ketidak konsistenan didalam argumentasinya
mengenai Pancasila. Benar bahwa Pancasila merupakan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara. Demikian juga sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Namun
bukan berarti bahwa Pancasila adalah yuridis kenegaraan. Karena Pancasila merupakan dasar filosofis dari setiap aturan maupun segala norma yang ada. Norma
hukum hanya salah satu bagian didalamnya. Maka untuk meninjau hal-hal yang diatur didalam konstitusi mengenai perlindungan kebebasan beragama secara nomatif
memadai atau tidaknya maka akan menjadikan Pancasila sebagai parameternya. Karena seperti yang ditegaskan bahwa Pancasila adalah sumber nilai norma serta
kaidah hukum negara. Pancasila sebagai ideologi bangsa, perlu ditambahkan bahwa secara istilah
ideologi berarti ajaran tentang nilai-nilai yang dianut manusia atau sekelompok manusia atau nilai-nilai yang diyakini baik dan disepakati untuk dijadikan pedoman
kehidupan bersama, namun dalam kenyataannya, terutamam dalam masyarakat Indonesia, ideologi itu memang telah mempunyain konotasi sebagai program social
politik yang cenderung menempatkan lain-lainnya, termasuk hukum sebagai alatnya dan oleh karena itu berada dalam subordinasinya. Padahal, menurut UUD 1945
105
Kaelan, Loc. Cit, hal 110
Universitas Sumatera Utara
seharusnya hukumlah yang mengatasi semua program kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk program sosial politiknya. Namun dalam konteks ini, apakah
determinan atas politik atau sebaliknya subordinate oleh politik, hal itu tidak akan mengubah keharusan bahwa hukum harus bersumberkan kepada Pancasila; dengan
kata lain Pancasila harus menjadi paradigm dari setiap pembangunan hukum di Indonesia
106
Beberapa alasan lain yang dikemukakan bahwa Pancasila harus menjadi paradigma dalam pembangunan hukum adalah:
. Demikian juga didalam pengaturan terhadap jaminan kebebasan beragama didalam konstitusi.
107
a Penjelasan UUD 1945
; secara resmi sejak amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, penjelasan UUD 1945 tidak lagi menjadi bagian dari UUD
Indonesia. Tetapi gagasan-gagasan yang terkandung didalamnya tetaplah relevan untuk dijadikan sumber hukum materiil, bukan sumber hukum dalam
artinya yang formal. Menurut penjelasan UUD 1945, pembukaan menciptakan pokok-pokok yang terkandung didalam pasal-pasal UUD 1945 tersebut. Artinya
pasal-pasal pada Batang Tubuh UUD 1945 merupakan penjabaran normative tentang pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam pembukaan UUD 1945.
Pokok-pokok pikiran itu meliputi suasana kebatinan UUD dan merupakan cita hukum yang menguasai konsitusi baik yang tertulis, maupun yang tidak
tertulis. Dengan demikian, semua produk hukum dalam penegakkannya di Indonesia haruslah didasarkan pada pokok pikiran yang ada didalam UUD 1945
termasuk bahkan pada pokok pikiran yang terutama Pancasila.
b TAP MPRS No. XXMPRS1966
; Dalam tatanan hukum baru, TAP MPRS kembali dikenal. Dalam ketetapan MPRS ini menjelaskan bahwa kedudukan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berarti bahwa Pancasila merupakan semua sumber, produk, dan proses penegakkan hukum
haruslah mengacu pada Pancasila sebagai sumber nilai utamanya. Secara teoritis dikatakan bahwa sumber hukum ada dua macam, yaitu sumber hukum formal
dan sumber hukum materiil. Sumber hukum materiil diartikan sebagai bahan yang menentukan isi suatu kaidah atau norma hukum yang diperlukan oleh para
pembuat hukum. Sedangkan dalam arti sumber hukum formal adalah hukum
106
Ibid, hal 52
107
Mahfud MD, Loc. Cit. 52-54
Universitas Sumatera Utara
dalam arti produk yang telah memiliki bentuk terutama yang berlaku mengikat terhadap komunitas-komunitasnya seperti: UU, Perda, Permen, dan sebagainya.
Pancasila merupakan sumber hukum materiil dalam arti sebagai asalnya hukum. Dalam kaitannya dengan sumber hukum formal, haruslah diartikan bahwa
sumber hukum formal apapun harus tetap bersumber pada Pancasila dan tidak keluar dari kandang nilai-nilainya.
c Norma Fundamental Negara
; dasar-dasar pemikiran ini diperkuat oleh pandangan pakar Filsafat Notonagoro yang pada pidato dies natalis UGM, 10
November 1955, menyebut Pancasila sebagai “norma fundamental Negara” Staatsfundamentalnorm. Staatfundamentalnorm merupakan norma tertinggi
yang kedudukannya lebih tinggi daripada undang-undang dasar dan berdasarkan norma tertinggi inilah konsitusi dan peraturan-perundang-undangan harus
dibentuk. Satu hal segera yang dapat dijadikan kesimpulan dari hal ini bahwa sebagai dasar dan ideologi negara atau sebagai cita hukum dan
staatsfundamentalnorm, Pancasila harus menjadi paradigma dalam setiap pembaruan hukum.
Khusus TAP MPRS No. XXMPRS1966 sudah diganti dengan TAP MPR No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
Undangan. Berdasarkan TAP MPRS No. XXMPRS1966, dinyatakan bahwa pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Maksudnya bahwa Pancasila
adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari Rakyat negara yang bersangkutan.
Demikian juga TAP MPR No. IIIMPR2000 menyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yan adil dan beradap, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
Dasar 1945.
108
Sehubungan dengan Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan hukum, Pancasila sebagai suatu dasar filsafat Negara, maka sila-sila Pancasila
merupakan suatu sitem nilai, oleh karena itu sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Meskipun dalam setiap sila terkandung nilai-nilai yang
memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya namun kesemuanya itu tidak lain merupakan suatu kesatuan yang sitematis.
Selain itu Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Kembali ditegaskan bahwa Pancasila sebagai sumber
dasar hukum nasional.Namun bukan merupakan bagian dari tata urutan perundang- undangan di Indonesia. Karena Pancasila bersifat filosofis yang akan menurunkan
norma-norma termasuk norma hukum.
109
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa Negara yang didirikan adalah
sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh Karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelengaraan
Negara bahkan moral Negara, moral penyelenggara negara, politik Negara, pemerintahan Negara, hukum dan peraturan perundang-undangan Negara, kebebasan
dan hak asasi warga Negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
110
108
Ketetapan Majelis permusyawaratan rakyat sementara Republik Indonesia No. XXMPRS1966 Tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik indonesia
dan tata urutan peraturan Perundangan Republik Indonesia Ketetapann Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IIIMPR2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan, httpdiskominfo.kaltimprov.go.id, diakses tanggal 8 Juli 2012
109
Kaelan, Loc. Cit. Hal 79
110
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Khusus masalah jaminan kebebasan beragama pun tetap harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal khusus yang mengatur masalah ini dalam konstitusi RI adalah Pasal 29 ayat 1: Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat 2: Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sinkronisasi antara pasal
ini dengan Pancasila sila Pertama sangat jelas. Salah satu contoh yang dapat dipertanyakan tentang penjaminan kebebasan beragama dalam konsitusi adalah
mengenai keberadaan atheis. Mengacu kepada Pasal 28E ayat 1 yang manyatakan bahwa “setiap orang
berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ayat 2 menyatakan
bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, maka dalam konteks hak ini, maka
setiap orang juga sebenarnya berhak untuk tidak menggunakan atau menikmati haknya. Kalau bebas beragama atau berkeyakinan, jadi bebas juga untuk tidak
beragama. Kontitusi sendiri sebagai aturan tertinggi atau sebagai puncak piramida hirarki
perundang-undangan tidak ada kejelasan didalam mengatur ini. Namun sesuai dengan pandagan Hans Kelsen yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang dalam
suatu susunan hierarki. Suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber atas
Universitas Sumatera Utara
dasar norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi itu, berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada
suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu yang dikenal dengan istilah grundnorm norma dasar. Norma dasar sebagai norma
tertinggi itu dibentuk langsung oleh masyarakat dan menjadi sumber bagi norma- norma yang lebih rendah, oleh karena itu norma dasar itu disebut sebagai
presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu.
111
Perihal masalah bebas untuk tidak beragama ada dua pandangan mengenai masalah kebebasan untuk tidak beragama ini. pandangan pertama, Berdasarkan
aturan-aturan dari kovenan dan deklrasi yang bersifat universal dalam konteks internasional, Al Khanif mendefenisikan kebebasan beragama adalah hak yang
mencakup untuk mempunyai atau menetapkan suatu agama atau kepercayaan, dimana hak tersebut adalah hak untuk meyakini atau hak untuk tidak meyakini sama sekali
suatu agama baik yang bersifat theistik maupun yang non theistik dan untuk memanifestasikan bentuk-bentuk ritual keagamaan itu baik sendiri-sendiri maupun
dimasyarakat dan ditempat umum atau pribadi seperti yang diatur didalam hak asasi manusia internasional. Intinya bebas untuk tidak beragama.
112
111
Hans Kelsen, Loc. cit, hal 113
. Pandangan kedua, bahwa tidak ada tempat bagi mereka yang tidak beragama. Indonesia adalah negara
yang berkeTuhanan Yang Maha Esa jelas termaktub didalam Pancasila. Jadi, Indonesia tegas menyatakan bahwa tidak beragama atheis tidak dijamin
112
Al Khanif, Loc. Cit, hal. 89
Universitas Sumatera Utara
konsitusi.
113
Perbedaan pandangan tersebut diatas sangat mungkin terjadi. Setiap kelompok masing-masing mempunyai kebebasan untuk menafsirkan mengenai kebebasan untuk
tidak beragama tersebut. Karena konsitusi tidak jelas dan tegas mengatur masalah tersebut. Secara yuridis normatif sepanjang tidak diatur konstitusi maka masih ada
celah hukum yang memberi ruang untuk menimbulkan multitafsir atas keberadaan atheis di Indonesia. Akhirnya kedua pendapat tersebut dimaklumi muncul karena
kelemahan konsitusi didalam pernyataan mengenai atheis. Berdasarkan hal tersebut, ketika konsitusi tidak mengatur dengan jelas perihal
bebas juga untuk tidak beragama, maka dengan sendirinya dengan pandangan Hans Kelsen maka akan mengacu kepada norma yang lebih tinggi lagi yang tidak dapat
ditelusuri yang bersifat hipotesi dan fiktif. Dalam hal ini maka Pancasila yang akan menjadi acuan karena merupakan landasan filisofis dari turunnya suatu norma
hukum. Baik Pancasila maupun konsitusi RI menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan uraian mengenai
Pancasila yang merupakan sumber dari segala norma, menyatakan juga dengan tegas bahwa Indonesia adalah Negara yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, tidak ada
tempat bagi mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Namun sangat disayangkan konsitusi tidak ada dengan tegas mencantumkan masalah ini.
113
Wawancara langsung dengan FKUB diwakili oleh Dr. Arifinsyah, M.Ag Tanggal 18 Juni 2012, dan Ahmadiyah diwakili oleh Sufi Murti, Mubaligh Wilayah Sumatera Utara dan Aceh Tanggal
14 Juni 2012 serta wawancara langsung dengan MUI diwakili oleh Drs. Hj. Arso, SH, M.Ag Tanggal 17 Juli 2012, PGI diwakili oleh Pdt. Hotman Hutasoit, MTh, Wakil Sekretaris Umum PGI Sumut.
Universitas Sumatera Utara
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab secara sistematis didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta mendasari dan menjiwai ketiga sila
berikutnya. Oleh karena itu dalam kehidupan kenegaraan terutama dalam peraturan perundang-undangan Negara harus mewujudkan tercapainya tujuan ketinggian harkat
dan martabat manusia, terutama hak-hak kodrat manusia sebagai hak dasar hak asasi harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Nilai kemanusiaan yang
adil dan beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai mahluk yang berbudaya, bermoral dan beragama.
114
Bersarkan sila ini, Pasal yang menegaskan penghormatan terhadap hak-hak kodrat manusia. Jelas telihat pada Pasal 28 E ayat 1, 2 UUD 1945, Pasal 28I 1,
2, 4, 5 UUD 1945. Kesemua pasal ini menjiwai apa yang dijiwai oleh Pancasila khususnya sila kedua. Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak
dapat dipisahkan dari keempat sila lainnya. Sila ini dijiwai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab serta menjiwai sila kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat dalam permusyawatan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini menginkat keberagaman yang ada di Indonesia.
Maka rasa nasionalisme anak bangsa terbangun, dengan nasionalisme yang religius.
115
Bersarkan sila ketiga ini, Persatuan Indonesia, Pasal khusus yang menjiwai
hal ini adalah Pasal 28J 1 UUD 1945: Setiap orang wajib menghormati hak asasi
114
Ibid, hal. 80
115
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ayat 2: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Didalam pelaksanan hak kebebasan beragama ini perlu mencermati apa yang dijiwai didalam sila ketiga Pancasila. Tetap terjalin persatuan di Indonesia yang religius.
Kendatipun banyak agama dan keyakinan, tetapi perlu ada aturan yang sebagai pembatasan untuk penghormatan atas hak kebebasan orang lain.
Sama halnya dengan sila-sila sebelumnya merupakan suatu kesatuan yang sistematis. Nilai filosofis yang terkandung didalamnya adalah bahwa hakikat Negara
adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah negara. Demikian juga sila kelima yang merupakan
suatu kesatuan yang memiliki nilai keadilan yang didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya
sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Baik sila keempat dan sila kelima yang juga merupakan
suatu kesatuan dari sila-sila lainnya juga dijiwai oleh kesemua pasal-pasal yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan penilaian terhadap Konsitusi RI sudah memadai secara normatif atau tidak, Forum Kerukunan Umat Beragama bentukan pemerintah
menjaga kerukunan umat beragama dan pihak Ahmadiyah yang paling banyak mengalami kasus kebebasan beragama menilai bahwa Konsitusi RI sudah cukup
memadai secara normatif didalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Demikian juga MUI dan PGI. Namun dalam tatanan pelaksanaannya masih memiliki
banyak kendala. Pasti ada konflik yang terjadi ketika aturan atau regulasi yang mengatur kebebasan beragama pelaksanaannya bermasalah. Ketika apa yang diatur
didalam konsitusi RI mengenai kebebasan beragama dilakasanakan maka kehidupan kebebasan beragama akan terjadi harmonisasi. Karena konsitusi RI tidak hanya
menjamin agama saja tetapi kepercayaan juga. Menarik karena konsitusi membedakan antara agama dengan kepercayaan. Dalam hal ini aliran-aliran
kepercayaan seperti Sapto Darmo, Parmalim, dan agama suku atau lokal lainnya tetap dijamin kebebasan keyakinan tersebut. Demikian juga MUI, berpendapat bahwa
secara umum konsitusi sudah jelas cukup menjamin secara normatif melalui pasal 29 ayat 2 keberadaan agama dan kepercayaan, namun perlu ada undang-undang
organik sebagai petunjuk untuk melaksanakan penjaminan hak tersebut.
116
Secara umum, sebenarnya semua pasal-pasal yang mengatur tentang jaminan kebebasan beragama didalam konstitusi RI sudah memadai secara normatif. Karena
116
Wawancara langsung dengan FKUB, Ahmadiyah , MUI dan PGI.
Universitas Sumatera Utara
dalam kerangka normatif kesemua pasal tersebut telah menjiwai hal-hal yang termaktub didalam Pancasila yang merupakan sebagai sumber dari segala norma atau
kaidah hukum yang ada di republik ini. Khususnya didalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Tetapi perihal kebebasan untuk tidak beragama karena
bertentangan dengan Pancasila, maka akan lebih baik konsitusi menuangkannya dengan tegas sehingga tidak ada celah hukum bagi mereka yang menuntut haknya
untuk tidak bebas beragama. Karena Pasal 3 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Maksudnya bahwa kalau konsitusi tidak mengatur hal tersebut maka tidak mungkin akan diatur didalam
aturan yang derajatnya lebih rendah. Selain itu kalau suatu hal penting tidak diatur dalam konsitusi misalnya masalah bebas tidak beragama, secara hukum,
keberadaannya tidak bertentangan dengan hukum karena belum ada pengatuan secara khusus.
Demikian juga berdasarkan perbandingan sudah dilakukan dari konsitusi- konsitusi sebelumnya yang berlaku, bahkan dari konsitusi Malaysia bahwa
perlindungan terhadap kebebasan beragama pengaturannya diuraikan lebih detail dan lebih tegas didalam konsitusi RI pasca Amandemen ini. Dapat disimpulkan bahwa
UUD 1945 Pasca Amandemen tepatnya ketika amandemen ke dua yang dilakukan tahun 2000 merupakan konstitusi yang paling lengkap yang mengatur perihal jaminan
atas kebebasan beragama jika dibandingkan dengan konsitusi sebelumnya UUD 1945, Konsitusi RIS 1949, UUDS 1950. Bahkan ketika mengacu kepada Pancasila
Universitas Sumatera Utara
sebagai dasar negara dan sebagai sumber hukum dasar cukup menguatkan bahwa Konsitusi RI sudah cukup memadai.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PENJABARAN KONSTITUSI RI DIDALAM MENJAMIN