Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
seluruh negeri yang membawa stabilitas dalam negeri. Tetapi juga memperkuat pemerintah pusat. Untuk itu diperlukan dukungan rakyat bagi terlaksananya
kebijakan-kebijakan pusat. Dalam kaitan antara kekuasaan pemerintah pusat dan pembangunan di
Indonesia, terdapat dua kecenderungan umum. Yaitu adanya tuntutan pengakuan dan kekuasaan yang final bagi pusat atas daerah di seluruh negeri. Kemudian adanya
kecenderungan pendelegasian wewenang secara gradual kepada pemerintah lokal di tingkat provinsi. Hal tersebut tidak mudah diwujudkan. Secara umum terutama dalam
struktur birokrasi pemerintah mencerminkan sistem pengambilan keputusan top-down dengan kekuasaan berada di tangan pejabat puncak di pelbagai tingkat pemerintahan.
3.2 Munculnya Organisasi Non Pemerintah
Kebijakan yang mempengaruhi proses pembangunan sepanjang dua dasawarsa lampau di Indonesia didasarkan pada kerangka modernisasi yang menerapkan model
pembangunan pertumbuhan. Pendekatan pembangunan ini adalah strategi dan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang memberi perhatian khusus kepada tingkat
tabungan dan investasi serta intensitas modal dengan teknologi modern. Strategi dan kebijakan ini mengasumsikan bahwa industrialisasi yang cepat dan perluasan sektor
modern pada umumnya adalah jawaban terbaik bagi kebutuhan pembangunan ekonomi yang cepat dan penciptaan lowongan lapangan kerja. Model pertumbuhan ini
diterapkan baik di sektor industrialisasi perkotaan maupun sektor pertanian pedesaan. Kebijakan pembangunan pertanian pedesaan diwujudkan melalui program “Revolusi
Hijau”. Revolusi Hijau dan projek perkotaan menjadi pokok bahasan kritisme oleh
kalangan kritisme oleh kalangan LSM lembaga swadaya masyarakat. Keterlibatan
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
LSM yang meningkat secara cepat dalam proses bantuan pembangunan sepanjang tahun 1970-an punya keterkaitan dengan kritisme ini atas strategi pembangunan dan
merupakan reaksi bagi pendekatan pemerintah terhadap pembangunan yang dianggap tidak memadai, khususnya dalam pengertian metodologis dan teknis. Beberapa faktor
tampaknya menyumbang kepada kecenderungan ini. Hal itu mencakup, di antara lainnya, kegagalan kebijakan pemerintah yang dirasakan untuk memperkembangkan
pembangunan secara efektif atau menaikkan standar hidup kaum miskin.
11
Sebenarnya, cikal bakal kehadiran ornop maupun LSM telah lama dikenal. Pada era kolonialisme pun penampilan maupun orientasi gerakan beberapa organisasi
masyarakat memiliki kesamaan dengan karakteristik LSM saat ini. Pada tahun 1890, Mardi Karya, sebuah organisasi yang dibentuk Suryopranoto telah berkecimpung
dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam persoalan sosial ekonomi, sosial, maupun politik. Demikian pula sesudahnya, nama organisasi seperti Budi
Utomo, Taman Siswa. Sebagai organisasi, mereka sama-sama tidak berorientasi pada keuntungan finansial. Mereka berasal dari rakyat, bekerja bersama-sama dengan
rakyat, dan semua upaya yang dilakukan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat.
12
Selepas era kolonialisme, gerak pertumbuhan organisasi non pemerintah semakin nyata. Perkembangan LSM yang pesat sebagai gerakan sosial terorganisir
Meskipun banyak kesamaan yang dimiliki, tidak berarti perbedaan tidak tampak. Era kolonialisme melahirkan konsekuensi tersendiri bagi kemunculan sebuah
LSM. Dominasi pemerintahan kolonial dalam berbagai aspek kehidupan dianggap menyisakan banyak kesengsaraan. Eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan
penjajah melahirkan sikap kebencian yang mendalam.
11
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm.38-39
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
atau disebut juga sebagai masyarakat sipil terorganisir
13
12
Dharmawan, LSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004, hlm 107
di Indonesia sejak tahun 1970 sangatlah mengesankan jika ditinjau dari segi jumlah, keragaman serta letak
geografisnya. Jika di akhir tahun 1960an dan awal 1970an hanya ada sedikit sekali gerakan sosial dan kelompok nonpemerintah yang secara aktif memiliki kepedulian
dan kemampuan untuk menangani masalah-masalah pembangunan, kini keadaan tersebut sudah jauh berubah. Pada periode inilah dikenal sebagai kemunculan
organisasi-organisasi modern. Nama-nama besar LSM seperti Bina Swadaya, Dian Desa, LP3ES, Yayasan Indonesia Sejahtera YIS bermunculan dengan segenap
kiprahnya di masyarakat. Apalagi jika dilihat dari lokasi mereka, dari sedikit jumlah organisasi tersebut sebagian terbesar berkedudukan di Jakarta atau kota-kota besar di
Jawa. Sebagian besar aktifis dalam LSM itu pada umumnya adalah mantan aktifis mahasiswa di kota besar yang mendapat akses cukup luas terhadap sumber dana. Para
aktifis LSM di tahun 1970an tersebut bekerja dengan menganut kerangka kerja developmentalisme. Tak satu pun LSM di tahun 1970an yang benar-benar menolak
konsep dasar dan gagasan pembangunan. Pertanyaan maupun kritik yang mereka ajukan lebih dititikberatkan kepada implikasi metodologis dan teknis pembangunan.
Dengan demikian, yang dipermasalahkan oleh kebanyakan LSM pada masa itu terpusat kepada pendekatan dan metodologi, seperti mempermasalahkan pendekatan
bottom up dari bawah ke atas yang ditawarkan oleh beberapa LSM dengan pendekatan top down dari atas ke bawah yang diterapkan oleh pemerintah. Hasilnya,
pendekatan bottom up dan partisipasi menjadi isu besar. Sebagian besar proyek LSM mengupayakan teknik dan metodologi “alternatif” dari metode dan pendekatan
proyek-proyek pembangunan pemerintah, seperti proyek pengembangan industri
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
kecil; proyek pengembangan kerajinan; proyek peningkatan pendapatan; pelayanan kesehatan masyarakat; program keluarga berencana dan pengendalian penduduk;
teknologi tepat guna dan proyek pembangunan pedesaan lainnya. Proyek-proyek itu diimplementasikan terutama untuk menciptakan metodologi alternatif bagi
pendekatan top down pembangunan tersentralisir yang dijalankan oleh pemerintah secara besar-besaran tanpa mempersoalkan aspek struktural dan keterkaitan sistemik
dari masalah yang sedang diupayakan pemecahannya. Namun dalam waktu kurang dari tiga dasawarsa, terjadi peningkatan jumlah
LSM yang tersebar tidak saja di kota-kota besar di Jawa, melainkan meluas di pelbagai daerah terpencil sampai di kawasan yang tidak mudah dijangkau, hampir di
seluruh Indonesia. Jika melihat bidang ataupun masalah-masalah yang menjadi kepedulian, atau masalah-masalah yang ditangani LSM pada tahun 1970an, juga telah
terjadi peningkatan yang luar biasa. Jika hanya memusatkan perhatian kepada kebutuhan praktis dan pengembangan kelompok usaha bersama, kemudian masalah
yang ditangani LSM di tahun 1980an semakin luas mulai dari masalah lingkungan dan perlindungan hutan hujan, masalah hak azasi manusia dan masalah yang berkaitan
dengan penindasan lainnya, masalah gender, masalah hak budaya dan hak pengetahuan masyarakat adat, masalah eksploitasi buruh dan hak-hak berserikat bagi
kaum buruh serta banyak masalah lainnya yang tidak muncul di tahun 1970an
14
13
M. Hidayat Rahz, Menuju Masyarakat Terbuka, Yogyakarta: Insist Press Desember 1999, hlm.14-16
. Sejumlah aktivis LSM bahkan mulai mengkhususkan diri melakukan kerja advokasi
politik untuk perubahan kebijakan yang dalam banyak manifestasinya dilakukan dengan membuat pelbagai macam statement politik, petisi, lobbi, protes dan
demonstrasi.
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
Di Sumatera Utara, gaung LSM baru mulai kedengaran pada dekade tahun 80- an. Ketika itu belum banyak lembaga yang lahir. Kebanyakan lembaga yang ada,
masih mengatasnamakan agama di bawah divisi pelayanan dan pengembangan masyarakat pada semua sekte gereja yang ada di Sumut. Paling tidak, bersamaan
dengan berlangsungnya pertemuan aktifis LSM di Sumatera Utara pada tanggal 13-15 Januari 1980 di zentrum GKPS Pematang Siantar
15
Seperti yang dibahas dalam bab sebelumnya tentang kebijakan pemerintahan Orba yang cenderung memposisikan rakyat sebagai objek pembangunan atau bersifat
top down. Dimana program-program pembangunan tidak memahami atau menyentuh persoalan rakyat. Hal itulah yang dirasakan oleh warga di Tapanuli Utara. Taput bila
dibandingkan dengan daerah lain di Kawasan Pantai Barat khususnya bila dibandingkan dengan daerah-daerah di kawasan pantai Timur Sumatera Utara
sangatlah tergolong miskin. Hal ini sudah menjadi isu nasional apalagi setelah salah satu harian surat kabar nasional memuat berita tentang Tapanuli sebagai “Peta
Kemiskinan” pada tahun 1982. Kemudian hal tersebut didukung serta diperkuat oleh akademisi Batak, perantau asal Tapanuli, serta pejabat pemerintah.
. Setelah itu bermunculan dimana- mana, baik yang ditumbuhkan oleh sementara kalangan gereja, aktifis kampus dan
aktifis organisasi lain yang merasa sudah jenuh dengan sistem yang berlaku. Bentuk kegiatan yang dipilih untuk mewujudkan komitmen keberpihakannya sangat
beranekaragam. Ada yang memilih bidang pertanian, teknologi tepat guna, koperasi, anak kreatif,gelandangan, keterampilan wanita, dan sebagainya.
3.3 Tapanuli Sebagai Peta Kemiskinan