Host Penjamu Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis
17
adalah laki-laki. Penelitian Armandari 2005 juga menunjukkan bahwa penderita Leptospirosis sebagian besar adalah laki-laki yaitu 53.
Sedangkan penelitian Manurung 2006 menunjukkan penderita Leptospirosis sebagian besar adalah perempuan yaitu sebesa 66,8
c. Pengetahuan Notoatmodjo 2003 menyebutkan bahwa pengetahuan adalah
suatu faktor predisposisi seseorang atau masyarakat terhadap kesehatan. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Orang yang mempunyai pengetahuan yang baik terntang suatu penyakit maka kemungkinan besar akan
memcegah terjadinya penyakit tersebut. Dari teori ini bisa dikatakan bahwa pengetahuan mempengaruhi terhadap kejadian penyakit termasuk
penyakit Leptospirosis. Rahim, dkk 2012 menyebutkan bahwa survei pengetahuan
merupakan strategi umum untuk mengumpulkan informasi dan menilai praktek kerja yang aman atau upaya pencegahan di antara populasi
beresiko. Survei pengetahuan juga bisa digunakan untuk mengevaluasi program yang ada dan untuk mengidentifikasi strategi yang efektif untuk
perubahan perilaku .
Arikunto 2010 berpendapat bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat diketahui dengan menggunakan skala pengukuran yang bersifat
kualitatif. Tingkat pengetahuan tersebut terdiri dari: 1. Baik : hasil 76 -100
18
2. Cukup : hasil 56 -75 3.
Kurang : hasil ≤ 55 Penelitian Arau´ jo, dkk 2013 menunjukkan bahwa dari 257
orang yang diwawancarai, 232 90,3 sebelumnya pernah mendengar tentang Leptospirosis. penelitian ini juga sejalan dengan Penelitian
Armandari 2005 menunjukkan bahwa penderita Leptospirosis yang memiliki pengetahuan tinggi lebih sebesar yaitu 48 orang 50,5.
Penelitian Wiwanitkit 2006 yang menunjukkan bahwa 80 penderita Leptospirosis memiliki pengetahuan rendah.
Penelitian Okatini 2007 menunjukkan adanya hubungan tingkat antara pengetahuan dengan
kejadian Leptospirosis yaitu dengan pvalue 0,000. Penelitian Armandari 2005 menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan pvalue 0,000 dan OR 17,65. d. Pekerjaan
Salah satu faktor risiko Leptospirosis adalalah berasal dari pekerjaan WHO, 2011. Kelompok Pekerja yang bekerja sebagai dokter
hewan, peternak, tukang potong daging, pekerja pengendali jumlah tikus, petani padi dan tebu, pekerja tambang, nelayan, tentara dan pekerja lain
yang sering kontak langsung dengan hewan merupakan kelompok yang berisiko terhadap kejadian Leptospirosis Chin, 2009.
Hal ini terkait dengan penularan langsung, dimana pekerja tersebut memiliki kemungkinan yang besar bersentuhan dengan cairan tubuh atau
urin dari hewan yang terinfeksi Leptospirosis. Sedangkan petani, militer
19
dan atlet olah raga air berisiko terkena infeksi Leptospirosis secara tidak langsung yaitu dari lingkungan atau air dan tanah yang terkontaminasi
Depkes RI, 2008. Penelitian Ketaren 2007 menunjukkan bahwa sebagian besar
penderita Leptospirosis mempunyai pekerjaan tidak berisiko yaitu 93,9. Penelitian Rejeki 2005 juga menyebutkan bahwa sebagian besar
penderita Leptospirosis memiliki pekerjaan tidak berisiko yaitu sebanyak 92. Penelitian Manurung 2006 menyebutkan penderita yang memiliki
pekerjaan tidak berisiko sebanyak 91,5. Dan Penelitian Armandari 2005 menunjukkan penderita Leptospirosis memiliki pekerjaan tidak
berisiko sebesar 98,9. Berdasarkan analisis bivariat,
hasil penelitian dari Marunung 2006 menunjukkan bahwa pekerjaan tidak berhubungan dengan kejadian
Leptospirosis, yaitu dengan nilai p=0,78. Penelitian Armandari 2005 menyebutkan bahwa responden dengan pekerjaan berisiko mempunyai
risiko untuk mengalami Leptospirosis sebesar 0,24 kali. Penelitian Priyanto menunjukkan bahwa pekerjaan berisiko untuk terjadinya
Leptospirosis yaitu dengan nilai pvalue= 0,001 OR=17,36. e. Riwayat Luka
Depkes RI 2013 menyebutkan bahwa salah satu cara bakteri Leptospira masuk ke tubuh manusia adalah melalui kulit yang lecet atau
luka. Hal ini sesuai dengan WHO 2014 yang menyebutkan bahwa bakteri Leptospira masuk ke tubuh manusia dapat melalui luka atau lecet
20
pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi dan air yang terkontaminasi
dengan urin hewan yang terinfeksi. Depkes RI 2005 infeksi dengan leptospira umumnya berlangsung melalui luka atau erosi pada kulit
maupun selaput lendir, namun infeksi juga dapat berlangsung melalui kulit utuh yang terpapar dalam waktu cukup lama dengan genangan air
yang terkontaminasi. Depkes RI 2008 juga menyebutkan bahwa masuknya bakteri
Leptospira dapat melalui permukaan mukosa misalnya melalui luka abrasi, mukosa cavitas buccaelbuccal cavity, saluran hidung atau
conjunctiva. Kuman Leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai dengan adanya demam dan berkembang pada target organ serta
akan menunjukkan gejala infeksi pada organ tersebut. Gambaran klinis akan bervariasi tergantung dari kondisi manusianya, spesies hewan pada
umurnya. Bakteri Leptospira ini beberapa hari akan tinggal pada organ seperti hati, limpa, ginjal dengan ditandai perubahan patologis.
Mekanisme imunitas akan aktif apabila kuman menjalar ke jaringan hati dan ginjal serta berada di tubular ginjal.
Penelitian Cahyati 2009 yang menunjukkan bahwa dari 15 responden yang menderita Leptospirosis 80.
Penelitian Cahyati 2009 ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat adanya luka
dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 6,000. Penelitian Prastiwi 2012 dan Maesyarokh 2011 juga menyebutkan
21
riwayat luka berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 10,000. Penelitian Maesyarokh 2011 juga
menyebutkan bahwa riwayat luka berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan OR=5,0
f. Status Pegungsian UU RI No. 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pengungsi adalah
orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak
buruk bencana. Menurut Depkes RI 2011 status pengungsian dapat digunakan
untuk pengendalian penyakit yaitu dengan pengamatan penyakit surveilans, promotif, preventif dan pelayanan kesehatan penanganan
kasus yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada maupun di pos
kesehatan yang didirikan dalam rangka penanggulangan bencana. Orang yang mengungsi di tempat yang telah ditentukan akan
lebih mudah di pantau masalah kesehatannya. Dalam kaitannya dengan penyakit Leptospirosis pengungsian dapat digunakan untuk mencegah
atau mengurangi pengungsi untuk kontak dengan air banjir yang ditakutkan terinfeksi bakteri Leptospira.
g. Personal Hygiene Widoyono 2008 menyebutkan bahwa bagian penting dalam
upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular adalah memutuskan rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
22
menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan penjamu. Faktor pencegahan penularan menitikberatkan pada penanggulangan risiko
penyakit seperti lingkungan dan perilaku. Lingkungan yang tidak hygiene dan perilaku individu yang tidak hygiene dapat mempermudah penularan
penyakit. Depkes RI 2008 menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk
mencegah terjadinya Leptospirosis yang dapat dilakukan individu adalah dengan menjaga kebersihan individu personal Hygiene yaitu dengan
cara mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh yang lainnya dengan sabun setelah pergi kesawah dan setelah kontak dengan air banjir. Selain itu
upaya pencegahan lainnya juga bisa dilakukan menutup makanan dan menggunakan Alat Pelindung Diri APD pada saat ingin kontak dengan
air genangan banjir. Salah satu APD yang dapat digunakan adalah memakai alas kaki termasuk sepatu boot dan sarung tangan CDC, 2010.
Seseorang yang tidak melakukan upaya pencegahan maka akan mengakibatkan kemungkinan masuknya bakteri leptospira ke dalam
tubuh akan semakin besar. Bakteri leptospira masuk tubuh melalui pori- pori tubuh terutama kulit kaki dan tangan, melalui selaput lendir,tubuh
yang lecet, den melalui makanan yang terkontaminasi. Penelitian Michael, et.al 2004 menunjukan bahwa t
idak mengenakan sepatu di lapangan berhubungan dengan kejadian
Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 2,17. Penelitian Supraptono dkk 2011 juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara tidak
23
memakai alat pelindung diri dengan kejadian Leptopirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 266,3. Hasil penelitian Priyanto 2009 menunjukkan
bahwa ada kebiasaan mandimencuci di sungai berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 12,24.