Environment Lingkungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis

27 Penelitian Ramadani 2010 menunjukkan bahwa Penataan Perabot rumah yang semrawuttidak rapi berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai p-value sebesar 0,013 d. Curah hujan Hujan deras akan menyebabkan banjir sehingga meningkatkan risiko Leptospirosis dengan membawa bakteri dan binatang lebih dekat dengan manusia. Bakteri akan cepat lebih cepat menyebar bila bercampur dengan air banjir. Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan paparan bakteri Leptospira pada manusia lewat air, tanah yang terkontaminasi Chin, 2009. Hasil penelitian Rejeki, 2005 menunjukkan bahwa tingginya curah hujan berisiko terkena Leptospirosis sebesar 37 kali dibandingkan dengan curah hujan rendah. e. Ketersediaan Air Bersih Depkes RI 2013 menyebutkan bahwa tujuan penyehatan lingkungan adalah untuk mengatur tatalaksana penyediaan, pengawasan, dan perbaikan kualitas air bersih dan sanitasi. Adanya air bersih akan membantu menurunkan risisko terjadinya penyakit menular seperti diare, typus, scabies, Leptospirosis dan penyakit lainnya. Tidak tersedianya air bersih dapat ditandai dengan masih digunakannya air genangan banjir atau air sungai untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci, memasak dan minum. Seperti yang telah diketahui bakteri Leptospira dapat masuk ke tubuh manusia 28 melalui luka atau lecet pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi, makanan dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi WHO, 2014 dan Chin, 2009. Seghal 1991 menyebutkan bahwa untuk mengontrol dan melindungi dari kontaminasi kuman Leptospira pada masyarakat adalah dengan menjaga sumber air bersih yang digunakan dari binatang pengerat tikus dan perlu diadakan khlorinisasi serta apabila untuk dikonsumsi hendaknya air direbus sehingga mendidih. Penelitian Okatini 2007 yang menunjukkan bahwa 78,9 responden yang memiliki ketersediaan air bersih tidak memenuhi syarat. f. PH Tanah dan PH Air Depkes RI 2008 menyebutkan bahwa Leptospira dapat hidup berbulan-bulan dalam lingkungan yang hangat 28-30 C dan pH relatif netral pH 7,2-8. Bila di air dan lumpur yang paling cocok untuk bakteri Leptospira adalah dengan pH antara 7,0-7,4 dan temperatur antara 28°C-30°C. Bakteri ini dapat hidup dalam air yang menggenang. Karakteristik air pada sawah yang cocok untuk bakteri leptospira adalah air yang menggenang dengan ketinggian 5-10 cm dan pH antara 6,7-8,5 Menurunkan pH air sawah menjadi asam yaitu dengan pemakaian pupukbahan-bahan kimia menyebabkan jumlah dan virulensi bakteri Leptospira berkurang. 29 Hasil penelitian Rejeki 2005 dan Priyanto 2009 penelitian Rejeki menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara pH tanah dengan kejadian Leptospirosis dengan pvalue 0,361 OR 0,3 Priyanto dengan Pvalue 0,523 dan OR=1,28. g. Selokan Sarana Pembuangan Air Limbah Selokan Sarana Pembuangan Air Limbah merupakan tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus ataupun merupakan jalur tikus masuk ke dalam rumah. Hal ini dikarenakan kondisi buangan air dari dalam rumah umumnya terdapat saluran yang terhubung dengan selokan di lingkungan rumah. Peran selokan sebagai media penularan penyakit Leptospirosis terjadi ketika air pada selokan terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri Leptospira Suratman, 2006. Sarana pembuangan air limbah yang sehat yaitu yang dapat mengalirkan air limbah dari sumbernya dapur, kamar mandi ke tempat penampungan air limbah dengan lancar tanpa mencemari lingkungan dan tidak dapat dijangkau serangga dan tikus Field Book, 2009. Sedangkan menurut Rejeki 2005 selokan sehat bila aliran selokan lancartidak menggenang, tidak meluap saat ada hujan, tidak dilewati tikus. Darmodjono 2001 menyebutkan bahwa tikus senang bersarang di got-got dan selokan-selokan, sedangkan tikus merupakan hewan pembawa mikroorganisme Leptospira maka diupayakan selokan- 30 selokan tidak menjadi sarang tikus dan airnya mengalir dengan lancar tidak menggenang. Penelitian Rejeki 2005 menunjukkan bahwa sebagian besar penderita Leptospirosis memiliki kondisi selokan yang buruk yaitu 69. Penelitian Priyanto 2009 menunjukkan bahwa ada hubungan antara kondisi selokan yang buruk dengan kejadian Leptospirosis p=0,002 dan OR 3,28. Penelitian Okatini 2007 menunjukkan bahwa spal yang buruk berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 1,98 h. Keberadaan Tikus di Dalam Maupun di Luar Rumah Depkes RI 2008 menyebutkan bahwa hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis salah satunya adalah rodent tikus. Untuk melihat keberadaan tukus bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan secara visual. Yaitu dengan melihat adanya tanda tanda keberadaan tikus berupa kotoran tikus danatau jejak kaki tikus. Selain itu harus diperhatikan tanda-tanda lain seperti: sisa keratan pada pintukasabuku dan kawat kasa yang berlubang bekas lewat tikus: Pemeriksaan secara nasal penciuman, Informasi dari pihak lain. Berikut adalah gambar kotoran tikus: 31 Gambar 2.3 Kotoran Tikus Sumber: Depkes RI 2008 Penelitian Rejeki 2005 yang menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden 96,8 terdapat tanda-tanda keberadaan tikus. Penelitian Ketaren 2009 menunjukkan bahwa rumah responden yang terdapat keberadaan tikus sebanyak 65. Penelitian Armandari 2005 juga menunjukkan responden yang rumahnya terdapat tikus sebanyak 94,7. Penelitian Armandari 2005 ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara keberadaan tikus dalam rumah dengan kejadian Leptospirosis p=0,000 dan OR 5,87.

2.4 Kerangka Teori

Menggunakan konsep segitiga epidemiologi yang dikolaborasikan dengan teori-teori lain Chin 2009, Depkes RI 2008, Depkes RI 2013, Soejoedono 2008, Rejeki 2005, Widoyono 2008, Mandal 2008 dan Tinheriyani 2012, epidemiologi Leptospirosis dipengeruhi oleh beberapa komponen yaitu komponen host penderita, agent Penyebab dan environment lingkungan. Agent atau penyebab dari penyakit Leptospirosis adalah bakteri Leptospira. Hewan yang bisa menularkan bakteri Leptospira adalah Rodent tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing, kucing serangga dan burung. Akan 32 tetapi dari semua hewan tersebut, tikus merupakan hewan yang paling sering menularkan Leptospirosis. Keberadaan tikus ini dipengaruhi oleh komponen lingkungan seperti: ketinggian air, keberadaan sampah, tatanan rumah, kondisi selokanSPAL, curah hujan, ketersediaan air bersih, PH tanah dan PH air, dan keberadaan tikus di dalam maupun di luar rumah. Bakteri Leptospira yang dibawa oleh tikus dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan mengakibatkan terjadinya penyakit Leptospirosis. masuknya bakteri Leptospira ini ke tubuh manusia Host dipengaruhi oleh beberapa komponen host yaitu: umur, jenis kelamin, riwayat luka, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan, personal hygiene, dan status pengungsian. Adapun epidemiologi kejadian Leptospirosis dapat digambarkan sebagai berikut: 33 Bagan 2.4 Kerangka Teori Sumber: Modifikasi teori John Gordon dalam Bustan 2008, Chin 2009, Depkes RI 2008, Depkes RI 2013, Notoatmodjo 2007, Rejeki 2005, dan Tinheriyani 2012. Leptospirosi s Komponen Lingkungan Environment 1. Ketinggian air 2. keberadaan sampah 3. Tatanan rumah 4. Kondisi selokanSPAL 5. Curah hujan 6. Ketersediaan air bersih 7. PH tanah dan pH air 8. Keberadaan Tikus di dalam maupun di luar rumah Komponen Host penderita 1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Riwayat luka 4. Tingkat pengetahuan 5. Jenis Pekerjaan 6. Status pengungsian 7. Personal Hygiene Agent Penyebab Leptospira Tikus Kucing Babi Anjing Sapi Kambing Serangga Burung 34

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini, peneliti tidak menjadikan semua faktor yang mempengaruhi kejadian Leptospirosis yang telah disebutkan di kerangka teori sebagai variabel penelitian. Adapun faktor yang mempengaruhi kejadian Leptospirosis yang dijadikan variabel penelitian adalah variabel komponen penderitahost umur, jenis kelamin, keberadaan tikus, riwayat luka, tingkat pengetahuan, dan jenis pekerjaan, personal hygiene dan status pengungsian,, dan variabel komponen lingkunganenvironment ketersediaan air bersih, ketinggian air, keberadaan sampah, tatanan rumah, kondisi selokangot, dan keberadaan tikus didalam maupun luar rumah. Bakteri Leptospira tidak dijadikan sebagai variabel penelitian karena peneliti tidak melakukan pemeriksaan terhadap bakteri Leptospira. Selain itu kejadian Leptospirosis ini sudah selesai terjadi penderita sudah sembuh pada saat penelitian dilakukan sehingga sudah dapat dipastikan bahwa semua penderita positif Leptospira. Curah hujan tidak di jadikan sebagai variabel penelitian karena penelitian ini difokuskan pada saat banjir sehingga curah hujan tidak perlu lagi diukur karna untuk kejadian Leptospirosis curah hujan dihubungkan dengan status atau keadaan banjir. sehingga curah hujan sudah diwakili oleh kejadian banjir. Ph tanah dan Ph air tidak dijadikan sebagai variabel penelitian karena Hasil penelitian Rejeki 2005 di Semarang dan Penelitian Priyanto 2004 di