Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
pemeliharaan ternak. Masyarakat etnik Batak Toba dinilai banyak harta jika ia mempunyai tanah yang luas serta banyak memiliki ternak peliharaan. Untuk
memperoleh hasil tambahan bagi memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka juga giat mencari getah damar di hutan-hutan dan menenun ulos atau kain dan membuat
alat-alat rumah tangga bagi keperluan hidup mereka.
2.4 Sistem Kepemimpinan Masyarakat
Etnik Batak Toba yang mendiami daerah Tapanuli bagian utara merupakan masyarakat yang homogen. Pada masyarakat Batak Toba ini tidak dikenal suatu
pemerintahan yang berkuasa mutlak. Setiap huta atau kampung mempunyai kekuasaan sendiri dan hidup merdeka. Bius yang diangkat dari ketua horja hanyalah
dianggap sebagai pemimpin formalitas saja. Masyarakat yang mendiami satu huta di dalam memutuskan suatu kebijakan baru terlebih dulu bermusyawarah dengan warga
huta. Fungsi kepala huta hanyalah memberikan pengarahan dan akhirnya memutuskan segala sesuatu yang telah diputuskan bersama.
Dari gambaran di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa sistem kemasyarakatan di daerah Tapanuli Utara menggunakan sistem masyarakat tradisional
dan untuk meneruskan garis keturunan mereka masih memakai sistem kebebasan atau pada masa sekarang disebut dengan demokrasi.
Sistem kepemimpinan dalam masyarakat etnik Toba perlu diketahui agar dapat dipahami bagaimana bentuk organisasi masyarakat yang ada di daerah itu dalam
usaha membentuk suatu masyarakat. Pengungkapan ini akan berguna untuk mencari latar belakang pandangan hidup yang mendasari tingkah laku masyarakat etnik Batak
Toba. Di dalam masyarakat etnik Batak Toba ada dikenal stratifikasi masyarakat atau pelapisan sosial masyarakat. Pelapisan sosial pada masyarakat etnik Toba yang ada di
daerah Tapanuli Utara tidak setajam seperti yang terdapat di daerah-daerah dalam
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
bentuk kerajaan. Kelas paling rendah pada masyarakat etnik Toba ialah kelas hatoban atau budak. Penyandang hatoban ada dua kategori yaitu:
1. Budak yang kalah perang dinamakan parratean
2. Budak yang tidak dapat mengembalikan hutang yang dipinjamnya disebut
dengan taban-tabanan.
10
Untuk membedakan antara masyarakat biasa dengan golongan budak, maka setiap rumah yang penghuninya seorang budak, maka tangga rumahnya boleh terbuat
dari batu, melainkan harus terbuat dari kayu meskipun ia telah menjadi kaya raya. Akan tetapi pada masyarakat Taput, tidak lagi mengenal seperti yang dilakukan pada
waktu dulu. Seseorang yang mempunyai pendidikan yang layak itulah yang dapat mengangkat harkat dan martabat bagi dirinya untuk kebebasan marganya.
Pergantian struktur sistem masyarakat bagi etnik Batak Toba diakibatkan oleh masuknya inovasi yang dibawa oleh Belanda. Sebelum kedatangan bangsa Belanda,
birokrasi dipegang oleh etnik Batak yang dipilih berdasarkan musyawarah. Pemimpin yang terpilih ditentukan oleh ascribed status, yaitu kedudukan yang diperoleh dengan
sendirinya akibat pengaruh asal usul. Ketika Belanda telah berkuasa sistem birokrasi ditentukan oleh bangsa Belanda dengan melihat dan mempertimbangkan faktor
achieved status, yaitu kedudukan berdasarkan kecakapan, sehingga bentuk birokrasi berubah dan terjadi pergeseran otoritas dari kekuasaan yang terbentuk tradisional
menjadi rasional legal. Perubahan bentuk birokrasi ini menyebabkan munculnya penguasa-penguasa
baru yang tunduk dan patuh kepada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Terjadinya perubahan struktur di Tanah Batak berakibat pada munculnya
10
Forum komunikasi Eks Territorium VII Komando Sumatera Utara, Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara. Jakarta:1979, hal.39.
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
lapisan-lapisan baru yang selama ini berada di kelas bawah menjadi lapisan atas. Demikian pula sebaliknya.
Perubahan dan inovasi telah berlangsung di daerah Tapanuli umumnya dan daerah Tanah Batak Toba pada khususnya. Hal ini sangat berpengaruh bagi
masyarakat, sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat terhadap inovasi yang dibawa oleh bangsa Belanda iu. Dengan demikian di Tanah Batak terjadi
penggolongan masyarakat setelah terjadinya inovasi itu menjadi tiga golongan . Golongan yang pertama, masyarakat yang mau menerima inovasi yang dibawa oleh
Belanda. Pada umumnya golongan pertama ini adalah orang-orang yang tidak memperoleh kedudukan semasa belum berkuasanya pihak pemerintah Belanda.
Masuknya Belanda ke daerah Batak Toba menumbangkan dominasi yang selama ini dipegang oleh kekuasaan tradisional, sehingga beralihlah kekuasaan dipegang oleh
orang-orang yang mempunyai pendidikan cukup memadai. Golongan kedua, golongan yang menolak inovasi yang dilakukan oleh bangsa Belanda. Golongan ini
adalah pengikut setia dari Si Singamangaraja yang dianggap mereka masih hidup sepanjang aman sebagai pelindung mereka dalam suka dan duka. Terakhir, golongan
ketiga yaitu masyarakat yang melihat situasi di daerah tanah Batak tidak mungkin lagi dipertahankan dari pengaruh dominasi bangsa asing, mau tidak mau harus menerima
keadaan ini. Golongan inilah yang dimaksud dengan golongan ketiga yaitu orang- orang yang beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang sedang
berlangsung di daerah Batak Toba.
2.5 Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Batak Toba