Studi EPIDEMIOLOGI Kejadian LEPTOSPIROSIS Pada Saat Banjir Di Kecamatan Cengkareng Periode Januari-Februari 2014

(1)

STUDI EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LEPTOSPIROSIS PADA SAAT BANJIR DI KECAMATAN CENGKARENG PERIODE

JANUARI-FEBRUARI 2014

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH : ANA ERVIANA NIM : 1110101000041

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M


(2)

(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

SKRIPSI, Juli 2014

ANA ERVIANA, NIM 1110101000041

STUDI EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LEPTOSPIROSIS PADA SAAT BANJIR DI KECAMATAN CENGKARENG PERIODE JANUARI-FEBRUARI 2014 (XLiii+ 91 halaman, , 2 gambar, 2 bagan, 3 tabel, 8 lampiran)

ABSTRAK

Leptospirosismemilikidistribusi di seluruh dunia, denganinsiden yang lebih tinggidi daerah beriklimtropis, terutama setelahhujan derasatau banjirakibatbadai (CDC, 2013).Pada bulan Januari-Februari 2014 terjadi banjir di Kecamatan Cengkareng dan pada saatbanjir tersebut dilaporkan terjadi 26 kasus Leptospirosis di Kecamatan Cengkareng dengan CFR sebesar 15,3%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui epidemiologi kejadian Letospirosis pada saat banjir di Kecamatan Cengkareng periode Januari-Februari 2014.

Penelitian menggunakan desain studi kasus dengan sampel semua penderita Leptospirosis (18 orang). Hasil penelitian menunjukkan sebagianbesarpenderita berumur 20-40 tahundan>40 tahunyaitumasing-masing38,9%, laki-laki (72,2%), memilikipekerjaantidakberisiko(72,2%), memiliki riwayat luka (72%), pengetahuan rendah(38,9%), semua penderita tidak mengungsi (100%), danpersonal higienemasih buruk (88,9%). Selain itu ditemukan bahwa semua rumah penderita terdapat tikus (100%), pada lingkungan rumah terdapat sampah (66,7%), tatanan rumah sebagian besar rapi (55,6%). Kondisi selokan/spal sebagian besar baik (72,2%) dan ketersediaan air bersih sebagian besar terpenuhi (88,9%).

Disarankan agar dilakukan promosi kesehatan tentang Leptospirosis oleh kader atau petugas kesehatan atau memasang media promosi terkait Leptospirosis di tempat yang mudah dijangkau masyarakat untuk menambah pengetahuan masyarakat terkait Leptospirosis. masyarakat harus menjaga sanitasi lingkungan dan melakukan personal hygiene yang baik.

Kata Kunci: Epidemiologi, Leptospirosis Daftar Bacaan : 89 literatur (1991-2014)


(4)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

DEPARTEMEN OF EPIDEMIOLOGY UNDERGRADUATED THESIS, 2014 ANA ERVIANA, NIM 1110101000041

EPIDEMIOLOGICAL STUDY OF LEPTOSPIROSISINCIDENT

DURINGFLOODINDISTRICTCENGKARENGPERIOD

JANUARY-FEBRUARY 2014

XLIII + 91 pages,, 2 images, 2 charts, 3 tables, 8 appendix ABSTRACT

Leptospirosis has a worldwide distribution, with a higher incidence in the tropics, especially after heavy rains or flooding due to storm (CDC, 2013). In January and February 2014 floods in Cengkareng sub-district and at the time of the flooding reported 26 cases of leptospirosis in Cengkareng sub-district with a CFR of 15.3%. This study aimed to determine the epidemiology Letospirosis during flood events in the District Cengkareng January-February 2014.

The study uses a case study design with a sample of all patients with leptospirosis (18 people). The results showed the majority of patients aged 20-40 years and> 40 years respectively 38.9%, males (72.2%), having a job is not at risk (72.2%), had a history of injuries (72 %), low knowledge (38.9%), all patients did not evacuate (100%), and personal hygiene is poor (88.9%). In addition it was found that all the patients are rats (100%), the home environment there are garbage (66.7%), most of the neat order houses (55.6%). Conditions gutter / spal mostly good (72.2%) and the availability of clean water is largely achieved (88.9%).

It is recommended that health promotion is done on Leptospirosis by cadres or health workers or installing promotional media related Leptospirosis in an easily accessible place to increase public knowledge society related leptospirosis. society must maintain environmental sanitation and personal hygiene do well.

Keywords: Epidemiology, Leptospirosis Reading List: 89 literature (1991-2014)


(5)

(6)

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Ana Erviana Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, tanggallahir : Jaya Bhakti, 5 Februari 1991 Warganegara : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jaya Bhakti, Kec. Mesuji, Kab. Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan

Telepon : 085664715698

Email : anaerviana@gmail.com

Pendidikan Formal:

1. SDN O4 Jaya Bhakti (1998-2004)

2. MTS Nurul Golam Lempuing (2004-2007) 3. MAN 3 Palembang (2007-2010)

4. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Kesehtaan Masyarakat Peminatan Epidemiologi (2010-2014)


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat berkat taufik dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul “Studi Epidemiologi Kejadian Leptospirosis Pada Saat Banjir Di Kecamatan Cengkareng Periode Januari-Februari 2014”. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat, pada Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangannya. Namun berkat bimbingan ibu Ratri Ciptaningtyas, S. Sn. Kes dan ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes serta dorongan dari berbagai pihak maka hambatan itu sedikit banyak dapat diatasi.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi siapa saja yang memerlukannya. Akhir kata pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak, Ibu, dan semua keluarga yang telah memberikan semangat, motivasi, dan kasih sayang kepada penulis dalam menyelesaikan proposal penelitian ini.

2. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tajudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

3. Febrianti, SP, M,Si selaku ketua program studi Kesehatan Masyarakat. 4. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.kes selaku penanggung jawab

peminatan Epidemiologi.

5. Kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang telah memberikan dukungan dan biaya perkuliahan serta penelitian ini.

6. dr. Indro Murwoko selaku kepala bagian tanggap darutat di Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementrian Kesehatan, dr. Lies selaku petugas Surveilans Dinkes Provinsi Jakarta, Bapak Yosi selaku staf Yankes Sudinkes Jakarta Barat yang telah membantu dalam perizinan dan pengambilan data Leptospirosis.

7. dr. Maryati selaku kepala Puskesmas Kecamatan Cengkareng yang telah memberikan izin dan membantu penulis melakukan penelitian di

Kecamatan Cengkareng. 8. Ibu Susi Susilowati selaku petugas surveilans yang telah membantu dalam

pencarian alamat penderita dan membantu dalam mendapatkan informasi terkait penderita pada saat banjir.

9. Kepada Bapak Maman selaku staf Puskesmas Kedaung Kali Angke yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mendapingi dan mencari alamat penderita pada saat pengambilan data.

10. Kepada Al Syahrulah yang telah membantu dalam proses penyusunan


(10)

11. Kepada Fitria Aryani Susanti, Ayu Wulansari, Fitriani Azhari yang banyak membantu dalam proses pendaftaran sidang dan informasi–informasi peraturan terkait skripsi.

12. Kepada temam-teman Epemiologi 2010 (Kartika Andriani, Karlina Sulistiana, Zata Ismah, Siti Malati Ummah, Rizka Rohmaningtyas, Najah Syamiyah, Fajriati Wahyuningsih, Mayli Faroh Nabila, Nur Lutfiyah, Harun AL Rasyid, Tri Bayu Purnama, Putri Khairina, Wiwid Handayani, Sofwatun Nida dan teman-teman kesehatan masyarakat 2010 yang menjadi teman seperjuangan.

13. Kepada teman-teman angkatan 2010, adik-adik dan kakak-kakak beasiswa Provinsi Sumatera Selatan yang telah mendoakan dan memberikan semangat dalam proses penyelaian skripsi.

14. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan penulis berharap ada kritik atau saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Ciputat, Juli 2014


(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN...i

ABSTRAK...ii

LEMBAR PERSETUJUAN...iv

LEMBAR PENGESAHAN...v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP...vi

KATA PENGANTAR...vii

DAFTAR ISI...x

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN ...xiii

DAFTAR TABEL...ivx

DAFTAR LAMPIRAN...vx

BAB 1 PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...5

1.3 Pertanyaan Penelitian...6

1.4 Tujuan Penelitian...6

1.4.1 Tujuan Umum...6

1.4.2 Tujuan Khusus...6

1.5 Manfaat Penelitian...7

1.5.1 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan...7

1.5.2 Bagi Peneliti...7

1.5.3 Bagi Masyarakat...7

1.6 Ruang Lingkup...7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...9

2.1 Banjir...9


(12)

2.2.1 Definisi dan Patogenesis...9

2.2.2 Reservoir...11

2.2.3 Cara Penularan...11

2.2.4 Diagnosis Klinis dan Laboratoris...12

2.2.5 Pengobatan...12

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis...13

2.3.1 Host...14

2.3.2 Agent...23

2.3.3 Environment...24

2.4 Kerangka Teori...31

BAB 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL...34

3.1 Kerangka Konsep...34

3.2 Definisi Opersional...37

BAB 4 METODOLOGI...46

4.1 Desain Penelitian...46

4.2 Lokasi dan Waktu...46

4.3 Populasi dan Sampel...46

4.4 Pengumpulan Data...47

4.5 Pengolahan Data...49

4.6 Analisis Data...49

BAB 5 HASIL...51

5.1 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host...51

5.2 Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Lingkungan ...52

BAB 6 PEMBAHASAN...55


(13)

6.2 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host...55

6.2.1 Umur...56

6.2.2 Jenis Kelamin...58

6.2.3 Jenis Pekerjaan...59

6.2.4 Riwayat Luka...63

6.2.5 Tingkat Pengetahuan...64

6.2.6 Status Pengungsian...67

6.2.7 Personal Hygiene...70

6.3 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Lingkungan...72

6.3.1 Keberadaan Tikus di Dalam Maupun di Luar Rumah...72

6.3.2 Ketinggian Genangan Air...75

6.3.3 Keberadaan Sampah...79

6.3.4 Tatanan Rumah...81

6.3.5 Kondisi selokan/Sarana Pembuangan Air Limbah...84

6.3.6 Ketersediaan Air Bersih...87

BAB 7 SIMPULAN dan SARAN...89

7.1 Simpulan...89

7.2 Saran...90

DAFTAR PUSTAKA...xvi


(14)

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN

Gambar 2.2 Segitiga Epidemiologi...13

Gambar 2.3 Kotoran Tikus...31

Bagan 2.4 Kerangka Teori...33


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host (Penderita) Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng Periode Januari-Februari tahun 2014...51 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen

Penderita Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng Periode Januari-Februari tahun 2014...52 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen

Lingkungan Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng Periode Januari-Februari 2014...53


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuisioner Penelitian...xxii

Lampiran 2 Persetujuan Penelitian...xxiii

Lampiran 3 Instrumen Penelitian...xxiv

Lampiran 4 Pedoman Wawancara dan Lembar Observasi...xxx

Lampiran 5 Hasil Wawancara Mendalam...xxxi

Lampiran 6 Hasil Observasi...xxxiv

Lampiran 7 Hasil Uji Validitas dan Realibilitas...xxxviii Lampiran 8 Surat Parizinan...xliii


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Leptospirosis merupakan penyakit yang di sebabkan oleh bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira yang menyerang hewan dan manusia (CDC, 2014). Ciri-ciri umum penyakit Leptospirosis adalah demam dengan serangan tiba-tiba, sakit kepala, menggigil, mialgia berat (betis dan kaki), dan merah pada conjungtiva (Chin, 2009).

Leptospirosis termasuk salah satu Neglected Tropical Diaseases (NTDs) yang mendapatkan perhatian serius oleh WHO karena memiliki dampak kesehatan yang cukup signifikan di negara-negara tropis seperti di wilayah Amerika dan Asia (WHO, 2014). Penyakit ini dapat berdampak pada sistem keuangan dampak sosial pada keluarga korban (Colleen, dkk, 2010). Kasus Leptospirosis sering tidak terlaporkan karena memiliki gejala klinis yang tidak spesifik dan seringkali terjadi differential diagnosis (WHO, 2009). Jika Leptospirosis tidak ditangani dengan cepat, maka akan menyebakan kematian pada penderitanya karena bakteri Leptospira akan menyerang hati, ginjal dan otak (WHO, 2014).

Leptospirosis memiliki distribusi di seluruh dunia, dengan insiden yang lebih tinggi di daerah beriklim tropis, terutama setelah hujan deras atau banjir akibat badai (CDC, 2013). Di negara beriklim tropis (hangat), insiden Leptospirosis biasanya terjadi sebanyak 10-100 per 100.000 penduduk setiap


(18)

tahunnya, sedangkan di negara beriklim sedang insiden Leptospirosis lebih sedikit terjadi yaitu 0,1-1 per 100.000 penduduk setiap tahunnya (Pratiwi, 2012).

Penyakit Leptospirosis memiliki insiden tinggi di kawasan Asia Pasifik, Asia Tenggara dan Oceania (William, 2007). Bulan September tahun 2009 pernah terjadi wabah Leptospirosis di Metro Manila, Filipina yaitu dengan jumlah kasus sebanyak 471 kasus dan meninggal sebanyak 51 sehingga Case Fatality Rate (CFR) sebesar 10,8% (CDC, 2011). Wabah besar penyakit pernah dilaporkan di Asia Tenggara yaitu di Orrisa, Mumbai dan Indonesia (Victoriano, et.al, 2009).

Internasional Leptospirosis Society menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan insiden Leptospirosis yang cukup tinggi dan untuk angka kematiannya Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia setelah Uruguay dan India, yaitu dengan angka kematian sebesar 16,7% (WHO, 2004 ). Perkembangan Leptospirosis di Indonesia terjadi secara fluktuatif. Pada tahun 2007, CFR Leptospitosis sebesar 8,2%,, tahun 2008 menurun sebesar 6,0%, tahun 2009 naik kembali menjadi 6,87%, tahun 2010 naik menjadi 10,51%, dan tahun 2011 turun kembali menjadi 9,57% (Depkes RI, 2009, Depkes RI, 2011 dan Depkes RI, 2011).

Daerah persebaran Leptospirosis di Indonesia meliputi Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimatan Timur dan Kalimantan Barat (Depkes, 2008). Daerah dengan jumlah kasus maupun kematian dengan insiden


(19)

tertinggi adalah daerah beberapa daerah yang sering mengalami banjir terutama di DKI Jakarta dan Jawa Tengah (Depkes RI, 2009).

Jakarta merupakan provinsi yang sering terkena banjir. Wilayah Jakarta tidak lepas dari bencana banjir dari sejak awal Jakarta berdiri hingga sekarang (Depkes RI, 2014). Pada tahun 2002, terjadi outbreak Leptospirosis seiring dengan terjadinya banjir besar di Jakarta (WHO 2011). Hasil penelitian di Jakarta selama kurun waktu musim hujan pada bulan Februari sampai bulan April 2002 menyebutkan bahwa CFR Leptospirosis sebesar 19,4% (Armandari, 2005). Pada bulan februari tahun 2007 juga terjadi banjir besar yang mengakibatkan meningkatnya kasus Leptospirosis yaitu dengan CFR sebesar 5,71% (Dwiari, 2007).

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tahun 2014 Jakarta menyebutkan bahwa selama periode Januari-Februari 2014 telah terjadi banjir di Jakarta dan wilayah Jakarta yang paling sering banjir adalah Jakarta Barat, kemudian Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Daerah di Jakarta Barat yang paling sering terkena banjir adalah wilayah kecamatan Cengkareng. Terjadinya banjir ini ditakutkan akan berpengaruh dengan timbulnya penyakit Leptospirosis.

Selama periode tersebut Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta melaporkan kejadian Leptospirosis di Jakarta sebanyak 97 kasus dan 18 meninggal (CFR 18,5%). Dari 97 kasus tersebut, kasus terbanyak terdapat di Jakarta Barat (62 kasus dengan CFR16,1%). Dan dari 62 kasus terbanyak di Jakarta Barat, kasus


(20)

terbanyak di temukan di Kecamatan Cengkareng yaitu sebanyak 26 kasus dengan CFR 15,3%.

Banjir merupakan salah satu media transmisi Leptospira yang berasal dari urin tikus. Air banjir akan membawa Leptospira ke daerah yang lebih luas sehingga bisa dengan mudah masuk ke tubuh manusia melalui kontak dengan air tersebut, melalui luka atau lecet pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi (WHO, 2014 dan Vijayachari, dkk, 2008).

Selain banjir, banyak faktor yang bisa mempengaruhi kejadian Leptospirosis. Faktor yang bisa mempengaruhi kejadian Leptospirosis di antaranya adalah: faktor umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan, riwayat luka, dan personal hygiene (WHO, 2014 dan Depkes RI 2013). Keberadaan tikus, ketinggian air, keberadaan sampah, sarana pembuangan air limbah (SPAL), ketersediaan air bersih, dan status pengungsian juga berpengaruh dengan kejadian Leptospirosis (Depkes RI, 2008; Rejeki, 2005 dan Chin, 2009).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret 2014 ditemukan 18 kasus Leptospirosis di Kecamatan Cengkareng. Dan berdasarkan studi pendahuluan terhadap fakor risiko terhadap 30 responden menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 16 responden (53%) memiliki riwayat luka pada saat banjir, 18 responden (60%) memiliki pengetahuan rendah, 22 rumah responden


(21)

(73,3%) terdapat tikus, dan 22 responden (73,3%) memiliki personal hygiene yang baik.

Melihat kejadian banjir pada bulan Januari-Februari 2014, ditemukannya laporan kasus Leptospirosis, serta berdasarkan hasil studi pendahuluan maka penulis ingin mempelajari lebih dalam mengenai epidemiologi Leptospirosis di Kecamatan Cengkareng Periode Januari-Februari 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Penyakit Leptospirosis masih menjadi masalah di DKI Jakarta khususnya di Kecamatan Cengkareng. Pernah terjadi outbreak Leptospirosis di Jakarta pada tahun 2002 dan 2007 dengan CFR sebesar 19,4% pada tahun 2002 dan 5,7% pada tahun 2007. Terjadinya outbreak ini disebabkan oleh terjadinya banjir pada saat itu. Pada saat terjadi outbreak, wilayah yang paling banyak diitemukan Leptospirosis adalah wilayah Cengkareng.

Pada bulan Januari-Februari 2014 kembali terjadi banjir di Jakarta Khususnya di Kecamatan Cengkareng. Pada saat terjadi banjir ini dilaporkan kejadian Leptospirosis terbanyak ditemukan di Kecamatan Cengkareng yaitu dari 97 kasus yang ditemukan di Jakarta 26 kasus ditemukan di Cengkareng dengan CFR 15,3%. Selain banjir, banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya Leptospirosis. Oleh sebab itu peneliti ingin mempelajari lebih dalam mengenai epidemiologi Leptospirosis di Kecamatan Cengkareng pada saat banjir periode Januari-Februari 2014 tersebut.


(22)

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian Leptospirosis berdasarkan komponen host (umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan, dan riwayat luka, personal hygiene, dan status pengungsian) pada saat banjir di Kecamatan Cengkareng Periode Januari-Februari Tahun 2014?

2. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian Leptospirosis berdasarkan komponen lingkungan (keberadaan tikus, ketinggian genangan air, keberadaan sampah, tatanan rumah, kondisi selokan/got, dan ketersediaan air bersih) pada saat banjir di Kecamatan Cengkareng Periode Januari-Februari Tahun 2014?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui epidemiologi Leptospirosis pada saat banjir di Kecamatan Cengkareng Tahun 2014.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian Leptospirosis berdasarkan komponen host (umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan, dan riwayat luka, personal hygiene, dan status pengungsian) pada saat banjir di Kecamatan Cengkareng periode Januari-Februari Tahun 2014.

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian Leptospirosis berdasarkan komponen lingkungan (keberadaan tikus, ketinggian genangan air, keberadaan sampah, tatanan rumah, kondisi selokan/got,


(23)

dan ketersediaan air bersih) pada saat banjir di Kecamatan Cengkareng periode Januari-Februari Tahun 2014.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan yang bisa digunakan dalam referensi untuk pelaksanaan perkuliahan khususnya perkuliahan yang berkaitan dengan penyakit menular.

1.5.2 Bagi Peneliti

Sebagai pengalaman dalam menyusun karya tulis, melaksanakan dan menulis hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah, serta menambah pengetahuan terkait penerapan studi epidemiologi sebuah penyakit khususnya penyakit Leptospirosis.

1.5.3 Bagi Masyarakat

Sebagai bahan informasi yang berkaitan dengan epidemiologi kejadian Leptospirosis pada saat banjir sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk upaya pencegahan terhadap kasus Leptospirosis

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian bertujuan untuk mengetahui epidemiologi kejadian Leptospirosis pada saat banjir 2014 di Kecamatan Cengkareng wilayah Administrasi Jakarta Barat. Penelitian menggunakan data primer dan sekunder. Data primer berasal dari hasil wawancara kepada masyarakat dan data sekunder


(24)

berupa laporan warga yang terdiagnosis Leptospirosis yaitu berasal dari data Puskesmas Cengkareng. Metode yang digunakan adalah epidemiologi deskriptif dengan desain studi kasus. Sampel adalah semua warga yang terdiagnosis Leptospirosis dan terlaporkan di Puskesmas Cengkareng yaitu sebanyak 18 kasus. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret-Juli 2014 di Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Banjir

Banjir adalah peristiwa terjadinya genangan (limpahan) air di areal tertentu sebagai akibat meluapnya air sungai/danau/laut yang menimbulkan kerugian baik materi maupun non-materi terhadap manusia dan lingkungan seperti rusaknya sanitasi lingkungan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah, tercemarnya sarana sumber air bersih, meluapnya air dari got-got dan sungai-sungai, menyebarnya sampah dan limbah serta tidak berfungsinya jamban dan meluapnya septic tank sehingga dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), diare, penyakit kulit, gastritis dan Leptospirosis (Depkes RI, 2007).

2.2 Leptospirosis

2.2.1 Definisi dan Patogenesis

Menurut Depkes RI (2013), Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen, menyerang hewan dan manusia. Sedangkan zoonosis adalah penyakit yang secara alami dapat di pindahkan dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya.

Patogenesis Leptospirosis masih banyak belum diketahui. Penularan Leptospira pada manusia melalui kontak seperti langsung dengan urin hewan maupun kontak tidak langsung. Masa inkubasi antara 4-19 hari atau dengan rata-rata 10 hari. Kemudian bila manusia yang terinfeksi Leptospira,


(26)

maka Leptospira akan berkembang biak/memperbanyak diri dan menyebar ke organ dan jaringan tubuh. Dengan dijumpainya Leptospira di dalam darah disebut sebagai fase Leptospiremia atau fase pertama. Selama fase ini Leptospira dapat di isolasi dari darah dan cairan cerobropinal (Cerebrospinal Fluid= CSF).

Leptospira mengakibatkan kerusakan pada endotel kapiler yang dapat menyebabkan Vasculitis, dimana sangat berperan pada penyakit ini. Pada Leptospirosis berat, Vasculitis menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga ini dapat mengakibatkan keluarnya cairan karena pembuluh darah bocor serta mengakibatkan penurunan jumlah cairan pembuluh darah. sebagian besar Leptospira akan menginfeksi ginjal dan hati. Leptospira di dalam ginjal akan menyebar ke jaringan interstisial dan jaringan tubulus yang berakibat terjadinya nephiritis interstinal dan nekrosis tubuler (Depkes RI, 2008).

Penurunan jumlah cairan di pembuluh darah yang erat hubungannya dengan dehidrasi atau perubahan permeabilitas kapiler mendukung timbulnya gagal ginjal (renal failure). Pada hati terjadi nekrosis sentrilobuler dan ditemukan proliferase sel kupfer. Pada paru-paru didapatkan lesi vaskuler karena reaksi immunologi dan perdarahan lokal. Pada otot rangka dapat di jumpai pembengkakan vakuolasi myobril dan nekrosis fokal.

Dengan adanya respons imun humoral dan celular, Leptospira akan menghilang atau menurun jumlahnya yang berakibat timbulnya antibodi


(27)

disebut fase imun atau fase kedua. Meskipun demikian Leptospira dapat menetap pada area yang secara immunologis terisolasi, misalnya di dalam tubulus proksimal ginjal, mata, dan mungkin dalam otak. Pada penderita Leptospirosis berat terjadi perbaikan fungsi ginjal dan fungsi hati seperti semula, hal ini terjadi karena tidak didapatkan kerusakan struktur organ tersebut. Untuk fase penyembuhan atau konvalesen atau fase ketiga terjadi pada minggu ke dua sampai dengan ke empat.

2.2.2 Reservoir

Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis adalah Rodent (tikus), babi, sapi, kambing, domb, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat sebagai karier dari Leptospira (Depkes RI, 2008)

2.2.3 Cara Penularan

Manusia terinfeksi Leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur), tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan-hewan penderita Leptospirosis (Depkes RI, 2008). Bakteri Leptospira masuk ke tubuh manusia dapat melalui luka atau lecet pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi (WHO, 2014). Selain itu bakteri ini bisa ditularkan melalui makanan yang terinfeksi dengan urin dan kadang-kadang melalui terhirupnya droplet dari cairan yang terkontaminasi (Chin, 2009).


(28)

2.2.4 Diagnosis klinis dan Laboratoris

Diagnosa Leptospirosis pada manusia ditegakkan dengan melihat gejala-gejala dan tanda-tanda klinis dan diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium. Diagnosa berdasarkan gambaran klinis sulit ditegakkan, karena Leptospirosis anikterik dapat menyerupai penyakit demam lain (infeksi dengue, hanta virus, typod). Gambaran klinik yang penting untuk penderita Leptospirosis adalah: sakit mendadak, demam, dan sakit kepala berat, skin rash, conjunctival, suffusion (mata merah), nyeri otot yang hebat (juga nyeri tekan) terutama di otot belakang, paha, betis, sehingga kadang – kadang penderita mengeluh sukar berjalan dan sakit kepala (Depkes RI, 2013).

Widoyono (2008) menyebutkan bahwa selain pemeriksaan berdasarkan gambaran klinis, Pemeriksaan serologis yang sering digunakan, yitu dengan menggunakan Microscopic Aglutination Test (MAT), Elisa (Enzime Linked Immuno Sorbent Assay), dan Immuno Fluorescent Antibody Test. Pemeriksaan MAT dipergunakan sebagai Gold Standard dalam pemeriksaan serologis karena mempunyai sensitivitas tinggi.

2.2.5 Pengobatan

Depkes RI (2013) menyebutkan bahwa pengobatan terhadap penderita Leptospirosis dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik seperti Penicilin, Streptomycin, Tetracyclin, atau Erithromycin. Dari bermacam-macam antibiotik yang tersebut di atas, pemberian penicilin atau Tetracyclin dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik.


(29)

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis

Bustan (2008) menyebutkan studi epidemiologi adalah sebuah studi yang mempelajari tentang distribusi penyakit atau masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (determinan) yang dimaksud untuk melakukan upaya pencegahan dan perencanaan kesehatan. Dalam studi Epidemiologi dikenal teori Segitiga Epidemiologi oleh John Gordon. Segitiga Epidemiologi merupakan konsep dasar Epidemiologi yang memberikan gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama yang berperan dalam terjadinya penyakit, khususnya penyakit menular. Faktor utama tersebut adalah Faktor Host, Agent dan Environment.

Soejoedono (2008) menyebutkan bahwa penyebaran suatu penyakit di pengaruhi oleh keseimbangan atau interaksi dari tiga faktor dasar Epidemiologi ini. Jika di gambarkan dengan kejadian Leptospirosis maka ketiga faktor tersebut membentuk model sebagai berikut:

Gambar. 2.2 Segitiga Epidemiologi

Sumber: Bustan (2006)

Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akan tercipta kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu komponen


(30)

akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit

2.3.1 Host (Penjamu)

Menurut Bustan (2008), Faktor host (tuan rumah, penjamu) adalah manusia atau mahluk hidup lainnya, termasuk burung, dan antropoda yang menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit. komponen host dapat berupa genetik, umur, jenis kelamin, suku, keadaan fisiologi tubuh, keadaan imunologi, tingkah laku, gaya hidup, personal hygiene dan lain sebagainya.

Adapun komponen host yang berkaitan dengan kejadian Leptospirosis diantaranya adalah:

a. Umur

Kejadian suatu penyakit sering dikaitkan dengan umur. Aulia (2012) menyebutkan bahwa kejadian Leptospirosis tidak terjadi pada spesifik umur tertentu. Leptospirosis diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara balita sampai lansia yaitu 1 tahun sampai lebih dari 65 tahun.

CDC (2012) menyebutkan bahwa manusia dengan segala lapisan usia rentan terhadap infeksi Leptospirosis. Sedangkan Hadisaputro (1991) menyebutkan bahwa umur yang paling banyak terkena Leptospirosis adalah antara 40-60 tahun. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian bisa mencapai 56 % yang disertai selaput mata berwarna


(31)

kuning (kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi (Cahyati, 2009).

Poeppl (2013) juga menyebutkan bahwa selain laki-laki usia 18-57 tahun, kasus juga banyak terjadi pada usia dewasa antara usia 20 sampai 50 tahun. Subroto (1981) dalam Armandari (2005) menyebutkan bahwa Leptospirosis kerap dijumpai pada usia dewasa mungkin karena pekerjaan mereka banyak terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Leptospirosis jarang terjadi pada anak-anak dan balita karena pada kenyataannya anak-anak-anak-anak dan balita sedikit sekali terpapar infeksi Leptospirosis (Sehgal et.al, 1991).

Penelitian Rejeki (2005) menunjukkan bahwa kasus Leptospirosis terbanyak ditemukan pada rentang umur 40– 49 tahun. Penelitian Ketaren (2009) menunjukkan bahwa kejadian Leptospirosis lebih sering terjadi pada umur 20-30 tahun. Penelitian Armandari (2005) menunjukkan bahwa sebagian besar penderita Leptospirosis berumur <35 tahun yaitu 49 orang (51,6 %) dan >=35 sebesar 46 orang (48,4%). Penelitian Haida (2002) menunjukkan bahwa penderita Leptospirosis yang berumur 1-39 tahun sebanyak 35 orang (52,2%) sedangkan yang berusia >39 tahun sebanyak 32 orang (4,7,8%).

b. Jenis Kelamin

Seghal et.al (1991) menyebutkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki risiko yang sama untuk terinfeksi Leptospirosis, akan tetapi laki-laki memiliki resiko yang lebih besar


(32)

untuk terinfeksi Leptospirosis. Hal ini mungkin diakibatkan karena laki-laki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Pada saat banjir laki-laki biasanya turun langsung membersihkan lingkungan sehingga kemungkinan terpapar kotoran rodent lebih besar.

Pernyataan diatas didukung oleh Poeppl (2013) juga menyebutkan bahwa Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kejadian Leptospirosis adalah jenis kelamin. Pengujian terhadap 216 sampel ditemukanseropositif paling banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki berusia 18- 57 tahun. Dominasi laki-laki-laki-laki umur 18-57 tahun ini dipengaruhi oleh kecenderungan mereka yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam kegiatan di luar ruangan sehingga mereka mempunyai risiko lebih tinggi untuk terpapar. Meskipun demikian, tidak ada hubungan antara kegiatan di luar ruangan dan antibodi terhadap Leptospira spp.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Maesyarokh (2011) yang menunjukkan bahwa Leptospirosis lebih banyak pada kelompok laki-laki dari pada perempuan. Penelitian Ketaren (2009) juga menunjukkan jenis kelamin penderita Leptospirosis yang paling banyak adalah laki-laki yaitu 53%. Goris et al (2013) menyebutkan bahwa dari 2.532 pasien, 2.306 (91,1%) adalah pasien laki-laki. Vieira et al (2006) menunjukkan bahwa dari 443 responden 73% nya adalah laki-laki. Penelitian Prastiwi (2012) menyebutkan 77,1% penderita Leptospirosis


(33)

adalah laki-laki. Penelitian Armandari (2005) juga menunjukkan bahwa penderita Leptospirosis sebagian besar adalah laki-laki yaitu 53%. Sedangkan penelitian Manurung (2006) menunjukkan penderita Leptospirosis sebagian besar adalah perempuan yaitu sebesa 66,8% c. Pengetahuan

Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah suatu faktor predisposisi seseorang atau masyarakat terhadap kesehatan. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Orang yang mempunyai pengetahuan yang baik terntang suatu penyakit maka kemungkinan besar akan memcegah terjadinya penyakit tersebut. Dari teori ini bisa dikatakan bahwa pengetahuan mempengaruhi terhadap kejadian penyakit termasuk penyakit Leptospirosis.

Rahim, dkk (2012) menyebutkan bahwa survei pengetahuan merupakan strategi umum untuk mengumpulkan informasi dan menilai praktek kerja yang aman atau upaya pencegahan di antara populasi beresiko. Survei pengetahuan juga bisa digunakan untuk mengevaluasi program yang ada dan untuk mengidentifikasi strategi yang efektif untuk perubahan perilaku.

Arikunto (2010) berpendapat bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat diketahui dengan menggunakan skala pengukuran yang bersifat kualitatif. Tingkat pengetahuan tersebut terdiri dari:


(34)

2. Cukup : hasil 56 %-75 % 3. Kurang : hasil ≤ 55 %

Penelitian Arau´ jo, dkk ( 2013) menunjukkan bahwa dari 257 orang yang diwawancarai, 232 (90,3%) sebelumnya pernah mendengar tentang Leptospirosis. penelitian ini juga sejalan dengan Penelitian Armandari (2005) menunjukkan bahwa penderita Leptospirosis yang memiliki pengetahuan tinggi lebih sebesar yaitu 48 orang (50,5%). Penelitian Wiwanitkit (2006) yang menunjukkan bahwa 80% penderita Leptospirosis memiliki pengetahuan rendah. Penelitian Okatini (2007) menunjukkan adanya hubungan tingkat antara pengetahuan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan pvalue 0,000. Penelitian Armandari (2005) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan pvalue 0,000 dan OR 17,65. d. Pekerjaan

Salah satu faktor risiko Leptospirosis adalalah berasal dari pekerjaan (WHO, 2011). Kelompok Pekerja yang bekerja sebagai dokter hewan, peternak, tukang potong daging, pekerja pengendali jumlah tikus, petani padi dan tebu, pekerja tambang, nelayan, tentara dan pekerja lain yang sering kontak langsung dengan hewan merupakan kelompok yang berisiko terhadap kejadian Leptospirosis (Chin, 2009).

Hal ini terkait dengan penularan langsung, dimana pekerja tersebut memiliki kemungkinan yang besar bersentuhan dengan cairan tubuh atau urin dari hewan yang terinfeksi Leptospirosis. Sedangkan petani, militer


(35)

dan atlet olah raga air berisiko terkena infeksi Leptospirosis secara tidak langsung yaitu dari lingkungan atau air dan tanah yang terkontaminasi (Depkes RI, 2008).

Penelitian Ketaren (2007) menunjukkan bahwa sebagian besar penderita Leptospirosis mempunyai pekerjaan tidak berisiko yaitu 93,9%. Penelitian Rejeki (2005) juga menyebutkan bahwa sebagian besar penderita Leptospirosis memiliki pekerjaan tidak berisiko yaitu sebanyak 92%. Penelitian Manurung (2006) menyebutkan penderita yang memiliki pekerjaan tidak berisiko sebanyak 91,5%. Dan Penelitian Armandari (2005) menunjukkan penderita Leptospirosis memiliki pekerjaan tidak berisiko sebesar 98,9%.

Berdasarkan analisis bivariat, hasil penelitian dari Marunung 2006 menunjukkan bahwa pekerjaan tidak berhubungan dengan kejadian Leptospirosis, yaitu dengan nilai p=0,78. Penelitian Armandari (2005) menyebutkan bahwa responden dengan pekerjaan berisiko mempunyai risiko untuk mengalami Leptospirosis sebesar 0,24 kali. Penelitian Priyanto menunjukkan bahwa pekerjaan berisiko untuk terjadinya Leptospirosis yaitu dengan nilai pvalue= 0,001 OR=17,36.

e. Riwayat Luka

Depkes RI (2013) menyebutkan bahwa salah satu cara bakteri Leptospira masuk ke tubuh manusia adalah melalui kulit yang lecet atau luka. Hal ini sesuai dengan WHO (2014) yang menyebutkan bahwa bakteri Leptospira masuk ke tubuh manusia dapat melalui luka atau lecet


(36)

pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi. Depkes RI (2005) infeksi dengan leptospira umumnya berlangsung melalui luka atau erosi pada kulit maupun selaput lendir, namun infeksi juga dapat berlangsung melalui kulit utuh yang terpapar dalam waktu cukup lama dengan genangan air yang terkontaminasi.

Depkes RI (2008) juga menyebutkan bahwa masuknya bakteri Leptospira dapat melalui permukaan mukosa misalnya melalui luka abrasi, mukosa (cavitas buccaelbuccal cavity), saluran hidung atau conjunctiva. Kuman Leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai dengan adanya demam dan berkembang pada target organ serta akan menunjukkan gejala infeksi pada organ tersebut. Gambaran klinis akan bervariasi tergantung dari kondisi manusianya, spesies hewan pada umurnya. Bakteri Leptospira ini beberapa hari akan tinggal pada organ seperti hati, limpa, ginjal dengan ditandai perubahan patologis. Mekanisme imunitas akan aktif apabila kuman menjalar ke jaringan hati dan ginjal serta berada di tubular ginjal.

Penelitian Cahyati (2009) yang menunjukkan bahwa dari 15 responden yang menderita Leptospirosis 80%. Penelitian Cahyati (2009) ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat adanya luka dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 6,000. Penelitian Prastiwi (2012) dan Maesyarokh (2011) juga menyebutkan


(37)

riwayat luka berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 10,000. Penelitian Maesyarokh (2011) juga menyebutkan bahwa riwayat luka berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan OR=5,0

f. Status Pegungsian

UU RI No. 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.

Menurut Depkes RI (2011) status pengungsian dapat digunakan untuk pengendalian penyakit yaitu dengan pengamatan penyakit (surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan (penanganan kasus) yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada maupun di pos kesehatan yang didirikan dalam rangka penanggulangan bencana. Orang yang mengungsi di tempat yang telah ditentukan akan lebih mudah di pantau masalah kesehatannya. Dalam kaitannya dengan penyakit Leptospirosis pengungsian dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi pengungsi untuk kontak dengan air banjir yang ditakutkan terinfeksi bakteri Leptospira.

g. Personal Hygiene

Widoyono (2008) menyebutkan bahwa bagian penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular adalah memutuskan rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara


(38)

menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan penjamu. Faktor pencegahan penularan menitikberatkan pada penanggulangan risiko penyakit seperti lingkungan dan perilaku. Lingkungan yang tidak hygiene dan perilaku individu yang tidak hygiene dapat mempermudah penularan penyakit.

Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk mencegah terjadinya Leptospirosis yang dapat dilakukan individu adalah dengan menjaga kebersihan individu (personal Hygiene) yaitu dengan cara mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh yang lainnya dengan sabun setelah pergi kesawah dan setelah kontak dengan air banjir. Selain itu upaya pencegahan lainnya juga bisa dilakukan menutup makanan dan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat ingin kontak dengan air genangan banjir. Salah satu APD yang dapat digunakan adalah memakai alas kaki termasuk sepatu boot dan sarung tangan (CDC, 2010). Seseorang yang tidak melakukan upaya pencegahan maka akan mengakibatkan kemungkinan masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh akan semakin besar. Bakteri leptospira masuk tubuh melalui pori-pori tubuh terutama kulit kaki dan tangan, melalui selaput lendir,tubuh yang lecet, den melalui makanan yang terkontaminasi.

Penelitian Michael, et.al (2004) menunjukan bahwa tidak mengenakan sepatu di lapangan berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 2,17. Penelitian Supraptono dkk (2011) juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara tidak


(39)

memakai alat pelindung diri dengan kejadian Leptopirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 266,3. Hasil penelitian Priyanto (2009) menunjukkan bahwa ada kebiasaan mandi/mencuci di sungai berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 12,24.

2.3.2 Agent

Menurut Bustan (2008) faktor agent adalah suatu unsur organisme hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit. faktor agent dapat meliputi: faktor nutrisi, penyebab kimiawi, penyebab fisik seperti radiasi, penyebab biologis, metazoa, virus, jamur dan lain sebagainya. adapun Agent pada kejadian Leptospirosis adalah Bakteri Leptospira.

Buku Manual Pemberantasan Penyakit Menular oleh James Chin yang di terjemahkan oleh Nyoman Khandun (2009) menyebutkan bahwa penyebab penyakit Leptospirosis adalah Leptospira, anggota dari ordo Spirochaetales. Leptospira yang menularkan penyakit termasuk kedalam spesies Leptospira Interrogans, yang dibagi lagi menjadi berbagai serovarian. Lebih dari 200 serovarian telah diketahui, dan semuanya terbagi dalam 23 kelompok (serogroup) yang di dasarkan pada keterkaitan serologis. Perubahan penting dalam penamaan (nomenklatur) Leptospira sedang di buat di dasarkan atas keterkaitan DNA. Serovarian yang umum di temukan di AS adalah Icterohaemorrhagiae, Canicola, Autumnalis, Hebdomisis, Australis dan Pomona.


(40)

2.3.3 Environment (Lingkungan)

Bustan (2008) menyebutkan bahwa environment (lingkungan) adalah semua faktor luar dari suatu individu. Komponen lingkungan dapat berupa lingkungan fisik, biologi, dan sosial. komponen lingkungan yang memiliki potensi terhadap kejadian Leptospirosis meliputi: kondisi selokan, keberadaan sampah, curah hujan, ketinggian air, tatanan rumah, pH tanah dan PH air.

a. Ketinggian Genangan Air Pada Saat Banjir

Ketinggian genangan air pada saat banjir dianggap bisa mempengaruhi kejadian Leptospirosis. Genangan air yang tinggi pada saat banjir akan membuat banjir semakin lama surut sehingga bakteri Leptospirosis akan lebih lama berada bersama air genangan banjir tersebut. Bakteri Leptospira dapat bertahan pada suhu 28-30 °C dan PH 7,2 - 8,0 (Chin, 2009). PH ini merupakan PH Air yang netral sehingga bakteri Leptospira dapat hidup lama dan menetap pada air genangan banjir yang ada.

Semakin tinggi genangan air banjir dan semakin lama banjir maka akan mengakibatkan semakin lama responden untuk kontak dengan air genangan akibat banjir tersebut. Bakteri Leptospira yang berada pada genangan air pada saat banjir tersebut dapat masuk ke dalam tubuh jika bagian tubuh tersebut terendam lama pada air yang terinfeksi yaitu masuk melalui luka atau pori-pori (CDC, 2012). Penelitian yang telah dilakukan menunjujukkan bahwa ada


(41)

kecenderungan jumlah penderita Leptospirosis meningkat setelah lama banjir sampai 3 hari atau lebih (Gindo, 2002 dalam Ketaren, 2009).

Selain itu ketinggian air genangan yang tinggi dan lama akan mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Air banjir dapat mengotori atau mengkontaminasi rumah maupun bahan makanan yang tidak tertutupi sehingga apabila air genangan banjir tersebut terinfeksi bakteri Leptospira maka rumah atau bahan makanan akan tercemar bakteri Leptospira.

Ketinggian genangan air pada saat banjir dapat mempengaruhi upaya pencegahan seseorang terhadap kejadian Leptospirosis. CDC (2010) menyebutkan bahwa salah satu upaya pencegahan Leptospirosis bisa dilakukan dengan cara menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat ingin kontak dengan air genangan banjir. Salah satu APD yang dapat digunakan adalah memakai alas kaki termasuk sepatu boot dan sarung tangan. Bila air genangan banjir tinggi dan melebihi ketinggian lutut maka penggunaan APD seperti sepatu boot pada saat banjir akan sia-sia karena sepatu boot yang ada pada saat ini rata-rata hanya mampu melindungi sampai lutut saja.

Penelitian Dwiari (2007) menunjukkan bahwa pada saat banjir melanda DKI Jakarta pada bulan Februari 2007, ketinggian air genangan di setiap kelurahan bervariasi yaitu antara 10 cm hingga 250 cm dengan rata-rata ketinggian air genangan sebesar 49 cm. Bila dibandingkan dengan kasus Leptospirosis, diperoleh gambaran bahwa


(42)

kasus Leptospirosis di Jakarta lebih banyak tersebar di wilayah dengan rata-rata ketinggian air genangan akibat banjir yang lebih tinggi yaitu antara 51-100 cm.

b. Keberadaan Sampah

Adanya kumpulan sampah di sekitar rumah akan menjadi tempat yang disenangi tikus. Keberadaan sampah terutama sampah sisa–sisa makanan yang diletakkan ditempat sampah yang tidak memenuhi syarat (tertutup) kkan bahwa sebagian besar rumah responden terdapat sampah yaitus sebanyak (73,2%), berdasarkan analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara adanya sampah dalam rumah dengan kejadian Leptospirosis (p=0,000) dan OR 8,46 c. Tatanan Rumah

Depkes RI (2000) dalam Armandari (2005) menyebutkan bahwa keadaan dalam rumah harus bersih dan teratur artinya rumah tertata dengan baik, rapi, tidak terdapat tumpukan barang, tidak terdapat baju bergelantungan perabotan tersusun rapi dan bersih. Peraturan Pemerintah no. 81 tahun 2012 menyebutkan bahwa adanya tumpukan barang-barang bisa mengakibatkan perkembangan habitat tikus.

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Armandari (2005) yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden (93%) tatanan rumahnya tidak memenuhi syarat. penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ramadani (2010) yang menunjukkan bahwa sebagian besar penderita Leptosporosis memiliki tatanan rumah tidak rapi yaitu sebanyak 71,8%


(43)

Penelitian Ramadani (2010) menunjukkan bahwa Penataan Perabot rumah yang semrawut/tidak rapi berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai p-value sebesar 0,013

d. Curah hujan

Hujan deras akan menyebabkan banjir sehingga meningkatkan risiko Leptospirosis dengan membawa bakteri dan binatang lebih dekat dengan manusia. Bakteri akan cepat lebih cepat menyebar bila bercampur dengan air banjir. Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan paparan bakteri Leptospira pada manusia lewat air, tanah yang terkontaminasi (Chin, 2009).

Hasil penelitian Rejeki, 2005 menunjukkan bahwa tingginya curah hujan berisiko terkena Leptospirosis sebesar 37 kali dibandingkan dengan curah hujan rendah.

e. Ketersediaan Air Bersih

Depkes RI (2013) menyebutkan bahwa tujuan penyehatan lingkungan adalah untuk mengatur tatalaksana penyediaan, pengawasan, dan perbaikan kualitas air bersih dan sanitasi. Adanya air bersih akan membantu menurunkan risisko terjadinya penyakit menular seperti diare, typus, scabies, Leptospirosis dan penyakit lainnya.

Tidak tersedianya air bersih dapat ditandai dengan masih digunakannya air genangan banjir atau air sungai untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci, memasak dan minum. Seperti yang telah diketahui bakteri Leptospira dapat masuk ke tubuh manusia


(44)

melalui luka atau lecet pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi, makanan dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi (WHO, 2014 dan Chin, 2009).

Seghal (1991) menyebutkan bahwa untuk mengontrol dan melindungi dari kontaminasi kuman Leptospira pada masyarakat adalah dengan menjaga sumber air bersih yang digunakan dari binatang pengerat (tikus) dan perlu diadakan khlorinisasi serta apabila untuk dikonsumsi hendaknya air direbus sehingga mendidih.

Penelitian Okatini (2007) yang menunjukkan bahwa 78,9% responden yang memiliki ketersediaan air bersih tidak memenuhi syarat.

f. PH Tanah dan PH Air

Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa Leptospira dapat hidup berbulan-bulan dalam lingkungan yang hangat (28-30 C) dan pH relatif netral (pH 7,2-8). Bila di air dan lumpur yang paling cocok untuk bakteri Leptospira adalah dengan pH antara 7,0-7,4 dan temperatur antara 28°C-30°C. Bakteri ini dapat hidup dalam air yang menggenang. Karakteristik air pada sawah yang cocok untuk bakteri leptospira adalah air yang menggenang dengan ketinggian 5-10 cm dan pH antara 6,7-8,5 Menurunkan pH air sawah menjadi asam yaitu dengan pemakaian pupuk/bahan-bahan kimia menyebabkan jumlah dan virulensi bakteri Leptospira berkurang.


(45)

Hasil penelitian Rejeki (2005) dan Priyanto (2009) penelitian Rejeki menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara pH tanah dengan kejadian Leptospirosis dengan pvalue 0,361 OR 0,3 Priyanto dengan Pvalue 0,523 dan OR=1,28.

g. Selokan/ Sarana Pembuangan Air Limbah

Selokan/ Sarana Pembuangan Air Limbah merupakan tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus ataupun merupakan jalur tikus masuk ke dalam rumah. Hal ini dikarenakan kondisi buangan air dari dalam rumah umumnya terdapat saluran yang terhubung dengan selokan di lingkungan rumah. Peran selokan sebagai media penularan penyakit Leptospirosis terjadi ketika air pada selokan terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri Leptospira (Suratman, 2006).

Sarana pembuangan air limbah yang sehat yaitu yang dapat mengalirkan air limbah dari sumbernya (dapur, kamar mandi) ke tempat penampungan air limbah dengan lancar tanpa mencemari lingkungan dan tidak dapat dijangkau serangga dan tikus (Field Book, 2009). Sedangkan menurut Rejeki (2005) selokan sehat bila aliran selokan lancar/tidak menggenang, tidak meluap saat ada hujan, tidak dilewati tikus.

Darmodjono (2001) menyebutkan bahwa tikus senang bersarang di got-got dan selokan-selokan, sedangkan tikus merupakan hewan pembawa mikroorganisme Leptospira maka diupayakan


(46)

selokan-selokan tidak menjadi sarang tikus dan airnya mengalir dengan lancar (tidak menggenang).

Penelitian Rejeki (2005) menunjukkan bahwa sebagian besar penderita Leptospirosis memiliki kondisi selokan yang buruk yaitu 69%. Penelitian Priyanto (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan antara kondisi selokan yang buruk dengan kejadian Leptospirosis (p=0,002 dan OR 3,28). Penelitian Okatini (2007) menunjukkan bahwa spal yang buruk berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 1,98

h. Keberadaan Tikus di Dalam Maupun di Luar Rumah

Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis salah satunya adalah rodent (tikus). Untuk melihat keberadaan tukus bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan secara visual. Yaitu dengan melihat adanya tanda tanda keberadaan tikus berupa kotoran tikus dan/atau jejak kaki tikus. Selain itu harus diperhatikan tanda-tanda lain seperti: sisa keratan pada pintu/kasa/buku dan kawat kasa yang berlubang bekas lewat tikus: Pemeriksaan secara nasal (penciuman), Informasi dari pihak lain. Berikut adalah gambar kotoran tikus:


(47)

Gambar 2.3 Kotoran Tikus

Sumber: Depkes RI (2008)

Penelitian Rejeki (2005) yang menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden (96,8%) terdapat tanda-tanda keberadaan tikus. Penelitian Ketaren (2009) menunjukkan bahwa rumah responden yang terdapat keberadaan tikus sebanyak 65%. Penelitian Armandari (2005) juga menunjukkan responden yang rumahnya terdapat tikus sebanyak 94,7%. Penelitian Armandari (2005) ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara keberadaan tikus dalam rumah dengan kejadian Leptospirosis (p=0,000 dan OR 5,87).

2.4 Kerangka Teori

Menggunakan konsep segitiga epidemiologi yang dikolaborasikan dengan teori-teori lain (Chin (2009), Depkes RI (2008), Depkes RI (2013), Soejoedono (2008), Rejeki (2005), Widoyono (2008), Mandal (2008) dan Tinheriyani (2012), epidemiologi Leptospirosis dipengeruhi oleh beberapa komponen yaitu komponen host (penderita), agent (Penyebab) dan environment (lingkungan).

Agent atau penyebab dari penyakit Leptospirosis adalah bakteri Leptospira. Hewan yang bisa menularkan bakteri Leptospira adalah Rodent (tikus), babi, sapi, kambing, kuda, anjing, kucing serangga dan burung. Akan


(48)

tetapi dari semua hewan tersebut, tikus merupakan hewan yang paling sering menularkan Leptospirosis. Keberadaan tikus ini dipengaruhi oleh komponen lingkungan seperti: ketinggian air, keberadaan sampah, tatanan rumah, kondisi selokan/SPAL, curah hujan, ketersediaan air bersih, PH tanah dan PH air, dan keberadaan tikus di dalam maupun di luar rumah.

Bakteri Leptospira yang dibawa oleh tikus dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan mengakibatkan terjadinya penyakit Leptospirosis. masuknya bakteri Leptospira ini ke tubuh manusia (Host) dipengaruhi oleh beberapa komponen host yaitu: umur, jenis kelamin, riwayat luka, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan, personal hygiene, dan status pengungsian. Adapun epidemiologi kejadian Leptospirosis dapat digambarkan sebagai berikut:


(49)

Bagan 2.4 Kerangka Teori

Sumber: Modifikasi teori John Gordon dalam Bustan (2008), Chin (2009), Depkes RI (2008), Depkes RI (2013), Notoatmodjo (2007), Rejeki (2005), dan Tinheriyani (2012).

Leptospirosi s

Komponen Lingkungan (Environment)

1. Ketinggian air 2. keberadaan sampah 3. Tatanan rumah

4. Kondisi selokan/SPAL 5. Curah hujan

6. Ketersediaan air bersih 7. PH tanah dan pH air

8. Keberadaan Tikus di dalam maupun di luar rumah

Komponen Host (penderita) 1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Riwayat luka

4. Tingkat pengetahuan 5. Jenis Pekerjaan 6. Status pengungsian 7. Personal Hygiene Agent

(Penyebab) Leptospira

Tikus

Kucing Babi

Anjing

Sapi Kambing

Serangga Burung


(50)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini, peneliti tidak menjadikan semua faktor yang mempengaruhi kejadian Leptospirosis yang telah disebutkan di kerangka teori sebagai variabel penelitian. Adapun faktor yang mempengaruhi kejadian Leptospirosis yang dijadikan variabel penelitian adalah variabel komponen penderita/host (umur, jenis kelamin, keberadaan tikus, riwayat luka, tingkat pengetahuan, dan jenis pekerjaan, personal hygiene dan status pengungsian,), dan variabel komponen lingkungan/environment (ketersediaan air bersih, ketinggian air, keberadaan sampah, tatanan rumah, kondisi selokan/got, dan keberadaan tikus didalam maupun luar rumah).

Bakteri Leptospira tidak dijadikan sebagai variabel penelitian karena peneliti tidak melakukan pemeriksaan terhadap bakteri Leptospira. Selain itu kejadian Leptospirosis ini sudah selesai terjadi (penderita sudah sembuh) pada saat penelitian dilakukan sehingga sudah dapat dipastikan bahwa semua penderita positif Leptospira. Curah hujan tidak di jadikan sebagai variabel penelitian karena penelitian ini difokuskan pada saat banjir sehingga curah hujan tidak perlu lagi diukur karna untuk kejadian Leptospirosis curah hujan dihubungkan dengan status atau keadaan banjir. sehingga curah hujan sudah diwakili oleh kejadian banjir.

Ph tanah dan Ph air tidak dijadikan sebagai variabel penelitian karena Hasil penelitian Rejeki (2005) di Semarang dan Penelitian Priyanto (2004) di


(51)

Demak dengan desain Case-Control menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara PH tanah dengan kejadian Leptospirosi yaitu dengan nilai Pvalue= 0,361 dan OR 0,3 pada penelitian Rejeki dan Pvalue 0,523 dan OR=1,28 pada penelitian Priyanto.

Babi, sapi, kambing, kucing, serangga, burung dan anjing) tidak dijadikan sebagai variabel dan hanya menjadikan keberadaan tikus sebagai variabel penelitian karena pada saat ini kejadian Leptospirosis banyak ditularkan melalui tikus, seperti penyataan Dinkes Provinsi Jakarta (2003) yang menyebutkan bahwa tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis yang paling potensial diantara hewan-hewan lain. Selain itu tikus-tikus yang ditangkap paska banjir di lokasi Jakarta-Bogor dianggap membawa atau paling tidak terinfeksi Leptospirae. Karena penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta, maka peneliti memilih tikus baik untuk menjadi variabel penelitian. Adapun kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut:


(52)

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

. Status pengungsian

Ketersediaan air bersih.

Leptospirosis Umur

Jenis kelamin Riwayat luka

Tingkat pengetahuan Jenis pekerjaan Personal hygiene

Keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah Ketinggian genangan air banjir

Keberadaan sampah

Tatanan rumah


(53)

3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1 Leptospirosis Penderita yang didiagnosis menderita leptospirosis oleh dokter dan terlaporkan di Puskesmas Cengkareng pada saat banjir periode Januari-Februari 2014

Observasi Laporan PE kejadian leptospirosis di Puskesmas Cengkareng

Jumlah kejadian Leptospirosis Rasio

2 Umur Usia responden pada saat didiagnosis menderita Leptospirosis pada saat periode banjir Januari-Februari 2014.

Wawancara Kuisioner Dalam satuan tahun Rasio

3 Jenis Kelamin

Jenis kelamin yang dimiliki oleh penderita Leptospirosis pada saat didiagnosa Leptospirosis

Wawancara Kuisioner 1. Laki-laki 2. Perempuan


(54)

4 Riwayat luka Ada tidaknya luka kecil atau besar pada tubuh seseorang tanggal 3 Januari-14 Februari 2014.

Wawancara Kuisioner 1. Ada luka 2. Tidak ada luka

Ordinal

5 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang dimiliki responden terkait penyakit Leptospirosis yang meliputi:, penyebab, cara penularan, gejala, pencegahan, serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Leptospirosis.

Wawancara Kuisioner 1. Baik (jika nilai pengetahuan 76-100

2. Sedang (jika nilai pengetahuan 56-75

3. Buruk <=55

Interval

6 Keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah

Ada tidaknya tikus di dalam dan sekitar rumah ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: adanya kotoran tikus, suara tikus, bau kotoran tikus atau bau tikus, adanya tikus hidup/mati di

Wawancara dan observasi Kuisioner dan lembar observasi 1. Ada 2. Tidak ada


(55)

dalam maupun luar rumah, ada bekas makanan yang digigit tikus, ada lubang didalam maupun luar rumah lubang misalnya dipojok pintu atau diatas plafon dan sebagainya, ada bercak atau bekas urin tikus, ada tanda kehitaman di tembok atau perkakas rumah 3 Januari-14 Februari 2014. 7 Ketinggian

air

Tingginya rata-rata genangan air pada saat banjir di wilayah Kecamatan Cengkareng periode Januari-Februari 2014

Observasi Laporan banjir tahun 2014 dari Sudinkes Jakarta Barat


(56)

8 Ketersediaan air bersih

Tersedia atau tidaknya air bersih untuk keperluan sehari hari yaitu untuk mandi, memasak, mencuci dan minum pada tanggal 3 Januari-14 Februari 2014

Wawancara Kuisioner 1. Tidak tersedia. 2. Tersedia

Ordinal

9 Pekerjaan Profesi yang lakukan responden yang berpotensi untuk terkena Leptospirosis pada tanggal 3 Januari-14 Februari 2014

Wawancara Kuisioner 1. Berisiko (dokter hewan, petani, peternak, tukang potong daging, petugas laboratorium, pekerja pengendali jumlah tikus, , pekerja tambang, nelayan, tentara, pekerja selokan (paralon), dan tukang ojek


(57)

atau supir

2. Tidak berisiko (selain pekerjaan berisiko)

10 Status

pengungisan

orang atau kelompok orang yang pada saat banjir terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana ke lokasi yang lebih aman pada saat banjir periode 3 Januari-14 Februari 2014

Wawancara Kuisioner 1. Tidak mengungsi 2. Mengungsi

Ordinal

11 Personal hygiene

Tindakan/upaya pencegahan yang di lakukan responden untuk mencegah kejadian Leptospirosis seperti tidak

Wawancara Kuisioner 1. Tidak melakukan upaya pencegahan jika tidak melakukan semua dari upaya


(58)

menutup makanan, tidak menggunakan sepatu boot atau sarung pada saat ingin kontak dengan air banjir/sungai/ lumpur, tidak mandi, tidak mencuci tangan, kaki, atau anggota badan lainnya menggukan sabun setelah kontak dengan air 3 Januari-14 Februari 2014.

pencegahan (Tidak menutup makanan, tidak mandi, tidak mencuci tangan, kaki, anggota badan lainnya dengan sabun, tidak menggunakan sepatu boot)

2. Melakukan upaya

pencegahan jika melakukan minimal 2 (menutup makanan, mandi setelah kontak dengan air genangan banjir/lumpur) dari upaya pencegahan.


(59)

12 Keberadaan sampah

Ada tidaknya sampah yang bisa menjadi indikator keberadaan tikus yang ditandai dengan adanya sampah yang berserakan dan tempat sampah tidak tertutup di dalam maupun diluar rumah perita 3 Januari-14 Februari 2014. . Wawancara dan observasi Kuisioner dan lembar observasi

1. Ada sampah

Jika terdapat sampah yang berserakan dan tempat sampah tidak tertutup di dalam dan di luar rumah 2. Tidak ada sampah

Jika tidak terdapat sampah yang berserakan dan tempat sampah tertutup di dalam dan di luar rumah

Nominal

13 Tatanan Rumah

Penataan rumah terhadap barang-barang dan perbotan secara rapi dan tidak ada tumpukan barang-barang

yang bisa menimbulkan

Wawancara dan observasi Kuisioner dan lembar observasi

1. Buruk: jika penataan barang dan perabotan tidak rapi dan terdapat tumpukan barang yang bisa menjadi habitat


(60)

perkembangan habitat tikus 3 Januari-14 Februari 20Januari-14.

tikus

2. Baik: jika penataan barang dan perabotan secara rapi dan tidak ada tumpukan barang yang bisa menjadi habitat tikus

14 Kondisi Selokan/SPA L

Kondisi atau keadaan selokan/ SPAL yang dapat berpotensi menjadi habitat tikus ditandai dengan tidak mengalirkannya air limbah dari sumbernya (dapur, kamar mandi) ke tempat penampungan air limbah dengan lancar tanpa mencemari lingkungan dan dapat dijangkau

Wawancara dan Observasi Kuisioner dan Lembar observasi

1. Buruk: jika tidak dapat mengalirkan air limbah dari sumbernya (dapur, kamar

mandi) ke tempat

penampungan air limbah dengan lancar tanpa mencemari lingkungan dan dapat dijangkau serangga dan


(61)

serangga dan tikus 3 Januari-14 Februari 2014.

tikus

2. Baik: jika tidak dapat mengalirkan air limbah dari sumbernya (dapur, kamar

mandi) ke tempat

penampungan air limbah dengan lancar tanpa mencemari lingkungan dan tidak dapat dijangkau tikus


(62)

BAB IV METODOLOGI

4.1 Desain penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain studi kasus. Studi kasus adalah sebuah eksplorasi dari suatu sistem yang terkait atau suatu kasus/ beragam kasus yang dari waktu ke waktu melalui pengumpulan data yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi yang kaya dalam suatu konteks (Robert, 1998). Sumber lain menyebutkan bahwa studi kasus merupakan penelitian yang rinci mengenai suatu objek tertentu selama kurun waktu tertentu yang mencangkup mendalam dan menyeluruh termasuk lingkungan dan kondisi masa lalunya (Umar, 2011). Pada penelitian ini peneliti

menambahkan pendekatan kualitatif untuk mendukung pembahasan. 4.2 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cengkareng Kota Administratif Jakarta Barat Provinsi DKI Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juli tahun 2014.

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian adalah semua warga yang sebagai kasus Leptospirosis dan terlaporkan di Puskesmas Kecamatan Cengkareng yaitu sebanyak 18 kasus. Pada penelitian ini semua kasus diteliti sehingga populasi sekaligus menjadi sampel.


(63)

4.4 Pengumpulan Data 4.4.1 Sumber Data

Data pada penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder adalah data kasus yang di peroleh dari laporan PE (Penyelidikan Epidemiologi) kejadian Leptospirosis di Puskesmas Kecamatan Cengkareng, data ketinggian genangan air akibat banjir dari laporan banjir 2014 di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat.

Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh dari responden penelitian terkait data: umur, jenis kelamin, riwayat luka , jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan, ketersediaan air bersih, keberadaan tikus, keberadaan sampah, tatanan rumah, personal higyene, keadaan selokan/SPAL, dan status pengungsian.

4.4.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara, observasi dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan untuk mendukung pembahasan dari masing-masing variabel jika dibutuhkan.

4.4.3 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini adalah lembar kuisioner, lembar observasi dan pedoman wawancara. Untuk variabel kharakteristik penderita (umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan dan riwayat luka), ketersediaa air bersih, status pengungsian, dan personal hygiene peneliti menggunakan instrumen berupa kuisioner


(64)

penelitian. Untuk variabel kondisi lingkungan seperti keberadaan tikus, keberadaan sampah, kondisi selokan dan tatanan rumah peneliti menggunakan instrumen berupa kuisioner dan lembar observasi serta wawancara mendalam.

Untuk variabel lingkungan (keberadaan sampah, kondisi selokan, tatanan rumah dan keberadaan tikus), pengumpulan datanya diawali dengan menanyakan keadaan lingkungan pada saat atau sebelum banjir, apakah sama dengan pada saat penelitian atau tidak. Selain itu peneliti juga melihat perilaku responden sebelum dan pada saat dilakukan penelitian. Karena mereka menjawab kondisi lingkungan pada saat sekarang sama dengan pada saat atau sebelum banjir dan melihat perilaku responden yang sama pada saat atau sebelum terjadi banjir dengan pada saat sekarang, maka keadaan lingkungan pada saat penelitian dianggap sama pada saat atau sebelum terjadi banjir. Selain instrumen berupa kuisioner, lembar observasi dan pedoman wawancara, Penulis juga menggunakan perlengkapan alat tulis, kamera dan alat perekam suara.

Sebelum turun ke lapangan peneliti terlebih dahulu menguji validitas dan reliabilitas instrumen yang akan digunakan. Jumlah sampel yang digunakan untuk uji instrumen ini adalah 30 sehingga nilai Df= n-2 =28 kemudian dilihat pada r tabel dan didapatkan nilai r tabel sebesar 0,306. Setelah melihat nilai r tabel kemudian penulis melihat r hitung. Daftar pertanyaan di katakan reliabel dan valid apabila nilai r hitung > r tabel. Hasil uji instrumen menjunjukkan sebagian besar pertanyaan dalam


(65)

instrumen penelitian ini sudah reliabel dan valid. Untuk pertanyaan yang tidak reliabel dan valid, kemudian peneliti memperbaiki redaksi pertanyaan tersebut. Adapun hasil dari uji instrumen bisa di lihat pada lampiran.

4.5 Pengolahan data

Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara:

1. Editing data, yaitu melakukan pengecekan data yang telah terkumpul, bila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam pengumpulan data diperbaiki dan dilakukan pendataan ulang terhadap responden,

2. Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode (coding) oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer,

3. Entry data dengan menginput data bersih ke dalam program komputer, 4. Cleaning dengan memeriksakan semua data yang telah dimasukkan kedalam

komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data 5. Tabulating, yaitu setelah data tersebut masuk kemudian direkap dan disusun

dalam tabel agar dapat dibaca dengan mudah. 4.6 Analisis Data

Analis data pada penelitian ini menggunakan analisis distribusi frekuensi. Untuk variabel dengan skala rasio (umur dan ketinggian air), maka dilihat nilai mean ± SD, Median dan max-min. Sedangkan untuk variabel dengan skala ordinal dan nominal (Riwayat luka, jenis kelamin, keberadaan tikus, ketersediaan air bersih, jenis pekerjaan, status pengungsian, personal gygiene, tatanan rumah,


(66)

keberadaan sampah, kondisi selokan dan dan tingkat pengetahuan) akan dilihat nilai frekuensinya (%). Data akan disajikan dalam bentuk tabel.


(67)

BAB V HASIL

5.1 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host (Penderita) Komponen Host (penderita) yang berpengaruh terhadap kejadian Leptospirosis terdiri dari umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan, dan riwayat luka, status pengungsian dan personal hygiene. Untuk lebih jelasnya urutan variabel adalah sebagai berikut:

Tabel 5.1

Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host (Penderita) Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng

Periode Januari-Februari tahun 2014 Variabel Mean ±SD Median

Min-Max

Kejadian Leptospirosis

n %

Umur 38, 61 ± 17,9 35,5 5-65

<20 4 22,2

20-40 7 38,9

>40 7 38,9

Jenis Kelamin

Laki-laki 13 72,2

Perempuan 5 27,8

Pengetahuan 64.11±20.5 69.0 27-95

Tinggi 5 27, 8

Sedang 6 33,3

Rendah 7 38,9

Riwayat Luka

Ada 13 72,2

Tidak ada 5 27,8

Status Pengungsian

Tidak Mengungsi 18 100

Mengungsi 0 0

Personal Hygiene

Baik 2 11,1

Burk 16 88,9

Jenis Pekerjaan

Berisiko 5 27,8


(68)

Tabel diatas menunjukkan bahwa umur rata-rata penderita adalah 38, 61 tahun. Sebagian besar penderita berumur 20-40 tahun dan >40 tahun yaitu masing-masing sebanyak 38,9%, laki-laki 72,2%, memiliki riwayat luka 72,2%, pengetahuan rendah sebanyak 38,9%, semua penderita tidak mengungsi (100%), 88,9%, memiliki personal hygiene yang dan 72% memiliki pekerjaan yang tidak berisiko. Jika dilakukan Crosstabulation terhadap jenis kelamin dan jenis pekerjaan, umur dan jenis kelamin, maka hasilnya sebagai berikut:

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Penderita Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng

Tabel diatas menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan jenis kelamin penderita maka pekerjaan yang berisiko paling banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki yaitu 38,5%, dan sebagian besar kelompok umur 20-40 tahun adalah laki-laki yaitu 85,7%.

Jenis Kelamin Jenis Pekerjaan

Berisiko Tidak Berisiko Total

n % n % n %

Laki-laki 5 38,5 8 61,5 13 100

Perempuan 0 0 5 100 5 100

Umur (tahun) Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

<20 3 75 1 25 4 100

20-40 6 85,7 1 14,3 7 100


(69)

5.2 Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Lingkungan

Kondisi lingkungan yang mempengaruhi kejadian Leptospirosis adalah Keberadaan tikus, keberadaan sampah, tatanan rumah, keadaan selokan dan ketersediaan air bersih. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Lingkungan Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng

Periode Januari-Februari 2014.

Tabel diatas menunjukkan bahwa semua rumah penderita baik di dalam maupun di luar terdapat tikus yaitu sebanyak 100%, 66,7% rumah penderita terdapat sampah, 55,6% penderita menata rumahnya secara rapi, 72,2% keadaan selokan penderita baik, 88,9% ketersedian air bersihnya tersedia, jika ketinggian

Variabel Kejadian Leptospirosis

n %

Keberadaan Tikus

Ada tikus 18 100

Tidak ada tikus 0 0

Keberadaan Sampah

Tidak Ada Sampah 6 33,3

Ada Sampah 12 66,7

Tatanan Rumah

Rapi 10 55, 6

Tidak Rapi 8 44, 4

Keadaan Selokan

Baik 13 72,2

Buruk 5 27,8

Ketersedian Air Bersih

Tersedia 16 88,9

Tidak Tersedia 2 11,1

Ketinggian Air Genangan Mean ±SD 36, 33 ± 8,3

Median 34

Min-Max 23-52

Rendah (<=36,33) 10 55,6


(70)

air genangan banjir dikelompokkan menjadi tinggi dan rendah berdasarkan nilai mean yaitu 36,33 cm (berdistribusi normal), maka sebagian besar ketinggian airnya rendah (<=36,33) yaitu sebanyak 55,6%.

Penelitian ini juga disertai dengan observasi dan wawancara mendalam pada beberapa variabel penelitian. Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar lingkungan rumah penderita terdapat sampah yaitu sebanyak 66,7%, penderita yang memiliki tatanan rumah yang tidak rapi sebanyak 72,2%, dan 61,1% selokan penderita masih buruk. Adapun hasil wawancara mendalam terkait 3 variabel tersebut adalah:

“ ya gitu.. sampah disini kayak gitu.. dibuangnya ditaruh plasitik aja.. kalau petugasnya ngambilnya cepet ya ngga berantakan.. tapi petugasnya sering telat jadi numpuk kayak gitu.. di samping itu kan kali gede mba.. sampahnya banyak itu... (AD, RB)

Dari kutipan ini dapat dilihat bahwa pembuangan sampah penderita tersebut masih sembarangan dan sampah akan lebih berantakan jika petugas telat mengambilnya. Selain itu disamping rumah penderita tersebut terdapat kali/sungai yang terdapat banyak sampah.

“ya.. Bersih-bersih rumah sudah pastilah.. sampah disitu tu ngga bisa dibersihin.. belakang itu kalinya banyak sampahnya.. emang TPA sih.. sampahnya dari situ tu.. kali itulah selokannya..”

Kutipan diatas menjelaskan bahwa selokan penderita berupa kali/sungai yang terdapat banyak sampah.


(71)

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

1. Pada saat penelitian ada beberapa rumah penderita yang sudah direnovasi dan berpindah rumah sehingga keadaan rumah berbeda dengan keadaan rumah pada saat penderita terdiagnosis Leptospirosis. sehingga pada saat observasi penulis tidak bisa melihat keadaan rumah pada saat penderita terdiagnosis Leptospirosis.

2. Pada saat wawancara berlangsung ada gangguan yang tidak bisa di hindari peneliti yaitu pada saat wawancara pada penderita. Ada 2 penderita yang pada saat diwawancara keluarga dan tetangga penderita ikut menjawab sehingga mempengaruhi jawaban penderita.

3. Setelah dilakukan perbaikan kuisioner (setelah uji validitas dan reliabilitas) peneliti tidak menguji kembali kuisioner tersebut, peneliti hanya mmperbaiki redaksi dari pertanyaan yang tidak valid atau reliabel tersebut.

6.2 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host (Penderita) Kharakteristik penderita terdiri dari umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan, riwayat luka, status pengungsian dan personal hygiene. Berikut adalah pembahasan dari masing-masing variabel tersebut:


(72)

6.2.1 Umur

Kejadian suatu penyakit sering dikaitkan dengan umur. CDC (2012) menyebutkan bahwa manusia dengan segala lapisan umur rentan terhadap infeksi Leptospirosis. Aulia (2012) juga menyebutkan bahwa kejadian Leptospirosis tidak terjadi pada spesifik umur tertentu, Leptospirosis diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara balita sampai lansia yaitu 1 tahun sampai lebih dari 65 tahun.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita berumur 20-40 tahun dan >40 tahun yaitu masing-masing sebanyak 7 38,9%. Sedangkan penderita yang berumur <20 tahun sebanyak 22,2%. Sesuai dengan teori Soejoedono (2004) yang menyebutkan bahwa pada prinsipnya semua umur manusia dapat terserang Leptospirosis karena semua umur mempunyai potensi keterpaparan (exposure potential) dan pengalaman terpapar (exposure experience) yang sama. Akan tetapi kejadian Leptospirosis lebih sering terjadi pada individu berumur antara 20-40 tahun. Poeppl (2013) juga menyebutkan bahwa kasus Leptospirosis banyak terjadi pada kisaran umur tersebut yaitu antara umur 20 sampai 50 tahun.

Penelitian Rejeki (2005) dan Ketaren (2009) menunjukkan bahwa kasus Leptospirosis terbanyak ditemukan pada rentang umur 40–49 tahun dan berumur >20 tahun yaitu sebanyak 83,7%. Pada usia diatas 20 tahun ini atau usia dewasa keatas seseorang berpotensi untuk memiliki tererpaparan yang lebih besar. Subroto (1981) dalam Armandari (2005) menyebutkan


(73)

bahwa Leptospirosis kerap dijumpai pada usia dewasa karena pada usia dewasa mereka mulai bekerja dan banyak beraktifitas di luar rumah sehingga mereka banyak terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi.

Jika dilihat dari kelompok umur yang paling banyak dan jenis kelamin penderita, maka sebagian besar kelompok umur tersebut berjenis kelamin laki-laki yaitu 6 penderita (85,7%) pada umur 20-40 tahun dan 4 penderita (57,1%) pada umur >40 tahun. Artinya kejadian Leptospirosis pada kelompok umur tersebut bisa dikarenakan mereka merupakan laki-laki dewasa sehingga memiliki aktifitas di luar rumah lebih banyak dan pada saat banjir kelompok mereka lebih sering kontak dengan air genangan banjir. Selain itu angka kematian akibat penyakit Leptospirosis meningkat seiring dengan bertambahnya usia penderita. Penderita yang berusia 51 tahun, mortalitasnya mencapai 56% karena kemampuan imunitas akan menurun sesuai dengan peningkatan usia termasuk kecepatan respons imun melawan infeksi penyakit (Widoyono, 2008 dan Fatmah, 2006).

Meskipun kejadian Leptospirosis lebih sering terjadi pada usia dewasa dan tua, kejadian Leptospirosis juga bisa terjadi pada anak-anak. Sehgal et.al (1991), WHO (2004) dan Widoyono (2008) menyebutkan bahwa anak-anak juga dapat terpapar Leptospirosis pada saat mereka bermain di halaman (digenangan air hujan atau lumpur), pada saat berenang dan piknik diluar rumah.


(1)

xlii

f3 setelah kontak dengan genangan air banjir atau lumpur/ tanah becek di dalam m

131.00 285.200 .516 . .192

f4 dimana

Bapak/Ibu/saudara/saudari menyimpan makanan? jawaban boleh dari satu

131.06 283.929 .606 . .188

F5 apakah ibu langsung mandi menggunakan air bersih dan menggunakan sabun setela

130.94 285.129 .516 . .192

G1 Apakah pada saat terjadi banjir

Banjir/Ibu/saudara/saudari mengungsi?

131.00 286.267 .454 . .195

G2 Jika ia apakah tepat pengungsian anda bebas dari ganangan air, lumpur atau ti

131.00 284.000 .587 . .188

H1 Apakah

Bapak/Ibu/saudara/saudari tahu tentang penyakit Leptospirosis atau pen

131.12 283.983 .631 . .188

H2 Menurut

Bapak/Ibu/saudara/saudari, bakteri apa yang

menyebabkan timbulnya pen

129.56 289.862 .025 . .215

H3 menurut

bapak/Ibu/saudara/saudari, bagaimana cara bakteri leptospira masuk ke

130.88 286.117 .463 . .195

H4 Menurut

Bapak/Ibu/saudara/saudari hewan apa yang bisa menularkan penyakit lep

131.06 283.929 .606 . .188

H5menurut

Bapak/Ibu/saudara/saudari kondisi lingkungan yang bagaimana yang dapat

130.88 283.450 .498 . .187

H6 menurut

bapak/Ibu/saudara/saudari apakah penyakit

Leptospirosis dapat di cega

131.12 283.983 .631 . .188

H7a membersihkan sarang

tikus 131.06 284.996 .542 . .191

H7b membersihkan smpah 131.00 281.067 .761 . .180

H7c tidak menggunakan air banjir/ sungai untuk mandi, masak, minum, mencuci dan

130.81 290.562 .210 . .207

H7d menggunakan sarung tangan atau sepatu boot ketika ingin membersihkan rumah a

130.88 285.850 .478 . .194

H7e mandi, mencuci tangan, mencuci kaki dengan air bersih dan sabun setelah kont

131.00 282.000 .705 . .182

H7f menata rumah dengan

rapi 130.69 285.696 .562 . .193


(2)

xliii

H7h menutup lubang-lubang yang bisa di gunakan untuk tempat tinggal tikus

131.00 281.067 .761 . .180

H7i menutup makanan 130.75 289.400 .293 . .204

H7j memakai celana panjang 130.56 291.329 .253 . .209

H7k memakai baju panjang 130.56 291.329 .253 . .209

H8 menurut

Bapak/Ibu/saudara/saudari bagaimana cara pengobatan bila terinfeksi p


(3)

(4)

(5)

(6)