Kerusakan Jaringan dan Produksi Sekunder Larva Trichoptera pada Perairan yang Tercemar Merkuri

(1)

KERUSAKAN JARINGAN DAN PRODUKSI SEKUNDER LARVA TRICHOPTERA PADA PERAIRAN YANG TERCEMAR MERKURI

GUNAWAN PRATAMA YOGA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kerusakan Jaringan dan Produksi Sekunder Larva Trichoptera pada Perairan yang Tercemar Merkuri adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2014

Gunawan Pratama Yoga


(4)

(5)

RINGKASAN

GUNAWAN PRATAMA YOGA. Kerusakan Jaringan dan Produksi Sekunder Larva Trichoptera pada Perairan yang Tercemar Merkuri. Dibimbing oleh DJAMAR TUMPAL FLORANTHUS LUMBANBATU, ETTY RIANI, dan YUSLI WARDIATNO

Penggunaan logam merkuri telah banyak diketahui digunakan oleh Penambang Emas Tanpa Ijin (PETI) dalam ekstraksi bijih emas di Sungai Cikaniki. Limbah ekstraksi bijih emas tersebut seringkali masih mengandung konsentrasi logam merkuri yang relatif tinggi, sehingga dapat mencemari sungai tersebut dan mengancam kehidupan biota akuatik yang ada di dalamnya serta dapat mengganggu kesehatan manusia. Pada biota air, di samping menyebabkan kematian, konsentrasi sub lethal merkuri menyebabkan berbagai gangguan fisiologis dan tingkah laku. Di samping itu, merkuri mempunyai kecenderungan untuk terakumulasi pada biota perairan yang pada akhirnya dapat menyebabkan biomagnifikasi pada rantai makanan di perairan.

Sejauh ini belum ada penelitian yang mengamati kerusakan-kerusakan pada tingkat jaringan dan morfologi trichoptera, yang disebabkan oleh adanya pencemaran merkuri di daerah tropis, terutama di Sungai Cikaniki. Memahami respon yang terjadi pada tingkat jaringan, fisiologi, sampai dengan populasi terhadap paparan merkuri sangat penting untuk membuktikan adanya hubungan sebab akibat (cause and effect) serta gangguan fungsional yang terjadi pada populasi insekta air tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis dampak pencemaran merkuri terhadap kerusakan jaringan insang dan usus bagian tengah (midgut), dan (2) mengkuantifikasi pengaruh pencemaran merkuri terhadap produksi sekunder jenis insekta air tersebut. Penelitian ini bermanfaat untuk memprediksi dampak aktivitas penambangan emas tanpa ijin (PETI) di Daerah Aliran Sungai Cikaniki terhadap keberlanjutan sumberdaya perairan di sungai tersebut.

Penelitian ini terbagi atas dua bagian, bagian pertama, yaitu penelitian di lapangan yang terutama ditujukan untuk melihat pengaruh pencemaran merkuri terhadap produksi sekunder trichoptera. Sedangkan bagian kedua adalah uji toksisitas merkuri terhadap trichoptera yang dilakukan di laboratorium untuk mengetahui hubungan antara tingkat pemaparan merkuri dengan kerusakan jaringan yang dihasilkannya.

Penelitian ini dilaksanakan selama sepuluh bulan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Oktober 2012. Pengambilan sampel di lokasi pengamatan dilakukan setiap bulan selama 10 bulan. Pengambilan sampel air dan biota untuk daerah yang tercemar dilakukan di daerah Cisarua, Curug Bitung dan Lukut yang terletak di bantaran S. Cikaniki – Sub DAS Cisadane kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Sedangkan untuk pengambilan sampel pada daerah yang belum tercemar dilakukan di daerah bagian hulu Sungai Cikuluwung, di kawasan Taman Nasional Gunung Salak Endah, Kabupaten Bogor.

Konsentrasi merkuri terlarut tertinggi ditemukan di Cisarua pada bulan April (5,78 µg/l) dan di Curug Bitung pada bulan September (5,46 µg/l), sedangkan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat tertinggi ditemukan di Curug Bitung pada bulan September 57,24 µg/l. Konsentrasi merkuri di daerah


(6)

Cisarua, Curug Bitung dan Lukut yang diakibatkan oleh ekstraksi emas pada penambangan emas tanpa ijin (PETI), sudah melebihi kriteria konsentrasi merkuri yang aman bagi lingkungan perairan. Toksisitas akut merkuri terhadap larva trichoptera pada 24 dan 48 jam berturut-turur adalah 0,391 dan 0, 318 mg/l. Berdasarkan nilai LC50 tersebut, nilai konsentrasi aman merkuri bagi larva trichoptera adalah 0,00032 mg/l atau 0,32 µg/l.

Konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat di daerah tersebut menyebabkan terjadinya bioakumulasi merkuri yang cukup tinggi pada biota trichoptera, serta menyebabkan terjadinya kecacatan berupa penghitaman pada insang trachea biota tersebut dan terjadinya perluasan lumen pada usus trichoptera.

Produksi sekunder Cheumatopsyche spp. di Sungai Cikaniki tergolong tinggi untuk perairan di daerah tropis. Produksi sekunder Cheumatopsyche spp, di Sungai Cikaniki terpengaruh oleh pencemaran merkuri yang berasal dari aktivitas amalgamasi emas dan peningkatan konsentrasi padatan terlarut

Dari hasil Penelitian Pencemaran ini maka dapat disarankan dua hal yaitu, merkuri di Sungai Cikaniki sudah sangat membahayakan bagi kehidupan biota air yang hidup di dalamnya. Oleh karena itu perlu adanya aturan yang mengatur kegiatan amalgamasi emas dengan menggunakan merkuri di bantaran sungai tersebut. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian pengaruh pencemaran merkuri ini terhadap kelangsungan hidup trichoptera dewasa di bantaran Sungai tersebut. Kata kunci : Cikaniki, merkuri, Trichoptera, penghitaman insang, kerusakan


(7)

SUMMARY

GUNAWAN PRATAMA YOGA. Tissue Damage and Secondary Production of Trichoptera Larvae in Mercury-Contaminated River. Supervised by DJAMAR TUMPAL FLORANTHUS LUMBANBATU, ETTY RIANI, and YUSLI WARDIATNO

Utilisation of mercury for gold amalgamation has been widely known by illegal miners (PETI) in the extraction of gold ore in Cikaniki River. Waste of gold extraction is often still contain relatively high mercury concentrations, so it can pollute the river, threaten aquatic biota in it and can disrupt human health. For aquatic biota, mercury at sub lethal concentrations reported to cause a decrease in the ability to find food, avoid predators, decreased ability to proliferate, decreased growth and behavioral aberrations. In addition, mercury has a tendency to accumulate in aquatic biota, which in turn can lead to biomagnification in the food chain in the waters.

Tissue damage in gills and midgut that occurs due to the accumulation of mercury in the body of trichoptera can cause metabolic failures in the organism, which in turn will reduce the ability of the organisms to maintain its biomass production and finally threaten its survival. So far, there is no study has looked at the damage at the tissue level and morphology of Trichoptera, which is caused by the presence of mercury pollution in the tropics, especially in Cikaniki River. Understanding the responses that occur at the tissue level, physiology, and population is very important to prove cause and effect as well as functional disorders that occur in the aquatic insect populations.

The aims of this study were (1) to analyze the effects of mercury pollution on the gill and gut tissue damage central part (midgut), and (2) quantify the effects of mercury pollution on the production of secondary species of insect water. This research is useful to predict the impact of illegal gold mining (PETI) in Cikaniki Watershed to sustainability of aquatic resources in the river.

Method used in this research was descriptive analytic research. Basic of the research was systematic approach to correlate between mercury pollution in the waters with tissue damage, and secondary production of the aquatic insects in the Cikaniki River. This study is divided into two parts, the first part, was the field research which primarily intended to look at the effects of mercury pollution on secondary production Trichoptera. While the second part was the trichoptera mercury toxicity test conducted in the laboratory to determine the relationship between levels of mercury exposure with resulting tissue damage.

This study was conducted for ten months from January 2012 to October 2012. Samples were taken every month for 10 months. Water and biota from contaminated areas were taken in Cisarua, Curug Bitung and Lukut located on Cikaniki River. While for reference area, samples were taken from Cikuluwung, in the National Park area of Mount Salak Endah, Bogor Regency.

The highest concentration of dissolved mercury found in Cisarua in April (5.78 mg/l) and in Curug Bitung in September (5.46 mg/l), whereas the concentration of mercury in the form of particulate matter found highest in Curug Bitung in September, 57.24 ug /l. The concentration of mercury in Cisarua, Curug Bitung and Lukut caused by the extraction of gold by illegal miners, already


(8)

exceeding the criteria of safe concentrations of mercury to the aquatic environment. Acute toxicity of mercury to the trichoptera larvae at 24 and 48 hours respectively were 0.391 and 0, 318 mg /l. Based on the LC50, Mercuric safe concentration was 0,32 µg/l.

The concentration of particulates mercury in the area caused in bioaccumulation of mercury in Trichoptera, as well as cause of deformities in the form of blackening on the biota tracheal gills and the expansion of the lumen of the intestine Trichoptera.

Secondary production Cheumatopsyche spp. Cikaniki River was high for the tropical freshwater. Cheumatopsyche spp secondary production, in the Cikaniki River affected by mercury pollution from gold amalgamation activity and an increase in the concentration of dissolved solids

From the results of this study it, can be suggested two things, namely, the mercury in the Cikaniki River been very dangerous for aquatic life that live in it. Hence the need for the rules governing the activities of gold by using mercury amalgamation in the catchment area. Further research needs to be done was the effect of mercury on the survival of adult trichoptera on the river bank.

Keywords : Cikaniki, mercury, Trichoptera, gill darkening, midgut damage, secondary production


(9)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

KERUSAKAN JARINGAN DAN PRODUKSI SEKUNDER LARVA TRICHOPTERA PADA PERAIRAN YANG TERCEMAR MERKURI

GUNAWAN PRATAMA YOGA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi. M.Sc. Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si. Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Tri Widiyanto, M.S.


(13)

Judul Penelitian : Kerusakan Jaringan dan Produksi Sekunder Larva Trichoptera pada Perairan yang Tercemar Merkuri

Nama : Gunawan Pratama Yoga

NIM : C261090051

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Djamar T. F. Lumbanbatu, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Etty Riani, MS. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, serta shalawat dan salam tetap tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian disertasi yang berjudul “Kerusakan Jaringan dan Produksi Sekunder Larva Trichoptera pada Perairan yang Tercemar Merkuri”.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir Djamar T. F. Lumbanbatu, M.Agr., Ibu Dr. Ir Etty Riani, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. yang dengan penuh keikhlasan dan kesabaran telah meluangkan waktunya dalam memberikan arahan dan bimbingannya sehingga penulis bias menyusun disertasi ini dengan baik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Penguji pada ujian Pra kualifikasi Doktor, Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc dan Dr. Ir. Isdrajat Setypbudiandi, M.Sc, penguji pada ujian tertutup, Dr. Ir. Isdrajat Setypbudiandi, M.Sc dan Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si, serta penguji pada ujian terbuka, Dr. Tri Widiyanto, dan Dr. Ir. Sigid Harijadi, MSc atas pertanyaan dan saran yang diberikan pada saat ujian. Pertanyaan dan saran tersebut sangat berarti bagi penulis untuk perbaikan disertasi agar semakin baik. Semoga Allah SWT menjadikan bimbingan, arahan dan masukan untuk perbaikan penulisan ilmiah ini sebagai amal sholih.

Ungkapan rasa hormat dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan FPIK, Ketua Program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan dosen-dosen di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor atas curahan ilmu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini. Kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atas beasiswa Karyasiswa yang telah diberikan sehingga penulis mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan S3. Selanjutnya kepada Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, rekan-rekan peneliti dan staf administrasi yang telah membantu sarana, moral dan administrasi sampai dengan penulis menyelesaikan tugas belajar program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB.

Ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Bapak H. Sutopo Martowardoyo, M.Sc dan Ibu Hj. Pudji Hastutiningsih, M.Sc, Istri tercinta Nina Hermayani Sadi, M.S. dan anak-anakku Ajeng Meiwita Nurrizky dan Vitaya Nur Khaleeda atas segala doa, dorongan semangat, kerelaan dan pengertian yang telah kalian berikan selama penulis menyelesaikan studi di IPB.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya dan bagi kemajuan IPTEK di Indonesia. Aamiin

Bogor, Agustus 2014


(16)

(17)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 3

1.3. Rumusan Masalah ... 5

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Perumusan Hipotesa ... 5

1.6. Novelty ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 2.1. Merkuri di Perairan ... 6

2.2. Toksisitas Merkuri terhadap Biota Air ... 7

2.3. Bioakumulasi Merkuri ... 7

2.4. Larva Trichoptera sebagai Biota Model Ekotoksikologi ... 9

2.5. Histopatologi ... 11

2.5.1. Insang ... 11

2.5.2. Saluran Pencernaan ... 12

2.6. Produktivitas Sekunder ... 13

2.7 Penilaian Resiko Ekologis ... 14

III. METODE PENELITIAN 16 3.1. Metode Penelitian ... 16

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16

3.2.1. Waktu ... 16

3.2.2. Lokasi Penelitian ... 16

3.3. Penelitian Lapangan ... 17

3.3.1. Pengambilan Sampel Air ... 17

3.3.2. Pengambilan Sampel Biota ... 18

3.3.3. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air di Lapangan 18 3.4. Pengujian di Laboratorium ... 18

3.4.1. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air ... 18

3.4.2. Uji Toksisitas ... 19

3.4.3. Analisis Histologi ... 20

3.4.4. Pengukuran Produksi Sekunder ... 20

3.5. Analisa Data ... 21

3.5.1. Perhitungan Parameter Toksisitas Akut ... 21

3.5.2. Uji Beda Nyata pada Penghitaman Insang ... 21

3.5.3. Perhitungan Produksi Sekunder ... 21

3.5.4. Perhitungan Resiko Ekologis ... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4.1. Konsentrasi Merkuri di Air dan Biota ... 23

4.2. Toksisitas Merkuri terhadap Trichoptera ... 25

4.3. Perubahan Morfologi Insang ... 27

4.4. Luas Permukaan Lumen Usus ... 29

4.5. Telaah Kualitas Fisika Sungai Cikaniki ... 32

4.5.1 Suhu Air ... 32


(18)

4.5.3. Turbiditas ... 34

4.5.4. Padatan Tersuspensi Total ... 35

4.5.5. Konduktivitas ... 36

4.6 Telaah Kualitas Kimia Sungai Cikaniki ... 36

4.6.1 Nilai pH air ... 36

4.6.2 Kesadahan ... 37

4.6.3 Alkalinitas ... 38

4.6.4 Oksigen Terlarut (DO) ... 39

4.6.5 Bahan Organik Total (TOM) ... 40

4.7. Produksi Sekunder ... 41

4.8 Estimasi Resiko Ekologis ... 42

V. KESIMPULAN DAN SARAN 44 5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 44


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Nilai LC50 96 jam dua jenis trichoptera Cyrnus trimaculatus dan

Hydropsyche angutipennis 9

2 Deskripsi lokasi pengambilan sampel 17

3 Rata-rata kematian trichoptera pada konsentrasi uji toksisitas

pendahuluan 26

4 Rata-rata kematian trichoptera pada konsentrasi uji toksisitas akut

definitif saat 24 jam dan 48 jam 26

5 Ringkasan nilai LC50 beberapa logam berat terhadap trichoptera 27 6 Hasil analisis uji luas penampang usus trichoptera cacat dan normal 31 7 Jenis-jenis avertebrata dan jenis logam berat yang menyebabkan

perubahan luas area lumennya. 32

8 Ringkasan nilai rata-rata parameter produksi sekunder trichoptera di

Sungai Cikaniki 42

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir penelitian 4

2 Siklus merkuri di lingkungan perairan. (diterjemahkan dari: USGS,

1995) 6

3 Toksisitas akut logam Cu terhadap beberapa taksa biota akuatik. Tanda panah menunjukkan posisi dua jenis Trichoptera, Cyrnus trimaculatus dan Hydropsyche angutipennis (Sumber: van der Geest

et al. 2000) 10

4 Toksisitas akut diazinon terhadap beberapa taksa biota akuatik. Tanda panah menunjukkan posisi dua jenis Trichoptera, Cyrnus trimaculatus dan Hydropsyche angutipennis (Sumber: van der Geest

et al. 2000) 10

5 Bagian-bagian saluran pencernaan serangga mulai dari bagian depan

sampai dengan bagian belakang (Snodgrass 1993). 12

6 Lokasi pengambilan sampel 17

7 Konsentrasi merkuri di air selama waktu penelitian.(a) Hg terlarut ;

(b) Hg partikulat 23

8 Bioakumulasi merkuri pada tubuh trichoptera selama waktu

penelitian 24

9 Korelasi antara bioakumulasi merkuri pada tubuh trichoptera dengan

konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat 24

10 Insang abdominal trichoptera normal (a) dan yang mengalami penghitaman (b) akibat pencemaran merkuri. Tanda panah

menunjukkan penghitaman pada lembaran insang 27

11 Persentase penghitaman insang trachea pada trichoptera di Sungai Cikaniki. Asterik menunjukkan beda nyata (p<0,05), Tanda bar


(20)

12 Kecenderungan hubungan persentase kecacatan dengan (a) konsentrasi merkuri partikulat, (b) akumulasi merkuri dalam tubuh

biota 29

13 Histologi potongan melintang usus trichoptera dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. S = Sel tipe S, B = Sel tipe B, L = Lumen, P =

jaringan periotrofik.. 30

14 Penampang melintang permukaan usus trichoptera. (a) Penampang usus trichoptera normal, (b dan c) Penampang usus trichoptera yang

mengalami kecacatan. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin, 31 15 Hasil pengukuran suhu air di setiap stasiun pengamatan. Tanda bar

menunjukkan standar deviasi. 33

16 Hasil pengukuran kecepatan arus di setiap stasiun pengamatan.

Tanda bar menunjukkan standar deviasi 34

17 Nilai turbiditas di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar

menunjukkan standar deviasi. 35

18 Nilai total padatan tersuspensi (TSS) di masing-masing stasiun

pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 35 19 Hasil pengukuran konduktivitas di masing-masing stasiun

pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 36 20 Hasil pengukuran pH air di masing-masing stasiun pengamatan.

Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 37

21 Hasil analisis kesadahan (mg/l setara CaCO3) di masing-masing

stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi 38 22 Hasil analisis alkalinitas di masing-masing stasiun pengamatan

Tanda bar menunjukkan standar deviasi 39

23 Konsentrasi DO di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar

menunjukkan standar deviasi. 40

24 Konsentrasi TOM di air dan indeks kimia pada masing-masing

stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 40 5 Nilai Hazard Qoutient di keempat lokasi pengamatan pada bulan

Januari – Oktober 2012. 43

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Lokasi pengambilan sampel 54

2 Konsentrasi merkuri partikulat, terlarut dan terakumulasi di tubuh

biota 55

3 Data toksisitas merkuri terhadap Trichoptrera 57

4 Hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Trichoptera 62 5 Perhitungan produktivitas sekunder larva trichoptera di masing

masing stasium 64

6 Data Nilai HQ pada Masing-masing Stasiun Pengamatan 68


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah terbesar dalam penilaian dampak dan resiko lingkungan, sebagai bagian dari pengelolaan lingkungan terintegrasi (integrated environmental management, IEM), adalah menghubungkan dampak merugikan pencemaran pada organisme sentinel terhadap konsekuensi ekologisnya. Salah satu cara untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan menggunakan uji diagnostik klinis ekotoksikologis yaitu biomarker (Moore et al. 2004). Biomarker menurut van Gestel & van Brummelen (1996) adalah tanggapan biologis yang diukur pada tingkat organisme, atau bagian dari organism tersebut (biokimia, fisiologis, histologis dan morfologis, termasuk penampilan, pigmentasi, deformasi permukaan), terhadap bahan kimia di lingkungan atau produknya (urin, feses, rambut, bulu), yang menunjukkan penyimpangan dari kondisi normal, dan tidak dapat dideteksi pada organisme utuh. Cara-cara ekotoksikologi yang cepat dan murah ini dapat memberikan informasi mengenai status kesehatan individu dan populasi berdasarkan sampel individu yang relatif kecil. Dalam konteks status ekosistem atau kesehatan lingkungan, menurut Moore et al. (2004) biomarker juga digunakan untuk menghubungkan proses-proses kerusakan sel dan jaringan terhadap kondisi pada tingkat yang lebih tinggi (populasi dan komunitas).

Avertebrata air layak digunakan dalam pengukuran biomarker, terutama karena biota tersebut, pertama, populasinya besar, sehingga mudah diambil sampelnya tanpa mengganggu dinamika populasinya, kedua, pengukuran biomarker pada beberapa spesies memungkinkan adanya keterkaitan antara biomarker respon dan pengaruh buruk yang terjadi pada tingkat populasi dan komunitas (van der Oost et al. 2005). Salah satu avertebrata air yang memiliki potensi sebagai indikator biologi perairan adalah larva Trichoptera. Penggunaan hewan tersebut sebagai indikator biologi didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu: 1). Salah satu penyusun terbesar dari komunitas makrozoobentos pada ekosistem sungai (Wiggins 1996; Vuori & Kukkonen 1996). 2) Distribusinya yang luas (Mackay & Wiggins 1979), 3) Kelimpahannya relatif tinggi, 4). Respon terhadap kualitas lingkungan bervariasi yang ditunjukkan dengan perubahan morfologi, kemampuan akumulasi bahan polutan, maupun perilaku (Sola & Prat 2006), 5). Keanekaragaman spesies yang relatif tinggi hingga ± 13.000 spesies (Holzenthal 2009) dan 89 spesies hidup di Sulawesi Utara (Geraci & Morse 2008), 6). Siklus hidup relatif panjang dengan lima tahap instar (Wiggins 1996), 7). Peran penting dalam rantai makanan sebagai dekomposer dan mangsa bagi burung maupun ikan, 8). Ukurannya relatif besar yaitu 1-3 cm dengan berat mencapai 30-100 mg (Vuori & Kukkonen 1996; Berra et al. 2006), 9). Tubuh relatif keras sehingga memudahkan dalam melihat abnormalitas/kecacatan, dan 10). Waktu untuk identifikasi hewan relatif lebih singkat (Vuori & Kukkonen 1996).

Sungai Cikaniki di Kabupaten Bogor, Jawa Barat mengalami peningkatan aktivitas antropogenik antara lain berupa aktivitas ekstraksi logam emas yang dilakukan oleh penambang emas tanpa ijin (PETI) maupun secara resmi (PT.


(22)

Antam). Penggunaan logam merkuri telah banyak diketahui digunakan oleh Penambang Emas Tanpa Ijin (PETI) dalam ekstraksi bijih emas di lokasi tersebut. Limbah ekstraksi bijih emas tersebut seringkali masih mengandung konsentrasi logam merkuri yang relatif tinggi, sehingga dapat mencemari Sungai Cikaniki dan mengancam kehidupan biota akuatik pada sungai tersebut. Diperkirakan 4,8 ton larutan merkuri dibuang ke Sungai Cikaniki oleh penambang tanpa ijin setiap tahunnya, sehingga mengakibatkan kontaminasi logam merkuri di sedimen bantaran Sungai Cikaniki relatif tinggi dengan kisaran konsentrasi antara 3,80 – 9,01 ppm (Halimah 2002). Konsentrasi merkuri yang terlarut di badan air Sungai Cikaniki berkisar antara 1,1 – 11,4 ppb (Yoga et al. 2009). Adanya aktivitas di sekitar ruas Sungai Cikaniki tersebut, di samping dapat mengganggu keseimbangan ekologi biota akuatik yang ada di dalamnya juga dapat mengganggu kesehatan manusia.

Di dalam tubuh makhluk hidup, merkuri menyebabkan gangguan neuromotorik dan neuropati (Barbosa et al. 2003 ; Chen et al. 2009). Pada biota air, di samping menyebabkan kematian, merkuri pada konsentrasi sub lethal dilaporkan menyebabkan penurunan kemampuan mencari makan, ketidakmampuan menghindari pemangsa, penurunan kemampuan berkembang biak, penurunan pertumbuhan dan penyimpangan tingkah laku (Bank et al. 2007). Di samping itu, merkuri mempunyai kecenderungan untuk terakumulasi pada biota perairan yang pada akhirnya dapat menyebabkan biomagnifikasi pada rantai makanan di perairan (Bank et al. 2007; Chen et al. 2009; Santoro et al. 2008). Pada dasarnya merkuri dapat memasuki organisme bentik melalui dua jalur, pertama secara langsung, baik melalui aktivitas bernafas (respirasi), maupun dengan cara tertelan pada saat memakan sedimen atau perifiton serta pada saat proses penyaringan bahan-bahan partikulat. Jalur yang kedua adalah melalui rantai makanan (Zizek et al. 2007). Insang pada makroavertebrata akuatik merupakan organ target yang paling terkena dampak dari bahan pencemar terlarut yang masuk ke badan air. Hal tersebut dikarenakan oleh luasnya permukaan insang, dan karena kemampuan organ tersebut dalam mengakumulasi senyawa-senyawa terlarut dan gas-gas (Skinner & Bennett 2007).

Pada tingkat molekuler, penyebab kerusakan sel adalah karena ikatan yang kuat antara merkuri dengan grup thiol pada residu asam-asam amino protein-protein penting. Kuatnya afinitas merkuri terhadap grup sulfhidril ini juga menjadi penyebab ikatan yang kuat dengan albumin. Pada organ yang terdapat banyak senyawa non protein yang mengandung thiol, merkuri diikat dan dinonaktifkan oleh senyawa-senyawa tersebut. Sebagai contoh, glutathione (GSH) mengikat Hg2+ untuk membentuk diglutathionyl merkuri (GS-Hg-GS). Oleh karena itu pada organ-organ yang memiliki konsentrasi GSH tinggi, maka akan tampak terjadi pembentukan senyawa kompleks GS-Hg-GS, yang akan diikuti dengan pelepasan senyawa kompleks tersebut menuju empedu atau aliran darah (Bolsterli 2007).

Komunitas insekta air memainkan peranan penting pada proses-proses ekologi dan ekotoksikologi di danau dan sungai. Komunitas makroavertebrata pada umumnya mengintegrasikan perubahan-perubahan lingkungan pada karakteristik-karakteristik fisika, kimia dan ekologi habitatnya, baik secara spasial maupun temporal (Alloul et al. 1996). Penelitian mengenai pencemaran merkuri di Indonesia sebagian besar masih berkisar pada tingkat konsentrasi pencemaran merkuri di air (Limbong et al. 2004) dan sedimen (Yoga et al. 2005, Lasut et al.


(23)

3 2009), akumulasi logam tersebut pada ikan (Castilhos et al. 2006), makroinvertebrata air tawar (Yoga et al. 2009), avertebrata laut (Lasut et al.

2009), tingkat toksisitasnya pada biota air pada kondisi laboratorium (Yoga et al.

2005) serta pengaruh pencemaran merkuri terhadap struktur komunitas makroavertebrata (Sudarso et al. 2009). Sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat menjelaskan bagaimana pengaruh pencemaran Hg pada tingkat sel pada individu dan bagaimana pengaruh tersebut menyebabkan perubahan pada tingkat populasi trichoptera pada daerah tropis.

1.2. Kerangka Pemikiran

Beban pencemaran merkuri akibat adanya aktivitas penambangan emas tanpa ijin yang terjadi di Sungai Cikaniki dapat menyebabkan gangguan bagi kehidupan biota air pada umumnya, dan insekta air pada khususnya di perairan tersebut. Adanya proses hidrodinamika menyebabkan bahan pencemar merkuri yang masuk ke perairan mengalami transportasi, pelarutan, dan pengendapan, sehingga menyebabkan bahan pencemar tersebut tersedia bagi biota perairan terserap ke dalam tubuh biota tersebut, baik melalui aktivitas respirasi, konsumsi maupun difusi. Keberadaan logam merkuri di dalam tubuh insekta air dapat menyebabkan kematian maupun mengakibatkan toksisitas kronis seperti kerusakan pada tingkat sel. Kerusakan pada tingkat sel yang terjadi pada hewan tersebut dapat menyebabkan gangguan-gangguan pada metabolisme, fisiologi, dan reproduksi insekta air, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pembentukan biomassa biota tersebut di perairan.

Kehidupan dari komunitas insekta air terutama larva trichoptera sangat dipengaruhi oleh kualitas air, ketersediaan pakan berupa seston, serta ketersediaan habitat, misalnya materi organik partikulat kasar (coarse particulate organic matter, CPOM) sebagai sarang maupun sumber energi. Dalam suatu rantai makanan, trichoptera merupakan sumber makanan yang penting bagi biota pada tingkat trofik yang lebih tinggi yang ada di perairan tersebut, sehingga akan mempengaruhi biomassa ikan di perairan. Selain itu trichoptera juga berperan sebagai perombak materi organik partikulat kasar (CPOM) menjadi materi organik halus (fine particulate organic matter, FPOM) pada perairan sungai. Pertumbuhan insekta air di perairan dikendalikan oleh kondisi lingkungan perairan dan ketersediaan bahan organik di perairan tersebut. Diagram alir dari kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(24)

(25)

1.3. Rumusan Masalah

Sumber penyebab pencemaran merkuri yang terjadi di Sungai Cikaniki adalah adanya ekstraksi emas dengan menggunakan merkuri yang dilakukan oleh para penambang emas tanpa ijin. Air cucian dari proses ekstraksi bijih emas tersebut seringkali mengandung konsentrasi logam merkuri yang tinggi dan biasanya langsung dibuang ke alam tanpa proses pengolahan limbah terlebih dahulu. Limbah merkuri tersebut di perairan selanjutnya menyebabkan pencemaran merkuri baik dalam bentuk terlarut dan tersuspensi di badan perairan, maupun yang mengendap di sedimen. Setiap tahunnya larutan merkuri dibuang ke Sungai Cikaniki oleh penambang tanpa ijin ± 4,8 ton (Halimah 2002). Tingkat pencemaran logam merkuri di sedimen bantaran Sungai Cikaniki relatif tinggi dengan kisaran konsentrasi antara 3,80 – 9,01 ppm, sedangkan konsentrasi merkuri yang terlarut di badan air Sungai Cikaniki berkisar antara 1,1 – 11,4 ppb (Yoga et al. 2009).

Kerusakan jaringan pada insang dan/atau perut bagian tengah (midgut) yang terjadi karena adanya akumulasi merkuri di dalam tubuh insekta air trichoptera dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada insekta air tersebut yang pada akhirnya akan menurunkan kemampuan biota tersebut untuk mempertahankan produksi biomassanya dan akhirnya mengancam kelangsungan hidupnya. Sejauh ini belum ada penelitian yang mengamati kerusakan-kerusakan pada tingkat jaringan dan morfologi trichoptera, yang disebabkan oleh adanya pencemaran merkuri di daerah tropis, terutama di Sungai Cikaniki. Memahami respon yang terjadi pada tingkat jaringan, fisiologi, sampai dengan populasi terhadap paparan merkuri sangat penting untuk membuktikan adanya hubungan sebab akibat (cause and effect) serta gangguan fungsional yang terjadi pada populasi insekta air tersebut.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis dampak pencemaran merkuri terhadap kerusakan jaringan insang dan usus bagian tengah (midgut), dan (2) mengkuantifikasi pengaruh pencemaran merkuri terhadap produksi sekunder jenis insekta air tersebut. Penelitian ini bermanfaat untuk memprediksi dampak aktivitas penambangan emas tanpa ijin (PETI) di Daerah Aliran Sungai Cikaniki terhadap keberlanjutan sumberdaya perairan di sungai tersebut.

1.5. Perumusan Hipotesa

Konsentrasi merkuri terlarut di Sungai Cikaniki yang tinggi, mencapai 1,1 – 11,4 ppb di air dan 3,80 – 9,01 ppm di sedimen, dapat menyebabkan bioakumulasi logam berat merkuri pada bagian-bagian tubuh larva trichoptera sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel, perubahan morfologi, serta terganggunya produksi sekunder larva trichoptera.

1.6. Novelty

Informasi mengenai tingkat kerusakan jaringan insang dan midgut

trichoptera yang disebabkan oleh konsentrasi merkuri yang terlarut di air serta pengaruhnya terhadap produksi sekunder larva trichoptera di perairan tropis khususnya di Indonesia yang terkontaminasi oleh logam berat merkuri.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Merkuri di Perairan

Siklus merkuri di lingkungan perairan adalah proses yang kompleks yang melibatkan transformasi kimiawi, biologis dan fisika, termasuk metilasi secara biotik dan abiotik, demetilasi, volatilisasi, fotoreduksi, fotooksidasi dan adsorpsi, banyak jalur pemaparan dan reaksi yang akan sangat tergantung pada input merkuri yang memasuki perairan, komposisi fisika-kimia sistem perairan dan taraf metabolisme berbagai biota yang ada di perairan tersebut (Hines & Brezonik 2007). Garis besar siklus merkuri di lingkungan perairan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Siklus merkuri di lingkungan perairan. (diterjemahkan dari: USGS, 1995)

Sumber pencemaran mercuri di perairan antara lain adalah peleburan logam, pembakaran batubara pada pembangkit listrik tenaga batubara, tempat pembakaran sampah (termasuk limbah rumah sakit), pembakaran batubara dan bahan bakar fosil lainnya, serta pabrik semen (CCME, 2003; Chen et al. 2009), fungisida dalam pertanian (Schimtz, 1996), pembuatan dan pembuangan alat-alat listrik dan elektronik, seperti layar LCD, lampu, kabel, saklar listrik dan baterai (Wong et al. 2006)

Pencemaran merkuri dapat memasuki berbagai tipe perairan, seperti sungai, danau maupun perairan pantai (Limbong et al. 2003), melalui dua jalur pemaparan utama yaitu melalui deposisi langsung, baik melalui atmosfir maupun pembuangan limbah cair, dan melalui aliran limpasan permukaan dari daerah tangkapan perairan tersebut (Chen et al. 2009).


(27)

7

2.2. Toksisitas Merkuri terhadap Biota Air

Merkuri dalam berbagai bentuknya menyebabkan pengaruh toksik yang selektif pada organ biota air. Merkuri anorganik cenderung menyebabkan

nephrotoxicity, toksisitas pada sistem ekskresi (ginjal), sedangkan merkuri organik, seperti metil merkuri, cenderung menyebabkan toksisitas pada sistem syaraf, neurotoxicity, terutama pada sistem syaraf pusat (Bolsterli 2007).

Pada tingkat molekuler, merkuri memiliki kemampuan untuk berikatan dengan gugus thiol (sulfhydryl, -SH) pada asam amino seperti metalothionein (Roesijadi 1992) maupun protein-protein pengikat logam (Luoma & Carter 1991) lainnya dan membentuk ikatan kompleks. Ikatan kompleks tersebut akan tersirkulasi ke dalam darah, sehingga dapat mencapai organ ginjal, maupun sistem syaraf pusat. Sesampainya di organ target, ikatan kompleks tersebut akan membentuk kompleks Hg-disistein (Cys-Hg-Cys) yang sangat menyerupai gugus asam amino endogenus, sistein (Cys-Cys). Kompleks Hg-disistein (Cys-Hg-Cys) selanjutnya akan masuk ke dalam sel melalui sistem transportasi selektif. Sesampainya di dalam sel, ikatan kompleks tersebut akan terurai, dan menimbulkan pengaruh toksik pada sel (Bolsterli 2007) seperti kerusakan pada lisosom, perubahan sel-sel epitel dan atropi pada sel (Luoma & Carter 1991).

Pengaruh toksisitas bahan pencemar terhadap biota perairan biasa dinyatakan sebagai lethal (akut), yaitu akibat-akibat yang timbul pada waktu kurang dari 96 jam atau sublethal (kronis), yaitu akibat-akibat yang timbul pada waktu lebih lama. Sifat toksik yang lethal dan sublethal dapat menimbulkan efek genetik maupun teratogenik terhadap biota yang bersangkutan.

Pada perairan tawar, konsentrasi toksisitas akut (LC50 selama 24-96 jam) merkuri anorganik terhadap biota avertebrata berkisar antara 5 sampai 5600 g Hg/L, sedangkan terhadap ikan berkisar antara 150 sampai 900 g Hg/L (CCME, 2002). Pada uji toksisitas kronik (berkisar antara 7 sampai 21 hari), biota avertebrata memiliki sensitivitas terhadap merkuri yang sama dengan ikan. Konsentrasi merkuri anorganik yang menimbulkan efek (Effect Concentration, EC50) pada avertebrata berkisar antara 1,28 sampai 12,0 g Hg/L. Pada ikan, nilai kronik untuk merkuri anorganik berkisar antara 0,26 sampai > 64 g Hg/L (Niimi & Kissoon 1994; Snarski & Olson 1982).

Penyebaran merkuri sebagian besar melalui bahan makanan. Pengaruh kronik/sublethal merkuri pada biota air dilaporkan menyebabkan penurunan kemampuan mencari makan, ketidakmampuan menghindari pemangsa, penurunan kemampuan berkembang biak, penurunan pertumbuhan dan penyimpangan tingkah laku (Desrosiers et al. 2006).

2.3. Bioakumulasi Merkuri

Proses masuknya merkuri dari lingkungan perairan pada biota air melalui dua jalur pemaparan, yaitu respirasi dan pencernaan/trofik (Boudou & Ribeyre 1997 ; Roesijadi 1992). Merkuri yang dapat diserap oleh insang adalah merkuri dalam bentuk terlarut (Roesijadi 1992). Di insang, merkuri memasuki tubuh biota air berbagai proses transport yang terjadi lamela insang. Menurut Bolsterli (2007), merkuri dapat masuk ke dalam sel melalui Ca2+ channel karena merkuri menyerupai ion Ca2+ sehingga berkompetisi dengan ion tersebut untuk memasuki


(28)

berikatan dengan sulfur akan berikatan dengan makromolekul (DNA, asam amino, protein) yang mengandung gugus thiol seperti misalnya gluthathione, cysteine, metallothionein, homocystein, N-acetylcystein, albumin dan protein-protein lainnya (Lushchak 2008). Bila konsentrasi merkuri yang terdapat di insang melebihi kapasitas insang dalam mengikat logam tersebut, maka merkuri dapat memasuki sirkulasi peredaran darah melalui pembuluh-pembuluh darah kapiler yang banyak terdapat pada insang. Merkuri akan dibawa dari insang oleh darah ke seluruh tubuh.

Jalur pemaparan kedua adalah melalui saluran pencernaan. Merkuri yang masuk ke dalam saluran pencernaan pada umumnya berupa merkuri yang berikatan dengan bahan organik seperti makanan dan bahan organik dari sedimen. Merkuri yang sampai pada saluran pencernaan akan diserap melalui mekanisme transport epitelial di usus. Merkuri yang ditelan bersama dengan makanan pertama kali akan berikatan dengan sel-sel kelenjar pencernaan, baru kemudian didistribusikan ke organ-organ yang lainnya. Plasma protein merupakan alat transportasi antar organ yang penting bagi merkuri (Roesijadi 1992). Darah atau hemolimf mempunyai peranan yang penting bagi transportasi logam berat antar organ/jaringan. Merkuri, dari saluran pencernaan, kemudian akan dibawa oleh darah/hemolimph menuju hati atau hepatopankreas. Hati atau hepatopankreas merupakan organ yang penting bagi proses akumulasi, detoksifikasi maupun depurasi karena organ tersebut berperan besar dalam metabolisme protein, asam lemak, karbohidrat, fagositosis partikel-partikel asing, akumulasi lemak, sekresi pigmen bilirubin dan ekskresi debris (Amaral et al. 2006).

Merkuri mudah sekali terakumulasi pada biota perairan, terutama ikan dan kerang-kerangan, sehingga pemerintah Amerika Serikat menerbitkan peraturan pembatasan konsumsi ikan bagi para ibu yang sedang berencana untuk hamil, para ibu yang sedang hamil, para ibu yang sedang menyusui dan anak-anak yang masih mengalami perkembangan system syaraf (USEPA 2004). Merkuri anorganik (tidak termasuk unsur merkuri) dan metil merkuri memiliki reaksi yang kuat terhadap ligan-ligan intraseluler sehingga menyebabkan daya akumulasi yang kuat dalam biota perairan. Penyerapan dan akumulasi merkuri pada biota perairan sangat dipengaruhi oleh jenis merkuri yang ada di perairan, di mana spesies merkuri yang netral (seperti HgCl20 and CH3HgCl0) terserap lebih efisien dibandingkan spesies merkuri yang bermuatan seperti HgCl3- CH3Hg+ (Mason et

al. 1996).

Lasut et al. (2009) melaporkan bahwa pencemaran merkuri di Teluk Buyat, Sulawesi Utara telah menyebabkan bioakumulasi merkuri pada biota-biota

soft coral, lamun, rumput laut, kepiting, gastropoda, kerang-kerangan dan ikan (Lutjanus basmira, Parupeneus multifasciatus, Epinephelus merra) dari konsentrasi rendah ke tinggi. Kisaran konsentrasi metil merkuri pada ikan di Teluk Buyat tersebut berkisar antara 46 ppb berat basah pada L. basmira sampai dengan 359 ppb berat basah pada E. merra. Sedangkan Limbong et al. (2003) yang meneliti kandungan merkuri pada ikan di DAS Talawaan, Sulawesi Utara mendapatkan bahwa sembilan dari 47 sampel ikan, meliputi 13 spesies, yang dianalisis mengandung merkuri yang cukup tinggi, dan konsentrasinya mencapai 6,3 kali konsentrasi ambang batas bagi konsumsi ikan yang ditetapkan oleh WHO/ICPS yaitu 0,5 mg/kg berat basah. Akumulasi merkuri tertinggi sebesar 3,14 mg/kg ditemukan pada ikan Caranx sp. yang merupakan ikan karnivora.


(29)

9

2.4. Larva Trichoptera sebagai Biota Model Ekotoksikologi

Trichoptera adalah insekta dengan metamorfosis yang lengkap, di mana larvanya berkembang melalui lima tahap instar. Trichoptera secara ekologis berperan sebagai pengurai bahan-bahan organik dan sebagai sumber pakan bagi ikan dan burung-burung. Kegunaan trichoptera untuk memantau kondisi perairan didasarkan pada distribusinya yang luas di berbagai perairan, terutama perairan mengalir, dan kemudahannya dikultur pada kondisi laboratorium (Greve et al. 1998).

Pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa beberapa jenis avertebrata seperti larva Ephemeroptera, larva trichoptera dan larva Plecoptera memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap pencemaran di perairan bila dibandingkan dengan jenis avertebrata yang lainnya. Oleh karenanya ketiga jenis avertebrata tersebut secara luas digunakan untuk pemantauan kondisi biologis di perairan(Rosenberg & Resh 1993).

Uji toksisitas standar dengan menggunakan beberapa jenis larva trichoptera telah dikembangkan, dan telah terbukti sensitivitasnya terhadap tembaga (Cu) dan insektisida Diazinon (Greve et al. 1998; Van der Geest et al. 1999 ; van der Geest et al. 2000). Van der Geest menguji sensitivitas dua jenis larva trichoptera yaitu Hydropsyche angutipennis (Van der Geest et al. 1999)dan

Cyrnus trimaculatus (Van der Geest et al. 2000). Nilai LC50 kedua larva trichoptera tersebut terhadap diazinon dan tembaga (Cu) pada pemaparan 96 jam dapat dilihat pada Tabel 1. Kedua larva trichoptera tersebut lebih sensitif terhadap insektisida diazinon dibandingkan pada logam berat, seperti tembaga. Tabel 1 Nilai LC50 96 jam dua jenis larva trichoptera Cyrnus trimaculatus dan

Hydropsyche angutipennis

Toksikan Konsentrasi (µg/L) LC50 96 jam

Cyrnus trimaculatusa Hydropsyche angutipennisb

Tembaga (Cu) 759 (402 – 1433) 350 (257 – 478)

Diazinon 1,1 (0,7 – 1,7) 1,3 (1,2 – 1,5)

Sumber : a van der Geest et al. (2000) ; b van der Geest et al. (1999)

Lebih lanjut bila dibandingkan dengan biota-biota akuatik lainnya yang pernah diuji toksisitasnya maka kedua trichoptera tersebut cukup sensitif terhadap tembaga (Gambar 3) dan diazinon (Gambar 4). C. trimaculatus dan H. angutipennis cukup sensitif terhadap logam tembaga (Cu), hal tersebut ditunjukkan dengan nilai LC50 kedua trichoptera tersebut berada di pertengahan nilai-nilai LC50 biota akuatik lainnya.

C. trimaculatus dan H. angutipennis memiliki sensitifitas yang sangat tinggi terhadap Diazinon, dan termasuk di antara biota akuatik yang paling sensitif. Hal tersebut dikarenakan kedua biota tersebut termasuk dalam biota target insektisida tersebut, yang mana mode of action insektisida tersebut ditujukan untuk membunuh insekta.


(30)

Gambar 3 Toksisitas akut logam Cu terhadap beberapa taksa biota akuatik. Tanda panah menunjukkan posisi dua jenis Trichoptera, Cyrnus trimaculatus

dan Hydropsyche angutipennis (Sumber: van der Geest et al. 2000)

Gambar 4 Toksisitas akut diazinon terhadap beberapa taksa biota akuatik. Tanda panah menunjukkan posisi dua jenis Trichoptera, Cyrnus trimaculatus


(31)

11

2.5. Histopatologi

Histopatologi saat ini sudah menjadi alat standar pada penelitian-penelitian toksikologi akuatik. Toksisitas bahan pencemar pada tingkat selular, jaringan dan organ yang dianalisis dengan teknik histopatologi selama ini terfokus pada pengembangan teknik-teknik histopatologi, keunggulan teknik tersebut, dan pengembangan biomarker yang dapat digunakan untuk mendeteksi dampak pencemaran pada tingkat jaringan dan organ pada penelitian-penelitian di laboratorium serta relevansinya pada penelitian di lapangan (Hinton 1994).

Perubahan yang ditimbulkan akibat masuknya bahan pencemar pada tubuh ikan terutama pada organ pernafasan (insang) dan perut bagian tengah (midgut), dapat diamati secara histopatologi. Histologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan. Dengan menggunakan teknik histologi memungkinkan untuk mengamati pengaruh toksikan pada tingkatan sel dan jaringan secara visual (Peters et al. 2005).

2.5.1. Insang

Insang adalah organ pernapasan utama pada umumnya hewan air. Epithelium insang adalah lokasi utama terjadinya pertukaran gas, pengaturan keseimbangan asam basa, dan regulasi ion. Oleh karena itu, jika hewan air dipapar pada lingkungan yang tercemar, akan membahayakan fungsi utama dari organ pernafasan tersebut (Connel & Miller 1995).

Di antara larva serangga air, terdapat dua jenis struktur insang yang telah diketahui dengan cukup baik yaitu, insang trakea (tracheal gill) dan insang darah (blood gill). Istilah insang trakea diterapkan pada filamen dengan saluran trakea yang banyak dan rongga darah yang sangat kecil, struktur ini biasa ditemukan pada serangga seperti Ephemeroptera dan Trichoptera. Insang darah dibatasi hanya untuk organ yang memiliki lumen luas tetapi trakeanya kurang berkembang atau sama sekali tidak ada, insang ventral dan anal Chironomus (Thorpe 1933). Pertukaran gas dalam sistem trakea terutama dipengaruhi oleh difusi dan dimodifikasi oleh pembukaan dan penutupan spirakel, yang berfungsi mengontrol difusi (Wigglesworth 1931).

Insang sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam. Logam berat kelas B sangat reaktif terhadap ligan sulfur dan nitrogen, sehingga ikatan logam berat kelas B tersebut sangat penting bagi fungsi normal metaloenzim dan juga metabolisme terhadap sel. Bilamana metaloenzim disubstitusi oleh logam yang bukan semestinya, maka akan menyebabkan protein mengalami deformasi dan mengakibatkan menurunnya kemampuan katalitik enzim tersebut. Di samping gangguan sistem biokimiawi tersebut perubahan struktur morfologi insang juga terjadi. Toksisitas logam-logam berat yang menyebabkan kerusakan insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi sirkulasi dan ekskresi pada insang. Di samping itu kerusakan pada sistem pernafasan tersebut menyebabkan terhambatnya sistem transportasi elektron dan fosforilasi oksidatif pada rantai makanan yang pada akhirnya akan mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan. Unsur-unsur logam berat yang mempunyai pengaruh terhadap insang antara lain timah, seng, besi, tembaga, kadmium dan merkuri (Connel & Miller 1995).


(32)

Pengaruh logam berat Pb terhadap kerusakan jaringan insang ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) diteliti oleh Siahaan (2003). Kerusakan jaringan insang pada ikan tersebut meliputi nekrosis, hipertropi, fusi lamella dan degenerasi jaringan ikat. Kerusakan insang tidak teramati pada ikan petek (Leiognathus equulus) di perairan Ancol yang terkontaminasi merkuri, namun demikian nekrosis terjadi pada organ hati (Riani 2010).

2.5.2. Saluran Pencernaan

Saluran pencernaan serangga pada umumnya berbentuk tabung. Normalnya berbentuk lurus atau melingkar-lingkar dan memanjang dari mulai mulut sampai dengan anus. Saluran pencernaan serangga terdiri tiga bagian utama yaitu perut depan (stomodaeum atau foregut), perut tengah (mesenteron atau midgut), dan perut belakang (proctodaeum atau hindgut) (Snodgrass 1993, Wanderley-Teixeira

et al. 2006). Gambar 5 mengilustrasikan ketiga bagian utama saluran pencernaan pada serangga.

Gambar 5 Bagian-bagian saluran pencernaan serangga mulai dari bagian depan sampai dengan bagian belakang (Snodgrass 1993).

Perut bagian tengah memanjang mulai dari gastric caeca, sampai dengan sebelum tubulus malphigi. Di antara keduanya adalah ventriculus, yang merupakan daerah yang paling aktif dalam pencernaan. Gastric caeca berfungsi untuk menambah luas permukaan usus bagian tengah, sehingga meningkat kemampuannya untuk mengeluarkan enzim pencernaan dan mengekstrak produk yang bermanfaat dari makanan yang sedang dicerna. Perut bagian tengah tersebut dilapisi oleh membran semipermeabel yang terdiri dari protein dan kitin, seperti kutikula, yang memungkinkan terjadinya aliran cairan dan larutnya zat-zat di dalam usus pertengahan (Snodgrass 1993). Perut bagian tengah serangga secara umum dibentuk oleh lapisan sel tunggal yang bagian apikal biasanya berorientasi pada lumen dan bagian basal dibentuk oleh lamina basal (Ferreira et al. 2008).

Epitel perut bagian tengah dari arthropoda air merupakan sistem organ penting dan relevan secara toksikologis untuk pemantauan pencemaran lingkungan. Matriks atau membran peritrofik pada arthropoda air, yang disekresikan oleh sel-sel epitel perut bagian tengah, terganggu fungsinya oleh logam berat seperti tembaga atau kadmium (Beaty et al. 2002). Fungsi membran peritrofik antara lain adalah sebagai pelindung bagi epitel perut bagian tengah terhadap proses pencernaan secara mekanik, dan pembentukan pembatas fisik untuk melawan infestasi oleh mikroorganisme (Malaspina & da Silva-Zacarin 2006).

Sel-sel utama dari epitel perut bagian tengah pada serangga dewasa berbentuk kolumnar atau disebut juga sel pencernaan dan sel-sel regeneratif.


(33)

Sel-13

sel kolumnar bertanggung jawab dalam produksi dan sekresi enzim pencernaan dan penyerapan zat yang dicerna serta air, sedangkan sel-sel regeneratif ditemukan di dasar epitel dan menggantikan sel-sel kolumnar yang hilang karena abrasi dan penuaan sel, yang mana pada penggantian ini melibatkan pembagian dan diferensiasi sel regeneratif (Malaspina & da Silva-Zacarin 2006).

2.6. Produktivitas Sekunder

Produksi sekunder secara umum didefinisikan sebagai pembentukan biomassa heterotrofik sejalan dengan pertambahan waktu. Produksi sekunder tahunan merupakan jumlah dari biomassa total yang diproduksi oleh sebuah populasi selama satu tahun. Kondisi ini termasuk produksi yang tersisa pada akhir tahun dan semua produksi yang hilang selama periode tersebut. Hilangnya produksi ini termasuk kematian (misalnya oleh penyakit, parasitisme, kanibalisme, predasi), hilangnya jaringan yang tersisa (misalnya oleh molting, kelaparan), dan emigrasi. Satuan dari produksi sekunder dapat berupa: Kcal.m -2

/tahun atau KJ/m2/tahun (satuan energi), berat kering/ berat kering bebas abu, atau unit karbon seperti pada studi produktivitas primer. Standar konversi dari masing-masing satuan pada umumnya adalah: 1 gr berat kering ≈ 6 gr berat basah ≈ 0,9 gr berat kering bebas abu ≈ 0,5 gr C ≈ 5 Kcal ≈21 KJ (Benke dan Huryn 2007). Produksi sekunder dapat menyediakan informasi gabungan pada pertumbuhan individu dan keberlangsungan hidup populasi dan dianggap mewakili jumlah energi yang tersedia untuk tingkatan trofik yang lebih tinggi (Jin dan Ward 2007). Oleh sebab itu produksi sekunder seringkali dikaitkan dengan teori bioenergetik. Pada teori tersebut biasanya dibahas transformasi energi di dalam dan di antara organisme, yang difokuskan pada aliran energi di antara spesies melalui konsumsi sepanjang rantai makanan (Benke 2010).

Secara umum pendugaan produksi sekunder dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: teknik kohort dan non kohort. Teknik kohort digunakan ketika populasi memungkinkan mengikuti sebuah kohort (misalnya: individu yang menetas dari telur dengan selang waktu yang relatif singkat dan laju pertumbuhannya relatif sama) sepanjang waktu. Ketika sejarah hidup lebih komplek, maka tehnik non kohort sering digunakan. Sebagai sebuah kohort yang berkembang sepanjang waktu, adanya penurunan kepadatan secara umum disebabkan oleh kematian dan peningkatan berat individu dikarenakan pertumbuhan. Interval Produksi (misalnya waktu di antara dua data sampling) dengan mudah dapat dihitung secara langsung dari data lapangan melalui metode penambahan sesaat (increment-summation method) sebagai produk dari rerata kepadatan antara dua data sampling ( ) dan peningkatan berat individu (ΔW) yaitu x ΔW. Asumsi dari teknik kohort ini adalah satu generasi pertahun (Benke dan Huryn 2007). Produksi tahunan dihitung sebagai jumlah keseluruhan estimasi interval ditambah dengan biomassa awal. Secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut:


(34)

Teknik non kohort digunakan ketika sejarah kehidupan sebuah populasi bersifat lebih kompleks atau tidak mengikuti sebagai kohort dari data lapangan. Metode tersebut membutuhkan independensi dari waktu perkembangan atau laju pertumbuhan biomassa. Salah satu metode yang umum digunakan pada teknik non kohort adalah metode frekwensi-ukuran (size frequency method) yang sebelumnya dikenal sebagai metode Hynes & Coleman (1968). Metode tersebut mengasumsikan sebuah rerata distribusi frekuensi-ukuran yang ditentukan dari sampel yang dikumpulkan sepanjang tahun mengikuti suatu kurva mortalitas untuk sebuah rata-rata kohort. Benke (1979) telah melakukan koreksi dari metode Hynes & Coleman (1968) dengan cara mengalikan nilai produksi yang telah dihasilkan dengan sebuah faktor koreksi yaitu 365/CPI (cohort production interval) ketika hewan tersebut memiliki waktu generasi yang lebih dari sekali bereproduksi dalam jangka waktu satu tahun (multivoltine). CPI umumnya ditetapkan dari rerata waktu (dalam hari) yang dibutuhkan dari mulai menetas hingga mencapai ukuran akhir. Kadangkala faktor koreksi tersebut menggunakan bulan dibandingkan dengan menggunakan hari yang rumusnya adalah sebagai berikut: 12/CPI (Benke & Huryn 2007).

2.7 Penilaian Resiko Ekologis

Penilaian resiko ekologis adalah sebuah proses sistematik mengevaluasi yang menjelaskan dan mengkuantifikasi kemungkinan terjadinya dampak ekologis (bukan pada manusia) yang merugikan sebagai akibat dari terjadinya pemaparan sebuah stressor, atau lebih (USEPA 1992). Stressor di sini didefinisikan sebagai berbagai bentuk benda baik yang bersifat kimiawi, biologis maupun fisik yang dapat menimbulkan respon buruk terhadap komponen ekologi baik individu, populasi, komunitas, maupun ekosistem. Secara umum penilaian resiko ekologis terdiri dari empat komponen dasar, yaitu: identifikasi bahaya, penilaian pemaparan/pajanan, penilaian dampak ekologis, dan terakhir adalah karakterisasi resiko (NRC 1993).

Identifikasi bahaya (NRC 1993) dan formulasi masalah (USEPA 1998) adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan proses dalam mengidentifikasi dan mendefinisikan bahaya yang akan diuji. Sedangkan formulasi masalah adalah proses perencanaan dan pengumpulan informasi secara sistematik yang ditujukan untuk menentukan cakupan yang akan dilaksanakan pada penilaian resiko ekologis (Hill et al. 2000). Hasil akhir dari formulasi masalah adalah model konseptual yang mengidentifikasi dan mengkarakterisasi awal ekosistem, stressor yang dicurigai menjadi penyebab masalah, sumber-sumber daya ekologis yang akan dievaluasi, data-data yang diperlukan, serta metoda dan analisis yang diperlukan (Mount and Henry 2008).

Pada tahap penilaian pajanan dilakukan pengumpulan dan analisis data serta informasi untuk mengkuantifikasi konsentrasi pajanan yang relevan bagi sumberdaya-sumberdaya ekologi pada daerah yang tercemar.

Menurut Mount and Henry (2008), karakterisasi komponen pajanan terdiri dari :

Pengukuran pajanan – Hasil dari pengukuran ini akan mengindikasikan distribusi dan besarnya konsentrasi bahan pencemar yang dianalisis


(35)

15

dan komponen-komponennya pada titik-titik potensial yang memungkinkan terjadinya kontak dengan reseptor-reseptor.

Analisis pajanan – yaitu suatu suatu proses mengestimasi distribusi spasial dan temporal pajanan bahan-bahan pencemar.

Profil pajanan – yaitu sebuah ringkasan yang memuat hasil-hasil analisis pajanan.

Penilaian dampak ekologis adalah fase pengumpulan dan analisis data untuk menentukan konsentrasi pajanan atau laju pajanan yang tidak menimbulkan pengaruh yang menyebabkan kerusakan ekologis, atau mengkarakterisasi ada atau tidaknya dampak buruk yang ditimbulkan oleh bahan pencemar terhadap sumberdaya-sumberdaya ekologis di suatu tempat.

Karakterisasi komponen-komponen dampak ekologis menurut Mount & Henry (2008) terdiri atas :

Pengukuran dampak – Hasil dari pengukuran atau pengamatan yang dilakukan terhadap dampak yang terjadi akibat adanya pencemaran yang disebabkan bahan toksikan tertentu tersebut akan menentukan tindakan selanjutnya dalam menilai dampak pencemaran tersebut pada berbagai variasi pajanan.

Analisis respon ekologi – Yaitu merupakan suatu analisis kuantifikasi data-data dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran bahan toksikan. Profil stressor-respon – Analisis respon komponen-komponen ekologis yang secara spesifik berkaitan dengan penjelasan hubungan antara besaran dan durasi pajanan dan dampak-dampak yang ditimbulkannya.

Estimasi resiko – Yaitu sebuah proses yang memakai data-data yang dihasilkan dari analisis pajanan untuk membuat parameter dan menerapkankan model pajanan – respon (exposure – response model) dan mengestimasi resiko beserta analisis kemungkinan kejadiannya.

Estimasi resiko dapat dihitung dengan menggunakan berbagai macam pendekatan dan teknik. Salah satu teknik yang umum dipakai adalah dengan menggunakan metoda quotient. Metoda ini sering digunakan pada bahan pencemar tunggal dan digunakan untuk mengidentifikasi adanya potensi resiko dari keberadaan bahan pencemar tersebut, namun tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi besaran dan probabilitas nya. Metoda quotient pada prinsipnya dilakukan dengan membandingkan konsentrasi bahan pencemar di lingkungan (Probable Effect Concentration, PEC) dengan konsentrasi standar bahan pencemar tersebut yang tidak menimbulkan damapak negatif (Predicted No Effect Concentration, PNEC) terhadap organisma yang dapat dianggap mewakili ekosistemnya. Nilai yang dihasilkan dari perbandingan PEC dan PNEC dikenal dengan nama hazard quotient (HQ) atau quotient resiko.


(36)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metoda penelitian yang digunakan adalah penelitian deskripsi-analitik. Dasar pendekatan sistematik penelitian adalah keterkaitan/korelasi antara pencemaran logam berat merkuri yang ada di perairan dengan kerusakan jaringan, dan produksi sekunder insekta air tersebut di Sungai Cikaniki, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Penelitian ini terbagi atas dua bagian, bagian pertama, yaitu penelitian di lapangan yang terutama ditujukan untuk melihat pengaruh pencemaran merkuri terhadap produksi sekunder trichoptera. Bagian kedua adalah uji toksisitas merkuri terhadap trichoptera yang dilakukan di laboratorium untuk mengetahui hubungan antara tingkat pemaparan merkuri dengan kerusakan jaringan yang dihasilkannya.

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

3.2.1. Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama sepuluh bulan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Oktober 2012. Pengambilan sampel di lokasi pengamatan dilakukan setiap bulan selama 10 bulan secara berkala (time series).

3.2.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah ruas Sungai Cikaniki, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang tercemar oleh logam berat merkuri (Gambar 6). Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan bantuan peta rupa bumi dengan skala 1 : 125.000 yang didapatkan dari Badan Koordinasi Survei Pertanahan Nasional (Bakosurtanal) dan informasi data sekunder dari penelitian sebelumnya mengenai PETI di Sungai Cikaniki (Syawal, 2000; Halimah 2002). Penentuan posisi lokasi sampling di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS). Pengambilan sampel air dan biota untuk daerah yang tercemar dilakukan di daerah Cisarua, Curug Bitung dan Lukut yang terletak di bantaran S. Cikaniki – Sub DAS Cisadane Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Sedangkan untuk pengambilan sampel pada daerah yang belum tercemar dilakukan di daerah bagian hulu Sungai Cikuluwung, di kawasan Taman Nasional Gunung Salak Endah, Kabupaten Bogor. Deskripsi mengenai seluruh lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 2.


(37)

17

Tabel 2 Deskripsi lokasi pengambilan sampel No.

Stasiun

Nama Lokasi

Koordinat Keterangan

1 Cikulu

wung

6° 41’ 43,9” LS 106° 40’ 25,4” BT

Daerah rujukan yang merupakan kawasan konservasi, dan tidak ada aktivitas pengolahan emas rakyat 2 Cisarua 6° 38’ 15,16” LS

106° 33’ 39,7” BT Merupakan daerah pengolahan emas rakyat yang berada di bantaran sungai

3 Curug

Bitung

6° 37’ 1,7” LS

106° 32’ 31,4” BT Merupakan daerah pengolahan emas rakyat yang berada pada di bantaran sungai dan di tengah sungai

4 Lukut 6° 34’ 47,85” LS

106° 32’ 51,56” BT Merupakan bagian paling hilir dan tidak terlihat adanya pengolahan emas.

Gambar 6 Lokasi pengambilan sampel 3.3. Penelitian Lapangan

3.3.1. Pengambilan Sampel Air

Sampel air diambil sebanyak 1 liter menggunakan botol Schott yang telah dicuci dengan asam nitrat 20%. Sebelum air diambil, botol dibilas terlebih dahulu dengan air sungai di lokasi pengambilan sampel, lalu air didinginkan pada suhu 4 C untuk dibawa ke laboratorium dan disimpan di lemari pendingin sampai saatnya dianalisis.


(38)

3.3.2. Pengambilan Sampel Biota

Pengambilan sampel larva trichoptera dilakukan dengan menggunakan alat surber dengan luas bukaan 30 x 30 cm2 dan lebar mata jaring 0,2 mm, dengan lima kali ulangan pada masing-masing lokasi pengambilan sampel. Sampel yang terkumpul kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diberi pengawet formalin 10%. Di laboratorium, penyortiran sampel dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran 10-45 kali. Hewan yang telah disortir diawet dengan alkohol 70%. Pada analisis histologi, larva trichoptera dengan ukuran panjang 0,75 – 1,5 cm diawet dengan menggunakan alkohol 70%.

3.3.3. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air di Lapangan

Pengukuran oksigen terlarut, pH, padatan terlarut total, konduktivitas, suhu air, dan oksigen terlarut dilakukan secara langsung di lapangan dengan menggunakan alat water quality checker (WQC) yang telah dikalibrasi sebelumnya

3.4. Pengujian di Laboratorium

3.4.1. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air

Bahan organik total (TOM)

Analisis TOM menggunakan metode titrasi (APHA 1995). Sebanyak 100 ml sampel air ditambah dengan 5 ml larutan H2SO4 4 N dan dipanaskan hingga hampir mendidih. Larutan kemudian ditambah dengan 10 ml KMnO4 0,01 N dan dipanaskan selama 10 menit. Larutan ditambah dengan asam oksalat 0,01 N dan dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N.

Total padatan tersuspensi (TSS)

Analisis padatan tersuspensi di air menggunakan metode gravimetri (APHA 1995). Sebanyak 100-200 ml sampel air disaring dengan menggunakan kertas saring GF/A. Kertas saring dikeringkan dalam oven yang bersuhu 105°C selama 2 jam. Kertas saring kemudian dipindah dalam desikator selama 24 jam dan dilakukan penimbangan.

Penetapan Konsentrasi Merkuri dalam sampel Air dan Biota Uji

Sampel air diambil sebanyak 1 liter dari setiap stasiun pengamatan. Analisis logam merkuri dalam sampel air dilakukan menurut Smoley (1992). Konsentrasi merkuri diukur dengan menggunakan alat Mercury Analyzer Hiranuma Hg-300. Alat ini pada dasarnya adalah spektrofotometer serapan atom uap dingin. Alat ini paling banyak digunakan untuk analisis kuantitatif merkuri dalam jumlah kecil dalam berbagai jenis sampel atau bahan (Silva 2006). Titik didih yang relatif rendah dan sifat yang mudah menguap menyebabkan raksa memungkinkan untuk diukur tanpa melibatkan penggunaan energi panas atau pemanasan elektrotermal (Chen 2008).

Prinsip metode spektrometer serapan atom adalah serapan cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, untuk merkuri pada panjang gelombang 357,3 nm. Kemudian cahaya dengan panjang gelombang tersebut dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom


(39)

19

bebas, maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada pada sel. Pada analisis merkuri, gas merkuri yang terbentuk dari reaksi reduksi didorong oleh gas argon masuk ke cell quartz yang akan disinari lampu katoda dengan panjang gelombang 253,7 nm untuk mengetahui absorbannya (Silva 2006)

Analisis logam merkuri pada sampel biota trichoptera dilakukan berdasarkan Akagi dan Nishimura (1991) dan dianalisis dengan mercury analyzer

HG-300.

Penetapan nilai alkalinitas

Penetapan nilai alkalinitas dilakukan dengan metoda titrimetri berdasarkan APHA (1995). Alkalinitas total dihitung sebagai berikut:

Alkalinitas Total (mg ekivalen/L) = x 1000 Penetapan nilai kesadahan

Penetapan nilai kesadahan dilakukan dengan metoda titrimetri berdasarkan APHA (1995). Kesadahan total dihitung sebagai berikut:

Kesadahan Total (mg CaCO3/L) =

3.4.2. Uji Toksisitas

Uji toksisitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi merkuri yang terlarut di perairan terhadap jaringan larva trichoptera pada tingkat jaringan. Larva trichoptera diambil dari lokasi yang tidak tercemar, kemudian diaklimatisasi pada kondisi laboratorium selama dua sampai minggu bulan. Uji toksisitas dilakukan berdasarkan metoda uji toksisitas larva trichoptera

Hydropsyche angustipennis (van der Geest et al. 1999). Uji toksisitas dilakukan dalam dua tahap. Uji pendahuluan lalu dilanjutkan uji toksisitas definitif.

Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi ambang atas dan ambang bawah. Konsentrasi ambang atas adalah konsentrasi terendah yang menyebabkan kematian 100% pada hewan uji. Konsentrasi ambang bawah adalah konsentrasi tertinggi yang tidak menyebabkan kematian sama sekali pada hewan uji (USEPA 2002). Uji pendahuluan dilakukan selama 24 jam, empat perlakuan dengan kisaran konsentrasi uji yang lebar (logaritmik), yaitu 0 ppm, 0,01 ppm 0,1 ppm, 1 ppm, dan 10 ppm, masing-masing perlakuan memiliki 2 ulangan. Jumlah hewan uji yang digunakan pada uji pendahuluan adalah 10 ekor. Biota uji dipaparkan terhadap larutan merkuri di dalam gelas beaker berukuran 250 ml dengan volume larutan uji 100 ml tanpa diberi makan. Jumlah kematian pada masing-masing perlakuan dihitung setelah perlakuan selama 48 jam, kemudian ditentukan konsentrasi tertinggi yang tidak menyebabkan kematian pada hewan uji (ambang bawah) dan konsentrasi terrendah yang menyebabkan kematian 100% pada hewan uji (ambang atas) (van der Geest et al. 1999).


(40)

Uji Definitif

Uji definitif dilakukan untuk menentukan nilai LC50, yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian biota uji sebesar 50% dari yang diujikan. Uji definitif dilakukan terhadap lima konsentrasi uji yang berada di antara konsentrasi ambang atas dan ambang bawah, serta kontrol (USEPA 2002).

Jumlah hewan uji yang digunakan pada uji definitif adalah 10 ekor (USEPA 2002). Biota uji dipaparkan terhadap larutan merkuri di dalam gelas beaker berukuran 250 ml dengan volume larutan uji 100 ml tanpa diberi makan. Kematian hewan uji diamati pada periode 24 jam dan 48 jam (van der Geest et al. 1999). Pada akhir pengujian, jumlah dan proporsi kematian di setiap perlakuan dicatat untuk kemudian dihitung LC50 nya.

3.4.3. Analisis Histologi

Pengambilan insang trakea dan usus dari tubuh serangga air dilakukan dengan menggunakan pisau bedah dan pinset. Potongan tersebut dicuci sampai bersih dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis dan selanjutnya diawetkan dalam larutan pengawet dan diisi ke dalam wadah bekas rol film.

Insang trakea trichoptera kemudian diletakkan pada gelas obyek, kemudian ditetesi oleh larutan CMCP 10 untuk menjernihkan (clearing) preparat dan tutup dengan cover glass. Preparat lalu dipanaskan pada suhu 50°C selama 30 menit sebelum diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x.

Kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh merkuri diamati melalui preparat histologis terhadap organ usus. Metode yang digunakan adalah metode histoteknik, dengan tahapan kerja sebagai berikut: 1). fiksasi, yaitu Proses pengawetan dilakukan agar tidak terjadi perubahan post-mortem (pasca kematian) pada jaringan. 2). dehidrasi, untuk mencegah terjadinya pengerutan. 3). penjernihan, untuk menghasilkan preparat jaringan yang lebih transparan dan berwarna lebih gelap. 4). infiltrasi, yaitu perendaman dalam secara bertingkat pada suhu 60°C (parafin keras). 5).penanaman organ ke dalam parafin, 6). proses pemotongan, dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan jaringan ditetapkan setebal 5 mikron. 7). penempelan sayatan pada gelas obyek, deparafinasi dan pewarnaan dengan menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin.

Luas penampang usus diamati di bawah mikroskop yang terhubung dengan kamera digital. Penampang usus kemudian diambil gambarnya pada pembesaran 400x. Gambar penampang usus tersebut kemudian diukur luasnya dengan menggunakan perangkat lunak ImageJ.

3.4.4. Pengukuran Produksi Sekunder

Perhitungan produksi sekunder dilakukan dengan menggunakan metoda frekuensi ukuran (Metoda Hynes). Pada perhitungan ini kategori ukuran diwakili oleh kelima tahapan stadia larva Trichoptera. Nilai negatif pada jumlah kehilangan biomassa pada dua ukuran kategori kecil, tidak diikutkan pada perhitungan, dan dianggap nol pada penjumlahan produksi. Instar larva tahap awal seringkali tidak cukup terwakili dalam sampel yang terambil dan menyebabkan nilai negatif pada penghitungan nilai biomassa yang hilang. Secara teoritis,


(41)

21

kepadatan instar larva pertama sampai dengan ketiga tidak mungkin lebih rendah dibandingkan kepadatan instar larva sesudahnya (Benke & Wallace1980).

Pengukuran produksi sekunder dilakukan dengan cara mengukur lebar kepala dan menimbang berat kering dari seluruh individu yang diperoleh setiap kali pengambilan sampel. Pengukuran lebar kepala dari larva trichoptera dengan menggunakan mikrometer okuler dalam sebuah mikroskop cahaya. Penentuan biomassa larva dilakukan berdasarkan metode Alexander & Smock (2005), yaitu larva trichoptera dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60°C selama 24 jam. Larva kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitik. Bila berat larva terlalu kecil yaitu kurang dari batas deteksi alat timbangan, maka dilakukan pendekatan dengan menggunakan statistik regresi power yang menghubungkan lebar kepala dengan berat dengan rumus dari Jin & Ward (2007) sebagai berikut:

DM = aHWb Keterangan :

DM = berat kering (mg), a = intercept, b = slope, dan HW = Lebar kepala (mm) 3.5. Analisa Data

3.5.1. Perhitungan Parameter Toksisitas Akut

Perhitungan toksisitas akut dilakukan untuk mendapatkan nilai LC50, yaitu nilai konsentrasi toksikan yang menyebabkan kematian 50% hewan uji. Nilai LC50 dihitung dengan menggunakan metoda probit (USEPA 2002), yaitu dengan cara mengkorelasikan proporsi kematian hewan uji di akhir pengujian terhadap nilai logaritma konsentrasi merkuri yang diujikan pada kertas semi log. Penentuan nilai LC50 dihitung dengan bantuan perangkat lunak EPA Probit analysis versi 1.5. Nilai konsentrasi yang aman bagi lingkungan dihitung dari nilai LC50 yang dikalikan dengan nilai faktor aplikasi 0,001 untuk bahan-bahan pencemar yang persisten seperti logam berat (Frias-Espericuetas et al. 2008).

3.5.2. Uji Beda Nyata pada Penghitaman Insang

Uji beda nyata Dunnet digunakan untuk mengetahui perbedaan persentase penghitaman insang antara lokasi rujukan (reference site), Cikuluwung, dengan lokasi pengamatan yang tercemar merkuri. Beda nyata ditentukan pada taraf nyata 0,05.

3.5.3. Perhitungan Produksi Sekunder

Analisis produksi sekunder dilakukan dengan menggunakan metode frekwensi-ukuran (size-frequency method) seperti yang dijelaskan dalam Benke & Huryn (2007). Produksi sekunder dari larva trichoptera dihitung dengan menggunakan rumus :

x ΔN x I

dengan P = produksi, = berat individu (mg), ΔN = selisih densitas (jumlah/m2), dan I adalah ukuran kelas interval (Benke & Huryn 2007)


(42)

3.5.4. Perhitungan Resiko Ekologis

Perhitungan resiko ekologis dilakukan dengan menggunakan metoda

Hazard Quotient (HQ). HQ dihitung dengan cara membandingkan nilai konsentrasi bahan pencemar di lingkungan (Probable Effect Concentration, PEC) dengan nilai standar bahan pencemar tersebut yang tidak menimbulkan damapak negatif (Predicted No Effect Concentration, PNEC). Pada penelitian ini nilai PEC merupakan konsentrasi merkuri terlarut pada masing-masing stasiun yang didapat setiap bulan pengamatan. Nilai PNEC yang digunakan pada penelitian ini adalah nilai konsentrasi aman merkuri bagi larva trichoptera yang didapat dari uji toksisitas akut. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :


(43)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Konsentrasi Merkuri di Air dan Biota

Konsentrasi rata-rata merkuri terlarut, partikulat maupun yang terakumulasi pada trichoptera di Cikuluwung jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan konsentrasi merkuri di ketiga lokasi lainnya yang mengalami pencemaran merkuri yang berasal dari penambangan emas rakyat. Secara umum pola konsentrasi merkuri terlarut dan partikulat di Sungai Cikaniki mengalami peningkatan pada bulan Januari – Maret, kemudian menurun pada bulan Mei dan Juni, setelah itu meningkat lagi pada bulan Juli sampai dengan Oktober (Gambar 7). Konsentrasi merkuri terlarut tertinggi ditemukan di Cisarua pada bulan April (5,78 µg/l) dan di Curug Bitung pada bulan September (5,46 µg/l), sedangkan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat tertinggi ditemukan di Curug Bitung pada bulan September, 57,24 µg/l.

Gambar 7 Konsentrasi merkuri di air selama waktu penelitian.(a) Hg terlarut ; (b) Hg partikulat

Peningkatan konsentrasi merkuri terlarut dan partikulat pada bulan bulan tersebut diduga terkait dengan adanya peningkatan aktivitas amalgamasi emas yang terdapat di bantaran sungai di dua lokasi tersebut. Limbah lumpur yang masih bercampur dengan merkuri pada umumnya langsung dibuang ke saluran pembuangan yang langsung menuju ke sungai. Menurut Desrosiers et al. (2006) Limpasan permukaan yang terjadi pada saat turun hujan melarutkan lumpur yang


(44)

mengandung merkuri ke sungai, sehingga meningkatkan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat, koloid maupun yang terlarut di badan air. Peningkatan konsentrasi merkuri di air tersebut menyebabkan terjadinya bioakumulasi merkuri di tubuh trichoptera yang hidup di lokasi tersebut. Bioakumulasi merkuri tertinggi terjadi pada bulan September di Curug Bitung yaitu, 376,09 mg/Kg (Gambar 8). Bioakumulasi merkuri tersebut terutama disebabkan oleh konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat. Dari hasil analisis regresi didapat nilai korelasi yang sangat kuat, 0,923 antara konsentrasi merkuri partikulat dengan bioakumulasinya pada tubuh trichoptera (Gambar 9).

Gambar 8 Bioakumulasi merkuri pada tubuh trichoptera selama waktu penelitian

Gambar 9 Korelasi antara bioakumulasi merkuri pada tubuh trichoptera dengan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat

Akibat adanya pencemaran merkuri, terutama yang disebabkan oleh amalgamasi emas dengan menggunakan merkuri tersebut, konsentrasi merkuri di Daerah Cisarua, Curug Bitung dan Lukut melebihi kriteria konsentrasi merkuri yang aman bagi lingkungan perairan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka konsentrasi merkuri yang layak untuk baku mutu air golongan I dan II tidak boleh melebihi 0,001 mg/L. Menurut Novotny & Olem (1994), untuk

0 50 100 150 200 250 300 350 400 H g (m g/kg) Bulan Cikuluwung Cisarua Curug Bitung Lukut

y = 0,1445x + 1,5153 R² = 0,9227

0 10 20 30 40 50 60 70

0 100 200 300 400

H g p ar ti k u lat (µg/l )


(1)

Perhitungan Produksi Sekunder larva Trichoptera di Stasiun Cisarua

panjang kepadatan (Jumlah/m2)

Massa individu

rata2

Jumlah densitas yang hilang (Jumlah/m2)

Biomassa (mg/m2)

Massa yang hilang (mg)

Biomassa yang hilang

(mg/m2)

Waktu jumlah ukuran klelas

N = n/m2 W Δ N N x W

W rata =

(w1+W2)^0.5 W rata. Δ N W rata. Δ N x 5

450 - 656,25 4,44 0,30 1,33

675 - 881,25 11,11 0,56 -6,67 6,20 0,93 -6,17 -30,87

900 - 975 26,67 1,36 -15,56 36,24 1,38 -21,54 -107,68

993,75 - 1068,75 6,67 2,13 20,00 14,22 1,87 37,37 186,87

1087,5 - 1425 8,89 4,05 -2,22 36,00 2,49 -5,53 -27,63

8,89 4,05 36,00 180,00

Biomass 93,99

Konversi produksi ke 1 tahun (365/182) 2,01

Produksi 344,05

Produksi tahunan 688,10

Cohort P/B 3,66

P/B tahunan 7,32


(2)

Perhitungan Produksi Sekunder larva Trichoptera di Stasiun Curug Bitung

panjang kepadatan (Jumlah/m2)

Massa individu

rata2

Jumlah densitas yang hilang (Jumlah/m2)

Biomassa (mg/m2)

Massa yang hilang (mg)

Biomassa yang hilang

(mg/m2)

Waktu jumlah ukuran klelas

N = n/m2 W Δ N N x W

W rata =

(w1+W2)^0.5 W rata. Δ N

W rata. Δ N x 5

450 - 656,25 6,67 0,40 2,67

675 - 881,25 8,89 0,84 0,00 7,45 1,11 0,00 0,00

900 - 975 6,67 1,45 2,22 9,66 1,51 3,36 16,80

993,75 - 1068,75 13,33 1,88 -6,67 25,11 1,83 -12,17 -60,85

1087,5 - 1425 8,89 2,61 4,44 23,21 2,12 9,42 47,11

8,89 2,61 23,21 116,03

Biomass 68,09

Konversi produksi ke 1 tahun (365/182) 2,01

Produksi 204,16

Produksi tahunan 408,31

Cohort P/B 3,00


(3)

Perhitungan Produksi Sekunder larva Trichoptera di Stasiun Lukut

panjang kepadatan (Jumlah/m2)

Massa individu

rata2

Jumlah densitas yang hilang (Jumlah/m2)

Biomassa (mg/m2)

Massa yang hilang (mg)

Biomassa yang hilang

(mg/m2)

Waktu jumlah ukuran klelas

N = n/m2 W Δ N N x W

W rata =

(w1+W2)^0.5 W rata. Δ N

W rata. Δ N x 5

450 - 656,25 40,00 0,24 9,47

675 - 881,25 124,44 0,69 0,00 85,29 0,96 0,00 0,00

900 - 975 428,89 1,29 0,00 552,28 1,40 0,00 0,00

993,75 - 1068,75 284,44 1,79 144,44 509,90 1,76 253,51 1267,56

1087,5 - 1425 22,22 2,40 262,22 53,25 2,05 536,68 2683,40

22,22 2,40 53,25 266,24

Biomass 1210,18

Konversi produksi ke 1 tahun (365/182) 2,01

Produksi 7229,48

Produksi tahunan 14458,96

Cohort P/B 5,97

P/B tahunan 11,95


(4)

Lampiran 6. Data Nilai HQ pada Masing-masing Stasiun Pengamatan

Cikuluwung Cisarua

Curug

Bitung Lukut

Januari 0,02 3,37 9,40 7,84

Februari 0,02 3,37 7,84 7,84

Maret 0,02 11,81 5,56 3,15

April 0,02 18,06 6,49 6,27

Mei 0,02 1,76 3,91 10,71

Juni 0,02 2,15 5,54 7,95

Juli 1,19 8,86 7,07 13,05

Agustus 0,55 11,35 12,21 5,22

September 0,49 12,53 17,07 7,84


(5)

Lampiran 7. Data pH dan Alkalinitas Bulanan 1. PH

Cikuluwung Cisarua Curug

Bitung Lukut

Januari 6,5 7,6 7,7 7,1

Februari 5,0 7,3 7,8 7,6

Maret 6,2 8,3 8,1 7,5

April 6,5 7,9 8,3 8,8

Mei 6,2 8,2 8,1 8,2

Juni 7,1 9,0 8,2 8,3

Juli 5,3 7,9 7,8 7,9

Agustus 6,1 8,6 7,9 8,1

September 6,4 7,9 8,0 8,4

Oktober 6,7 7,8 7,3 7,3

2. Alkalinitas

Cikuluwung Cisarua Curug

Bitung Lukut

mg CaC03/l mg CaC03/l mg CaC03/l mg CaC03/l

Januari 6,30 29,00 32,10 34,70

Pebruari 6,30 23,90 27,70 31,50

Maret 8,20 23,90 37,80 42,21

April 6,30 54,20 41,60 38,40

Mei 5,90 31,90 41,60 41,00

Juni 12,40 42,90 51,40 52,00

Juli 5,90 18,20 44,20 41,60

Agustus 20,80 53,90 50,10 50,10

September 24,10 32,80 50,30 45,70


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di DKI Jakarta tanggal 21 Juni 1969 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak H. Sutopo Martowardoyo, M.Sc dan Ibu Hj.Pudji Hastutiningsih, M.Sc. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah pada tahun 1997 dengan Nina Hermayani Sadi, M.Si, dan saat ini telah dikaruniai dua orang anak perempuan, Ajeng Meiwita Nurrizky (16 Tahun) dan Vitaya Nur Khaleeda (8 tahun)

Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang dan lulus tahun 1992. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Environmental Toxicology, Technology and Management di Asian Institute of Technology, Thailand melalui beasiswa DAAD dan menamatkan kuliah tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan di tahun 2009 melalui beasiswa Karyasiswa LIPI

Penulis bekerja di Puslit Limnologi-LIPI Cibinong-Bogor mulai tahun 1994 hingga sekarang dan posisi terakhir dalam jabatan fungsional sebagai Peneliti Muda. Bidang penelitian yang ditekuni dan menjadi tanggung jawab penulis sebagai peneliti adalah toksikologi akuatik.