Strategy and Feasibility of Developing Intermediary Institutions to Enhance Competitiveness of Small and Medium Enterprises in Indonesia

(1)

DAN MENENGAH DI INDONESIA

(Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek Serpong)

WISMAN INDRA ANGKASA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir dengan judul Strategi dan Kelayakan Pengembangan Lembaga Intermediasi untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia (Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek Serpong) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.

Bogor, 21 April 2011

Wisman Indra Angkasa NIM P05-4090055


(3)

ABSTRACT

WISMAN INDRA ANGKASA. Strategy and Feasibility of Developing Intermediary Institutions to Enhance Competitiveness of Small and Medium Enterprises in Indonesia (Case Studies in Technology Incubator Center at Puspitek Serpong). Under guidance of H. MUSA HUBEIS and NURMALA K. PANJAITAN.

Looking at the rapid growth of the development of global business environment, so the establishment of Small and Medium Enterprises (SMEs) which has highly competitiveness is necessary conducted. One of the several important factors that influence the building of the SMEs mentioned above is the ability of innovation and technological capabilities. It is known that SMEs in Indonesia have weakness in acquiring the latest technology. One of the reason why the SMEs do not have the updated technology, is because they do not have the access to the Research and Development (R&D) Institutions which create the updated and the appropriate technology. In this instance, the SMEs is solely as the users of technology. In this concept of innovation systems, it is attempted an institution which has its role and function, as an intermediate actor between the R & D institutions and the SMEs. This intermediary institution, it is called Lembaga Intermediasi (LI). Based on reports of many research articles, nowadays, most of LI has not yet been able to carry out its role and functions optimally. For this reason, this research is conducted to view the performance one of the LI. This research is a case study, and has chosen one LI on purpose, that is the Technology Incubator Center (BIT) at Puspitek Serpong. The purpose of this study are (1) to identify the characteristic and conditions of BIT, (2) to identify the factors that influence the successes of BIT as LI, (3) to formulate a strategy and feasibility of developing BIT. Matrix IFE, EFE,IE, SWOT and QSPM are used for processing and data analyses in this research. The results of this study are as follow: The characteristic of BIT is one of several unit departments under guidance of Agency for The Assessment and Application of Technology (BPPT). BIT is led by a head of department, and its organization form is adopted single structure. Factors that influenced the successes of BIT performance are the number of human resources, fund availability and financial services, infrastructure, networking, appropriate services and serious/strong commitment for tutoring and helping tenants (SMEs). Based on analysis of functional feasibility, BIT has fulfill the requirement as a good organization, as an intermediary institution and as a business incubator. Based on the determination of QSPM matrix, there are three main strategies to be implemented to BIT are: (1) To increase the utilization and the use of existing human resources to enlarge the number and to enhance the competitiveness of assisted SMEs, (2) To maintain and to enhance the quality and the quantity of technology services for SMEs assisted, via utilization technology produced by R & D institutions, (3) To maintain and to enhance the quality and the quantity of market access services to acquire bigger share of market potential (domestic and international) for assisted SMEs's products.

Keywords: innovation, intermediary institution, services, small and medium enterprises, technology


(4)

RINGKASAN

WISMAN INDRA ANGKASA. Strategi dan Kelayakan Pengembangan Lembaga Intermediasi untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia (Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek Serpong). Dibimbing oleh H. MUSA HUBEIS dan NURMALA K. PANJAITAN.

Keberadaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sangat besar perananannya dalam penyediaan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan perkembangan lingkungan usaha global dengan tingkat persaingan yang sangat tinggi, maka pengembangan dan pembentukan UKM berdaya saing tinggi menjadi mutlak untuk dilakukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing UKM adalah daya inovasi dan kemampuan teknologi. Keterbatasan kemampuan teknologi pada UKM disebabkan lemahnya akses terhadap teknologi. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya titik temu antara lembaga penelitian dan pengembangan sebagai penghasil teknologi dan UKM sebagai pengguna, sehingga diperlukan adanya lembaga yang dapat menjembatani/penghubung antara lembaga litbang dan UKM. Dalam konsep Sistem Inovasi (SI), ada lembaga yang mempunyai peran dan fungsi sebagai penghubung, yaitu dinamakan Lembaga Intermediasi (LI).

Sebuah lembaga dapat dikatakan sebagai LI, bila minimal mempunyai empat (4) layanan kepada UKM, yaitu (1) layanan berbasis teknologi; (2) layanan pengembangan SDM; (3) layanan/jejaring bisnis UKM; (4) layanan akses pembiayaan. Kondisi sebagian besar LI saat ini belum dapat menjalankan peran dan fungsinya secara optimal karena beberapa masalah yang dihadapi seperti pendanaan, SDM, sarana dan prasarana yang kurang memadai, networking lemah dan lain-lain. Diperlukan suatu strategi dan kelayakan pengembangan LI ke depannya, agar dapat memecahkan masalah LI, serta memperkuat posisi dan perannya dalam memberikan layanan secara optimal dan terpadu untuk meningkatkan daya saing UKM di Indonesia.

Balai Inkubator Teknologi (BIT) merupakan LI milik pemerintah pusat yang dibentuk oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan salah satu LI yang dinilai berhasil dalam menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Sejak dibentuk tahun 2001 sudah banyak UKM yang berhasil ditingkatkan daya saingnya, dan selain itu BIT berhasil menumbuhkembangkan beberapa UKM berbasis teknologi atau inovasi.

Tujuan dari penelitian adalah (1) Mengidentifkasi karakteristik dan kondisi umum BIT; (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan BIT sebagai LI untuk meningkatkan daya saing UKM: (3) Menyusun strategi dan kelayakan pengembangan BIT ke depan sehingga dalam menjalankan peran dan fungsinya untuk meningkatkan daya saing UKM lebih optimal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan layanan LI, sehingga layanan yang diberikan kepada UKM lebih optimal.

Penelitian ini merupakan studi kasus, dilakukan di Balai Inkubator Teknologi yang berlokasi di Puspiptek Serpong. Data yang digunakan dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Pengolahan dan analisa data menggunakan metode deskriptif, dengan matriks Internal Factor Evaluation


(5)

(IFE), External Factor Evaluation (EFE), matriks Internal External (IE), Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Secara konseptual, tujuan QSPM adalah untuk menentukan strategi mana yang dianggap paling baik untuk diimplementasikan.

Karakteristik BIT adalah merupakan salah satu UPT di bawah pembinaan BPPT, yang dipimpin seorang Kepala Balai, mempunyai struktur organisasi bentuk organisasi tunggal. Sumber pendanaan sebagian besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), jumlah tenant (inwall dan outwall) yang dibina selama kurun waktu lima tahun terakhir (tahun 2006 – 2010) + 100 tenant atau rataan 20 tenant per tahun. Waktu pembinaan tenant rataan 1 – 3 tahun dengan tingkat keberhasilan tenant yang lulus + 80 persen. Jenis industri tenant yang dibina adalah: (1) industri manufaktur 50 %; (2) industri kreatif 30%; dan agroindustri 20%.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan BIT adalah jumlah SDM, dana, sarana dan prasarana, layanan, networking yang cukup memadai dan komitmen kuat. Berdasarkan analisis fungsi BIT telah memenuhi kelayakan sebagai suatu organisasi yang baik, yaitu sebagai lembaga intermediasi dan sebagai inkubator.

Dari hasil analisa matriks IFE skor tertinggi untuk kekuatan BIT adalah 0,452 yaitu jumlah SDM yang memadai. Kelemahan utama BIT ditunjukkan dengan nilai skor tertinggi 0,192 yaitu dana untuk pembinaan tenant yang terbatas dan bersifat jangka pendek. Dari hasil analisa matriks EFE diperoleh nilai skor tertinggi untuk peluang BIT 0,540, yaitu daya saing UKM yang lemah. Faktor ancaman yang menonjol dan berpengaruh dalam lingkungan external dengan nilai skor tertinggi 0,260 yaitu produk impor yang lebih murah dan sejenis yang diproduksi oleh UKM. Analisa matrik IE dengan nilai IFE 2,529 dan EFE 2,655 menunjukkan bahwa strategi pemasaran BIT terletak pada Sel V. Dalam hal ini strategi yang dapat diterapkan adalah strategi menjaga dan mempertahankan, dengan alternatif strategi berupa penetrasi pasar, pengembangan produk/jasa.

Berdasarkan penentuan matriks QSPM diperoleh urutan strategi utama yang paling menarik untuk diterapkan di BIT adalah : (1) Meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya yang ada untuk meningkatkan jumlah dan daya saing UKM binaan (TAS 6,135); (2) Menjaga dan meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan teknologi dengan memanfaatkan teknologi hasil lembaga litbang (TAS 4,542); (3) Menjaga dan meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan akses pasar untuk memanfaatkan potensi pasar (dalam dan luar negeri) bagi produk-produk UKM binaan (TAS 4,125).


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

STRATEGI DAN KELAYAKAN

PENGEMBANGAN LEMBAGA INTERMEDIASI UNTUK

MENINGKATKAN DAYA SAING USAHA KECIL DAN

MENENGAH DI INDONESIA

(Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek, Serpong)

WISMAN INDRA ANGKASA

Tugas Akhir

Sabagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesional pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Judul Tugas Akhir : Strategi dan Kelayakan Pengembangan Lembaga Intermediasi untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia (Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek Serpong) Nama : Wisman Indra Angkasa

NIP : P05-4090055

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Dr. Nurmala K Panjaitan, MS, DEA

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Industri Kecil dan Menengah


(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam kajian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 ialah Lembaga Intermediasi, dengan judul Strategi dan Kelayakan Pengembangan Lembaga Intermediasi untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Kecil dan Menengah (Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek Serpong).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA dan Ibu Dr. Nurmala K Panjaitan, MS, DEA yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan banyak memberikan saran-saran. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Bambang S Pujantyo selaku Kepala Balai Inkubator Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Drs. Priyanto, ME yang telah memberikan ijin dan membantu selama pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Derry Pancadarma, MSc selaku Direktur Pusat Kebijakan Difusi Teknologi yang telah memberikan ijin untuk tugas belajar. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan anak-anakku tercinta, atas segala doa, dorongan semangat dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, April 2011


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Balikpapan pada tanggal 30 Desember 1964 sebagai anak kelima dari pasangan Achmad Effendi dan Mutamamah. Pendidikan Diploma III ditempuh di Program Studi Budidaya Perikanan, Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta lulus tahun 1986. Tahun 1986 penulis bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Pendidikan Diploma IV didapatkan tahun 1992 pada Program Studi Budidaya Perikanan di Sekolah Tinggi Perikanan di Jakarta.

Saat ini penulis bekerja sebagai Perekayasa Muda bidang kebijakan teknologi di Pusat Kebijakan Difusi Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Penulis pada tahun 2002 mendapatkan penghargaan Satyalancana Pembangunan dari Presiden atas jasa dalam bidang lapangan pembangunan dan hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi penulis sejak tahun 1986-2000 dinilai berhasil melakukan penelitian dan difusi teknologi budidaya dan pasca panen rumput laut kepada masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL --- xiii

DAFTAR GAMBAR --- xiv

DAFTAR LAMPIRAN --- xv

I. PENDAHULUAN --- 1

I.1 Latar Belakang --- 1

I.2 Perumusan Masalah --- 4

I.3 Tujuan Kajian --- 5

II. TINJAUAN PUSTAKA --- 6

2.1 Usaha Kecil dan Menengah --- 6

2.1.1 Definisi --- 6

2.1.2 Kinerja Usaha Kecil dan Menengah --- 7

2.1.3 Permasalahan Usaha Kecil dan Menengah --- 10

2.2 Lembaga Intermediasi --- 12

2.2.1 Definisi --- 12

2.2.2 Kriteria --- 15

2.2.3 Contoh Lembaga Intermediasi di Indonesia --- 16

2.2.4 Contoh Lembaga Intermediasi di Beberapa Negara --- 19

2.3 Sistem Inovasi --- 24

2.3.1 Definisi --- 24

2.3.2 Implementasi --- 27

2.4 Strategi Pengembangan Organisasi --- 29

2.4.1 Definisi --- 29

2.4.2 Klasifikasi Strategi --- 30

2.4.3 Implementasi --- 33

2.5 Kelayakan Organisasi --- 36

2.6 Daya Saing --- 38

2.7 Inkubator --- 43

2.7.1 Definisi --- 45

2.7.2 Konsep Dasar, Persyaratan dan Prinsip Inkubator --- 47

2.7.3 Jenis Inkubator --- 49

2.7.4 Inkubator Bisnis di Beberapa Negara --- 51

2.8 Balai Inkubator Teknologi --- 61

III. PELAKSANAAN TUGAS AKHIR --- 63

3.1 Lokasi dan Waktu --- 63

3.2 Metode Kajian --- 64

3.2.1 Pengumpulan Data --- 64

3.2.2 Pengolahan dan Analisa Data --- 64


(13)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN --- 70

4.1 Karakteristik Balai Inkubator Teknologi --- 70

4.1.1 Aspek Legal --- 70

4.1.2 Aspek Organisasi --- 71

4.1.3 Aspek Keuangan --- 74

4.1.4 Aspek Operasional --- 76

4.1.5 Aspek Monitoring --- 82

4.2 Analisis Fungsi Balai Inkubator Teknologi --- 83

4.2.1 Fungsi Organisasi --- 83

4.2.2 Fungsi Inkubator --- 92

4.2.3 Fungsi Lembaga Intermediasi --- 96

4.3 Perumusan Strategi dan Kelayakan Pengembangan Balai Inkubator Teknologi --- 98

4.3.1 Identifikasi Matriks IFE dan Matriks EFE --- 98

4.3.2 Identifikasi Matriks IE --- 102

4.3.3 Analisis SWOT --- 103

4.3.4 Matriks SWOT --- 104

4.3.5 Perumusan Strategi Prioritas --- 106

V. KESIMPULAN DAN SARAN --- 107

5.1 Kesimpulan --- 107

5.2 Saran --- 107

DAFTAR PUSTAKA --- 108


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perkembangan jumlah dan kinerja UMKM dan UB tahun 2007 - 2009 --- 9

2 Penjabaran strategi generik menjadi strategi utama --- 31

3 Persentase tingkat pendidikan formal dari pengusaha UKM industri manu-faktur tahun 2006 --- 41

4 Inovasi pada tingkat perusahaan menurut negara/wilayah --- 43

5 Jumlah inkubator bisnis di beberapa negara --- 44

6 Inkubator bisnis di beberapa negara tahun 2005 --- 51

7 Tipe inkubator bisnis di Kanada --- 54

8 Peran stakeholder dalam pengembangan inkubator bisnis --- 55

9 Komposisi sumber dana pada pengelolaan inkubator bisnis --- 56

10 Jadwal kajian --- 63

11 Anggaran biaya kajian --- 63

12 Aspek penelitian faktor internal dan eksternal Balai Inkubator Teknologi --- 69

13 Beberapa tenant BIT tahun 2006-2010 --- 73

14 Jumlah dana rutin operasional kantor dan pembinaan tenant BIT tahun 2006 - 2010 --- 75

15 Permasalahan monitoring BIT dan solusinya --- 83

16 Program utama BIT tahun 2006-2010 --- 87

17 SDM BIT tahun 2006 - 2010 --- 87

18 Indikator fasilitas dasar tenant BIT --- 93

19 Matriks IFE --- 99

20 Matriks IFE --- 102

21 Matriks SWOT BIT --- 105


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Sistem inovasi nasional --- 15

2 Relation building process --- 19

3 Service flow at incubation centre in Taiwan --- 20

4 Pengembangan pasar untuk BDS di Jerman --- 22

5 Tahapan menentukan strategi utama --- 34

6 Daya saing dan faktor-faktor utama penentu --- 40

7 Bagan organisasi Balai Inkubator Teknologi --- 71

8 Skema proses inkubasi tenant di Balai Inkubator Teknologi --- 77

9 Proses penyusunan RKP, Renja KL, RKA-KL, RAPBN, APBN --- 86

10 Struktur organisasi sistem perekayasa --- 90

11 Matriks IE BIT --- 102

12 Diagaram SWOT BIT --- 103

13 (a) Papan nama; (b) Fasilitas parkir BIT --- 115

14 (a) Gedung perkantoran; dan (b) Ruang tamu BIT --- 115

15 (a) Prasasti peresmian; (b) Fasilitas ruang kantor BIT --- 115

16 PT. Nanotech salah satu tenant dan fasilitas yang diberikan oleh BIT --- 116

17 CV. TREE salah satu tenant BIT yang menghasilkan produk mesin pengolah air berbasis membran --- 116


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Rekapitulasi karakteristik Balai Inkubator Teknologi --- 111

2 Kondisi dan fasilitas yang dimiliki BIT --- 115

3 Inwall Tenant BIT --- 116


(17)

1.1 Latar Belakang

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah. Peran penting tersebut telah mendorong banyak negara termasuk Indonesia untuk terus berupaya me-ngembangkan UKM. Walaupun kecil dalam skala jumlah pekerja, aset dan omzet, namun karena jumlahnya cukup besar, maka peranan UKM cukup penting dalam menunjang perekonomian. Setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan yang mendasari negara berkembang memandang pentingnya keberadaan UKM, yaitu (1) kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif; (2) sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi; (3) karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas dari pada usaha besar (Berry 2001 dalam Rahayu 2005).

Kondisi tersebut diatas dapat dilihat dari berbagai data empiris yang mendukung bahwa eksistensi UKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia (KUKM 2010), seperti :

1. Jumlah yang cukup besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi, dimana pada tahun 2009 tercatat jumlah UKM adalah 587.808 unit atau 1,12 % dari jumlah total unit usaha (52.769.280 unit).

2. Potensinya yang cukup besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit investasi pada sektor UKM dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UKM pada tahun 2009 menyerap 6.198.638 tenaga kerja atau 6,27 % dari total angkatan kerja yang bekerja (98.886.003 tenaga kerja)

3. Kontribusi UKM dalam Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2009 cukup nyata, yakni 23,45 % dari total PDB yaitu sebesar 2.993.151,7 milyar rupiah.

Dengan perkembangan lingkungan usaha global yang bergerak dan ber-kembang sangat cepat dengan tingkat persaingan sangat tinggi, maka pengembangan dan pembentukan UKM berdaya saing tinggi menjadi mutlak


(18)

untuk dilakukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing UKM adalah daya inovasi dan kemampuan teknologi.

Menjadikan UKM dengan keunggulan daya saing perlu dipahami keterbatasan UKM, antara lain dalam hal ukuran unit usaha, pengembangan kapasitas modal, teknologi produksi dan pemasaran produk (Tambunan 2000). Selain itu menurut Tambunan (2004), keterbatasan pengetahuan sumberdaya manusia (SDM), modal dan teknologi merupakan salah satu penyebab utama rendahnya daya saing produk UKM dari produk-produk IB (Industri Besar) atau produk-produk impor.

Keterbatasan kemampuan teknologi pada UKM disebabkan lemahnya akses terhadap teknologi. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya titik temu antara lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) sebagai penghasil teknologi dan UKM sebagai pengguna teknologi, sehingga diperlukan adanya lembaga yang dapat menjembatani/penghubung antara lembaga litbang dan UKM. Dalam konsep Sistem Inovasi (SI), sebenarnya sudah ada lembaga yang mem-punyai peran dan fungsi sebagai penghubung antara lembaga penghasil teknologi dengan pengguna teknologi, yaitu yang dinamakan Lembaga Intermediasi (LI).

SI adalah sebuah konsep tentang penataan jejaring yang kondusif di antara para pelaku (aktor lembaga) lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam suatu sistem kolektif untuk penciptaan (creation), penyebaran (diffussion), dan penggunaan (utilization) ilmu pengetahuan (knowledge) bagi pencapai inovasi (Nelson 1993 dalam Taufik 2000). Aktor utama SI adalah perguruan tinggi, industri dan organisasi litbang. Aktor pendukung terdiri dari pemerintah (nasional, regional, dan lokal), lembaga finansial/ventura (pendanaan), lembaga asing, pengguna (end user), bridging institution (organisasi profesi yang berperan sebagai ‘intermediaries’) atau di Indonesia dikenal sebagai LI maupun organisasi lainnya (lembaga paten, lembaga pendidikan dan latihan (diklat), dan lain-lain) (Nelson 1993 dalam Taufik 2000).

Dengan nama berbeda-beda di Indonesia sudah banyak LI yang sudah terbentuk dan tidak saja berperan sebagai lembaga penghubung yang dapat meningkatkan kemampuan teknologi pada UKM, tetapi juga berperan dalam meningkatkan akses pasar, akses pembiayaan dan pembinaan manajemen bisnis


(19)

serta SDM. Beberapa kriteria khusus yang harus dimiliki suatu lembaga agar dapat dikatakan sebagai LI yang mempunyai peran dan fungsi sebagai lembaga penghubung dan memberikan layanan secara optimal dan terpadu kepada UKM adalah sebagai berikut (PI-UMKM 2008) :

1. Memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai. 2. Memiliki sarana dan prasarana yang memadai.

3. Memiliki program kerja baik jangka panjang maupun jangka pendek sesuai dengan orientasi spesifik kebutuhan UKM.

4. Memiliki kerjasama (networking) yang luas.

5. Memiliki minimal 4 (empat) layanan yaitu layanan pengembangan teknologi, pengembangan SDM, intermediasi jejaring bisnis/pasar dan fasilitasi akses pembiayaan, yang menjadi pokok kebutuhan dalam meningkatkan daya saing UKM.

Selain bentuk LI yang berbeda-beda, kepemilikan LI di Indonesia juga cukup beragam, dan secara umum dapat dikelompokan menjadi 5 (lima) kelompok kepemilikan, yaitu (1) milik Perguruan Tinggi (PT); (2) milik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); (3) milik Pemerintah Pusat; (4) milik Pemerintah Daerah (Pemda); (5) milik Asosiasi.

Dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut saat ini beberapa LI tengah dihadapkan beberapa masalah sehingga tidak dapat memberikan layanan secara optimal kepada UKM. Masalah yang dihadapi LI, antara lain pendanaan, SDM, sarana dan prasarana yang masih terbatas. Beberapa LI pendanaannya sangat minim, tidak rutin dan tidak terstruktur. Sebagian besar pendanaan LI masih banyak yang hanya mengandalkan proyek dan program-program insentif dari lembaga pemerintah (Kementerian dan Non Kementerian) serta Pemerintah Daerah. Karena dana yang dimiliki masih minim, sehingga sarana dan prasarana yang dimilikinya juga sangat terbatas. Ada juga LI yang tidak dapat beroperasi secara maksimal, karena tidak memiliki SDM yang memadai dan ahli dalam menangani UKM. Berdasarkan hal tersebut diatas diperlukan adanya kajian strategi dan kelayakan pengembangan LI untuk meningkatkan daya saing UKM di Indonesia.


(20)

Balai Inkubator Teknologi (BIT) adalah salah satu lembaga yang mempunyai peran dan fungsi sebagai LI. BIT merupakan LI milik Pemerintah Pusat yang berlokasi di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahun dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. BIT merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah pembinaan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang mempunyai peran memberikan layanan secara terpadu kepada UKM. Fungsi dari BIT adalah (BIT 2010) :

1. Menyediakan layanan fasilitas dan advokasi manajemen, akses pasar, akses pendanaan, aspek legal dan layanan fasilitas laboratorium bagi peneliti BPPT atau lembaga penelitian lainnya dan masyarakat, dalam rangka menumbuh kembangkan kewirausahaan baru berbasis teknologi atau inovasi.

2. Memberi layanan advokasi untuk mendukung pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UKMK) yang berbasis teknologi atau inovasi.

3. Meningkatkan jejaring atau networking baik didalam negeri maupun luar negeri serta memasyarakatkan jasa inkubasi teknologi atau inovasi.

Sejak terbentuk pada tahun 2001, sudah banyak UKM yang berhasil dibina dan ditingkatkan daya saingnya oleh BIT. Saat ini BIT sedang membina 39 UKM yang terdiri dari 20 UKM yang merupakan outwall tenant (berlokasi di luar BIT), dan 19 UKM inwall tenant (berlokasi di dalam BIT). Selain itu BIT mempunyai mitra 9 lembaga pemerintah, 40 lembaga akademisi dan 724 lembaga bisnis (BIT 2010). BIT dinilai cukup berhasil dalam menjalankan peran dan fungsinya secara optimal dan terpadu sebagai LI, selain berhasil meningkatkan daya saing UKM juga berhasil didalam menumbuh-kembangkan UKM baru yang berbasis teknologi dan inovasi.

Sebagai LI yang dinilai cukup berhasil, BIT dapat dijadikan contoh dan referensi untuk pengembangan LI yang lain sehingga dapat menjalankan peran dan fungsinya secara optimal untuk memberikan terpadu dalam rangka meningkatkan daya saing UKM di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka disusun permasalahan pada kajian ini adalah :


(21)

1. Bagaimana karakteristik dan kondisi BIT sebagai LI ?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi keberhasilan BIT dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai LI untuk meningkatkan daya saing UKM ?

3. Bagaimana strategi dan kelayakan pengembangan BIT ke depan agar peran dan fungsinya sebagai LI untuk meningkatkan daya saing dan menumbuh-kembangkan UKM berbasis teknologi atau inovasi dapat lebih optimal lagi ?

1.3 Tujuan Kajian

Tujuan dari kajian yang akan dilakukan adalah :

1. Mengidentifkasi karakteristik dan kondisi BIT sebagai LI.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan BIT dalam menjalankan fungsi dan perannya secara optimal dan terpadu sebagai LI untuk meningkatkan daya saing UKM.

3. Menyusun strategi dan kelayakan pengembangan BIT ke depan agar peran dan fungsinya sebagai LI untuk memberikan layanan terpadu untuk meningkatkan daya saing dan menumbuh-kembangkan UKM berbasis teknologi atau inovasi di Indonesia dapat lebih optimal.


(22)

2.1 Usaha Kecil dan Menengah 2.1.1 Definisi

Di Indonesia, terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda tentang Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pendefinisian ini antara lain oleh Badan Pusat Statistik, Kementerian Koperasi dan UKM, Bank Indonesia, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Kesehatan. Definisi UKM menurut lembaga-lembaga tersebut diatas adalah sebagai berikut (Hubeis 2009) :

1. Badan Pusat Statistik (BPS) : UKM adalah perusahaan atau industri dengan pekerja antara 5 – 19 orang.

2. Bank Indonesia (BI) : UKM adalah perusahaan atau industri dengan karakteristik berupa; (a) modal kurang dari 20 juta rupiah; (b) untuk satu putaran usahanya hanya membutuhkan dana 5 juta rupiah; (c) memiliki asset maksimal 600 juta rupiah di luar tanah dan bangunan; (d) omzet tahunan ≥ 1 miliar rupiah.

3. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Undang-Undang No. 9 Tahun 1995) : UKM adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional, dengan kekayaan bersih 50 juta – 200 juta rupiah (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dan omzet tahunan ≥ 1 miliar rupiah; dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2008 dengan kekayaaan bersih 50 juta – 500 juta rupiah dan penjualan bersih tahunan 300 juta – 2,5 miliar rupiah.

4. Kementerian Perindustrian :

a. Perusahaan memiliki aset maksimum 600 juta rupiah di luar tanah dan bangunan.

b. Perusahaan memiliki modal kerja di bawah 25 juta rupiah.

5. Kementerian Keuangan : UKM adalah perusahaan yang memiliki omzet maksimum 600 juta rupiah per tahun an atau aset maksimum 600 juta rupiah diluar tanah dan bangunan.


(23)

6. Kementerian Kesehatan : perusahaan yang memiliki penandaan standar mutu berupa Sertifikat Penyuluhan (SP), Merk Dalam Negeri (MD), dan Merk Luar Negeri (ML).

Adanya berbagai macam penetapan definisi mengenai UKM di atas membawa berbagai konsekuensi yang strategis. Definisi merupakan konsensus terhadap entitas UKM sebagai dasar formulasi kebijakan yang akan diambil, sehingga paling tidak, ada 2 (dua) tujuan adanya definisi yang jelas mengenai UKM, yaitu pertama, untuk tujuan administratif dan pengaturan; serta kedua, tujuan yang berkaitan dengan pembinaan (Adiningsih 2000).

Tujuan pertama berkaitan dengan ketentuan yang mengharuskan suatu perusahaan memenuhi kewajibannya, seperti membayar pajak, melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta mematuhi ketentuan ketenagekerjaan seperti keamanan dan hak pekerja lainnya. Sementara tujuan kedua lebih pada pembuatan kebijakan yang terarah seperti upaya pembinaan, peningkatan kemampuan teknis, serta kebijakan pembiayaan untuk UKM.

Meskipun perbedaan-perbedaan ini bisa dipahami dari segi tujuan masing-masing lembaga, namun kalangan yang terlibat dengan kelompok UKM seperti pembuat kebijakan, konsultan, dan para pengambil keputusan akan menghadapi kesulitan dalam melaksanakan tugasnya. Seperti halnya, kesulitan dalam mendata yang akurat dan konsisten, mengukur sumbangan UKM bagi perekonomian, dan merancang regulasi/kebijakan yang fokus dan terarah. Oleh karena itulah, upaya untuk membuat kriteria yang lebih relevan dengan kondisi saat ini perlu dilakukan.

2.1.2 Kinerja Usaha Kecil dan Menengah

UKM di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti tingginya tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan perdesaan, serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM diharapkan dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut di atas.


(24)

Karakteristik UKM di Indonesia pada umumnya mempunyai daya tahan untuk hidup dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya selama krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh fleksibilitas UKM dalam melakukan penyesuaian proses produksinya, mampu berkembang dengan modal sendiri, mampu mengembalikan pinjaman dengan bunga tinggi dan tidak terlalu terlibat dalam hal birokrasi.

UKM di Indonesia dapat bertahan di masa krisis ekonomi disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu : (1) sebagian UKM menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama; (2) mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha; (3) pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja; dan (4) terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal.

Peranan UKM yang penting sebagai penopang perekonomian, menjadikan UKM sebagai penggerak utama perekonomian di Indonesia selama ini. Berkaitan dengan hal ini, paling tidak terdapat beberapa fungsi utama UKM dalam menggerakan ekonomi Indonesia, yaitu (1) sektor UKM sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang yang tidak tertampung di sektor formal; (2) sektor UKM mempunyai kontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB); dan (3) sektor UKM sebagai sumber penghasil devisa negara melalui ekspor berbagai jenis produk yang dihasilkan sektor ini.

Kinerja UKM di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa asek, yaitu (1) nilai tambah; (2) unit usaha, tenaga kerja dan produktivitas; (3) nilai ekspor. Ketiga aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut (K-KUKM, 2010) :

1. Nilai tambah

Kinerja perekonomian Indonesia yang diciptakan oleh UKM tahun 2009 bila dibandingkan tahun sebelumnya digambarkan dalam angka Produk Domestik Bruto (PDB) UKM dengan nilai PDB UKM atas dasar harga berlaku mencapai 2.993.151,7milyar rupiah. UKM memberikan kontribusi 23,45 % dari total PDB Indonesia.


(25)

2. Unit usaha dan tenaga kerja

Pada tahun 2009 jumlah populasi UKM mencapai 587.809 unit usaha atau 2,2 persen terhadap total unit usaha di Indonesia. Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 6,2 juta orang.

3. Ekspor non migas UKM

Hasil produksi UKM yang diekspor ke luar negeri mengalami peningkatan dari 161.543,5 milyar rupiah pada tahun 2008 menjadi 147.878,7 milyar rupiah pada tahun 2009.

Tabel 1 Perkembangan jumlah dan kinerja UMKM dan UB pada tahun 2007 – 2009

No. Indikator Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

Jumlah (unit) Pangsa (%) Jumlah (unit) Pangsa (%) Jumlah (unit) Pangsa (%)

1. Unit usaha : - Usaha mikro - Usaha kecil - Usaha menengah A. UMKM B. Usaha Besar

49.608.953 498.565 38.282 50.145.800 4.463 98,92 0,99 0,08 99,99 0,01 50.847.771 522.124 39.717 51.409.612 4.650 98,90 1,02 0,08 99,99 0,01 52.176.795 546.675 41.133 52.764.603 4.677 98,88 1,04 0,08 99,99 0,01

2 Tenaga kerja : - Usaha mikro - Usaha kecil - Usaha menengah A. UMKM B. Usaha besar

84.452.002 3.278.793 2.761.135 90.491.930 2.535.411 90,78 3,52 2,97 97,27 2,73 87.810.366 3.519.843 2.694.069 94.024.278 2.756.205 90,73 3,64 2,78 97,15 2,85 90.012.694 3.521.073 2.677.565 96.211.332 2.674.671 91,03 3,56 2,71 97,30 2,70

3. PDB atas dasar harga berlaku* : - Usaha mikro - Usaha kecil - Usaha menengah A. UMKM B. Usaha besar

1.209.622,5 386.404,3 511.841,3 2.107.868,1 1.637.681,2 32,29 10,32 13,67 56,28 43,72 1.510.055,8 472.830,3 630.339,9 2.613.226,1 2.080.582,9 32,17 10,07 13,43 55,67 44,33 1.751.644,6 528.244,2 713.262,9 2.993.151,7 2.301.709,2 33,08 9,98 13,47 56,53 43,47

4. Total ekspor non migas* : - Usaha mikro - Usaha kecil - Usaha menengah A. UMKM B. Usaha besar

12.917,5 31.619,5 95.826,8 140.363,8 654.508,3 1,63 3,98 12,06 17,66 82,34 16.464,8 40.062,5 121.481,0 178.008,3 805.532,1 1,67 4,07 12,35 18,10 81,90 14.375,3 36.839,7 111.039,6 162.254,5 790.835,3 1,51 3,87 11,65 17,02 82,98

Keterangan : *) dalam miliar rupiah


(26)

2.1.3 Permasalahan Usaha Kecil dan Menengah

Permasalahan UKM di Indonesia dikelompokkan atas 3 (tiga) kategori (Hubeis 2009) :

1. Permasalahan klasik dan mendasar, misalnya keterbatasan modal, SDM, pengembangan produk dan akses pemasaran.

2. Permasalahan pada umumnya, misalnya antara peran dan fungsi instansi terkait dalam menyelesaikan masalah dasar yang berhubungan dengan masalah lanjutan seperti prosedur perizinan, perpajakan, agunan dan hukum. 3. Permasalahan lanjutan, misalnya pengenalan dan penetrasi pasar ekspor yang

belum optimal, kurangnya pemahaman desain produk yang sesuai dengan karakter pasar, permasalahan hukum yang menyangkut perizinan, hak paten dan prosedur kontrak.

Menurut Urata (2000), secara umum UKM menghadapi dua permasalahan utama, yaitu masalah finansial dan masalah non finansial. Masalah yang termasuk dalam masalah finansial (Urata 2000) di antaranya adalah :

1. Kurangnya kesesuaian antara dana yang tersedia dan dana yang dapat diakses oleh UKM.

2. Tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UKM.

3. Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan kecil.

4. Kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai.

5. Bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi.

6. Banyak UKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan finansial.

Termasuk dalam masalah organisasi manajemen (non-finansial) di antaranya adalah :

1. Kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi, serta kurangnya pendidikan dan pelatihan (diklat).


(27)

2. Kurangnya pengetahuan pemasaran, yang disebabkan oleb terbatasnya informasi yang dapat dijangkau oleh UKM mengenai pasar, selain karena keterbatasan kemampuan UKM untuk menyediakan produk/jasa yang sesuai dengan keinginan pasar.

3. Keterbatasan pendidikan sumber daya manusia (SDM). 4. Kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi.

Di samping 2 (dua) permasalahan utama di atas, UKM juga menghadapi permasalahan linkage dengan perusahaan dan ekspor. Permasalahan yang terkait dengan linkage antar perusahaan, di antaranya sebagai berikut :

1. Industri pendukung yang lemah.

2. UKM yang memanfaatkan/menggunakan sistem cluster dalam bisnis belum banyak.

Keterbatasan SDM ini merupakan adalah satu hambatan struktural yang dialami oleh UKM (Urata 2000). Sekitar 70% tenaga kerja UKM hanya SD, dan alasan tidak melanjutkan sekolah sebagian dikarenakan ketiadaan biaya (kemiskinan). Sedangkan permasalahan yang terkait dengan ekspor, di antaranya sebagai berikut :

1. Kurangnya informasi mengenai pasar ekspor yang dapat dimanfaatkan. 2. Kurangnya lembaga yang dapat membantu mengembangkan ekspor. 3. Sulitnya mendapatkan sumber dana untuk ekspor.

4. Pengurusan dokumen yang diperlukan untuk ekspor yang birokratis.

Beberapa hal yang ditengarai menjadi faktor penyebab permasalahan-permasalahan di atas adalah (1) pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan UKM, termasuk masalah perpajakan yang belum memadai; (2) masih terjadinya ketidaksesuaian antara fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dan kebutuhan UKM; (3) serta kurangnya linkage antar UKM sendiri atau antara UKM dengan industri yang lebih besar (Urata 2000). Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang serius serta terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang dibuat untuk mengembangkan UKM.


(28)

2.2 Lembaga Intermediasi 2.2.1 Definisi

Intermediasi atau intermediary makna secara harfiahnya adalah perantara atau penengah. Dalam pembangunan ekonomi biasanya intermediasi merupakan lembaga yang menjadi penghubung antara pemodal dengan pengusaha/industri. Dalam hal ini lembaga perbankan merupakan Lembaga Intermediasi (LI) yang berkaitan dengan konteks pembangunan ekonomi. Dalam konteks kajian ini, LI yang dimaksud lebih ditekankan kepada LI iptek, yakni suatu lembaga atau institusi yang menghubungkan atau menjembatani interaksi antara lembaga penghasil teknologi dan pengguna teknologi. Didalam menjalankan peran dan fungsinya LI ini tidak saja memberikan layanan pengembangan teknologi tetapi juga layanan pengembangan SDM, intermediasi jejaring bisnis/pasar dan fasilitasi akses pembiayaan, yang menjadi pokok kebutuhan dalam meningkatkan daya saing UKM.

LI merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai lembaga penghubung (mediatory) dari sumber-sumber produktif pengembangan usaha maupun pengembangan teknologi dengan pengguna baik masyarakat maupun UKM. Lembaga ini dapat berupa unit khusus yang independen (memiliki otonomi/ kewenangan pengelolaan organisasi yang relatif tinggi). Contoh dari bentuk ini berupa suatu lembaga/organisasi, misal “Pusat (Center)” sebagai suatu organisasi yang sepenuhnya berdiri sendiri (otonom), walaupun implementasinya dalam koordinasi institusi lain (di bawah suatu kementerian/non kementerian pemerintah) tertentu, ataupun suatu lembaga berupa konsorsium atau bentukan dari kerjasama beragam pihak, misalnya inkubator, pusat-pusat teknologi, dunia usaha dan pemerintah.

Secara legal terminologi intermediasi muncul secara eksplisit dalam Peraturan Presiden (PP) No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 Bab 22 mengenai pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Dalam RPJM 2004-2009 menyatakan bahwa pembangunan iptek merupakan sumber terbentuknya iklim inovasi yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitas SDM, yang pada gilirannya dapat menjadi sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi.


(29)

Lemahnya daya saing bangsa dan kemampuan iptek ditunjukkan oleh sejumlah indikator. Salah satu indikator tersebut adalah karena belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna (PI-UMKM 2008). Masalah ini dapat terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, antara lain institusi yang mengolah dan menerjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi teknologi siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi. Disamping itu, masalah tersebut dapat dilihat dari belum efektifnya sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri termasuk UKM, yang antara lain berakibat pada minimnya keberadaan UKM berbasis teknologi (PI-UMKM 2008).

Dengan perkataan lain, salah satu penyebab lemahnya daya saing UKM disebabkan oleh masih lemahnya peran kelembagaan intermediasi iptek. Untuk itulah peran LI menjadi sangat sentral dan strategik dalam proses difusi inovasi. Difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan, diadopsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Melalui proses difusi dimungkinkan suatu inovasi dikomunikasikan sehingga dapat diketahui oleh banyak orang, tersebar luas dan akhirnya digunakan oleh masyarakat. Proses difusi biasanya terjadi karena adanya pihak-pihak yang menginginkan atau secara sengaja merencanakan dan mengupayakan (Prayitno et al. 2005). Proses difusi teknologi sangat dipengaruhi oleh adanya interaksi antara 4 (empat) unsur, yaitu karakteristik inovasi itu sendiri, bagaimana inovasi itu dikomunikasikan, waktu dan sistem sosial dimana suatu hasil inovasi diperkenalkan (Rogers 1995 dalam Prayitno et al. 2005). Supaya proses alih teknologi dari penemu kepada pemakai teknologi berjalan dengan baik, diperlukan LI sebagai salah satu unsur yang sangat penting dalam proses difusi inovasi, yakni sebagai salah satu bentuk saluran komunikasi.

Salah satu upaya pemerintah dalam mendukung penguasaan pemanfaatan dan pemajuan iptek secara nyata telah dijabarkan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi. Dengan adanya PP ini, diharapkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, UKM serta dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi dan perbaikan mutu kehidupan bangsa dan negara.


(30)

Selama ini proses difusi dan alih teknologi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut, lebih banyak melihat dari sisi technology push. Technology push adalah istilah dimana teknologi dikembangkan tanpa melihat apakah teknologi tersebut dibutuhkan atau ada permintaan pasar atau tidak (Taufik 2000). Di Indonesia, lembaga yang sebetulnya memiliki fungsi atau paling tidak diharapkan memiliki peran sebagai LI teknologi, sebetulnya telah banyak di-bentuk. LI tersebut lebih banyak dibentuk oleh lembaga pemerintah (pusat dan daerah), walaupun ada juga yang dibentuk oleh Perguruan Tinggi baik negeri ataupun swasta, LSM, atau perorangan dan asosiasi. LI yang dibentuk oleh pemerintah pusat, antara lain : BPPT Engineering (BE-BPPT), Business Technology Center (BTC), Balai Inkubator Teknologi (BIT), program Kementerian Riset dan Teknologi (KRT), Business Development Service Provider (BDS-P) dan Forum Pusat Layanan Usaha (PLU) yang merupakan program Kementerian KUKM. Yang dibentuk oleh Pemda, antara lain Balai Pelayanan Bisnis Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) dan UKM Provinsi DI Yogjakarta, Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi/ Kabupaten/Kota, UPT UMKM Disperindag Provinsi Bali. Sedangkan yang dibentuk oleh LSM atau perorangan misalnya Andalas Solusi Bisnis, Business Innovation Center (BIC) Jakarta, Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK), dan LI yang dibentuk oleh Perguruan Tinggi diantaranya adalah : Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Sriwijaya (Unsri), Pusat Inkubator Agribisnis dan Agroindustri Institut Pertanian Bogor (PIAA-IPB), UKM Center Universitas Indonesia (UI), UPT Inkubator Industri dan Bisnis (IIB) Institut Teknologi Bandung (ITB), Pusat Inkubator Bisnis Ikopin (PIBI), IKOPIN, LPPM Universitas Gadjah Mada dan lain-lain. Sedangkan yang dibentuk oleh asosiasi antara lain UKM Center Kadin.

Sampai saat ini lembaga-lembaga tersebut sebagian besar masih belum berperan dan berfungsi secara optimal sebagai LI, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Diperlukan adanya strategi dan kelayakan pengembangan, serta upaya yang konsisten agar lembaga-lembaga tersebut dapat berperan dan berfungsi secara optimal menjadi lembaga intermediasi untuk meningkatkan daya saing UKM.


(31)

Gambar 1 Sistem Inovasi Nasional (KRT 2008)

2.2.2 Kriteria

Lembaga Intermediasi (LI) adalah suatu organisasi atau unit organisasi sebagai simpul, hub atau gateway dari jaringan kemitraan yang memberikan jasa pelayanan terpadu untuk meningkatkan daya saing UKM. Beberapa kriteria khusus yang harus dimiliki suatu lembaga agar dapat dikatakan sebagai LI yang mempunyai peran dan fungsi sebagai lembaga penghubung dan memberikan layanan secara optimal dan terpadu kepada UKM adalah sebagai berikut (PI-UMKM 2008) :

1. Memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai. 2. Memiliki sarana dan prasarana yang memadai.

3. Memiliki program kerja baik jangka panjang maupun jangka pendek sesuai dengan orientasi spesifik kebutuhan UKM.

4. Memiliki kerjasama (networking) yang luas. 5. Minimal mempunyai 4 (empat) layanan, yaitu : a. Jasa layanan berbasis teknologi

Sebagai pusat data dan informasi yang di dalamnya mencangkup teknologi, peluang pasar, pusat-pusat unggulan teknologi, tenaga ahli, produk, bahan baku, jaringan bisnis dalam dan luar negeri, informasi best practice, pendanaan, dan


(32)

lain-lain. Jasa layanan berbasis teknologi meliputi pemberi rekomendasi terkait penggunaan/pemanfaatan teknologi, advokasi, alih teknologi, konsultansi, pengujian, jasa operasional, pilot project, pilot plant, prototype, survei.

b. Pengembangan SDM UKM

Yang dimaksudkan dengan layanan pengembangan SDM adalah layanan-layanan berkaitan dengan upaya agar kemampuan SDM baik sebagai pelaku UKM atau technopreneur meningkat, baik dari aspek wawasan berbisnis maupun kemampuan teknis operasional menjalankan usaha. Jasa layanan pengembangan SDM UKM meliputi pelatihan, pendampingan, workshop, seminar dan lain-lain. c. Intermediasi/jejaring bisnis Usaha Kecil dan Menengah

Sebagai pusat jaringan UKM dengan pasar, industri serta jaringan sarana komunikasi dan pemasaran produk berbasis internet. Jasa layanan intermediasi/ jejaring bisnis UKM meliputi mempertemukan UKM dengan pasar dan industri, promosi produk-produk UKM melalui pameran-pameran dan internet.

d. Fasilitasi akses pembiayaan

Fasilitasi jasa pembiayaan bank dan non bank (pembiayaan berisiko/risk capital). Jasa layanan fasilitasi akses pembiayaan mempertemukan UKM dengan lembaga keuangan/pembiayaan bank dan non bank.

2.2.3 Contoh Lembaga Intermediasi di Indonesia

1. Balai Pelayanan Bisnis Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta

Balai Pelayanan Bisnis (BPB) merupakan salah satu unit dibawah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY). BPB ini berfungsi untuk memberikan layanan dan fasilitas bagi pengembangan bisnis di di Yogyakarta, khususnya bagi usaha kecil menengah dan koperasi (UKMK). Berbagai layanan untuk dunia usaha, khususnya UKMK telah disediakan oleh BPB yang merupakan beragam layanan dengan mempergunakan teknologi informasi dan komunikasi. BPB mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :

a. Pengelolaan data informasi bisnis.

b. Pengembangan sistem informasi serta pengembangan jaringan pengelolaan informasi bisnis.


(33)

c. Pelayanan informasi bisnis.

d. Pelayanan konsultasi, bimbingan dan pendampingan usaha. e. Peyelenggaraan pengembangan bisnis.

BPB sebagai lembaga fasilitator pengembangan UKM Provinsi DIY setiap tahun mengadakan pelatihan bagi UKM dan beberapa diantaranya bersertifikasi. Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan pelaku UKM DIY, baik dalam manajerial, pemasaran, administrasi dan pemanfaatan teknologi informasi bagi perkembanagan usahanya.

Jenis Pelayanan yang terdapat dalam BPB adalah : a. Pelayanan usaha berupa konsultasi melalui tatap muka.

b. Pelayanan usaha melalui pelatihan/bimbingan, pendampingan dan bantuan promosi pemasaran.

c. Penyelenggraan pengembangan bisnis melalui bantuan promosi pemasaran. d. SIOT (Sistem Informasi Operasional dan Transaksi).

e. OLAP (Online Analytical Processing). f. Diskusi Online dan SMS serta Call Center.

2. Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil

Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil atau disingkat PUPUK (Association for Advancement of Small Business) adalah organisasi non profit, independen dan bersifat non-politis yang memposisikan diri sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang pengembangan usaha kecil. PUPUK didirikan untuk menjawab perlunya kegiatan pengembangan usaha kecil yang terintegrasi di semua lini ekonomi. Melalui pendekatan yang integratif PUPUK berupaya untuk mendorong usaha kecil agar mengoptimalkan peranannya.

Kegiatan utama PUPUK adalah kerjasama pengembangan UKM, implementasi program CSR (Corporate Social Responsibility), studi, riset dan survei yang dilakukan sebelum dan sesudah program kerjasama pengembangan UKM, program advokasi yang diarahkan pada upaya memperkuat posisi UKM dalam persaingan bisnis. Kemudian untuk meningkatkan kapasitas dan kemampu-an teknis UKM melalui kegiatkemampu-an pelatihkemampu-an, workshop, dan in-house training. PUPUK juga melaksanakan pelatihan dan workshop kepada CSR perusahaan.


(34)

Adapun jenis pelatihan dan workshop yang dilaksanakan oleh PUPUK antara lain tentang :

a. CSR (Corporate Social Responsibility). b. Klaster industri dan inisiasinya.

c. Local and Regional Economic Development. d. Kompetensi inti daerah.

e. Perencanaan strategis pembangunan daerah. f. Rantai nilai (Value Chain Development). g. Balance Score Card.

h. OVOP (One Village One Product).

Dengan berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh PUPUK tentunya menghasilkan berbagai pengalaman empirik. Sebagai lembaga yang peduli pada pengembangan dan penguatan UKM, maka PUPUK merasa berkewajiban untuk mendiseminasikan berbagai temuan dan pengalaman empirik di lapangan kepada publik, melalui seminar, workshop dan berbagai publikasi.

Program-program penguatan UKM dilakukan dengan basis potensi yang dimiliki oleh UKM dan kebutuhan UKM dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimiliki Indonesia.

3. Surabaya Busines Incubator Centre (Pusat Pembinaan dan Pengembang-an Wirausaha Jawa Timur)

Misi dan tujuan dari lembaga ini adalah mengembangkan wirausaha pemula/industri kecil yang belum berpengalaman menjadi wirausaha menengah dan tangguh.

Bentuk layanan yang dapat diberikan oleh lembaga ini adalah :

a. Menyediakan fasilitas bagi pengusaha pemula dalam bidang industri kecil dan menengah (IKM) untuk mengembangkan usahanya dengan cara memberikan dukungan pembinaan administrasi, manajemen, teknologi, pemasaran dan dana.

b. Memberikan jasa penyuluhan kepada para pengusaha kecil (industri kecil) diluar tenant, serta mengusahakan jaringan informasi mengenai dunia usaha, antara lain yang berkaitan dengan manajemen, teknologi, pemasaran dan dana.


(35)

2.2.4 Contoh Lembaga Intermediasi di Beberapa Negara 1. Lembaga intermediasi di negara China

Pemerintah China telah melakukan penggabungan antara sistem iptek sesuai dengan kebutuhan ekonomi pasar dan kebijakan perpajakan, untuk mendorong inovasi teknologi dalam dunia usaha. Selain itu juga dikembangkan dan diperkuat fungsi Research and Development (R&D) dari berbagai lembaga litbang pemerintah maupun universitas dan melakukan percepatan pengembangan inovasi teknologi untuk

Berbagai upaya dalam pengembangan UKM di Cina telah dilakukan melalui LI seperti inkubator teknologi. Salah satu pusat inkubator teknologi terbesar terdapat di Shanghai, yaitu Shanghai Technology Innovation Center (STIC), yaitu salah satu lembaga publik non profit di bawah pimpinan Komisi Iptek Kodya Shanghai yang yang dibentuk pada tahun 1988. STIC merupakan pusat inkubasi yang cukup berprestasi dan didanai oleh pemerintah Shanghai, diakui oleh Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai Pusat Pelayanan Teknologi baru dan tinggi, serta merupakan salah satu Pusat International Business Incubator. STIC mencurahkan perhatiannya untuk suatu prinsip dari alih teknologi yang unggul, inkubasi teknologi bagi pengusaha, dan menanamkan teknologi entrepreneur dan berusaha sekuat tenaga untuk membangun lingkungan inovasi yang baik untuk menyediakan pelayanan komprehensif terhadap pengguna teknologi dan inovator untuk tujuan komersialisasi. Sebagai organisasi induk dari Asosiasi Inkubasi Teknologi Bisnis (Technology Business Incubation Association) Shanghai, selusin inkubator teknologi, termasuk inkubator “Yangpu” dan “IC Design” didanai dan didirikan oleh STIC.

Gambar 2 Relation building process (STIC 2007dalam Mulyadi, 2008)

Industry Government


(36)

2. Lembaga intermediasi di negara Taiwan

Pertumbuhan penting dalam inovasi dan aktivitas kewirausahaan dalam era baru perkembangan ekonomi, pada tahun 1996 Small and Medium Enterprise Administration (SMEA) dari Kementerian Ekonomi (MOEA), mengambil inisiatif dan memimpin dalam pembangunan dan perkembangan pusat inkubasi di Taiwan. Pusat inkubasi merupakan tempat pembinaan/pelatihan inovasi bisnis, produk dan teknologi, serta membantu UKM untuk menumbuhkan kemampuan-nya sendiri. Dengan menyediakan ruangan kantor, peralatan, dan R&D technology, membantu penjaminan pembiayaan dan menyediakan konsultasi manajemen, serta pelayanan bisnis lainnya. Konkrit dari hal yang dimaksud adalah membantu memfasilitasi integrasi efektif dari sumber daya, membantu mengurangi biaya dan resiko pemula untuk mengembangkan bisnisnya.

Gambar 3 Service Flow at Incubation Centers in Taiwan (SMEA 2005 dalam Mulyadi, 2008)

Incubation Centers

Promotion Presentation

Premilinary Discussion With Applicants

Review On Apllications

Contrack Signing

Formulation Of Incubation Plans And Excecution

Helping Enterprises Fit To Various Industrial Environments Evaluation And Recomendation On

Statements Of Operation

Arrangement Of Promotinal Campaigns And Consulting Services

Filing Of Apllication For Moving Into Incubation

Centers

Writing - Up Of

Provision Of Detailed Bisness Plan

Provision Of Statements Of Operation

Application Procedures For Locating One’s

Start Up Within An Incubation Center

Incubation Center Service Flow


(37)

Saat ini, sebagian besar pusat inkubasi di Taiwan berafiliasi dengan universitas. Kementerian Urusan Ekonomi mendorong lembaga penelitian dan private sector untuk menanam investasi dalam sektor inkubator dan menyusun strategi untuk penggabungan beberapa sumber daya dan kekuatan yang berbeda dari pusat inkubasi yang berjalan dengan unversitas dan lembaga penelitian. Tujuan utamanya adalah menyediakan suatu bentuk yang komprehensif tentang pelayanan inkubasi untuk melindungi setiap langkah proses pengembangan UKM.

3. Lembaga intermediasi di negara Jerman

Fungsi LI di Jerman adalah memberikan pelayanan (business development service-BDS) yang bersifat nirlaba dan berperan penting terhadap pendirian, kelangsungan hidup, produktivitas, daya saing, perkembangan perusahaan baru dan UKM.

LI di Jerman memberikan berbagai jenis pelayanan yang meliputi pelatihan, konsultansi, bimbingan pemasaran, teknologi informasi, pengembangan teknologi dan promosi jejaring bisnis. LI memberikan 2 (dua) kategori pelayanan, yaitu bersifat operasional dan yang bersifat strategik. Pelayanan operasional merupakan kegiatan rutin seperti sistem informasi dan komunikasi, pengelolaan keuangan dan perpajakan dimana semua kegiatan tersebut didasarkan pada peraturan yang berlaku di Jerman.

Dilain pihak, pelayanan strategik merupakan kegiatan yang digunakan untuk mengantisipasi program jangka menengah dan jangka panjang dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan client, daya saing dan akses ke pasar. Sebagai contoh pelayanan strategik dapat membantu perusahaan client untuk mengidentifikasi dan memberikan pelayanan ke pasar, mendisain produk, menyiapkan fasilitas dan akses ke bank.

Di negara Jerman, fungsi LI dilakukan oleh beberapa pihak (aktor), yaitu : a. Perusahaan baru/UKM, merupakan sisi demand dari pasar LI.

b. Provider BDS memberikan service langsung ke perusahaan baru/UKM. Dapat berupa individu, private forprofit firms, NGO, badan pemerintah, asosiasi dan lain-lain.

c. Fasilitator BDS mendukung provider BDS, contoh mengembangkan produk service baru, mempromosikan praktek baik dan membangun kapasitas dan


(38)

Pendanaan publik, pengembangan pasar

Pendanaan privat, Orientasi komersial

Pelayanan langsung Fasilitasi demand/supply

kemampuan provider BDS. Fasilitator juga dapat bekerja pada sisi demand, contohnya mendidik perusahaan baru/UKM untuk mengenali keuntungan yang bisa didapat atau memberikan insentif.

d. Donor menyediakan pendanaan pada proyek-proyek BDS. Pada beberapa kasus, fasilitator BDS adalah donor itu sendiri.

e. Pemerintah, yang seperti donor juga memberikan pendanaan untuk proyek-proyek BDS. Selain itu, intervensi terhadap BDS, peranan utama pemerintah adalah menyediakan kebijakan, hukum dan regulasi untuk perusahaan baru/UKM dan provider BDS, serta infrastuktur, pendidikan dan pelayanan informasi.

Gambar 4 di bawah mengilustrasikan fungsi dari berbagai aktor tersebut di atas, masing-masing dengan tujuan yang berbeda-beda tergantung pada orientasi komersial atau pengembangan publik. Fasilitator BDS mempunyai tujuan untuk mengembangkan pasar sebagai bagian dari kebijakan sosial dan ekonomi pemerintah Negara Jerman. Bagi Provider BDS yang berorientasi komersial, pengembangan pasar yang dilakukan oleh fasilitator BDS adalah tidak relevan dengan misi Provider BDS komersial dan bahkan sering timbul konflik.


(39)

Sebagai contoh, pengembangan pasar untuk BDS sering berimplikasi pada makin tumbuhnya Provider BDS baru. Pada paradigma pengembangan pasar untuk BDS, fungsi utama dari Donor dan Pemerintah adalah memfasilitasi tumbuhnya sisi demand dan supply.

4. Lembaga intermediasi di negara Jepang

Di Jepang, ada lembaga yang dinamakan Japan Small Medium Business Corporation (JASMEC). Lembaga ini dikelola secara profesional atas dasar kebijakan umum yang ditetapkan oleh pemerintah. Didirikan pada tanggal 1 Juli 1999 yang merupakan penggabungan dari Small Business Credit Insurance Corporation (Japan CIC) dan Japan Small Business Corporation (JSBC). Lembaga ini berada dibawah pengawasan Ministry of Industry and International Trade (MITI) dan Ministry of Finance, dimana seluruh modalnya berasal dari pemerintah pusat. Lembaga ini dibangun untuk mengimplementasikan kebijakan pemerintah Jepang menyangkut UKM melalui mutu SDM, internasionalisasi (go international) dan pelayanan informasi, seperti informasi pasar, informasi teknologi, dan sebagainya.

Bentuk sistem dukungan kepada UKM dilakukan melalui pembuatan buku petunjuk, training dan pelayanan konsultasi manajemen dengan melibatkan the chambers of commerce and industry, associations of entrepreneurs dan asosiasi perdagangan UKM. Jasmec dan SME & Venture Business Support Centers telah melakukan kerjasama kolektif dalam mengembangkan UKM.

Pelayanan di bidang keuangan dilakukan Japanese Finance for Small Business (59 cabang), People Finance Corporation (152 cabang) dan The Shoko Chukin Bank (104 cabang). Sedangkan untuk asuransi kredit dilakukan oleh Small Business Credit Insurance Corporation dan didukung oleh Prefectural Credit Insurance Association (asosiasi kredit yang berada di distrik, terdiri dari 52 anggota). Bagi UKM yang membutuhkan investasi, mereka dapat menghubungi Small and Medium Business Investment & Consultation Co. Ltd. di Tokyo, Osaka, dan Nagayo.

Sedangkan untuk melihat peluang-peluang usaha yang dapat dikembangkan serta kelemahan-kelemahan para pesaingnya di luar negeri, UKM di Jepang juga mendapatkan informasi business intelligence dari Japan Chamber


(40)

of Commerce and Industry dan National Federation of Commerce-Industry Trade Association.

Selain lembaga-lembaga yang mendukung pemberdayaan UKM di Jepang, para pelaku UKM sendiri juga mendirikan National Federation of Small Business Association dan didukung oleh asosiasi di daerah Perfectural Federation of Small Business Association guna menyamakan arah dan pandangan sehingga dapat berkerjasama dengan baik. Asosiasi ini dikelola dengan sangat profesional, dimana di dalamnya terdapat sekitar 9000 konsultan yang senantiasa memberikan bimbingan kepada UKM untuk dapat mengakses pasar, meningkatkan kinerjanya, meningkatkan kualitas produknya, dan sebagainya.

Negara Jepang sudah mengembangkan tiga macam sistem dukungan kepada UKM yaitu SME/Venture Business Support Centers, Prefectural SME Support Centers dan Regional SME Support Centers.

Ketiga lembaga ini saling bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain seperti Commerce and Industry Associations and Chambers of Commerce and Industry dengan melakukan pelayanan satu atap menyangkut informasi, strategi, dan implementasi proyek termasuk didalamnya pelayanan konsultasi dan penyediaan tenaga ahli, serta pelaksanaan training dan seminar, dan lain-lain.

2.3 Sistem Inovasi 2.3.1 Definisi

Sistem Inovasi (SI) semakin sering dibahas, terutama dalam dua dekade terakhir ini. Banyak bukti empiris menunjukkan bahwa perusahaan, daerah atau negara yang berhasil di bidang sosial ekonomi ternyata didukung oleh SI yang berkembang dan kuat.

Sistem Inovasi pada dasarnya merupakan sistem yang terdiri dari sehimpunan aktor, kelembagaan, jaringan, kemitraan, hubungan interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya serta proses pembelajaran. Dengan demikian SI sebenarnya mencakup basis iptek termasuk di dalamnya aktivitas pendidikan, aktivitas penelitian dan pengembangan, dan rekayasa), basis produksi (meliputi aktivitas-aktivitas nilai tambah bagi pemenuhan kebutuhan bisnis dan non bisnis, serta


(41)

masyarakat umum), dan pemanfaatan dan difusinya dalam masyarakat, serta proses pembelajaran yang berkembang.

Beberapa definisi yang berkembang tentang SI dari beragam sudut pandang sebagai berikut :

a. SI adalah jaringan lembaga di sektor publik dan swasta yang interaksinya memprakarsai, mengimpor, memodifikasi dan mendifusikan teknologi-teknologi baru (Freeman 1987 dalam Taufik 2000).

b. SI merupakan unsur dan hubungan-hubungan yang berinteraksi dalam menghasilkan, mendifusikan dan menggunakan pengetahuan yang baru dan bermanfaat secara ekonomi.

c. SI merupakan sehimpunan aktor yang secara bersama memainkan peran penting dalam mempengaruhi kinerja inovatif (innovative performance) (Nelson and Rosenberg 1993 dalam Taufik 2000).

d. SI merupakan sistem yang menghimpun institusi-institusi berbeda yang berkontribusi, secara bersama maupun individu, dalam pengembangan dan difusi teknologi-teknologi baru dan menyediakan kerangka kerja (framework), di mana pemerintah membentuk dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi proses inovasi.

e. SI merupakan himpunan lembaga-lembaga pasar dan non-pasar di suatu negara yang mempengaruhi arah dan kecepatan inovasi dan difusi teknologi (Freeman 1987 dalam Taufik 2000).

f. SI merupakan keseluruhan faktor ekonomi, sosial, politik, organisasional dan faktor lainnya yang mempengaruhi pengembangan, difusi dan penggunaan inovasi. Jadi, SI pada dasarnya menyangkut determinan dari inovasi (Edquist 2001 dalam Taufik 2000).

g. Menggunakan istilah ”sistem riset dan inovasi nasional” (national research and innovation system), yaitu keseluruhan aktor dan aktivitas dalam ekonomi yang diperlukan bagi terjadinya inovasi industri dan komersial dan membawa kepada pembangunan ekonomi (Arnold et al. 2001 dalam Taufik 2000).

Dari beragam uraian definisi tersebut dan perkembangan dalam literatur SI, secara “konsep” sejauh ini pada dasarnya ada beberapa hal penting yang “melekat (inherent)” dalam pengertian SI (Taufik 2000), yaitu :


(42)

a. Kata “sistem” dalam istilah SI menunjukkan cara pandang yang secara sadar memperlakukan suatu kesatuan menyeluruh (holistik) dalam konteks “inovasi dan difusi.

b. Dalam literatur SI, konvensi yang umum tentang pengertian istilah SI pada dasarnya lebih luas dari (mencakup) ”sistem iptek” (dan bagian dari sistem relevan lainnya). Istilah SI juga meliputi konteks “inovasi dan difusinya. Walaupun ada yang menggunakan istilah “sistem riset dan inovasi”/research and innovation system (misalnya Arnold et al. 2001 dalam Taufik 2000), namun istilah “SI dan difusi” tidak lazim digunakan.

Berdasarkan beberapa sudut pandang dari para ahli dan literatur diatas, maka SI adalah sebuah konsep tentang penataan jejaring yang kondusif di antara para pelaku (aktor lembaga) lembaga iptek dalam suatu sistem yang kolektif dalam penciptaan (creation), penyebaran (diffussion), dan penggunaan (utilization) ilmu pengetahuan (knowledge) untuk pencapai inovasi (Nelson and Rosenberg 1993 dalam Taufik 2000). Konsep SI menjadi populer pada akhir tahun 80-an oleh Christopher Freeman ketika memetakan interaksi antar aktor invoasi, yaitu antara pemerintah, universitas, lembaga riset dan industri di Jepang. Kemajuan inovasi teknologi di Jepang tidak terlepas dari interaksi dan sinergi dari aktor-aktor tersebut, sehingga mampu menghasilkan produk-produk teknologi yang inovatif dan kompetitif di pasar dunia (Freeman 1995). Inti dari konsep SI adalah jejaring (network) dan secara umum jejaring merupakan pemetaan dari interaksi aktor-aktor lembaga, serta faktor lainnya, sehingga membentuk pola (pattern) jejaring tertentu.

Pengertian jejaring dalam SI dapat dipersepsikan secara sempit (narrow) maupun luas (broader). Para pakar lebih cenderung melihat jejaring dalam arti sempit yaitu interaksi antara perguruan tinggi, industri dan pemerintah. Sedangkan para pemikir lainnya (Freeman 1987; Lundval 1988 dan 1992; Nelson 1988 dan 1993 dalam Taufik 2000) cenderung untuk melihat jejaring tersebut sebagai hubungan interaksi antar aktor yang terdiri dari aktor utama dan pendukung, serta faktor-faktor determinan (determinant factors) yang mempengaruhi hubungan tersebut. Interaksi antar aktor dalam lembaga dapat bermacam-macam, baik itu technical, commercial legal, social, maupun finansial.


(43)

Aktor utama dari SI adalah perguruan tinggi, industri, dan organisasi litbang. Aktor pendukung terdiri dari pemerintah (nasional, regional dan lokal), lembaga finansial/ventura (pendanaan), lembaga asing, pengguna (end user), bridging institution (organisasi profesi yang berperan sebagai „intermediaries‟), maupun organisasi lainnya (lembaga paten, lembaga diklat dan lain-lain). Sedangkan faktor-faktor determinan terdiri dari struktur ekonomi dan industri, persaingan, dan sosial budaya. Terdapat banyak saluran aliran pengetahuan diantara institusi dan berbagai pendekatan untuk mengukurnya.

2.3.2 Implementasi

Pentingnya SI bagi Indonesia adalah untuk menjembatani sisi supply dan demand teknologi. SI merupakan suatu jaringan rantai pemasok teknologi yang mengaitkan antara institusi publik pemasok teknologi dan sektor swasta pengguna teknologi dalam suatu wilayah nasional (SINAS) atau daerah (SIDA) yang berinteraksi secara koheren dalam lingkup kegiatan memproduksi pengetahuan, menerapkan dan mendiseminasikan hasilnya sehingga manfaat nyata dapat dirasakan masyarakat (KRT 2008).

Implementasi dari SI, yaitu suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka-panjang yang dapat mendorong, mendukung, menyebar-kan dan menerapmenyebar-kan inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan dalam skala nasional. Konsep seperti ini relatif baru, meskipun sudah mulai diterapkan di beberapa negara yang mengalami transformasi. Setiap negara mempunyai SI dengan corak yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing.

Pada prinsipnya terdapat 5 (lima) segi/tekanan perhatian yang umumnya yang harus diperhatikan dalam SI (Taufik 2005), yaitu :

a. Basis sistem sebagai tumpuan bagi proses inovasi beserta difusi inovasi. b. Aktor dan/atau organisasi (lembaga) yang relevan dengan perkembangan

inovasi dan difusinya.

c. Kelembagaan, hubungan, jaringan dan interaksi antar pihak yang mempengaruhi inovasi dan difusinya.


(44)

e. Aktivitas, yaitu menyangkut upaya/proses atau tindakan penting dari proses inovasi dan difusi.

Dalam mengembangkan/memperkuat SI, disadari bahwa sistem iptek merupakan bagian integral yang sangat penting. Dalam kaitan ini dan belajar dari pengalaman negara yang berhasil, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa beberapa faktor sangat menentukan keberhasilan suatu negara membangun/mengembang-kan atau memperkuat SI adalah :

a. Kemampuan mengembangkan kelima aspek/segi yang disebut sebelumnya dan keterkaitan di antaranya, sehingga tidak saja memperkuat basis iptek, tetapi juga berdampak pada perbaikan ekonomi dan sosial budaya.

b. Kemampuan menciptakan/memperbaiki iklim bisnis dan inovasi yang kondusif.

c. Kemampuan memperkuat daya dukung inovasi. Kemajuan iptek tidak hanya tergantung pada para pelaku yang terlibat langsung, melainkan juga pihak-pihak lain.

Dengan mempertimbangkan kondisi Indonesia saat ini, maka untuk mengembangkan/memperkuat SI secara bertahap, adaptif dan antisipatif dalam rangka mewujudkan SI yang tangguh di masa depan, tata laksananya (Taufik 2009) adalah :

a. Memperbaiki kondisi dasar sebagai prasyarat bagi peningkatan upaya pengembangan/penguatan sistem inovasi.

b. Melakukan reformasi kebijakan inovasi di berbagai sektor/bidang dan lintas-sektor/bidang serta pada tataran pemerintahan yang berbeda, secara bertahap dan berkelanjutan.

c. Mengembangkan kepemimpinan (leadership) dan memperkuat komitmen nasional dalam pengembangan/penguatan Sistem Inovasi Nasional dan Daerah. d. Meningkatkan keselarasan kebijakan inovasi di tingkat nasional dan daerah.

Mengenali beragam kelemahan SI merupakan awal penting. Namun tentu saja hal demikian belumlah cukup. Menelaah lebih mendalam akar-akar per-soalannya dan menganalisis isu kebijakan yang dinilai penting untuk dipecahkan perlu dilakukan sebagai bahan untuk mendesain langkah kebijakan yang perlu diambil.


(45)

2.4 Strategi Pengembangan Organisasi 2.4.1 Definisi

Pengembangan organisasi adalah peningkatan kemampuan organisasi untuk mencapai tujuannya dengan memanfaatkan potensi manusia secara lebih efektif dan mengevaluasi setiap perubahan dan mengarahkannya secara konstruktif.

Pengembangan organisasi merupakan upaya meningkatkan kemampuan organisasi berdasarkan persepektif waktu jangka panjang yang terdiri dari serangkaian penahapan dengan penekanan pada hubungan antar individu, kelompok dan organisasi sebagai keseluruhan (Siagian 1995). Pengembangan organisasi dapat juga dikatakan aplikasi pendekatan kesisteman terhadap hubungan fungsional, struktural, teknikal, dan personal dalam organisasi.

Pengembangan organisasi merupakan suatu perubahan organisasi, Siagian (1995) mengatakan bahwa persepsi tentang perlunya perubahan harus dirasakan karena hanya dalam kondisi demikianlah para anggota organisasi dapat diyakinkan bahwa dalam upaya mencapai tujuan dan berbagai sasaran organisasi, diperlukan cara kerja baru, metode kerja baru, dan bahkan mungkin strategi dan visi yang baru.

Salah satu ciri umum pengembangan organisasi adalah bahwa pengembangan organisasi merupakan suatu proses yang terus menerus dan dinamis. Pelaksana harus mampu mengubah strategi selama proses sedang berlangsung sebagai akibat masalah-masalah yang timbul dan kejadian-kejadian organisasi. Moekijat (1993) mengutip pendapat Gary Dessler mengatakan bahwa ciri umum pengembangan organisasi adalah suatu strategi pendidikan yang dimaksudkan untuk menimbulkan perubahan organisasi yang telah direncanakan.

Ada 4 (empat) tipe pengembangan organisasi, yakni pengembangan teknologi, pengembangan produk, administratif dan pengembangan sumber daya manusia. Pengembangan teknologi berkenaan dengan proses pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan layanan yang strategis, sedangkan pengembangan produk adalah berkenaan dengan hasil atau layanan keluaran organisasi dalam proses pendidikan. Pengembangan administrasi yaitu mencakup struktur, tujuan, kebijakan, insentif, sistem informasi dan anggaran. Dan yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya manusia adalah pengembangan sikap, keterampilan,


(46)

pengharapan, kepercayaan, perilaku para pegawai termasuk pimpinan (Siagian 1995).

Sementara itu, pengertian strategi ada beberapa macam sebagaimana dikemukakan oleh para ahli dalam buku karya mereka masing-masing. Strategi adalah cara untuk mencapai tujuan dengan daya dan sarana yang dapat dihimpun (Soekarton 1992). Sedangkan Siagian (1995) menyebutkan bahwa strategi merupakan cara-cara yang sifatnya mendasar dan fundamental yang akan dipergunakan oleh suatu organisasi untuk mencapai tujuan dan berbagai sasarannya.

Strategi adalah cara berpikir manusia secara sistematis. Kenneth Primozic et al. 1991 dalam Siagian (1995) menggolongkan berpikir manusia yakni secara mekanik, institusi dan strategik. Ketiga cara berpikir tersebut menurutnya bahwa cara strategik lebih kreatif dan dinamis selaras dengan permasalahan yang ditemukan. Wahyudi (1996) mengemukakan bahwa karakteristik masalah strategik menyangkut orientasi ke masa depan; berhubungan dengan unit-unit kegiatan yang kompleks; perhatian manajemen puncak; pegaruh jangka panjang; alokasi sumber-sumber daya. Berkenaan dengan banyak pilihan sebagai alternatif pemecahan masalah, semakin kecil tingkat kesalahan yang timbul di masa depan.

2.4.2 Klasifikasi Strategi

Menurut teori manajemen strategi, strategi perusahaan/organisasi antara lain diklasifikasikan berdasarkan jenis perusahaan/organisasi. Selain itu juga dikenal strategi perusahaan/organisasi yang diklasifikasikan atas dasar tingkatan tugas. Strategi-strategi yang dimaksud adalah strategi generik yang akan dijabarkan menjadi strategi utama/induk. Strategi induk ini selanjutnya dijabarkan menjadi strategi tingkat fungsional perusahaan/organisasi, yang sering disebut dengan strategi fungsional (Umar 2005).

Pada dasarnya setiap perusahaan/organisasi mempunyai strategi dalam berusaha. Namun mungkin saja terjadi seorang pimpinan perusahaan/organisasi tidak menyadarinya. Dalam mengkaji strategi perusahaan, perlu diketahui bahwa bentuk strategi akan berbeda-beda antar industri, antar perusahaan/organisasi, dan bahkan antar situasi. Namun, ada sejumlah strategi yang sudah banyak diketahui umum dan dapat diterapkan pada berbagai bentuk industri dan ukuran


(1)

Lampiran 1. Rekapitulasi karakteristik Balai Inkubator Teknologi

No.

Karakteristik

Keterangan

1. Mulai berdiri Didirikan April 2001 dengan nama Balai Inkubasi Teknologi (BIT), berada di bawah koordinasi Deputi Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi – BPPT.

2. Aspek legal 1. Keppres No. 103/2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen;

2. Keppres No. 30 /2003 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 103/2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen;

3. Keputusan Ka. BPPT No. 102 tahun 2006 tentang Struktur Organisasi BPPT. 3. Visi, misi dan tujuan Visi:

menjadi pusat unggulan inkubasi teknologi dalam rangka mewujudkan wirausaha baru yang tangguh, mandiri dan berdaya saing

Misi:

1. Wahana terkemuka dalam pengembangan wirausaha baru berbasis teknologi atau inovasi; 2. Meningkatkan kemampuan dan kompetensi UKM yang berbasis teknologi atau inovasi;

3. Mitra terpercaya dalam mengelola jaringan kerjasama antara tenant, lembaga litbang, perguruan tinggi, lembaga keuangan dan dunia usaha;

4. Pusat askes informasi ke lembaga litbang, jaringan profesional, teknologi dan investasi. Tujuan :

adalah sebagai wahana untuk menciptakan enterpreneur inovatif dari kalangan mitra ABG (Academic, Business, Government) sehingga dapat menjadi unit usaha baru yang berbasis teknologi atau inovasi yang memiliki daya saing, tangguh dan mandiri.


(2)

4. Struktur organisasi

5. Periode inkubasi 1-3 tahun

6. Persyaratan tenant 1. Ide atau gagasannya memiliki potensi komersial. 2. Berpotensi menciptakan lapangan kerja.

3. Adanya kesamaan antara kebutuhan tenant dan layanan yang diberikan BIT-BPPT. 4. Intensitas litbang besar dan produknya berbasis teknologi atau inovasi.

5. Mempunyai teamwork yang potensial.

6. Secara pribadi memiliki potensial kemampuan kewirausahaan.

7. Memiliki suatu rencana bisnis yang berisi fokus utama bisnisnya, informasi pasar, pesaing, konsumen dan perkiraan cashflow.


(3)

7. Alur seleksi dan pembinaan tenant

8. Jasa layanan 1. Pra inkubasi

a. Road show dan pameran b. Technopreneurship program c. InTim Software

d. Temu bisnis 2. Inkubasi

a. Fasilitasi kantor

b. Fasilitasi laboratorium uji produksi c. Fasilitasi mentoring dan konsultasi d. Survei konsumen dan uji pasar e. Sertifikasi produk


(4)

3. Pasca inkubasi

Mediator untuk mempertemukan tenant dan mitra investor melalui kegiatan temu bisnis dan technopreneurship program 9. Infrastruktur yang disediakan 1. Ruangan

2. Sarana dan prasarana perkantoran 10. Fokus sasaran Tenant berbasis teknologi

11. Jenis industri tenant a. Industri manufaktur (50 %). b. Industri kreatif ( 30 %). c. Industri agroindustri (20 %). 12. Jenis dan jumlah rata-rata tenant

setiap tahun

a. Inwall tenant 6 b. Outwall tenant 14

13. Monitoring tenant Selalu dilakukan oleh Licenses Officers (LO) setiap 3 bulanan. 14. Sumber dana inkubator Murni program dari BPPT yang bersumber dari dana APBN 15. Sumber dana tenant APBN dan sebagian kecil dari mitra dan tenant.

16. Jumlah karyawan 30 orang

17. Status karyawan Pegawai Negeri Sipil (PNS) 18. Hubungan tenant dengan

inkubator

Hubungan pembinaan 19. Rasio jumlah karyawan dengan

jumlah tenant

1 : 1

20. Permasalahan utama 1. Ketersediaan dana untuk pembinaan tenant yang sifatnya jangka panjang 2. Networking.yang masih lemah


(5)

117

Lampiran 5 Daftar calon

inwall

tenant

yang akan diinkubasi BIT tahun 2011

Produk

Keterangan

Leasson Officer

Electro Cardiografi (EKG) Electro Kardiografi adalah Alat untuk memantau kondisi denyut jantung tubuh Manfaat Produk : Mendeteksi dini kelainan fungsi jantung

Status teknologi: siap diproduksi Calon Mitra : -

Inkubasi : mitra investasi, Uji produksi, alpha dan beta test dan mentoring

Suryo Hadiyono

Gelatin Halal Gelatin merupakan protein yang diekstrak dari jaringan kolagen kulit, tulang atau ligamen hewan.

Manfaat Produk : Dapat diaplikasi pada produk pangan dan non pangan sebagai bahan penstabil (stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), pengikat (binder)

Status Teknologi: level 6 telah dihasilkan dan diuji coba pada lingkungan yang relevan Calon Mitra : PT. Muhara Dwitunggal Laju, Citereup Jabar

Inkubasi: Uji produksi, alpha dan beta test dan mentoring

Ai Nelly

Engine Rusnas / Silent Genset

Engine Rusnas merupakan mesin multi guna berkapasitas 500cc.

Manfaat Produk : Dapat diaplikasikan pada kendaraan fungsi khusus seperti micro car, transportasi air, silent genset, dll

Calon Mitra: PT. NEFA, PT. INKA, PT. ITM, PT. CNG GLOBAL, PT. Intanjaya Agro Megah Abadi. Status : Pengembangan untuk aplikasi produk pada micro car

Inkubasi : Uji produksi, alpha dan beta test, serta mentoring


(6)

118

Nano Powder Nano Powder merupakan bubuk nano partikel dengan jenis dan fungsi yang beragam.

Manfaat Produk : Aplikasi di dunia Industri, contoh sebagai penguat bahan komposit berbagai produk, aplikasi pada pelapis permukaan (cat), serta tekstil berfungsi khusus.

Status : tahap uji coba produksi

Calon Mitra : CV. Nanotech Indonesia, PT. Catur Elang Perkasa. Inkubasi : Uji Produksi, alpha dan betha test, mentoring.

Ai Nelly

Kantong Aspal Kantong aspal merupakan produk yang berfungsi sebagai kemasan aspal yang efektif.

Manfaat Produk : Selain sebagai kantong aspal juga sebagai bahan adiftif yang dapat meningkatkan kualitas aspal.

Status : Sudah sesuai dengan properties produk benchmark, sedang dilakukan pengembangan untuk aplikasi pada prototipe

Calon Mitra : PT. JAYA Trade, PT. PERTAMINA, Cilacap

Inkubasi : Mitra Investasi, Peralatan pendukung aplikasi produk, Uji Produksi, alpha dan beta test, mentoring.

Eddy HP. Entum

Aloe Gel Liquid Extractor Merupakan mesin pembuat ekstrak daun Lidah Buaya (Aloe Vera)

Manfaat Produk : Sebagai alat produksi pangan yang ekonomis dengan proses industri berskala IKM

Status: sudah diaplikasikan, kurang beberapa modul dan penyempurnaan.

Calon Mitra: CV. Prima Indonesia, Bali

Inkubasi : Pembuatan peralatan pendukung, uji produksi, alpha dan betha test, mentoring.