Kondisi Umum Kebijakan Pembangunan Ekonomi Politik Nasional

Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.

BAB III LATAR BELAKANG BERDIRINYA KSPPM

3.1 Kondisi Umum Kebijakan Pembangunan Ekonomi Politik Nasional

Politik rezim Orde Baru Orba lebih dekat pada model birokrasi otoriter. Karakteristik model ini antara lain; adanya pola dominasi politik yang relatif stabil dalam struktur dan proses, untuk menjaga dan mengendalikan berbagai potensi yang hendak mengganggu apa yang sedang dilakukan rezim. Selain itu penguasa juga merupakan oligarki yang anggotanya berasal dari kalangan berlatarbelakang militer atau institusi militer. Dengan mengadopsi pendekatan teknokratis dalam pengambilan keputusan, kelompok ini memegang kendali atas strukutur birokrasi yang lebih luas. Ciri lainnya adalah adanya penggalangan dukungan massa yang dilakukan penguasa secara terus-menerus sebagai sumber ligitimasi. Birokrasi otoriter ini berupaya dengan cara represi, kooptasi, dan membangun jaringan organisasi korporatis untuk mengendalikan para penentangnya. Model birokrasi otoriter, dalam mencapai tujuannya, dengan membentuk pluralisme terbatas yang sering dilakukan melalui jaringan korporatis. Dengan membentuk asosiasi-asosiasi bisnis, profesi, pemuda, mahasiswa dan sebagainya. Kelompok-kelompok ini dibentuk berkaitan dengan aktifitas kebijakan publik dengan memonopoli representasi kepentingan fungsional dan mengawasinya melalui lembaga birokrasi Negara. Sistem korporatisme Negara seperti ini secara vertikal merupakan bagian dari masyarakat, menyatu dalam diri individu dan kelompok yang ada di dalam sebuah jaringan dengan legitimasi yang terpusat pada birokrasi. Dalam interaksi politik Indonesia era Orde Baru, telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Terutama pada awal 1970-an kala pendapatan Negara berasal dari minyak meningkat 70. Hal ini mendorong tumbuhnya sektor Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009. industri dengan cepat. Di samping itu pertumbuhan juga dipicu masuknya perusahaan- perusahaan multinasional yang bisa memberi modal, teknologi dan akses ke pasar internasional. Dalam masa seperti ini perusahaan milik Negara memegang peran membangun kerja sama dengan perusahaan asing. Demiian pula perusahaan swasta mulai membentuk jaringan dengan Badan Usaha Milik Negara BUMN dan mereka pun mulai bergantung pada korporasi internasional. Ekspansi ekonomi tersebut kemudian menjadi mesin kontrol represif. Pihak penguasa melakukan destruksi terhadap pusat-pusat kekuatan penantang atau lawan politiknya, terutama kelompok-kelompok yang dianggap beraliran komunis dan nasionalis yaitu dengan melarang berbagai kelompok politik, asosiasi perdagangan, organisasi pedesaan yang berkaitan dengan etnik dan melakukan kontrol ketat terhadap media massa serta menangkapi para pemimpin maupun kader mereka. Untuk mengendalikan para pendukungnya, pihak penguasa membangun kontrol yang ketat. Yaitu mengendalikan elemen-elemen pendukungnya dengan mempersempit kebebasan organisasi massa yang potensial, memperluas peran militer dengan memasukkan para pejabat militer ke dalam jajaran birokrasi dan menyiagakan militer unuk menghadapi elemen-elemen pengganggu stabilias keamanan. Dengan adanya kontrol terpusat ini, penguasa menghadapi problem pengawasan, terutama karena munculnya restratifikasi sosial ekonomis baru. Yakni kesenjangan yang dicerminkan oleh perilaku konsumtif dan gaya hidup yang ditiru dari luar negeri. Dalam kondisi rezim seperti ini tidak menyia-nyiakan sumber manajemen politik, untuk menjaga pengendalian atas nama perkotaan dan pedesaan, dengan melakukan distribusi pemerataan keuntungan untuk menjamin loyalitas tradisional para pemimpin lokal. Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009. Rezim yang represif melahirkan kebijakan ekonomi politik represif pula. Dalam pengertian bahwa elite politik dalam pemerintah beradapan dengan masyarakat secara vis-à-vis. Terutama pada awal era Orba merupakan masa, dimana penguasa menghadapi problem ekonomi dan keamanan. Awalnya, masalah ekonomi berkaitan dengan pengendalian inflasi. Kemudian rezim Orba mengadopsi “strategi pembangunan”, terutama mengenai stabilitas harga. Penanganan masalah ini, tidak hanya terkait dengan stabilitas ekonomi. Tetapi juga normalisasi kehidupan masyarakat dan penataan kembali disiplin, serta citra kekuasaan pemerintah. Sehubungan dengan masih lemahnya kondisi politik dalam negeri, maka untuk menciptakan kekuatan pemerintah dalam membangun ekonomi domestik, pemerintah menggalang dukungan luar negeri dengan mencari simpati negara-negara kapitalis.. Hal ini dilakukan misalnya dengan mengentikan konfrontasi dengan Malaysia; mengembalikan perusahaan-perusaaan asing yang pernah dinasionalisasikan oleh penguasa Orde Lama kepada para pemiliknya: mempermudah masuknya modal asing dengan menerbitkan UU Penanaman Modal Asing PMA tahun 1967. Satu dekade usia Orba kemudian, Indonesia adalah satu contoh ‘success story’ dalam membangun ekonominya. Yaitu bisa mengendalikan inflasi secara efektif. Dan pada akhir satu dekade berikutnya menjadi salah satu negara sedang berkembang yang dengan cepat menjadi negara industri baru. Bahkan menjadi salah satu model negara anggota penghasil minyak yang dapat memanfaatkan penghasilan dari minyak secara efektif, yang dengan cepat mampu melakukan penyesuaian, ketika harga minyak jatuh pada akhir 1980-an. Ada beberapa episode penting perjalanan pengambilan kebijakan ekonomi Indonesia pada masa Orba. Pertama, antara 1966-1970. Pada masa ini merupakan era rehabilitasi dan penyembuhan ekonomi. Dalam periode ini pemerintah berupaya Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009. mengandalkan inflasi, menjalin kembali hubungannya dengan masyarakat penyandang dana internasional dan merehabilitasi infrastruktur. Pemerintah juga menganut kebijakan ortodoks di bidang moneter dan fiskal untuk menurunkan inflasi secara cepat sehingga perekonomian tumbuh rata-rata 6,6 pertahun, bahkan pada 1968 pertumbuhan mencapai 10,9. Kedua, periode pertumbuhan cepat antara 1971-1981. Dalam episode ini GDP riil mencapai rata-rata 7,7 dan pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 5. Ini merupakan periode ekonomi luar biasa, disambung kacaunya kebijakan. Di bidang ekonomi misalnya, ketika harga beras naik 4 kali lipat pada tahun 1972 menyusul panen yang buruk. Menjelang dekade 1980-an mulai dilakukan devaluasi untuk membenahi tingkat harga yang kompetitif dari sektor-sektor non-minyak. Pada tahun 1982-1986 pemerintah melakukan penyesuaian karena jatuhnya harga minyak, meningkatnya hutang luar negeri dan menurunnya pertumbuhan ekonomi. Respon kebijakan pemerintah atas hal ini bersifat ambivalens. Yaitu penyesuaian di bidang ekonomi makro dilakukan dengan cepat dan efektif. Sementara hambatan perdagangan cenderung makin banyak, ketika harga minyak makin jatuh. Dalam keadaan seperti ini pertumbuhan ekonomi mencapai 4,6 pertahun. Akhir periode ini merupakan masa liberalisasi dan menyembuhkan ekonomi yang diawali sejak 1987. Yaitu melanjutkan perbaikan fiskal, pengendalian nilai tukar dan perbaikan mikroekonomi. Pertumbuhan ekonomi antara 1987-1991 mencapai rata-rata 6,9, meskipun tanpa sepenuhnya ditopang pendapatan dari minyak. Selain itu ada dua kecenderungan perubahan orientasi ekspor. Khususnya di bidang manufaktur dan menguatnya pertumbuhan di bidang perdagangan dan independensi sektor swasta. Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009. Dalam pembuatan perencanaan pembangunan ekonomi dilakukan secara terpusat. Di tingkat nasional oleh Badan Perencana Pembangunan Naasional Bappenas. Dan pada tingkat daerah diperankan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah Bappeda. Di samping itu juga terdapat Biro Perencanaan yang ada di setiap departemen pemerintah. Melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita, pemerintah membuat prioritas setiap lima tahun ke depan. Rencana ini berisi estimasi kecenderungan yang terkait dengan makro ekonomi pembangunan sektoral demografis dan sosial yang diletakkan dalam kerangka makro. Hal ini menjadikan sejumlah Repelita tidak sesuai dengan perkembangan. Misalnya yang terjadi pada periode 1975-1982 ketika harga minyak mulai jatuh. Sehingga sejumlah Repelita menjadi tidak relevan dengan kenyataan. Hal itu menunjukkan adanya kebijakan ekonomi di satu sisi bersifat liberalistik. Kebutuhan pemerintah akan investasi, kapital dan teknologi dari luar negeri terus meningkat sampai terjadinya peristiwa Malari 1974. Tetapi pada tahun 1980- an kebijakan pemerintah kembali pada aturan yang lebih liberal. Misalnya tercermin dalam paket 6 Mei dan kebijakan yang memperbolehkan kepemilikan 100 modal asing. Pada saat bersamaan juga semakin meningkat tuntutan bagi swastanisasi BUMN, sehubungan dengan pertumbuhan dan kinerja yang buruk. Kebijakan pembangunan ekonomi dalam dua dekade pertama rezim Orba, merupakan awal yang menandai masa stabilitas politik dan ekonomi pemerintah pusat lebih mengutamakan integrasi wilayah nasional. Hal ini berdampak pada mobilitas dalam negeri, yang tercermin oleh besarnya daya tarik sumber daya pendidikan dan ekonomi, yang terpusat di Pulau Jawa. Oleh karena itu, program-program pembangunan pemerintah pusat yang diimplementasikan oleh pemerintah daerah, tidak saja membantu mengintegrasikan Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009. seluruh negeri yang membawa stabilitas dalam negeri. Tetapi juga memperkuat pemerintah pusat. Untuk itu diperlukan dukungan rakyat bagi terlaksananya kebijakan-kebijakan pusat. Dalam kaitan antara kekuasaan pemerintah pusat dan pembangunan di Indonesia, terdapat dua kecenderungan umum. Yaitu adanya tuntutan pengakuan dan kekuasaan yang final bagi pusat atas daerah di seluruh negeri. Kemudian adanya kecenderungan pendelegasian wewenang secara gradual kepada pemerintah lokal di tingkat provinsi. Hal tersebut tidak mudah diwujudkan. Secara umum terutama dalam struktur birokrasi pemerintah mencerminkan sistem pengambilan keputusan top-down dengan kekuasaan berada di tangan pejabat puncak di pelbagai tingkat pemerintahan.

3.2 Munculnya Organisasi Non Pemerintah

Dokumen yang terkait

Studi Tumbuhan Anggrek Di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara

11 132 149

Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat(Studi Kasus Tentang Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Di Desa Hutauruk, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara)

0 84 129

Analisis Ketimpangan Pembangunan Antara Kabupaten Tapanuli Utara Dengan Kabupaten Humbang Hasundutan

4 67 149

Analisis Tingkat Pemahaman Masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara Terhadap Penggunaan Pembayaran Non Tunai

3 55 95

Peranan Lundu Panjaitan Dalam Pembangunan Di Tapanuli Utara Tahun (1989-1994).

0 2 16

Peran Perempuan dalam Membangun Masyarakat Religius di Kabupaten Indragiri Hilir

0 0 9

FAKTOR RISIKO KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DEMAM CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN BATANG TORU, KABUPATEN TAPANULI SELATAN SUMATERA UTARA TAHUN 2014 RISK FACTORS OF CHIKUNGUNYA FEVER OUTBREAK IN BATANG TORU SUB-DISTRICT, SOUTH TAPANULI DISTRICT, NORTH SUMATERA, 2014

0 0 8

Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat(Studi Kasus Tentang Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Di Desa Hutauruk, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara)

0 0 13

PERAN OPINION LEADER DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT (Studi Kasus Tentang Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba di Desa Hutauruk, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara)

0 0 10

KATA PENGANTAR - Analisis Dampak Keberadaan PT.Agincourt Resources Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan

0 4 18