Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
BAB IV TANTANGAN KSPPM DALAM PENDAMPINGAN MASYARAKAT
4.1 Dampak Konflik HKBP Terhadap Pengorganisasian KSPPM
Setelah HKBP mendapat kemandirian, dimana kepemimimpinan kepengurusan HKBP dipimpin oleh putra Batak ternyata perjalanannya kemudian
dipenuhi dengan dinamika. Mulai dari tahun 1946 HKI memisahkan diri kemudian GKPI menyusul memisahkan diri dari HKBP tahun 1962. Sedangkan pada tahun 1964
HKBP berbahasa Simalungun memandirikan diri dan membentuk GKPS. Sejak jaman purba, menurut Ghigaan penulis Barat orang Batak Toba selalu
terlibat konflik antar desa, antar marga-marga bahkan sesama marga.
33
33
Bungaran A. Simanjuntak, Gereja di Pentas Politik: Belajar Dari Kasus HKBP, Yakoma PGI: Jakarta, 1997.hal.44.
Konflik tersebut juga berlangsung di masa berikutnya. Karena seringnya konflik itu terjadi
orang berkesimpulan bahwa orang Batak tukang berkelahi. Argumen tersebut
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
diperkuat melalui konflik atau perkelahian yang terjadi dalam sebuah komunitas atau lembaga gereja yang didalamnya adalah orang Batak Toba.
Konflik yang kemudian berlangsung di HKBP, yang mengganggu ketenteraman jemaat HKBP dan masyarakat lainnya adalah konflik pada tahun 1992.
Walaupun konflik ini nantinya tidak berujung dengan perpecahan seperti konflik- konflik sebelumnya yang terjadi di HKBP. Konflik sebenarnya dimulai pada tahun
1987 setelah terjadinya gempa yang cukup kuat di Taput yang menelan korban jiwa dan kerugian materi. Atas rasa simpati melihat kejadian di kampung halaman
mendorong sejumlah warga HKBP di Jakarta berangkat ke Tapanuli Utara. Rombongan ini diberi nama Tim Evangelisasi Nehemia TEN dengan melibatkan
para pendeta di HKBP. Kegiatan TEN di Taput berupa penguatan iman bagi warga Kristen. Sebahagian pelayan di HKBP tidak tinggal diam melihat keberanian kegiatan
TEN tersebut. Sebelas pendeta HKBP bereaksi menuduh TEN membawa dan menyebarkan ajaran sesat di HKBP. Reaksi kesebelas pendeta tersebut langsung
menyudutkan ephorus HKBP . Isu ini sengaja diperbesar untuk mencari simpati jemaat dan pelayan di HKBP yang tujuannya untuk melancarkan serangan terhadap
ephorus dan mendiskreditkannya dengan berbagai tuduhan. Suasana tersebut berlangsung setelah tidak lama pemilihan ephorus HKBP dan yang terpilih adalah
DR.SAE. Nababan setelah pada Sinode Agung SA pada 25-3 Januari 1987. sedangkan kelompok sebelas pendeta dipimpin oleh mantan sekjen HKBP yang gagal
mejadi ephorus pada Sinode Agung 1987 yaitu pdt. PM Sihombing. Memang setelah SAE. Nababan terpilih sebagai ephorus yang baru melalui
Sinode Agung, beliau memiliki keinginan untuk melakukan pembenahan di HKBP sebagai bagian dari upaya mempersiapkan warga memasuki era industrialisasi yang
maju dan modern. Dimana kenyataan-kenyataan sosial, khususnya usaha mengatasi
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
persoalan kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan dan pengrusakan lingkungan hidup merupakan tantangan yang berat yang harus dihadapi oleh periode kepemimpinan
ephorus Nababan
34
Ephorus HKBP sangat kritis terhadap kerusakan hutanlingkungan sehingga petani korban kerusakan lingkungan menjadikan ephorus menjadi tumpuan
pengaduan. . Oleh karena itu semakin bertambah jumlah kelompok-kelompok
yang tidak senang dengan kepemimpinan ephorus yang baru. Hal ini tentunya meningkatkan intensitas perlawanan terhadap ephorus. Sedangkan kelompok pendeta
penentang ephorus dengan berbagai cara mereka menkonsolidasikan perlawanan. Diantaranya dengan gencar melakukan pendekatan kepada penguasa dan pengusaha
karena mereka tidak berakar di tingkat jemaat.
35
Hal tersebut mengundang kebencian PT. IIU terhadap ephorus. Sehingga HKBP dianggap sebagai ancaman bagi kelanggengan usahanya di Taput
dan PT.IIU pun turut membiayai kelompok-kelompok yang berusaha mendiskreditkan kepemimpinan dan merongrong HKBP.
36
34
Hetty Siregar ed, “Mencari Keseimbangan: 60 tahun Pdt.Dr. SAE.Nababan LID, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1999.hlm.479.
35
Dalam Buletin Prakarsa edisi Mei-Juni 1989.
36
PT. IIU mengaku dan meminta maaf karena telah membiayai kelompok yang ingin merongrong keutuhan HKBP, dalam Krisis HKBP, hal. 61.
Keterlibatan atau campur tangan penguasa secara jelas terlihat dengan dikeluarkannya keputusan Ketua Bakorstanasda Sumatera bagian Utara, No. Skep3
StadaXII1992 oleh Mayjen TNI HR. Pramono yang sekaligus menjabat Pangdam IBB. Isi keputusan tersebut menyatakan mengangkat Pdt. Dr. SM Siahaan menjadi
pejabat ephorus HKBP yang kemudian dengan diselenggarakannya Sinode Agung Istimewa SAI di Hotel Tiara Medan pada 11-13 Februari 1993 yang mengukuhkan
Pdt. Dr. PWT Simanjuntak sebagai ephorus HKBP dan Pdt.Dr.SM Siahaan sebagai sekretaris jenderal HKBP.
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
Peristiwa SAI dan hari-hari sesudah itu adalah hari-hari penuh teror dan konflik kekerasan dalam tubuh gereja yang memiliki tradisi panjang tersebut. Konflik
yang berbaur antara kepentingan Negara dengan kepentingan sosiokultural orang Batak yang sungguh layak dipahami secara teoritik dalam hubungan antara Negara
dengan masyarakat. Sepanjang sejarah HKBP dengan seluruh konflik yang pernah melibat dirinya, baru kali inilah konflik tersebut melibatkan kekuasaan Negara dan
hegemoni Negara secara langsung, yang berlangsung didalam dinamika kultural orang Batak Toba yang mayoritas anggota HKBP. Kali ini konflik yang terjadi tidak sampai
membuat pemisahan diri dari HKBP seperti konflik-konflik sebelumnya. Namun yang terjadi adalah dua puncuk pimpinan KHBP, dua kubu yang masing-masing
menganggap dirinya sebagai ephorus yang sah. Di satu pihak HKBP yang disahkandiakui Negara dibawah pimpinan ephorus Pdt.Dr.PWT Simanjuntak dan
sekjen Pdt.Dr.SM Siahaan, dipihak lain HKBP yang menamakan dirinya berdasarkan aturan dan peraturan pro-konstitusi di bawah pimpinan ephorus Pdt.Dr.SAE
Nababan yang kemudian merumuskan ideologi perlawanannya dengan konsep “Setia Sampai Akhir” SSA.
Menurut tata gereja HKBP, seorang dari luar HKBP tidak berhak mengangkat pemimpin gereja yang diyakini sakral itu. Karenanya intervensi penguasa itu sangat
jelas sangat bertentangan dengan hakikat gereja. Secara internal hidup persekutuan sudah terpolarisasi diantara yang mempertahankan kemandirian gereja dalam
melaksanakan panggilan suci keagamaan sesuai aturan dan peraturan HKBP dengan yang menerima begitu saja campur tangan pihak luar terhadap dinamika kehidupan
gereja. Di pihak pro-konstitusi terus melakukan protes penolakan-penolakan terhadap campur tangan pemerintah tersebut melalui Bakorstanasda Sumbagut. Jemaat dan
pelayan HKBP tersebut melakukan demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi untuk
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
menolak keputusan tersebut kepada gubernur dan selanjutnya ke Makodam IBB pada 28 Desember 1992. tetapi tetap saja tidak digubris oleh pemerintah.
Aksi-aksi protes terhadap penolakan keputusan tersebut disambut pemerintah dengan tindakan-tindakan kekerasan, penahanan, penganiayaan, intimidasi dan teror.
Tindakan brutal tentara diperlihatkan ketika menduduki Kantor Pusat HKBP dengan menyerang semua orang yang berusaha mempertahankannya.
Konflik HKBP yang berlangsung setelah campur tangan penguasa, ternyata menimbulkan pengaruh yang luas dalam kehidupan sosial masyarakat Batak.
Khususnya di Taput. Hal ini disebabkan oleh adanya polarisasi sikap menyangkut pengangkatan ephorus. Sehingga membawa masyarakat Batak terseret ke dalam
retaknya hubungan kekerabatan. Tatanan masyarakat Batak yang merujuk pada falsafah Dalihan Na Tolu
37
KSPPM yang sebahagian besar dampingannya berada di Taput dan mayoritas adalah jemaat HKBP ternyata juga terkena dampak krisis tersebut. Pengorganisasian
petani sebelum terjadinya krisis belum mengakibatkan perpecahan ditingkat petani. Tetapi setelah konflik tersebut terjadi, petani yang berbeda pandangan antara pro
“SSA” dengan pro “SAI” menyulitkan staf KSPPM dalam melakukan pengorganisasian.
mengalami perpecahan yang berakibat pada berbagai sendi kehidupan. Misalnya upacara adat pernikahan, pemakaman dan pesta adat
lainnya tidak lagi hanya ditentukan oleh keterikatan hubungan kekerabatan itu. Justru ditentukan oleh pandangan, sikap dan tindakannya atas krisis HKBP.
38
37
Tungku nan tiga, yang terdiri dari Hula-hula, boru, dan dongan tubu.
Bahkan tidak sedikit petani mengundurkan diri dari pendampingan KSPPM. Hal ini disebabkan oleh adanya isu yang sengaja dibuat
dimana KSPPM diisukan dekat dengan kelompok “SSA” bahkan sampai diisukan KSPPM ikut terlibat dalam memulai konflik.. Pada saat terjadinya konflik tersebut
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
dimana banyak memakan korban kekerasan khususnya dari pihak pendukung “SSA” datang sendiri ke kantor KSPPM untuk meminta pertolongan atau perlindungan.
Inilah salah satu penyebab munculnya isu tersebut. Padahal KSPPM tidak memihak kepada salah satu kelompok.
39
Kelompok Sugapa dampingan KSPPM yang terkenal dengan kegigihan perjuangan mereka karena kuatnya persatuan, ternyata bisa pecah akibat konflik
dalam dalam tubuh gereja. Dari 10 KK, hanya enam KK yang masih gigih untuk menghidupkan kelompok tani Sugapa ini. Sebahagian ada juga kelompok yang bubar
akibat konflik gereja tersebut karena alasan takut. Misalnya kelompok Bakara wilayah Humbang Silindung yang bubar dan tidak mau lagi berhubungan dengan KSPPM.
Bagi kelompok yang pecah, takut berhubungan dengan KSPPM. Hal ini disebabkan karena telah muncul isu kalau KSPPM memihak salah satu gereja yang berkonflik.
Apalagi setelah harian Sinar Indonesia Baru SIB memuat berita tentang keterlibatan KSPPM dalam konflik HKBP.
40
Kekuasaan yang cenderung otoriter dan refresif muncul dalam pemerintahan Orba. Negara menggunakan paksaan dengan mengatasnamakan consensus dan
legitimasi umum, dimana kekuasaan itu mewujud berupa kemampuan menciptakan kekerasan secara massif, teratur, dan memonopoli hak untuk menciptakan kekerasan
dalam berbagai wujudnya. Sekaligus hal ini menunjukkan bagaimana Negara sangat berkuasa bila ibandingkan dengan kekuasaan yang dimiliki rakyat. Hal ini terwujud
karena sosoknya yang berupa sistem politik birokratik otoriter yang ditandai oleh
4.2 Pelarangan Kegiatan KSPPM