memiliki tingkatan. Tidak jarang terjadi konflik karena tidak memiliki wacana yang tepat menghadapi perbedaan agama yang sebenarnya sangat sensitif.
Permasalahan sikron atau tidak sikronnya peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari konsitusi tentang pelaksanaan kebebasan beragama
dapat dipastikan akan memberikan pengaruh besar terhadap pelaksanaan kebebasan beragama tersebut. Tetapi dalam prakteknya tidak jarang ditemukan aturan-aturan
yang tidak sikron dan menimbulkan multitafsir terhadap norma-norma yang lebih tinggi diatasnya. Secara hierarki khususnya berdasarkan substansi pengaturan perihal
kebebasan beragama bertentangan satu sama lain.
2. Penjabaran Konsitusi RI Tentang Kebebasan Beragama Yang Dianggap Bermasalah
2.1. Undang Undang Nomor 1PNPS1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan DanAtau Penodaan Agama
UU No. 1PNPS1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama
161
161
UU Nomor 1PNPS1965 berpangkal dari penetapan presiden penpres. Penpres bukanlah bentuk perundang-undangan sebagaimana diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum “jadi-
jadian” yang pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor 2262Hk59, 20 Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639Hk59, 26 November
1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, selengkapnya lihat, Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam Perspektif
Konstitusi, Loc. Cit, Hal.14.
misalnya, adalah salah satu yang banyak dikritisi. Aturan itu pada pokoknya melarang melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Ketentuan itu jelas mengisyaratkan negara melindungi warga negara Indonesia melalui perlindungan atas
Universitas Sumatera Utara
penyalahgunaan dan penodaan agama, dan pada saat bersamaan melarang aliran agama lain itu untuk tidak membuat penafsiran di luar ajaran yang konvensional.
Aturan itu selain dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan beragama menurut konstitusi, juga dinilai sebagai bentuk intervensi negara yang sebenarnya
tidak perlu. Munculnya UU No. 1PNPS1965 perlu ditelisik sungguh-sungguh karena UU ini menjadi landasan yuridis utama bagi banyak UU dan peraturan lain di
bidang keagamaan. Apalagi pasal 4 UU No. 1PNPS1965 menambahkan “delik agama” pada KUHPidana pasal 156a yang punya implikasi sangat penting.
Telah banyak gagasan yang muncul bahwa perihal agama atau penodaan agama tidak perlu diatur oleh negara. Atau dengan kata lain negara tidak semestinya
mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Kebijakan pemerintah yang hanya mengakui enam agama membuat para penganut agama lain tidak mendapatkan hak-
hak sipil mereka sebagai warga negara. Malah ada yang berkata kehidupan agama di Indonesia lebih baik bila tanpa negara. Artinya, negara tidak perlu ikut campur
mengatur kehidupan beragama sebab negara justru membuat kehidupan agama menjadi tidak baik.
Argumen yang mendukung gagasan itu, negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama
apapun. Kalau ada suatu kelompok yang misalnya ingin mendirikan agama sendiri, itu tidak bisa dilarang oleh negara. Menurut pendukung gagasan ini ketentuan yang
menunjukkan intervensi negara terhadap sebagaimana UU No. 1PNPS1965 tidak
Universitas Sumatera Utara
lagi diperlukan. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak yang melekat, tidak boleh dibatasi, tidak dapat ditunda, dan tidak patut dirampas.
162
Kendatipun kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak yang melekat, tidak boleh dibatasi, tidak dapat ditunda dan tidak dapat dirampas, namun, baik
konstitusi maupun konvensi-konvensi internasional tetap melakukan pembatasan- pembatasan terhadap pelaksanaan hak tersebut. Sebab, tanpa aturan dari negara,
akibatnya bukan tidak mungkin tindak-tindak kekerasan justru meruak. Sebab, sensitifitas seseorang terhadap agama sangat besar, terutama ketika agamanya dikritik
apalagi dinodai. Tidak adanya aturan justru akan membuka peluang lenturnya penafsiran tentang apa yang dikatakan sebagai penodaan agama. Orang akan dengan
mudah membuat aturan yang semata-mata disandarkan pada subyektifitas dan menurut ajaran agama masing-masing, dengan standar keyakinan yang tentu berbeda.
Akan dengan mudah terjadi fenomena menghukum mereka yang dianggap sesat dan atau tidak sesuai mainstream, dengan dalih dan cara-cara yang diperintahkan agama.
.
Akan tetapi didalam konteks hukum internasional, dasar dikeluarkannya peraturan perundang-undangan karena isu penistaan agama untuk membatasi
manifestasi keagamaan bertentangan dengan dengan ruang lingkup kebebasan beragama. Selain itu, perundang-undangan tersebut melanggar prinsip non
diskriminasi dan persamaan hak asasi manusia internasional. Komite HAM PBB juga menegaskan bahwa negara-negara anggota harus menyediakan seperangkat aturan
hukum yang sesuai dengan implementasi hak-hak yang diatur didalam Kovenan.
162
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Artinya bahwa semua jenis aturan hukum yang tidak sesuai dengan aturan hukum didalam kovenan harus diamandemen secepatnya setelah suatu negara meratifikasi
kovenan tersebut.
163
Berbicara mengenai UU No. 1PNPS1965, ada dua kelompok orang yang memberi respon terhadapnya. Ada yang meminta supaya aturan ini dicabut, tetapi ada
yang menyatakan kalau aturan ini masih relevan dan keberadaannya masih sesuai dengan konstitusi RI. Keberadaan UU ini pernah diajukan ke Mahkamah Konsitusi
untuk dilakukan Judicial Review. Dalam hal ini UU No. 1PNPS1965 harus diubah atau dicabut
karena jika dianggap tidak sesuai dengan konsitusi.
UU No. 1PNPS1965 ini masih relevan dan dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
MK telah meletakkan tonggak penting terkait hubungan negara dan kebebasan beragama. MK dalam putusannya Nomor: 140PUU-VII2009 tanggal 19 April 2010,
menyatakan menolak semua permohonan pemohon dalam sidang uji materil UU No.1PNPS1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan danatau Penodaan Agama.
MK mengakui bahwa UU No.1PNPS1965 memerlukan penyempurnaan, bahkan sebuah undang-undang baru pun mungkin perlu dibuat untuk mengakomodasi
substansi undang-undang itu, untuk menjamin perlindungan dan kebebasan beragama. Tetapi sampai undang-undang baru seperti itu disahkan, maka UU
163
AlKhanif, Loc. Cit, hal. 289
Universitas Sumatera Utara
No.1PNPS1965 jo. UU No. 5 Tahun 1969 tidak perlu dicabut karena akan menyebabkan kevakuman hukum
164
UUD 1945 dan masih dalam koridor dokumen-dokumen internasional tentang Hak Asasi Manusia. MK juga berargumen bahwa negara memang tidak boleh
mencampuri urusan doktrin agama, tetapi negara justru harus mengambil langkah- langkah yang diperlukan untuk menjamin kebebasan dan kerukunan beragama.
Bahkan negara juga dapat melakukan pembatasan-pembatasan yang tidak dengan sendirinya berarti mendikriminasi melainkan untuk menjamin hak-hak orang lain.
Selain itu, MK juga memberikan rambu-rambu tentang bagaimana cara membaca pasal-pasal tertentu dan ungkapan-ungkapan tertentu yang termuat dalam undang-
undang tersebut.
165
Alasan -alasan hukum baik mengenai Inkonstitusional dan Konsitusional UU No. 1PNPS1965 UU ketika diajukan ke Mahkamah Konsitusi :
166
Tabel 2: Alasan Inkonstitusional dan Konsitusional UU No. 1PNPS1965 UU
Menurut pemohon, didukung oleh PGI, KWI,
Himpunan Penghayat Kepercayaan HPK,
Badan Kerjasama Organisasi Kepercayaan
Menurut Pemerintah maupun DPR yang didukung oleh MUI, PP Muhmdiyah,
PBNU, DDII, PHDI, Walubi, Persis,DPP PPP, Itt.
Muballighin, BASSRA, FPI,HTI, Al- Irsyad,
164
M. Atho Mudzhar, Pengaturan Kebebasan Beragama dan Penodaan Agama di Indonesia dan Berbagai Negara,
Disampaikan pada Kajian tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140 tanggal 19 April 2010 tentang Uji Materil UU No.1PNPS1965, diselenggarakan oleh Kementerian
Hukum dan HAM, dilaksanakan di Hotel Anna Muara, Padang, pada 28 Juni 2010, hal. 4-5. Selengkapnya lihat, http:www.djpp.depkumham.go.id, diakses tanggal 14 Mei 2012
165
Ibid.
166
Ibid. hal 12.
Universitas Sumatera Utara
kepada Tuhan YME BKOK, Komnas HAM,
dan Komnas Perempuan FKUB,DMI,FUI,MATAKIN, dan Irena
Cntr: UU Pencegahan Penodaan Agama
I N K O N S T I T U S I O N A L dan harus dicabut, karena:
UU Pencegahan Penodaan Agama K O N S T I T U S I O N A L
dan harus dipertahankan, karena:
1. UU ini adalah sebuah UU yang bersifat
disharmoni dan inkonstitusional, karena sarat dengan pengingkaran
jaminan konstitusional bagi semua warga negara, atau secara substansial
bertentangan dengan UUD 1945 terutama ketentuan dalam BAB XA
HAM, dan BAB XI Agama; 2. UU ini tidak menjamin keberadaan
penghayat kepercayaan yang sudah lama hidup dan tinggal di Indonesia,
sehingga para penghayat kepercayaan sering didiskriminasi menjadi
korban; 3. UU ini telah menimbulkan
ketidakpastian hukum karena dapat menjadi
alat kelompok mayoritas untuk memaksakan
kebenaran menurut kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas;
4. UU ini sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini karena negara sebaiknya
hanya mengatur perilaku warga negara dan bukan menentukan
penafsiran agama yg benar dan yg salah;
5. Rumusan UU ini bersifat multitafsir sehingga dikhawatirkan adanya
intervensi negara terhadap agama. Tidak
perlu ada intervensi negara apabila terjadi penodaan suatu agama, cukup
dengan pembinaan secara internal. 1. Bahwa secara yuridis, UU ini
memberikan perlindungan dan jaminan
kepastian hukum bagi setiap orang dan pemeluk agama dalam
menjalankan hak konstitusionalnya sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945; 2. Bahwa kebebasan berpikir, menafsirkan
dalam menjalankan agama bukanlah berarti suatu kebebasan
mutlak yang tanpa batas, akan tetapi dapat dibatasi berdasarkan hukum
ataupun Undang-Undang melalui Pasal 28J ayat 2 UUD 1945 dan
Pasal 18 ayat 3 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik;
3. Bahwa pembatalan terhadap UU ini akan menyebabkan hilangnya jaminan
perlindungan umum sehingga dikhawatirkan
masyarakat akan main hakim sendiri oleh karena aparat penegak
hukum kehilangan pijakan atau acuan peraturan perundang-undangan dalam
mencegah terjadinya penyalahgunaan danatau penodaan terhadap agama;
4. Bahwa tidak ada agama yang dilarang dalam UU ini, yang dilarang adalah
menodai agama.
Sumber : M. Atho Mudzhar, http:www.djpp.depkumham.go.id
Universitas Sumatera Utara
Butir-butir Pendapat Mahkamah Konsitusi
Sebelum sampai kepada keputusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan memegangi pendapat-pendapat berikut:
167
1. Pancasila telah menjadi dasar negara, yang harus diterima oleh seluruh warga
negara. 2.
Pembentuk UUD 1945 telah mencantumkan ketentuan yang berhubungan dengan nilai-nilai agama dalam UUD 1945
3. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurunkan Undang-Undang yang mewajibkan
setiap penyelenggara pendidikan mengajarkan agama sebagai suatu mata pelajaran, sesuai dengan agama masing-masing.
4. Di Indonesia tidak boleh dibiarkan adanya kegiatan atau praktik yang
menjauhkan warga negara dari Pancasila. 5.
Pasal-pasal penodaan agama tidak semata-mata dilihat dari aspek yuridis saja melainkan juga aspek filosofisnya yang menempatkan kebebasan beragama
dalam perspektif keindonesiaan
6. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
bukan bangsa yang ateis; 7.
Agama bukan hanya bebas untuk dipeluk, tetapi nilai-nilai agama menjadi salah satu pembatas bagi kebebasan asasi yang lain semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
8. Penghormatan negara Indonesia atas berbagai konvensi serta perangkat hukum
internasional termasuk hak asasi manusia haruslah tetap berdasarkan pada falsafah dan konstitusi NKRI;
9. Prinsip negara hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945,
yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama
dan negara;
10. Konstitusi NKRI tidak memberikan kemungkinan adanya kampanye kebebasan
untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti agama serta tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab
yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan.
11. Kebebasan beragama freedom of religion merupakan salah satu hak asasi
manusia yang paling mendasar basic dan fundamental bagi setiap manusia. 12.
Dalam tataran instrumen hukum internasional, sejumlah Deklarasi dan Kovenan telah menunjukkan pentingnya jaminan kebebasan beragama sebagai standar
dasar kemanusiaan dan HAM di dunia.
13. Bersamaan dengan diberikannya hak atas kebebasan beragama, negara juga
berhak memberikan pengaturan dan batasan atas pelaksanaan kebebasan
167
Ibid. hal.13
Universitas Sumatera Utara
beragama. 14.
Selain melindungi hak asasi manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan bersifat universal, negara juga memberikan kewajiban dasar yang apabila
tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM.
15. Dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepada setiap
manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial
16. Dalam hal ini negara memiliki peran sebagai penyeimbang antara hak asasi dan
kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM yang berkeadilan. 17.
Pelaksanaan maupun pembatasan HAM harus secara tegas dijalankan menurut hukum;
18. Selain menjadi nilai-nilai yang individual dan personal, agama juga memiliki
nilai sosial 19.
Pembatasan tidak selalu harus diartikan sebagai diskriminasi, melainkan perlindungan terhadap hak asasi orang lain sekaligus merupakan atau kewajiban
asasi bagi yang lainnya
20. Dalam menilai pluralisme, liberalisme, ataupun fundamentalisme tidak dapat
disikapi secara inklusif dan individual melainkan harus dikembalikan pada konstitusi yakni UUD 1945 sebagai kesepakatan bersama.
Pendapat Pemohon vs Pendapat Hakim MK:
168
Tabel 3: Pendapat Pemohon Dan Hakim MK Pendapat Pemohon
Pendapat Hakim Mahkamah Menyangkut Formalitasnya
Formalitas UU Pencegahan Penodaan Agama bermasalah karena secara
historis dibentuk dalam keadaan darurat revolusi Pembentukan UU Pencegahan
Penodaan Agama sangat terkait dengan konteks sosial politik di alam Demokrasi
Terpimpin UU Pencegahan Penodaan Agama tidak sah atau harus dinyatakan
batal karena tidak memenuhi syarat pembentukan uji formal.
Secara materiil UU ini adalah masih tetap dibutuhkan sebagai pengendali ketertiban
umum dalam rangka KUB; Manakala norma tersebut masih relevan pada suatu
konteks yang lain, maka ketika itu norma tersebut layak dipertahankan UU ini
dibuat oleh Pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin, sudah diseleksi
melalui Ketetapan MPRS Nomor XIXMPRS1966, yang hasilnya
menyebutkan tetap diberlakukan sebagai UU
UU ini cacat formal karena tidak sesuai dengan ketentuan UU No.10 Tahun 2004
terutama mengenai sistematika dan hubungan antara pasal-pasal dan
UU No. 102004 tidak dapat dijadikan pedoman dalam menilai pembentukan UU
yang lahir sebelum lahirnya UU No.10 2004. Kedudukan Lampiran hanyalah
168
Ibid hal 21-27
Universitas Sumatera Utara
penjelasannya serta lampiran Undang- Undang
pedomanarahan yg tidak mutlak diikuti;
Menyangkut Materi Pokok Permohonan Pasal 1 UU No.1PNPS1965
Rumusan pasal 1 UU ini telah menimbulkan
ketidakpastian hukum karena sejumlah frasa seperti “penafsiran yang
menyimpang” maupun “pokok-pokok ajaran agama” merupakan klausul yang
multitafsir yang dapat digunakan untuk membatasi kebebasan beragama orang
lain. Penafsiran dan keyakinan beragama adalah hal yang sangat privat dan
individual, sehingga bukan merupakan kewenangan negara untuk menghakimi
keyakinan atau agama seseorang Apabila seseorang meyakini sesuatu
secara privat dan selanjutnya mengkomunikasikan
eksistensi spiritual individunya kepada publik merupakan hak asasi.
Hal itu merupakan bentuk ekspresi kebebasan berkeyakinan, berpikir, dan
berpendapat yang dijamin UUD 1945;
UU ini tidak menentukan pembatasan kebebasan beragama, akan tetapi
pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
serta pembatasan untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia; UU ini
tidak melarang untuk melakukan penafsiran terhadap suatu ajaran agama
ataupun melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai suatu agama yang
dianut di Indonesia secara sendiri-sendiri. Yang dilarang adalah dengan sengaja di
muka umum menceritakan, menganjurkan
dukungan umum,… Konsep agama yang diakui atau tidak
diakui oleh negara dari sudutetika politik sebenarnya tidak dibenarkan karena
bersifat pragmatis dan negara tidak berkompeten untuk menyatakan hal
tersebut Meskipun terdapat keanekaragaman atas
aliran agama namun padapokokpokok agama tetap dapat dirumuskan dan
disepakati, dan kesepakatan itulah yang menjadi koridor atau ukuran;
Penafsiran ada dalam forum internum, bersifat subjektif sehingga tidak boleh
diintervensi oleh negara, karena ada dalam kategori hak berpikir yang tidak
boleh dilarang; Walaupun merupakan forum internum,
penafsiran harus tetap berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama
melalui metodologi yang benar berdasarkan
sumber ajaran agamanya. Jika tidak, akan menimbulkan reaksi yang
mengancam keamananketertiban umum dan itu membuka peran negara.
Penafsiran “menyimpang” sangat tergantung dari otonomi masyarakat
Setiap agama memiliki pokok-pokok ajaran yang diterima umum pada internal
Universitas Sumatera Utara
kultural. Yang berhak untuk mengatakan menyimpang dan menghukum ajaran
menyimpang bukanlah sesama manusia melainkan hak Allah sebagai Tuhan
agama tersebut, oleh karena itu yang menentukan pokok-pokok ajaran agama
adalah pihak internal agama masingmasing.
Negara tidak dapat menentukan tafsiran yang benar mengenai ajaran suatu
agama; Negara tidak secara otonom menentukan
pokok-pokok ajaran agama dari suatu agama, akan tetapi hanya berdasarkan
kesepakatan dari pihak internal agama yang bersangkutan;
UU Pencegahan Penodaan Agama diskriminatif karena hanya membatasi
pengakuan terhadap enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
dan Khong Hu Cu; · UU ini tidak membatasi pengakuan atau
perlindungan hanya terhadap 6 agama, tetapi mengakui semua agama yang
dianut oleh rakyat Indonesia, sbgmn Penjelasan Umum UU ini;
· Makna kata “dibiarkan” yang terdapat di dalam Penjelasan Pasal 1 paragraf 3
UU ini harus diartikan sebagai tidak dihalangi dan bahkan diberi hak untuk
tumbuh dan berkembang, dan bukan dibiarkan dalam arti diabaikan;
· Penyebutan agama-agama dalam Penjelasan tersebut hanyalah
pengakuan secara faktual-sosiologis keberadaan agama-agama di Indonesia
saat UU ini dirumuskan;
Negara tidak berhak melakukan intervensi atas tafsiran terhadap
keyakinan atau kepecayaan seseorang untuk tidak mencampuri penafsiran atas
agama tertentu; · Beragama sebagai meyakini suatu
agama merupakan ranah forum internumkebebasanHAM. Sedangkan
melaksanakan suatu keyakinan adalah forum externum yang terkait dengan
HAM orang lain, kepentingan publik, dan dengan kepentingan negara
· Negara berkepentingan untuk membentuk peraturan per-UU-an
sebagai tanggung jawabnya untuk menegakkan dan melindungi HAM.
Jika terdapat isi dari UUD 1945 yang tidak sejalan dengan konvensi
internasional maka UUD 1945 tersebut harus diperbaiki;
Memperbaikimengubah isi UUD 1945 adalah sepenuhnya wewenang MPR.
Mahkamah hanya berwenang menguji isi UU terhadap UUD 1945;
Pasal 1 UU ini yang memberikan larangan Kepada setiap orang untuk
Universitas Sumatera Utara
mempublikasikan penafsiran berbeda dari agama
yang dianut di Indonesia adalah bentuk pencegahan dari kemungkinan konflik
horizontal masyarakat. Beragama dalam konteks hak asasi
individu tidak dapat dipisahkan dari hak beragama dlm konteks hak asasi komunal
Pembatasan mengenai nilai-nilai agama sebagai nilai-nilai komunal masyarakat
adalah pembatasan yang sah menurut konstitusi.
Pasal 1 UU ini sebagai sebuah pembatasan atas kebebasan beragama
Pasal 1 UU ini adalah bagian tidak terpisahkan dari maksud perlindungan
terhadap hak beragama warga masyarakat Indonesia
Pasal 2 Ayat 1 UU No.1PNPS1965
Kewenangan memberikan “perintah dan peringatan keras” adalah bentuk dari
pemaksaan coercion atas kebebasan beragama yang sejatinya merupakan hak
yang melekat dalam diri setiap manusia; Pemaksaan berupa “perintah dan
peringatan keras” menyebabkan negara terjebak dalam intervensi atas kebebasan
beragama yang merupakan hak asasi yang dijamin oleh UUD 1945
Negara memang memiliki fungsi sebagai pengendali sosial dan diberikan otoritas
berdasarkan mandat dari rakyat dan konstitusi untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat sesuai dengan UUD 1945 Keberadaan SKB merupakan bukti dari
kehati-hatian dalam pelaksanaan kewenangan negara untuk melakukan
tindakan hukum terhadap orang kelompok yang dianggap menyimpang
SKB tidak memiliki landasan hukum yangtepat untuk menjadi alasan pemaksa
untuk melarang keyakinan seseorang atau kelompok yang berbeda dengan
keyakinan atau penafsiran mayoritas SKB bukanlah peraturan per-UU-an
regeling melainkan penetapan konkret beschikking. Tapi terlepas SKB berupa
regeling atau beschikking, substansi perintah UU Pencegahan Penodaan
Agama tentang hal tersebut tidak melanggar konstitusi;
UU ini hanya bisa tegak apabila dilaksanakan bersama tindakan-tindakan
fungsional yang keras dan kadang- kadang diskriminatif terhadap mereka
yang berbeda dan dituduh menyimpang UU ini sudah tepat karena dibuat untuk
melindungi tiga kepentingan kepentingan individu, sosialmasyarakat,dan negara,
termasuk kepentingan para Pemohon.
Pasal 2 Ayat 2 UU No.1PNPS1965
Pelarangan yang ditujukan untuk membubarkan
· Sebagai tindak lanjut Pasal 2 Ayat 1, maka hal tersebut merupakan ranah
Universitas Sumatera Utara
sebuah organisasialiran terlarang adalah bentuk dari pengingkaran
terhadap kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
sebagaimana yang telah dijamin oleh UUD 1945.
kebijakan yang merupakan penerapan hukum dan bukan sebagai permasalahan
konstitusional; · para Pemohon telah salah mengartikan
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai
sebuah hak yang tidak dapat dibatasi. Padahal demi ketertiban umum maka
hak itu juga dapat dibatasi oleh hukum dan diberikan sanksi administrative
Pasal 3 UU No.1PNPS1965
Klausul ‘pemidanaan’ telah memasuki forum internum dari hak kebebasan
beragama dan merupakan ketentuan diskriminatif yang bersifat ancaman
threat dan memaksa coercion. Perbedaan penjatuhan pidana yang
ditetapkan dalam putusan pengadilan bukan merupakan bentuk diskriminasi
tapi merupakan kewenangan hakim yang
dapat menilai beratringannya kasus;
Rumusan pasal a quo bertentangan dengan syarat kriminalisasi karena tidak
dapat berjalan efektif unforceable karena
tidak dapat menggambarkan perbuatan yang dilarang dengan teliti
precision principle sehingga bertentangan
dengan prinsip kepastian hukum · Pasal 3 tidak dapat atau dapat
diterapkan adalah permasalahan penerapan hukum dan bukan
permasalahan konstitusional. · Pasal 3 ini tidak dapat diartikan
tersendiri, tapi satu kesatuan yang utuh,
sehingga jelas prinsip presisinya. · Pasal 3 ini merupakan ultimum
remedium manakala sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU
ini tidak efektif; · Proses yudisial yang dilakukan oleh
peradilan umum akan memberikan kepastian penegakan hukum.
Pasal 4 UU No.1PNPS1965
Unsur-unsur pemidanaan “permusuhan” “penyalahgunaan”, atau “penodaan”
yang terdapat dalam Pasal 4 UU ini tidak
mengandung kejelasan sehingga bertentangan dengan asas kepastian
hukum. Putusan pengadilan tentang penjatuhan
pidana berdasarkan Pasal 156a KUHP yang ternyata berbeda-beda, bukanlah
merupakan bentuk ketidakpastian hukum dan diskriminasi, melainkan wujud dari
pertimbangan hakim dalam memberikan keadilan sesuai dengan karakteristik
kasus masing-masing
Tabel 3: oleh M. Atho Mudzhar http:www.djpp.depkumham.go.id
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pemaparan atas alasan yang menyatakan bahwa UU No.1 PNPS 1965 inkonstitusional maupun yang menyatakan bahwa UU tersebut konsitusional,
permasalahan secara umum adalah perihal pembatasan kebebasan beragama. Putusan Mahkamah kosntitusi memberi penjelasan dengan alasan yang sangat kuat kenapa
UU ini tetap konsitusional. Alasan utama dari sekelompok orang yang menolak keberadaan UU ini adalah karena sangat mengekang pelaksanaan hak kebebasan
beragama. Harus diakui baik konstitusi maupun kovensi-konvensi internasional tetap melakukan pembatasan-pembatasan terhadap pelaksanaan hak kebebasan dan
berkeyakinan ini. Membatasi bukan berarti memasung kebebasan beragama. Namun, didalam pelaksanaan hak tersebut harus memperhatikan hal-hal tertentu yang dapat
menjadi permasalahan ketika hak itu dilaksanakan secara mutlak sebebas-bebasnya. Selain kebebasan beragama, semua yang termaktub didalam Hak Asasi
Manusia didalam pelaksaaannya dapat dibatasi melalui undang. Pasal 28J ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ayat 2 menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. Konsitusi RI sangat jelas mengatur masalah pembatasan pelaksanaan hak tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Adanya pembatasan-pembatasan itu tidak perlu mengecilkan hati kita seolah- olah kita adalah bangsa yang tidak memiliki kebebasan beragama. Hal itu
dimungkinkan sepanjang dilakukan melalui undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
Sesungguhnya dalam instrumen-instrumen internasional pun hal serupa memang diatur. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal
Declaration of Human Rights yang diadopsi PBB pada tahun 1948, Pasal 29 Ayat 2, dikatakan sebagai berikut: In the exercise of his rights and freedoms, everyone
shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others
and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society, dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya,
setiap orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui undang-undang, semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik diadopsi PBB Tahun 1966 yang telah kita ratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 Ayat
3 menyatakan bahwa kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Kemudian dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan Declaration on the Elimination
of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion and Belief Tahun 1981, pada Pasal 1 Ayat 3 menyatakan kemerdekaan seseorang untuk
menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau
nilai-nilai moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain. Intinya, kalau ada lahir regulasi-regulasi yang berhubungan dengan pembatasan pelaksanaan hak dengan
undang-undang dengan tujuan yang termaksud diatas, maka hal itu dibenarkan oleh konsitusi.
Sehubungan dengan UU No. 1PNPS1965 yang mengatur masalah pencegahan penyalahgunaan danatau penodaan agama merupakan regulasi pertama
bahkan satu-satunya undang-undang yang membatasi pelaksanaan kebebasan beragama demi moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis. Karena, jika pelaksanaan hak kebebasan beragama ini tanpa batas, maka kecenderungan masalah-masalah yang hendak dihindari tersebut
pasti muncul kepermukaan ditengah-tengah keIndonesiaan secara khusus yang sangat beraneka ragam baik suku, budaya, dan agama. Belum lagi Pancasila sebagai harga
mati untuk menjadi acuan utama didalam menilai segala sesuatu didalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Universitas Sumatera Utara
Namun, sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maupun dari substansi UU No. 1PNPS ini masih perlu mengalami penyesuaian dan
penyempurnaan. Karena bagi siapapun yang membacanya sekilas dan tidak mengetehaui latar belakang dalam setiap norma dari regulasi tersebut akan
menimbulkan ketidak jelasan terhadap isinya, baik karena salah menafsirkan isinya atau tidak memahami dengan jelas maksud dari setiap norma yang termaktub
didalamnya. Misalnya masalah penyebutan bahwa ada 6 enam agama yang diakui negara. Penyebutan terhadap 6 enam agama resmi ini akan menimbulkan
diskriminasi terhadap masyarakat yang berasal dari aliran kepercayaan. Tentu ini menimbulkan diskrimanasi dan seolah-olah menyangkal bahwa setiap orang di
hadapan hukum adalah sama. Akan lebih baik dengan menyebutkan “agama-agama dan aliran-aliran kepercayaan yang mempercayai Tuhan Yang Maha Esa” saja.
Karena UU tersebut tetap menjamin aliran-aliran kepercayaan atau agama-agama lokal yang tumbuh subur di Indonesia. Karena pada konsitusi tidak ada secara khusus
mengatur masalah pengakuan terhadap 6 enam agama resmi tersebut. Berhubungan dengan isi dari UU No. 1PNPS1965, apa yang sudah
dipaparkan Mahkamah Konsitusi hendaklah dituangkan dengan cermat dan jelas kepada UU baru atau ketika UU No.1PNPS1965 dirubah. Setiap asas-asas didalam
pembuatan maupun asas-asas yang menjadi acuan untuk substansi yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan haruslah dipenuhi
didalam merumuskan UU yang tujuannya membatasi pelaksanaan hak kebebasan beragama.
Universitas Sumatera Utara
Pernyataan yang mengatakan bahwa negara tidak berhak melakukan intervensi keyakinan atau kepecayaan seseorang dalam meyakini suatu agama yang
merupak ranah forum internum adalah benar. Tetapi negara memiliki tanggungjawab dan wewenang untuk menjaga pelaksanaan hak atas manifestasi dari kepercayaan dan
keyakinan yang merupakan ranah forum ekternum yang terkait dengan HAM orang lain, kepentingan publik dan kepentingan negara juga. Dalam hal ini negara
berkewajiban menjamin pelaksanaan kewajiban asasi dan kepentingan publik dengan mengeluarkan undang-undang.
Berkaitan dengan SKB, Pasal 2 ayat 1 UU No. 1PNPS1965 bertentangan degan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 mengenai negara hukum. Bahwa istilah Surat
Keputusan Bersama SKB tidak dikenal di dalam oleh Pasal 7 ayat 1 UU No.12 Tahun 2011. Pasal 7 ini hanya mengatur peraturan perundang-undangan regeling,
bukan kebijakan pemerintah beleid ataupun penetapan beschikking. SKB merupakan beleid, bukan peraturan regeling ataupun penetapan beschikking
karena dibentuk berdasarkan praktek-praktek pemerintahan yang berfungsi untuk mengatur koordinasi antar instansi pemerintah, dan mengikat internal saja. Pasal 7
ayat 1 hanya mengenal regeling, tidak mengenal beschiking maupun beleid. Beschiking dikenal di dalam hukum tata usaha negara, yang mempunyai karakter
untuk mencabut atau memberikan hak kepada individu atau badan hukum. Sementara Belied tidak mempunyai landasan hukum, adapun Algemeene Bepalingen van
wetgeving voor indonesie AB Staatblad 1847 No.23 sudah dihapus oleh UU No.122011 penjelasan UU No.122011. Sedangkan Belied tidak sama dengan
Universitas Sumatera Utara
regeling maupun beschikking, ini berarti belied merupakan bentuk praktek pemerintahan yang tidak berdasarkan aturan hukum, bertentangan dengan prinsip
negara hukum. Akan lebih baik jika kedepannya, sebagai turunan UU No. 1PNPS1965, melalui Peraturan Bersama Menteri. Jadi sifatnya regeling bukan
beschikking atau beleid kebijakan. Karena UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan tidak mengenal SKB. Namun, walaupun demikian
jika pemerintah menggunakan SKB untuk menyatakan kebijakannya mengenai pelaksanaan kebebasan beragama juga tidak melanggar konsitusi.
Sehubungan dengan keharusan ratifikasi terhadap kovenan-kovenan interna sional maupun perjanjian-perjanjian internasional yang secara tegas dan dalam
cakupan yang lebih luas tentang kebebasan beragama, Majelis Umum PBB hanya mengimbau agar negara-negara anggotanya meratifikasi perjanjuan internasional itu.
Negara tetap mempunyai kedaulatan penuh untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi perjanjian internasional dan jika melakukan ratifikasi, maka kepentingan nasional
tetap diletakkan sebagai pertimbangan utamanya. Misalnya kovenan internasional yang juga menjamin untuk tidak beragama atheis, dalam konteks keIndonesiaan,
jelas bahwa hal ini tidak sesuai dengan Pancasila yang merupakan palsafah bangsa dan ideologi bangsa kita.
Sehubungan dengan itu dapat disimpulkan sebenarnya UU No. 1PNPS1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan DanAtau Penodaan Agama tidak bertentangan
dengan kositusi, namun perlu melakukan penyesuaian dan penyempunaan baik dalam lingkup formil maupun substansi agar memiliki unsur-unsur materiil yang lebih
Universitas Sumatera Utara
diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik. Selain itu perlu terus dilakukan pengawalan terhadap penerapan norma UU Pencegahan dan
Penodaan Agama didalam penjabarannya melalui regulasi-regulasi turunannya.
2.2. Keputusan Bersama Menteri Agama No 3 tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep- 033AJA62006, dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota danatau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia JAI dan Warga Masyarakat.
Semua jenis intervensi negara yang bisa mengakibatkan tindakan diskriminatif dilarang oleh hukum internasional. Apalagi jika intervensi itu bisa mengakibatkan
berkurangnya atau terhambatnya hak-hak dan kebebasan individu yang bersifat negatif. Ini dikarenakan berbagai aturan didalam hukum internasional mengatakan
bahwa intervensi yang diskriminatif merupakan sebuah pelanggaran yang nyata terhadap hak asasi manusia. Pada kenyataanya, pemerintah didalam kasus Ahmadiyah
tidak bisa menahan keinginannya untuk mengitervensi kebebasan beragama dari kelompok minoritas tersebut sehingga terbitlah Surat Keputusan BersamaSKB yang
melarang hak kebebasan beragama dari Ahmadiyah. Tentu saja pengeluaran SKB didukung oleh MUI, Kejaksaan, dan kelompok penentang Ahmadiyah. Bahkan SKB
juga didukung oleh sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR dimana mereka meminta pemerintah dengan tegas melaksanakan keputusan tersebut. Selain
Universitas Sumatera Utara
memberi dukungan dan memahami kebijakan pemerintah menerbitkan SKB tentang Ahmadiyah,
169
Komisi VIII DPR juga mendorong pemerintah agar melakukan sosialisasi dan pengawasan atas pelaksanaan SKB tersebut. Selanjutnya pemerintah diminta segera
melakukan sinkronisasi berbagai ketentuan yang menyangkut kehidupan keagamaan agar tercipata harmonisasi diantara pemeluk agama. Komisi VIII DPR juga meminta
pemerintah untuk meningkatkan pembinaan keagamaan agar tidak ada aliran-aliran baru dalam kehidupan keagamaan.
170
Sehubungan dengan kasus ahmadiyah, dapat dipahami bahwa karakter dari forum internum dan forum eksternum adalah saling berkaitan. Sebagai contohnya,
SKB yang ditujukan untuk membatasi perkembangan ajaran agama Ahmadiyah ternyata bersumber dari tidak diterimanya interpretasi sekte tersebut yang
menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi. Oleh karena itu, pelarangan tersebut tidak hanya terbatas pada forum eksternum melainkan forum
internum. Batasan terhadap forum internum sebagai “non derogable right” dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan, meskipun negara dalam keadaan darurat
seperti adanya perang, bencana alam, konflik sosial, dan ancaman-ancaman terhadap keamanan dan keutuhan negara lainnya.
171
169
Al Khanif, Loc. Cit, Hal. 262
170
Ibid.
171
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Keputusan pemerintah untuk mengeluarkan SKB menunjukkan bahwa negara mengabaikan karakter yang saling berhubungan antara forum internum dengan forum
eksternum. Dua unsur penting didalam kebebasan beragama tersebut diklasifikasikan sebagai dua hak kembar karena pembatasan terhadap unsure yang satu bisa berakibat
pada unsur lainnya. Oleh karena itu, aturan hokum tentang kebebasan beragama sangat penting tidak saja untuk melindugi hak seseorang, khusus kelompok-kelompok
agama berskala kecil dan tidak dikakui sebagai agama resmi pemerintah untuk beragama melainkan juga untuk mendapatkan hak asasi manusia lainnya.
172
Maksud dikeluarkannya SKB senyatanya adalah untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok penentang Ahmadiyah.
Larangan tersebut dimaksudkan untuk mengakhiri konflik yang disebabkan oleh Ahmadiyah, bukan untuk memenuhi unsur menjaga ketertiban dan keselamatan
umum. Dari perpektif hokum internasional, SKB tidak memenuhi standar pembatasn forum externum karena ketentuan tentang “ketertiban dan keselamtan umum”,
didalam SKB tidak sesuai dengan batasan yang diatur didalam pasal 18 ayat 2 Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik.
173
Berikut isi lengkap SKB 3 Menteri berkenaan dengan Ahmadiyah:
174
1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
172
Ibid. hal 265.
173
Ibid.
174
Keputusan Bersama Menteri Agama No 3 tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep- 033AJA62006, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 tentang
Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota danatau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI dan Warga Masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
2. Memberi peringatan dan memerintahkan penganut, anggota danatau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad
SAW.
3. Penganut, anggota danatau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu dan Diktum Kedua dapat dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk
menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan danatau
tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, danatau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI.
5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan atau perintah
sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu dan Diktum Keempat dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk
melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksaksanaan Keputusan Bersama ini.
7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Kebijakan pemerintah mengenai keberadaan Jemaah Ahmadiyah Indonesia dinyatakan dengan mengeluarkan SKB 3 Menteri tenang Ahmadiyah. Perlu
ditegaskan bahwa SKB tidak mempunyai landasan hukum karena SKB tidak dikenal didalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. SKB
sifatnya tidak regeling, tetapi beshicking. Beschiking atau ketetapan adalah Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
175
Keberadaan SKB inilah yang sering menjadikan perdebatan di dalam masyarakat terkait dengan dasar hukumnya. Menurut Yusril Ihza Mahendra, SKB
tidak mempunyai dasarlegitimasi. Demikian juga pendapat yang disampaikan oleh the Indonesian Legal Resource Center ILRC. ILRC menilai kedudukan SKB lemah
karena tidak menjadi bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat 1 UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan hierarki peraturan perundang-undangan
secara urut terdiri dari UUD 1945, UUPerpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. SKB bahkan tidak disebutkan sama sekali dalam UU
yang disahkan 22 Juni 2004 itu. Oleh karenanya ILRC berpendapat SKB tidak seharusnya mengikat secara umum. SKB sifatnya koordinatif antar lembaga yang
menandatanganinya. Kekuatan mengikatnya pun terbatas hanya untuk kalangan internal instansi terkait. Dengan kata lain, SKB tidak bisa mengikat pihak luar,
apalagi masyarakat secara umum.
176
UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No.5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara, khususnya dalam menjelaskan secara tegas bahwa
terdapat tujuh hal yang tidak tergolong suatu keputusan Negara yaitu :
177
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
175
Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
176
Agung Ali Fahmi, Implementasi Kebebasan Beragama Menurut UUD Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2010, hal. 99.
177
Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Universitas Sumatera Utara
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum; 3.
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 4.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah sesuai dengan apa yang diatur oleh undang-undang tentang keputusan-
keputusan yang termasuk keputusan negara. Didalam pasal 2 angka 2 bahwa kalau surat keputusan bersifat umum, maka tidak dapat dikategorikan sebagai keputusan
negara. SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah merupakan surat keputusan negara karena berlaku khusus untuk kelompok Ahmadiyah. Sesuai dengan pengertian “ketetapan”
bahwa SKB akan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, dalam hal ini akan menimbulkan akibat hukum bagi Ahmadiyah.
Namun jika ditinjau dari isi SKB juga terdapat kebijakan pemerintah didalam melakukan pembatasan bagi Ahmadiyah didalam mengekspresikan atau
memanifestasikan keyakinannanya. Jelas dalam bagian hal menimbang bahwa SKB tersebut menyetujui bahwa kebebasan beragama harus dijamin pelaksanaannya.
Namun sesuai dengan UU No. 1PNPS 1965 bahwa tindakan Ahmadiyah dianggap menodai agama Islam. Karena mengakui diri Islam tetapi keluar dari pokok-pokok
kepercayaan Islam. Tentunya dapat dikatakan hal tersebut merupakan tindakan yang
Universitas Sumatera Utara
menganggu atau menimbulkan konflik bagi ketertiban umum. Intinya forum internum dalam hal keyakinan kelompok Ahmadiyah tetap dijamin, namun forum ekstermum
dalam hal ini berekspresi dan memanifestasikan keyakinannya perlu dilakukan pembatasan sesuai amanah dari konsitusi. Konsitusi memerintahkan bahwa
pembatasan tersebut melalui undang-undang. Jadi akan lebih baik masalah Ahmadiyah ini diakomodir didalam bentuk undang-undang. Tentunya tidak khusus
kepada Ahmadiyah saja, melainkan terhadap kelompok-kelompok lainnya. Namun walupun demikian, SKB ini tidak dapat dikatakan melanggar
konsitusi, karena merupakan perintah langsung dari UU No. 1PNPS1965. Karena walaupun tidak dikenal didalam UU No. 12 Tahun 2011, tetapi keberadaan SKB ini
juga mempunyai kekuatan hukum karena sesuai dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Karena khusus memberi kebijakan tentang
keberadaan Jemaat Ahmadiyah dan perlakuan masyarakat terhadap Jemaat Ahmadiyah.
Tetapi ada satu bagian dari SKB tersebut yang isinya dapat mengurangi kekuatan hukum dari SKB sebagai Keputusan negara. Karena didalam diktum satu
dari isinya menyatakan: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan
umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Hal ini bertentangan dengan pasal 2 angka 2 bahwa kalau surat keputusan bersifat umum, maka tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
dikategorikan sebagai keputusan negara. Harusnya diktum tersebut hanya ditujukan kepada Jemaah Ahmadiyah saja.
Keberadaan SKB ini tidak bertentangan dengan konstitusi, kendatipun ada padangan yang menyatakan bahwa SKB ini melanggar konstitusi dan kovenan
internasional. Baik konsitusi maupun kovenan internasional juga mengisyaratkan bahwa pentingnya pembatasan terhadap pelaksanaan hak kebebasan beragama ini.
Seperti yang diuraikan sebelumnya hal-hal yang dapat dijadikan landasan kuat untuk membatasi misalnya : moral, ketertiban umum, kepentingan umum, kesehatan, dll.
Kalau ada anggapan kalau SKB 3 Menteri sudah mengekang hak asasi manusia khususnya kebebasan beragama, sebenarnya dalam forum eksternum sebenarnya
terjadi pembatasan yang menyangkut kepentingan dan ketertiban umum. Namun dalam SKB ini perihal keyakinan atau forum internum, pemerintah tidak ada
melakukan pengekangan.
2.3. Surat Keputusan Jaksa Agung RI nomor 004JA011994 Tentang BakorPakem