Ketinggian Genangan Air Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Lingkungan

78 Akan tetapi jika dilihat dari hasil wawancara mendalam, sebagian besar penderita mengatakan bahwa ketinggian genangan air banjir pada saat banjir melebihi lutut sehingga sia-sia jika menggunakan sepatu boot. Berikut adalah kutipan beberapa informan penelitian: “Ngga.. saya ngga pake sepatu pas banjir.. percuma aja pake sapatu.. banjirnya diatas lutut tingginya” kalau bajirnya dikit-dikit itu baru pake sepatu”YTM, KKA. “Ada sih itu sepatu bootnya cuma ngga di pakai pas banjir.. banjirnya aja sampai dalam rumah.. kadang sepinggang”AD, KKA “Kalau ngojek biasanya pakai sendal aja.. ribet pakai sepatu boot.. banjirnya tinggi” ya mau pakai kalau banjirnya dikit-dikit” MM, KKA. Hasil wawancara menggunakan kuisioner tidak sama dengan hasil wawancara mendalam karena penulis langsung menghitung rata-ratanya tanpa menyajikan data ketinggian air per harinya. Jika dilihat dari data per harinya ada yang menunjukkan ketinggian air yang mencapai 100 cm. Pada saat wawancara mendalam, informan menyebutkan ketinggian air yang tertinggi tersebut 100 cm. Ada kemunginan juga tinggi lutut responden tidak sama dengan rata-rata standar tinggi lutut yang disebutkan oleh hasil penelitian terdahulu. Penelitian Dwiari 2007 menunjukkan bahwa bahwa kasus Leptospirosis di Jakarta lebih banyak tersebar di wilayah dengan rata-rata ketinggian air genangan akibat banjir yang lebih tinggi yaitu antara 51-100 cm. Meskipun ketinggian air penelitian Dwiari dan penelitian ini tidak 79 sama, akan tetapi semuanya berpotensi untuk terkena Leptospirosis. Hal ini bisa diakibatkan karena pemakaian alat pelindung diri seperti sepatu boot. Pada saat ketinggian genangan air akibat banjir tinggi maka pemakaian sepatu boot akan menjadi sia-sia. Sehingga orang tidak melakukan upaya pencegahan dengan sepatu boot dan bakteri Leptospira yang dibawa oleh genangan air akibat banjir akan dengan mudah masuk kedalam tubuh. Begitu pula jika ketinggian genangan air akibat banjir rendah, seharusnya menggunakan sepatu boot, dalam kasus ini responden sama-sama tidak memakai sepatu boot. Oleh sebab itu perlu dihimbau dan diingatkan agar warga menggunakan sepatu boot pada saat terjadi banjir jika memungkinkan. Dan jika ketinggian air genangan akibat banjir tinggi maka warga dihimbau untuk mengungsi ketempat yang lebih aman atau di pos pengungsian untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan.

6.3.3 Keberadaan Sampah

Keberadaan sampah pada penelitian ini dilihat dari ada tidaknya sampah didalam dan dilingkungan rumah responden, yaitu dengan melihat dimana sampah dibuang, bagaimana tempat pembuangan sampahnya dan sering tidaknya sampah dibuang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penderita 66,7 terdapat sampah di lingkungan dirumahnya. Ningsih 2009 menyebutkan bahwa adanya kumpulan sampah di sekitar rumah akan menjadi tempat yang disenangi tikus. Keberadaan 80 sampah terutama sampah sisa –sisa makanan yang diletakkan ditempat sampah yang tidak memenuhi syarat tertutup akan mengundang kehadiran tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus Leptospirosis. Tumpukan sampah akan menjadi menjadi tempat bersarang dan mencari makan tikus. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rejeki 2005 yang menunjukkan bahwa sebagian besar lingkungan rumah responden terdapat sampah yaitu 61,9. Penelitian ini melihat ada tidaknya sampah yang bisa menjadi indikator keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah 3 minggu sebelum dirawat di RS melalui wawancara dan observasi. Dalam penelitian Rejeki ini penulis belum bisa menemukan bagaimana peneliti melihat ada tidaknya sampah. Pertanyaan untuk keberadaan sampah belum bisa ditemukan dalam penelitian ini, ada kemungkinan bahwa kategori yang dipakai untuk melihat ada tidaknya sampah sama dengan pengkategorian yang dipakai peneliti sehingga hasil penelitiannya sama. Pada penelitian ini keberadaan sampah dilihat dari hasil wawancara mengenai dimana penderita membuang sampah sehari-hari, bagaimana tempat pembuuangan sampahnya tertutupterbuka dan sering atau tidaknya responden membuang sampah. Selain wawancara peneliti juga melakukan observasi. Hasil observasi pada penelitian ini sama dengan hasil wawancara menggunakan kuisioner yaitu sebagian besar penderita 66,7 terdapat sampah di lingkungan drumahnya. Pada umumnya sampah dibuang ditempat terbuka 81 dan berserakan, selain itu adanya sampah ini juga disebabkan karena adanya kali yang kotor dan TPA di sekitar rumah penderita. Hal ini bisa dilihat dari hasil wawancara mendalam dan hasil observasi yang ada pada lampiran. Berikut kutipan yang didapat dari wawancara mendalam: “ ya gitu.. sampah disini kayak gitu.. dibuangnya ditaruh plasitik aja.. kalau petugasnya ngambilnya cepet ya ngga berantakan.. tapi petugasnya sering telat jadi numpuk kayak gitu.. klo selokan ya kayak itu di depan.. dibelakang juga ada.. bersih kok.. kalinya itu mungkin mba..” AD, KKA “....dibelakang rumah ada kali mba..ada pembuangan sampah.. jadi ya gitu kelihatannya kotor”YTM, KKA. Karena sebagian besar penderita belum memiliki kepedulian untuk menjaga lingkungan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk membersihkan sampah ada yang bisa diselesaikan mereka sendiri misalnya sampah yang ada di dalam maupun sekitar rumah dan ada yang yang harus diselesaikan bersama misalnya sampah di tempat umum dan TPA. Oleh sebab itu diperlukan kerjasama banyak pihak seperti warga, pihak PU, aparat pemerintahan setempat dan petugas kesehatan untuk duduk bersama membahas dan mengatasi masalah sampah ini.

6.3.4 Tatanan Rumah

Hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa sebagian besar penderita memiliki tatanan rumah rapi yaitu sebanyak 10 penderita 55,6 dan 82 penderita yang memiliki tatanan rumah tidak rapi sebanyak 8 responden 44,4. Sedangkan berdasarkan observasi sebagian besar penderita memilili tatanan rumah yang tidak rapi yaitu sebanyak 13 penderita 72,2 dan 5 penderita 27,8 memiliki tatanan rumah rapi. Perbedaan ini disebabkan karena pertanyaan mengenai tatanan rumah hanya menayakan apakah ada tumpukan barang-barang yang tidak terpakai di dalamdiluar rumah dan bagaimana cara penderita menata rumahnya apakah rapi atau tidak. Penderita menjawab mereka menata rumah dengan rapi dikarenakan mereka malu untuk menjawab tidak rapi dan kriteria rapi yang dipakai penderita dan peneliti tidak sama sehingga pada saat observasi hasilnya berbeda. Seperti yang sudah diketahui tatanan rumah yang tidak rapi bisa menjadi habitat tikus. Depkes RI 2000 menyebutkan bahwa keadaan dalam rumah harus bersih dan teratur artinya rumah tertata dengan baik, rapi, tidak terdapat tumpukan barang, tidak terdapat baju bergelantungan perabotan tersusun rapi dan bersih. Sehingga tidak mengundang hewan- hewan yang merugikan seperti tikus. Peraturan Pemerintah no. 81 tahun 2012 juga menyebutkan bahwa adanya tumpukan barang-barang bisa mengakibatkan perkembangan habitat tikus. Penelitian Armandari 2005, Ramadani 2010 dan Ikawati 2010 juga menunjukkan sebagian besar rumah penderita mempunyai tatanan tidak rapi yaitu masing-masing 93, 71,8 dan 80,6 penderita. Kategori tatanan rapi dan tidak rapi yang digunakan hampir sama dengan kategori yang digunanakan peneliti sehingga hasil yang didapatkan sama. Ramadani