melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran suami – istri serta adanya keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih
sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional antara suami dan istri.
2. Fase perkawinan
Chudori 1997 menyatakan bahwa ada beberapa fase dalam perkawinan yang tidak dapat tidak, mesti dilalui oleh setiap pasangan suami istri, antara lain:
a. Fase bulan madu
Dalam fase ini, keindahan suasana hari-hari pertama perkawinan masih dapat dinikmati berdua. Kemesraan yang diimpikan sebelumnya dapat lebih
dirasakan berdua karena dengan dikukuhkannya ikatan perkawinan, berarti kedua insan yang saling mengasihi dan mencintai dapat memanifestasikan
impiannya itu secara lebih konkrit. Tidak ada lagi batasan-batasan yang menjadi penghalang seperti ketika masih belum menikah. Fase ini merupakan
masa yang indah karena masing-masing pihak berupaya untuk membahagiakan pasangannya.
b. Fase pengenalan kenyataan
Setelah bulan madu terlewati, kenyataan perkawinan mau tidak mau harus dihadapi. Keakraban fase bulan madu perlahan-lahan akan pudar karena
masing-masing pihak harus kembali dengan kesibukannya. Suami harus bekerja di kantornya, istri pun mulai sibuk dengan hal-hal yang sama atau
sibuk mengurusi pekerjaan rumah tangga. Apabila waktu suami lebih banyak di kantor, istri akan kecewa, karena istri beranggapan suami lebih
mementingkan pekerjaan dari pada memperhatikan dirinya. Sebaliknya sang suami menganggap istrinya tidak lagi peduli dengan dirinya karena tidak
sempat lagi mengurus tubuh dan wajahnya. Hal-hal inilah yang turut mempengaruhi kepuasan dalam perkawinan, apabila terjadi kesenjangan
antara apa yang dibayangkan dengan kenyataan yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
c. Fase krisis perkawinan
Setelah menyadari kenyataan suami istri sebenarnya, bisa timbul kecurigaan satu sama lain. Bila suami kerja lembur misalnya, kadang istri curiga yang
lain-lain sehingga pulang terlambat. Demikian pula jika suami terlalu lelah sehingga mengurangi aktivitas seksualnya. Hal demikian pula terjadi pada
sebaliknya. Fase ini adalah masa paling rawan, sehingga apabila tidak ada kesadaran dari masing-masing pihak bahwa perkawinan tidak hanya selalu
berisi kemesraan, maka bukan tidak mungkin akan mengancam kebahagiaan rumah tangga.
d. Fase menerima kenyataan
Setelah fase krisis perkawinan terlalui, maka masing-masing pihak sudah menerima kenyataan yang sebenarnya, baik kelebihan maupun kekurangan
pasangannya. Penerimaan kenyataan ini membuat masing-masing pihak dengan kelebihan yang dimiliki berusaha untuk mengatasi kelemahan yang
ada dalam diri pasangannya. Selanjutnya kelemahan masing-masing dapat dicarikan jalan keluarnya dengan baik, bukan saling menuduh ataupun saling
mencurigai dan saling menyalahkan, akan tetapi saling menutupi satu sama lain, saling melengkapi kekurangan pasangan dengan kelebihan yang
dimilikinya. e.
Fase kebahagiaan sejati Fase ini masing-maisng pihak telah betul-betul menyadari arti sebuah
perkawinan. Perkawinan tidak selamanya mulus seperti yang dibayangkan. perkawinan ada kalanya juga tersandung oleh kerikil tajam, ada gelombang-
gelombang yang tidak terduga yang menghantam bahtera rumah tangga, ada perbedaan pendapat, ada duka, derita, ada suka dan yang paling penting
menyadari bahwa setiap pasangan mempunyai kekurangan yang tidak mungkin dirubah. Kebahagiaan sejati bukan hanya karena keindahan,
kenikmatan dan kemesraan belaka, tetapi masuk diantaranya jika keduanya mampu mengatasi persoalan yang timbul dalam rumah tangga. Mampu
bahagia karena bisa menerima kekurangan pendamping hidupnya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Lamanya fase yang dilalui oleh masing-masing pasangan memang tidak sama, ada yang singkat ada pula yang lama, sangat relatif. Semakin dewasa pola pikir,
daya nalar dan kesadaran masing-masing pihak, akan semakin cepat pula pasangan suami istri mewujudkan cita-cita perkawinannya, memperoleh
kebahagian sejati dalam rumah tangga. Menikmati kebahagiaan ikatan perkawinan dengan segala masalah-masalahnya.
Dalam suatu perkawinan, setiap individu akan dihadapkan pada kondisi dimana mereka bersama dengan pasangannya akan membentuk suatu keluarga
baru yang akan dijalankan sepanjang kehidupan mereka. Duval dalam Clayton, 1975 membagi siklus kehidupan keluarga menjadi 8 delapan tahap dengan ciri
tersendiri sebagai berikut:
Tabel 3. Siklus kehidupan keluarga Tahap I
Keluarga awal → setelah menikah selama 0 -5 tahun,
tanpa anak Tahap II
Keluarga dengan anak pertama → anak pertama yang
baru lahir sampai anak berusia 2 tahun 11 bulan Tahap III
Keluarga dengan anak prasekolah → anak pertama
berusia 3 tahun sampai 5 tahun 11 bulan Tahap IV
Keluarga dengan anak usia sekolah → anak pertama
berusia 6 tahun sampai anak berusia 12 tahun 11 bulan Tahap V
Keluarga dengan anak remaja → anak pertama berusia
13 tahun sampai 20 tahun 11 bulan Tahap VI
Keluarga sejak masa anak sulung sampai anak bungsu meninggalkan rumah
Tahap VII Keluarga dimana semua anak telah meninggalkan rumah
sampai masa pensiun Tahap VIII
Keluarga dari masa pensiun sampai kematian salah satu pasangan
Pollins Feldman 1978 yang meneliti hubungan siklus kehidupan keluarga
dengan kepuasan perkawinan menemukan bahwa pasangan merasa sangat puas pada tahap I, tahap II dan tahap VIII. Kepuasan perkawinan ini kemudian
menurun pada tahap III dan berada pada titik terendah pada tahap VI. Data tersebut menjadi landasan bagi Clayton 1975 untuk menyimpulkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
kepuasan perkawinan berhubungan dengan kehadiran anak. Kepuasan perkawinan berada pada tingkat yang tinggi terjadi sebelum hadirnya anak tahap I dan tahap
II dan setelah anak memisahkan diri dari orangtua tahap VIII karena suami istri pada saat tersebut dapat merasakan kebersamaan dengan pasangannya.
C. Kepuasan Perkawinan 1. Definisi kepuasan perkawinan