4.7. Produksi Sekunder
Nilai kepadatan tahunan N, biomassa tahunan B, produksi tahunan P dan rasio PB di lokasi pengamatan menunjukkan bahwa produksi sekunder
trichoptera di Lukut merupakan yang tertinggi, kemudian diikuti oleh Cikuluwung, Cisarua dan Curug Bitung. Tingginya produksi di Lukut disebabkan
oleh tingginya rata-rata kepadatan tahunan dan rata-rata biomassa di daerah tersebut, dibandingkan dengan kedua lokasi lainnya. Estimasi produksi sekunder
tahunan trichoptera di lokasi pengamatan berkisar antara 408,31
– 14.458,96 mgm
2
tahun bobot kering. Produksi sekunder larva trichoptera di Sungai Cikaniki
lebih tinggi
bila dibandingkan
dengan produksi
sekunder Cheumatopsyche spinosa, 265 mgm
2
th, dan Cheumatopsyche quadrata, 150 mgm
2
th di Sungai Tai Po Kau, Hongkong Dudgeon 1997. Namun demikian nilai-nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai produksi
sekunder yang dihitung oleh Benke Wallace 1997, 13.692 mgm
2
tahun, dan Bowles Allen 1991, 17.020 mgm
2
tahun. Menurut Sanchez Hendriks 1997, tingginya nilai produksi sekunder pada larva trichoptera dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti tingginya kepadatan larva, dan perbedaan voltinisme hewan tersebut. Perhitungan produksi sekunder di daerah tropis biasanya tidak
terlalu tinggi, karena sulitnya menentukan pertumbuhan dan rasio PB pada populasi yang perkembangannya kontinyu dan synchronous Jacobsen et al.
2008.
PB tahunan larva trichoptera di lokasi pengamatan bervariasi mulai dari 4,68 sampai 11,95 pertahun. Nilai PB kohort trichoptera sekitar separuh dari nilai
PB tahunannya. Nilai PB kohort terendah terdapat di Curug Bitung, 3,00, sedangkan yang tertinggi di Lukut, 5,97 Tabel 8. Menurut Sudarso 2012,
Tingginya nilai PB kohort di bagian hilir kemungkinan disebabkan karena adanya recruitment dari kohort baru dan pertumbuhan yang relative cepat untuk
menyelesaikan siklus hidupnya. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh peningkatan suhu air di bagian hilir dan ketersediaan makanan yang mendukung
pertumbuhan larva Trichoptera. Hal tersebut mempercepat perkembangan larva untuk menjadi dewasa dan pada akhirnya akan mendorong terjadinya recruitment
baru.
Peran laju pertumbuhan dan biomassa dalam menentukan produksi sekunder dirangkum oleh rasio PB Huryn Wallace, 2000 PB Tahunan
Cheumatopsyche spp telah dihitung oleh banyak peneliti lain, dan nilainya sangat bervariasi, dan berhubungan dengan perbedaan frekuensi bivoltinisme organisme
di lokasi yang diamati Sanchez Hendriks 1997. Bagi daerah tropis , rasio PB tahunan di Lukut lebih tinggi bila dibandingkan hasil penelitian Dudgeon 1997
untuk Cheumatopsyche spinosa dan Cheumatopsyche ventricosa yaitu, 8,4 dan 9,7, sedangkan di Curug Bitung dan Cisarua lebih rendah. Namun demikian rasio
PB tahunan di Sungai Cikaniki masih lebih rendah dibandingkan rasio PB tahunan Cheumatopsyche spp di Sungai Taliulah, Georgia Utara, Amerika yang
dilaporkan oleh Benke Wallace 1997.
Tabel 8 Ringkasan nilai rata-rata parameter produksi sekunder trichoptera di Sungai Cikaniki
Lokasi N
Indm
2
B mgm
2
P mgm
2
y
1
PB Tahunan
PB Kohort
Cikuluwung 351,11
614,42 2875,40
4,68 2,34
Cisarua 57,78
93,99 688,10
7,32 3,66
Curug Bitung 44,44
68,09 408,31
6,00 3,00
Lukut 900.00
1.210,18 14.458,96
11,95 5,97
Rasio PB kohort makroinvertebrata rasio PB selama rentang hidup kohort di sungai biasanya ± 5 Waters 1987, meskipun kisarannya antara 2-8
Huryn Wallace 2000. Berdasarkan nilai tersebut, rasio PB di Cikuluwung, Cisarua dan Curug Bitung tergolong rendah, tetapi di Lukut rasionya sekitar 5.
Hasil perhitungan produksi sekunder di Sungai Cikaniki ini mendukung Parker Voshell 1983, dan Benke 1984 yang menemukan bahwa kohort rasio PB
untuk trichoptera berturut-turut berkisar 3,5
– 6,0 dan 3,2-5,2. PB kohort 2 - 5 yang rendah biasanya terjadi pada serangga air hemimetabolous dan
holometabolous yang sebagian dari sejarah hidup mereka meninggalkan habitat perairan Waters 1987. Rasio PB kohort yang nilainya separuh dari nilai rasio
PB tahunan disebabkan nilai CPI yang digunakan dalam perhitungan produksi sekunder adalah setengah tahun 182,5.
Analisis produksi sekunder dapat digunakan untuk menilai degradasi ekosistem Carlisle Clements 2003. Pencemaran dapat menyebabkan
peningkatan produksi sekunder atau bertindak sebagai stressor fisiologis dan menyebabkan penurunan produksi tersebut Benke Huryn 2010. Beberapa
penelitian telah menggunakan produksi sekunder avertebrata untuk menilai pengaruh kontaminasi logam berat. Hasil analisis produksi sekunder di Sungai
Cikaniki menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi Hg partikulat dan TSS dalam air, menyebabkan penurunan produksi sekunder Trichoptera. Curug Bitung
di mana konsentrasi Hg dan TSS yang tertinggi di antara lokasi-lokasi lainnya memiliki produksi sekunder terendah. Konsentrasi TSS di semua lokasi yang
tinggi 10 mgl dapat menyebabkan penurunan konsentrasi kandungan organik perifiton ,yang merupakan sumber energi dasar yang penting di habitat sungai
Runck 2007.
4.8 Estimasi Resiko Ekologis
Nilai HQ di Cikuluwung selama penelitian dilakukan hampir selalu di bawah satu, hanya pada bulan Juli 2012 nilainya melewati satu, 1,19 Gambar 25,
sehingga konsentrasi merkuri di bulan Juli di lokasi tersebut dapat menyebabkan gangguan pada biota akuatik, terutama Trichoptera, yang ada di Cikuluwung.
Peningkatan nilai HQ tersebut dikarenakan oleh turunnya pH di bulan tersebut Lampiran 6. Rata-rata nilai pH di Cikuluwung cenderung asam, namun pada
bulan Juli pH di Cikuluwung mencapai nilai 5,3. Menurut Wang 1987, toksisitas merkuri lebih tinggi pada pH asam, sedangkan pH basa cenderung untuk
menurunkan toksisitas merkuri. Menurut Salomons 1995 pH merupakan faktor yang sangat penting pada proses spesiasi logam di perairan. Dengan semakin