Grafik 4: Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi
Sumber: Nikkei Asian Reviews 2012 Dari survei di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang mulai
menginginkan perubahan dalam konstitusi, khususnya dalam bidang pertahanan dan keamanannya. Hal ini menjadi faktor internal pendorong bagi Jepang untuk
terus mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan. Walaupun hingga sekarang pasal 9 belum juga diamandemen, tetapi dalam implementsinya Jepang tidak lagi
berlandaskan pada pasal tersebut, hanya menunggu waktu saja agar pasal 9 Konstitusi 1947 diamanden Prajuli 2008.
4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok
Faktor yang mempengaruhi AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang adalah peningkatan militer Tiongkok yang
dalam beberapa tahun terakhir terus meningkatkan kekuatan militernya. Amerika Serikat yang mempunyai kepentingan untuk terus menjadi hegemon di kawasan
Asia Timur melihat kebangkitan militer Tiongkok sebagai ancaman serius di kawasan ini. Dengan kemitraan yang dibangun bersama Jepang dan Korea
Selatan, AS mengharapkan kawasan Asia Timur bebas dari pengaruh Tiongkok
56 28
16
Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi
Setuju Amandemen Pasal 9 56
Tidak Setuju 28 Tidak Mengerti 16
dan Korea Utara. Jepang juga melihat kekuatan militer Tiongkok yang terus berkembang menimbulkan Security Dilemma, di mana Jepang harus
meningkatkan kekuatan militernya untuk setidaknya dapat mempertahankan wilayahnya dari ancaman Tiongkok. Perubahan kekuatan militer dibutuhkan
Jepang untuk memberi rasa aman ketika bersengketa dengan Tiongkok yang memiliki kekuatan militer yang kuat, misalnya pada sengketa wilayah Kepulauan
Senkaku Sukma 2009. Akan tetapi jika melihat kebelakang, militer bukan awal fokus dari
Tiongkok dalam pembangunan negara. Sejak tahun 1980 Tiongkok memulai sebuah program untuk menghilangkan hambatan-hambatan antara sipil dan
militer. Program ini menunjukkan kesuksesan untuk beberapa tahun, tetapi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pusat membuat pemerintah
mengalihkan perhatian ke perekonomian dibandingkan modernisasi kekuatan militer Lilley 1996. Tiongkok memang menginginkan untuk membangun negara
dengan tingkat ekonomi kelas dunia. Namun ternyata mereka juga berkomitmen untuk membangun kekuatan militer yang modern. Maka dari itu para pemimpin
sipil dan militer di Tiongkok mendukung tujuan nasional untuk menciptakan status Tiongkok sebagai kekuatan dunia. Mereka menganggap bahwa kunci untuk
menjadi negara yang kuat harus memiliki kekuatan baik itu dalam bidang ekonomi maupun militer Sukma 2009.
Tiongkok dipersepsikan oleh banyak negara akan menjadi superpower baru di masa depan, tidak hanya karena ekonominya yang mengalami
pertumbuhan sangat kuat hingga mencapai rata-rata 9-10 per tahun terutama
pada dekade 1990-an tetapi juga karena kekuatan militernya Moore 2008. Perkembangan Ekonomi Tiongkok yang pesat berdampak besar pada
meningkatnya anggaran militer Tiongkok yang berbanding lurus dengan peningkatan kemampuan militernya. Pengembangan kekuatan militer Tiongkok
inilah yang menjadi isu hangat internasional, khususnya di kawasan Asia Timur Kharismaya 2013.
Tiongkok telah berhasil sebagai kekuatan potensial yang mampu mengimbangi AS sebagai pemain utama di kawasan Asia Timur. Fenomena
kebangkitan Tiongkok ini merupakan hasil langsung dari proses modernisasi yang dijalankan oleh pemerintah Tiongkok pasca Mao Zedong sejak tahun 1979 Tjeng
1983. Secara ekonomi, Tiongkok telah menjadi raksasa yang impresif. Dalam hal purchasing power parity, ekonomi Tiongkok diperkirakan akan menyamai
ekonomi AS pada tahun 2020 atau 2030. Pada tahun 2050, Tiongkok diperkirakan akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, melampaui AS, Jepang dan
Eropa Sukma 2009. Kemajuan ekonomi memungkinan Tiongkok untuk mengalokasikan sebagian dari kekayaannya itu untuk memodernisasi dan
membangun kekuatan militer. Dalam U.S Annual Report to Congress on The Military Power of The PRC
2003, Tiongkok melakukan transformasi militer tidak hanya pada persenjataan mereka, tetapi juga pada anggaran dan doktrin militer. Peningkatan kekuatan
militer Tiongkok dapat dilihat juga dari doktrin militer mereka yang berubah, dari “predominately annihililation” menjadi menggunakan “coercive war fighting”.
Doktrin “coercive war fighting” memiliki dua strategi dalam operasional pasukan
militer Tiongkok, yaitu pertama, “actively taking initiative” atau penyerangan dengan memanfaatkan waktu dengan optimal; kedua ”catching enemy
unprapared” tipuan pada persembunyian pasukan agar musuh mengira mereka menang jumlah pasukan dan selanjutnya melakukan serangan kejutan dengan
pasukan yang bersembunyi U.S Annual Report to Congress on The Military Power of The PRC 2003.
Tiongkok juga melakukan peningkatan pada kekuatan persenjataan pada semua angkatan bersenjatanya. Beberapa peningkatan kekuatan militer Tiongkok
pada Angkatan Darat, Laut dan Udara: pertama, kekuatan darat Tiongkok dengan meningkatkan kekuatan lebih dari 1000 tank dengan senjata tipe 59, memproduksi
tank tipe 96 di tahun 2005, dan Angkatan Darat Tiongkok lebih efektif lagi dalam menerapkan Command, Control, Communications, Computers and Intelligence
C41; kedua, dari kekuatan laut, Tiongkok memproduksi sendiri kapal selam dengan tenaga dissel-listrik SONG YJ-82 yang mempunyai misil dalam laut dan
memproduksi kapal selam penyerang tipe 93 dengan torpedo dan misil penghancur; ketiga, Angkatan Udara Tiongkok meningkatkan jangkauan udara
dengan radar AA-12ADDER dan menambah jumlah unit pesawat tempur Su- 30MKK Fighter dari Rusia Sutter 2005.
Terdapat perubahan dalam prioritas strategi militer Tiongkok dengan meningkatkan sistem pertahanan udara, laut berikut persenjataannya. Maka dari
itu sampai saat ini prioritas kapabilitas militer Tiongkok tidak hanya pada kekuatan darat, tetapi juga udara dan laut. Untuk menjaga keamanannya,
Tiongkok mendeklarasikan untuk mempertahankan kedaulatan nasional, integritas