Reaksi saat anak didiagnosa autis. Kepuasan perkawinan setelah memiliki anak autis.

dibandingkan dengan sebelum menikah. Rosa merasakan kebahagiaan dalam perkawinannya karena ia di anugerahi putra kembar, Sanny merasakan kebahagiaan karena ia memiliki anak dan pekerjaan, Herni merasakan kebahagiaan karena ia dianugerahi Tuhan seorang anak laki-laki dan setiap masalah yang muncul dalam perkawinannya dapat diatasi dengan baik dan Hendrie merasakan kebahagiaan karena istrinya memiliki kesabaran dan pengertian yang besar terhadap dirinya.

2. Reaksi saat anak didiagnosa autis.

Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme, beragam hal terjadi pada diri orangtua. Orangtua biasanya stres, kecewa, patah semangat, mencari pengobatan keman-mana, serba khawatir terhadap masa depan anaknya dan lain-lain Widihastuti, 2007. Begitu pula dengan masing-masing responden. Rosa, Sanny, Herni dan Hendrie memunculkan respon yang berbeda saat anak mereka didiagnosa menderita autisme. Ditegaskan kembali oleh Williams dan Wright 2004 yang mengatakan bahwa keluarga akan melalui serangkaian emosi saat dikatakan anak mereka autis. Ini bervariasi pada setiap keluarga, dan setiap keluarga punya perjalanan emosionalnya sendiri. Beberapa emosi berikut mungkin dialami oleh orangtua penderita autis pada waktu yang berbeda, yaitu: lega, rasa bersalah, kehilangan, ketakutan akan masa depan dan mencari informasi. Ketika anaknya didiagnosa autis, Rosa mengalami 2 reaksi yakni perasaan lega dan mencari informasi, Sanny mengalami reaksi lega, kehilangan dan mencari informasi, Herni mengalami kelima reaksi di atas sedangkan Hendiré mengalami reaksi ketakutan akan masa depan dan mencari informasi. Dari kesemua reaksi yang mungkin muncul, reaksi mencari informasi yang muncul pada keempat responden. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Prasetyono 2008 yang mengemukakan bahwa orangtua yang memiliki anak autis harus mempelajari apa itu autisme, mempelajari berbagai jenis terapi, mencari bantuan yang tepat untuk anaknya dan mencari bantuan dan informasi yang dapat membantu anaknya untuk dapat mengembangkan kemampuan dan minatnya. Universitas Sumatera Utara

3. Kepuasan perkawinan setelah memiliki anak autis.

Pada responden Sanny, komunikasi antara ia dan istrinya menjadi terganggu. Keluarga-keluarga yang mempunyai anak autis menghadapi kondisi yang lebih rumit dan sulit. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya pasti akan berdampak pada pola interaksi diantara pasangan suami-istri. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional keintiman, kehidupan seksual dan lain-lain, yang akhirnya mempengaruhi kepuasan perkawinan pada masing-masing pasangan The Impact of Autism On The Family, 2006. Ternyata kehadiran anak autis ini juga dapat mempererat hubungan diantara suami-istri, karena mereka berdua dapat bersama-sama berusaha untuk menerima keadaan anak mereka dan mengambil hikmah dari kehadiran anak autis di dalam kehidupan perkawinan mereka The Impact of Autism On The Family, 2006. Hal inilah yang terjadi pada responden Rosa, Herni dan Hendrie. Kondisi putra mereka yang autis, membuat mereka lebih sering berkomunikasi dengan pasangannya. Laswell 1991 membagi komunikasi perkawinan menjadi lima elemen dasar yang menunjukkan adanya kepuasan dalam perkawinan, yaitu: keterbukaan diantara pasangan opennes, kejujuran terhadap pasangan honesty, kemampuan untuk mempercayai satu sama lain ability to trust, sikap empati terhadap pasangan empathy dan kemampuan menjadi pendengar yang baik listening skill. Dari semua responden, lima elemen dasar tersebut dipenuhi dengan baik. Aktivitas mengisi waktu luang, hanya pada Sanny saja yang menjadi berkurang. Padahal menurut Skolnick dalam Lefrancois, 1984 salah satu hal yang mempengaruhi kepuasan perkawinan ialah saling menikmati waktu bersama. Aktivitas lain seperti ibadah, hampir di semua responden menjadi terganggu dan lebih banyak dilakukan sendiri-sendiri. Hal ini mempertegas pernyataan Olson Fowers dalam Saragih, 2003 seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli teradap hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan Universitas Sumatera Utara beragama dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama yang mereka anut. Walaupun terdapat kendala dal;am melaksanakan ibdah, namun semua responden tetap menjalankan ibadahnya. Sedangkan aktivitas seksual, hanya pada Sanny dan Rosa yang masih rutin dilakukan 1 kali seminggu. Masalah yang umumnya terjadi adalah berkenaan dengan kondisi anak mereka yang autis. Semua responden mengemukakan bahwa konflik biasanya muncul berkenaan dengan ketidakmampuan responden dan pasangan dalam bekerja sama untuk mengasuh anak mereka yang autis. Keluarga-keluarga yang mempunyai anak autis menghadapi kondisi yang lebih rumit dan sulit. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya pasti akan berdampak pada pola interaksi diantara pasangan suami-istri. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional keintiman, kehidupan seksual dan lain-lain, yang akhirnya mempengaruhi kepuasan perkawinan pada masing-masing pasangan The Impact of Autism On The Family, 2006. Masalah pengelolaan keuangan kebanyakan di pegang oleh suami dalam hal ini Sanny dan Hendrie, serta suami Rosa. Masalah keuangan yang dihadapi dengan kondisi anak yang autis adalah biaya besar yang harus dikelaurkan untuk keperluannya. Meskipun demikian, masing-masing pasangan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Olson Fowers dalam Fournier, 1983 kepuasan perkawinan dipengaruhi bagaimana menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan. Hal lain yang berkebalikan dengan pengelolaan keuangan adalah mengenai pengasuhan anak dimana pengasuhan anak lebih banyak dilakukanb oleh istri dalam hal ini Rosa, istri Sanny dan Herni. Pusponegoro dan Solek 2007 mengatakan bahwa, penanganan anak-anak seperti anak dengan gangguan autisme tidak hanya melibatkan orangtua, tetapi juga saudara-saudaranya, keluarga penderita dan orang-orang di lingkungan keluarga. Pada semua responden, dukungan yang besar dari pihak keluarga membuat kesemua responden mampu membina hubungan yang baik dengan keluarganya dan keluarga pasangannya dalam situasi anak yang menderita Universitas Sumatera Utara autisme. Hal ini dikarenakan, keluarga responden dan keluarga pasangan sama- sama memberikan dukungan. Kesemua responden tidak menerapkan peran dan tanggung jawab tertentu dalam rumah tangga. Bagi semua responden, peran dan tanggung jawab yang mesti dilakukan dan mampu dilakukan saja yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun dengan kondisi hadirnya anak autsime ditengah keluarga, membuat masing-masing responden dan pasangannya menjadi individu yang lebih baik. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Prasetyono 2008 yang mengatakan bahwa kehadiran anak autis dalam kehidupan rumah tangga dapat membuat individu lebih bertanggung jawab terhadap perannya masing-masing di dalam keluarga dan menjadi pribadi yang lebih baik. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I yaitu bagaimana kepuasan perkawinan pada orangtua yang memiliki anak autis di Nanggroe Aceh Darussalam, maka dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini sebagai berikut :

1. Kepuasan perkawinan pada orangtua sebelum memiliki anak autis

Responden I Rosa Di awal perkawinan Rosa merasakan ketidakcocokan dengan suaminya karena ia tidak suka melihat sesuatu yang tidak bersih dan tidak rapi. Namun, Rosa merasa bahwa perkawinan yang ia jalani sebelum memiliki anak autis memberikan kebahagiaan baginya karena tidak ada unsur kekerasan yang ia alami selama menjalani kehidupan rumah tangga tersebut. Rosa hanya mengalami kelelahan karena ia harus mengurus dua orang putera dalam waktu yang bersamaan. Responden II Di awal perkawinan Sanny merasakan bahwa ia berat dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. Hal ini dikarenakan ia membutuhkan waktu untuk mengenali dan menyesuaikan diri dengan karakter pasangannya. Namun, Sanny merasa bahwa perkawinan yang dijalaninya sebelum memiliki anak autis memberikan kebahagiaan padanya karena pada saat itu ia sudah memiliki anak dan pekerjaan. Keduanya merupakan sumber kebahagiaan bagi Sanny. Responden III Herni Di awal perkawinan Herni merasakan ketidaknyamanan karena harus masuk ke lingkungan keluarga dan pertemanan pasangan. Selain itu, Herni juga merasa kecewa dengan perilaku suaminya yang tidak sesuai dengan harapannya. Namun, Universitas Sumatera Utara