Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
BAB II Gambaran Umum Penelitian
2.1 Letak Geografis
Wilayah dataran tinggi Toba terdiri dari areal pertanian yang dihuni oleh kelompok etnik Batak Toba. Tanah Batak yang dimaksud disini adalah daerah yang
didiami oleh masyarakat Batak di sekitar Danau toba atau dalam pengertian administratifnya pada waktu pemerintahan Belanda dikenal dengan sebutan Residensi
Tapanuli. Pada masa pemerintahan RI dewasa ini Keresidenan Tapanuli terbagi menjadi beberapa kabupaten salah satu kabupaten tersebut ialah Kabupaten Tapanuli
Utara dengan ibukotanya Tarutung. Adapun faktor geografis dalam penulisan sejarah adalah merupakan suatu hal
yang tidak boleh diabaikan. Sebab dengan melihat dan menganalisis daerah yang akan diteliti, maka akan diperoleh berbagai aktifitas yang pernah terjadi di daerah itu serta
latar belakang historisnya. Kenyataan ini dikuatkan oleh Louis Gottschalk yang menyatakan bahwa, cerita sejarah baru dianggap benar jika pengungkapan sejarah
disertai dengan menyebutkan daerah tempat kejadian sejarah itu.
8
2.2 Keadaan Masyarakat
Luas daerah Kabupaten Tapanuli Utara mencapai 13.877 km2 yang diperintah oleh seorang Bupati. Di daerah dataran rendah penduduk mengusahakan tanaman
padi, sedangkan di daerah yang berbukit-bukit mereka mengusakan tanaman-tanaman keras seperti kopi, cengkeh, kemenyan, dan sebagainya.
8
Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1875, hal.151.
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
Etnik Batak Toba di dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat mempunyai sistem adat istiadat yang disebut Dalihan Na Tolu. Fungsi adat Dalihan
Na Tolu ini sebagai sosial kontrol bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Etnik ini dikenal sebagai etnik yang selalu menyelenggarakan berbagai upacara adat baik yang
mengenai hal-hal yang bersifat religius seperti penggalian tulang belulang para arwah nenek moyang, perkawinan, pesta tugu, dan sebagainya. Pada saat upacara
berlangsung fungsi Dalihan Na Tolu mempunyai peranan yang sangat besar. Karena adat Dalihan Na Tolu adalah dasar eksistensi sosiologis masyarakat Batak yang
terwujud berdasarkan keyakinan akan suatu totalitas dari berbagai unsur yang
berbeda. Pandangan ini didasarkan kepada keyakinan terhadap kosmos. Di dalam
Dalihan Na Tolu setiap marga mempunyai posisi masing-masing, tetapi kesemuanya menunjuk kepada keharmonisan.
9
1. Daerah yang paling rendah kedudukan wilayahnya disebut huta atau desa.
Huta ini biasanya dihuni oleh satu marga yaitu marga yang pertama sekali membuka huta tersebut. Huta atau desa dipimpin oleh Raja Huta.
Masuknya pengaruh asing ke daerah Batak Toba memberi warna tersendiri bagi kehiupan masyarakat etnik Batak Toba. hal ini ditandai dengan masuknya
pengaruh agama Kristen yang dibawa oleh zending Jerman yaitu Rheinische Mission Gessellchaft.
Masyarakat etnik Batak Toba, ikatan kekerabatannya menggunakan sistem patrilineal. Masyarakatnya saling tolong-menolong di dalam suka dan duka sesuai
dengan ciri khas masyarakat Indonesia yaitu bersifat gotong-royong. Untuk mengatur masyarakat di dalam suatu ruang lingkup tertentu yaitu daerah, maka daerah di Tanah
Batak secara traditional terbagi atas tiga wilayah yaitu:
9
M. Simaremare, Mengenal Kebudayaan Batak Dalihan Na Tolu. Yogyakarta, 1976, hlm. 16.
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
2. Horja, merupakan sebuah dewan atau gabungan dari beberapa desa yang
anggotanya terdiri dari raja-raja huta yang ketuanya disebut dengan raja doli. Dewasa ini kedudukannya kira-kira dapat disamakan dengan wilayah
kecamatan yang membawahi beberapa buah huta. Pimpinan sebuah horja diangkat berdasarkan pemilihan dari raja-raja huta.
3. Wilayah yang paling luas adalah bius yaitu merupakan gabungan dari tujuh
buah horja. Bius sebagai kumpulan horja, pengetuanya dinamakan raja ihutan.
Semua pembagian yang telah dilakukan di atas pada dasarnya mengikut pada hokum adat Dalihan Na Tolu. Setiap ketua baik horja, huta, dan bius tidak diberi
upah atau gaji atas jabatan yang disandangnya itu. Sebab jabatan yang mereka pegang hanyalah jabatan formalitas saja. Bagi orang Batak setiap individu mempunyai
kebebasan dan kemerdekaan sendiri. Jadi, para ketua di wilayah masing-masing menghidupi dirinya dari hasil pertanian yang dikelolanya. Oleh karena itu di tanah
Batak tidak akan pernah dijumpai susunan organisasi kekuasaan atau pemerintahan sebagaimana terdapat dalam suatu kerajaan. Sama halnya dengan onan atau pekan
bukan sebagai pusat pemerintahan, melainkan hanya sebagai tempat pertemuan. Keadaan ini sangat berlainan dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Indonesia
yang menempatkan pusat kota sebagai pusat pemerintahan. Sejak kemerdekaan bangsa Indonesia keadaan masyarakat mengalami
perubahan. Peraturan yang berlaku tidak lagi menurut hukum adat, melainkan menurut undang-undang yang berlaku dalam pemerintahan Negara Republik
Indonesia. Hal ini sejalan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia yaitu masyarakat adil makmur dan sejahtera.
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
2.3 Latar Belakang Historis