Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
2.3 Latar Belakang Historis
Wilayah tanah Batak yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dewasa ini sebelum bangsa Belanda dapat menguasainya pada tahun
1907 yang ditandai dengan wafatnya Si Singamangaraja XII merupakan daerah yang aman dan tenteram. Si Singamangaraja sendiri selain dianggap sebagai raja ia juga
ditabalkan sebagai imam bagi etnik Batak Toba. Meskipun yang dimaksud dengan gelar raja disini hanyalah sebagai gelar kehormatan. Jadi, bukan seperti gelar raja
yang terdapat di suatu kerajaan. Imam berarti suatu penghargaan yang begitu tinggi. Penyandang gelar ini dianggap oleh masyarakat sebagai utusan Mula Jadi Na Bolon
Dewa tertinggi di dalam kepercayaan orang Batak yang menganut parmalim. Imam mempunyai tugas sebagai penyampai pesan dari dewa dan juga menjadi wakil
masyarakat yang ingin berhubungan dengan dewa mereka. Pada tahun 1825 orang-orang yang berasal dari Minangkabau mengadakan
invasi ke daerah tanah Batak untuk mengislamkan mereka. Pengislaman ini dipimpin oleh Tuanku Rao, sedangkan masyarakat etnik Batak yang berasal dari sana ikut
memimpin pengislaman adalah Si Pongki Nangolngolan keponakan Si Singamangaraja. Pengislaman ini tidak berhasil secara keseluruhan, sebab pada waktu
itu di Sumatera Barat sedang berkobar pula perlawanan rakyat Minangkabau melawan Belanda yang dikenal dengan nama Perang Paderi. Terjadinya invasi yang dilakukan
oleh orang-orang Minangkabau mengakibatkan kesengsaraan pada masyarakat Batak. Efek yang ditimbulkan itu adalah timbulnya wabah penyakit akibat banyaknya korban
yang meninggal, kelaparan, dan menjadikan orang Batak selalu curiga terhadap para pendatang baru.
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
Pada tahun 1834 tanah Batak didatangi pula oleh dua orang missionaris dari Amerika yang bernama Munson dan Lyman. Tetapi oleh karena orang-orang Batak
Toba yang telah membenci setiap para pendatang, maka kedua pendeta ini dibunuh oleh raja Panggalamei di Lobu Pining pada tanggal 28 Juli 1834.
Masuknya pengaruh Belanda di tanah Batak, ketika Si Singamangaraja XII dapat dibunuh mereka. Maka sejak itu pula tanah Batak dikuasai oleh Belanda.
Bangsa Belanda dapat menguasai dan menaklukkan tanah Batak berkat kelihaian dan kepintaran Van der Tuuk mempelajari adat istiadat Batak serta mempelajari bahasa
Batak yang kemudian menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak Toba. Berhasilnya Injil diterjemahkan ke dalam bahasa Batak Toba, maka masyarakat dapat mengetahui
arti dan ajaran yang dikandung di dalam agama Kristen. Masuknya pengaruh bangsa Belanda ini sebenarnya tidak semua rakyat
menyukainya. Hal ini terbukti dengan meletusnya pemberontakan Parhudamdam pada tahun 1916-1918. tetapi semuanya dapat dipadamkan oleh bangsa Belanda
melalui taktik devide et impera serta persenjataan mereka yang lebih lengkap dari peralatan senjata rakyat di Tanah Batak.
Masyarakat etnik Batak yang mendiami dataran tinggi Toba disebut dengan orang Batak Toba. Sistem kekerabatan mereka mengenal hula-hula, anak boru, dan
dongan sabutuha yang tercakup di dalam Dalihan Na Tolu atau tiga tungku. Hula- hula adalah ikatan kekerabatan dari pihak isteri. Anak boru, ikatan dari pihak saudara
perempuan suami, sedangkan dongan sabutuha adalah ikatan kekeluargaan dari piak suami.
Masyarakat Batak Toba meskipun mereka menganut paham kemerdekaan, tetapi di dalam kenyataannya mereka mengenal pula stratifikasi atau pelapisan sosial
di dalam masyarakat. Dalam hal ini ada tiga lapisan di dalam masyarakat yaitu:
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
1. Raja, yaitu orang-orang yang diangkat oleh masyarakat sebagai ketua di huta.
2. Masyarakat petani.
3. Budak, yaitu orang-orang yang kalah dalam peperangan antar huta.
Terdapat keunikan dalam masyarakat Batak, bahwa keduukan seseorang lebih tinggi di dalam Dalihan Na Tolu daripada kedudukannya sendiri berdasarkan
kedudukannya berdasarkan masyarakatnya. Maksudnya, jika seseorang bagaimanapun rendahnya kedudukannya di dalam, masyarakat tetapi jika di dalam Dalihan Na Tolu
ia menyandang gelar sebagai hula-hula, maka raja sekalipun yang berkedudukan sebagai anak boru pada suatu upacara adat maka mau tidak mau raja tersebut harus
menghormati budak itu. Sebab fungsi si budak ketika itu sebagai hula-hula. Selain penggolongan masyarakat di atas dikenal pula beberapa penggolongan
berdasarkan perbedaan usia, perbedaan pangkat, dan perbedaan sifat keaslian. Penggolongan itu dapat pula diartikan menjadi pembagian menurut orang tua,
setengah tua dan orang muda. Ketiga-tiganya kelihatan jelas jika berlangsung upacara-upacara adat. Sebagai contoh orang tua dalam upacara merupakan pemberi
saran, setengah tua yang melaksanakan upacara, sedangkan bagi orang muda tidak memegang peranan apa-apa.
Penggolongan masyarakat berdasarkan kepada perbedaan pangkat dapat dilihat dengan adanya orang yang berpangkat tinggi misalnya kepala hutadesa dan
masyarakat biasa seperti petani dan pedagang. Masyarakat yang paling rendah adalah golongan budak.
Masyarakat etnik Batak Toba di dalam menopang kehidupannya pada umumnya berasal dari hasil pertanian yang mereka usahakan. Pengelolaannya
dilakukan dengan cara yang masih sederhana sekali dan bersifat tradisional dengan menggunakan tenaga manusia dan hewan. Selain itu mereka juga mengusahakan
Roganda P. Simanjuntak : Peran KSPPM Dalam Membangun Prakarsa Masyarakat Di Tapanuli Utara 1985 – 1994, 2009.
pemeliharaan ternak. Masyarakat etnik Batak Toba dinilai banyak harta jika ia mempunyai tanah yang luas serta banyak memiliki ternak peliharaan. Untuk
memperoleh hasil tambahan bagi memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka juga giat mencari getah damar di hutan-hutan dan menenun ulos atau kain dan membuat
alat-alat rumah tangga bagi keperluan hidup mereka.
2.4 Sistem Kepemimpinan Masyarakat