Infusa Landasan Teori PENELAAHAN PUSTAKA

khususnya CYP450, dan atau transporter obat P-gp. Seperti diketahui, CYP450 merupakan enzim penting dalam metabolisme obat fase I Hussain, 2011.

D. Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90 o C selama 15 menit. Simplisia nabati sendiri merupakan bahan alamiah berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman yang digunakan untuk obat dan belum diolah serta belum merupakan zat murni. Kecuali dinyatakan lain, simplisia merupakan bahan yang telah dikeringkan Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010 . Metode infundasi yang digunakan dalam pembuatan infusa bertujuan untuk menyari kandungan aktif simplisia yang larut dalam air panas. Penyarian ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar bakteri dan jamur, sehingga sari yang diperoleh harus segera diproses sebelum 24 jam. Metode ini sangat sederhana dan sering digunakan oleh perusahaan obat tradisional Direktorat Obat Asli Indonesia, 2013. Cara pembuatan infusa yaitu bahan baku ditambah dengan air, pada umumnya jika tidak dinyatakan lain diperlukan 100 bagian air untuk 10 bagian bahan, kemudian dipanaskan selama 15 menit pada suhu 90 o C. Penyarian dilakukan menggunakan pemanasan tidak langsung, di mana campuran diletakkan tepat di atas panci berisi air yang dipanaskan. Penyaringan dilakukan saat cairan masih panas, kecuali bahan yang mengandung minyak atsiri Direktorat Obat Asli Indonesia, 2013.

E. Nyeri

Nyeri adalah sensori tidak menyenangkan dan emosional yang berkaitan dengan adanya kerusakan jaringan. Nyeri timbul jika rangsang mekanik, kimia, termal, atau listrik melampau nilai ambang nyeri dan menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa nyeri Dipiro, Talbert, Yee, Matzke , Wells, and Posey, 2008. Ambang nyeri adalah tingkat pada mana nyeri dirasakan untuk pertama kalinya, atau intensitas rangsangan terendah pada saat seseorang merasakan nyeri. Setiap orang memiliki ambang nyeri yang konstan Tjay dan Rahardja, 2008. Dipiro, Talbert, Yee, Matzke , Wells, and Posey 2008 membagi klasifikasi nyeri menjadi dua berdasarkan patologi yang memicu,yaitu jalur nosiseptif dan neuropatik. Nyeri nosiseptif berifat akut, sedangkan neuropatik bersifat kronis.

1. Nyeri nosiseptif

Nyeri nosiseptif diklasifikasikan menjadi nyeri somatikperifer jaringan kulit, tulang, otot, sendi atau jaringan konektif dan viseral organ internal seperti usus besar atau pankreas. Patofisiologi nyeri menurut Nugroho 2011 dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu stimulasi, transmisi, persepsi, dan modulasi. a. Stimulasi Rangsangan nyeri kimiawi, mekanik, panas akan merangsang pelepasan mediator nyeri meliputi bradikinin, ion kalium, histamin, serotonin, substansi P, dan prostalglandin dan leukotrien. Mediator tersebut mengaktivasi reseptor nyeri nosiseptor pada ujung syaraf, menimbulkan potensial aksi yang lalu diteruskan melalui serabut syaraf aferen menuju sumsum tulang belakang. b. Transmisi Penghantaran nosiseptif melibatkan serabut syaraf aferen C dan Aδ. Serabut Aδ bermyelin sehingga menghantarkan respon cepat, menghasilkan sensasi nyeri tajam dan terlokalisasi. Serabut C tidak bermyelin sehingga penghantarannya lambat, menghasilkan sensasi nyeri tumpul, nyeri panas. Setelah penghantaran impuls, ujung serabut syaraf aferen yang membentuk sinaps dengan bagian tanduk dorsal sumsum tulang belakang melepaskan mediator glutamat, substansi P dan calcitonin gene-related peptide CGRP. Penghantaran impuls diteruskan menuju talamus otak. c. Persepsi Dari talamus otak impuls diteruskan ke bagian otak lain, misalnya korteks terjadi lokalisasi nyeri, reaksi pertahanan koordinasi pada lokasi kerusakan sel, sistem limbik penilaian sensasi nyeri, otak kecil reaksi pertahanan terkoordinasi. d. Modulasi Tubuh lalu memodulasi sensasi nyeri melalui beberapa proses. Satu sistem yang dominan terlibat dalam proses nyeri adalah sistem opioid endogen, yang terdiri dari neurotransmitter enkefa lin, dinorfin, β-endorfin dan reseptor opioid mu, delta, kappa yang terdapat menyeluruh di sistem syaraf pusat. Opioid endogen ini berinteraksi dengan reseptor opioid dan menghambat transmisi nyeri. Selain itu, sistem syaraf pusat memiliki sistem pengatur transmisi nyeri yaitu descending control system yang dapat menghambat transmisi nyeri pada sinaptik tanduk dorsal sumsum tulang belakang.

2. Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik kronis terjadi akibat proses input sensorik yang abnormal oleh SSP atau perifer. Kerusakan saraf atau rangsangan terus menerus dapat menyebabkan sirkuitlintasan nyeri yang menimbulkan rangsangan saraf secara spontan, rangsangan nyeri saraf autonom dan meningkatkan pelepasan bahan dari syaraf tanduk dorsal yang progresif. Sindrom nyeri neuropatik yang sulit diatasi seperti nyeri punggung bawah, neuropati diabetik, nyeri akibat kanker, luka pada sumsum tulang belakang Dipiro, Talbert, Yee, Matzke , Wells, and Posey, 2008. Eikosanoid merupakan senyawa-senyawa yang terlibat dalam kontrol berbagai proses fisiologis, dan merupakan mediator-mediator penting serta modulator dalam nyeri dan reaksi inflamasi. Eikosanoid yang utama yaitu prostalglandin, tromboksan, dan leukotrien Rang, Dale, Ritter, and Fowler, 2008. Prostalglandin berperan penting sebagai aktivator primer pada nosiseptor perifer, serta mengawali respon inflamasi dan sensitisasi perifer, yang meningkatkan pembengkakan jaringan dan nyeri pada sisi cedera Sinatra, de Leon-Casasola, Ginsberg, Viscusi, 2009. Prostalglandin disintesis oleh asam arakidonat. Biosintesis prostalglandin dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 4. Biosintesis prostalglandin Parente and Perreti, 2001 Pembentukan prostalglandin dikatalis oleh enzim prostalglandin sintase. Prostalglandin sintase lebih sering disebut siklooksigenase COX. Terdapat 2 gen siklooksigenase, yaitu COX-1 dan COX-2. Keduanya mengkatalis reaksi yang sama, meskipun COX-2 bekerja pada substrat yang lebih luas. COX-1 secara konstitutif diekspresikan pada jaringan, sedangkan COX-2 hanya teraktivasi pada saat terjadi stimuli inflamasi Brandt, 2004.

F. Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja, analgetika dibedakan menjadi analgetika opioid dan analgetika nonopioid Fulcher, Fulcher, and Soto, 2012.

1. Analgesik opioid dan opiat analgesik narkotik

Analgesik ini merupakan analgesik kuat yang berasal dari derivat opium atau senyawa sintetik yang memproduksi efek farmasetis sama dengan opium. Jika berasal dari opium murni, misalnya kodein dan morfin, maka disebut opiat. Opioid merupakan senyawa sintetik seperti meperidine dan fentanil. Analgesik narkotik digunakan untuk menangani nyeri akut sedang hingga berat. Mekanisme kerja analgesik narkotik adalah mengubah persepsi nyeri dengan kerja yang menyerupai endorfin, memblokir transmisi impuls nyeri dan meningkatkan ambang nyeri. Selain analgesik, obat golongan ini memiliki efek antitusif dan sedatif. Ketergantungan adiksi dapat terjadi ketika dilakukan penggunaan jangka panjang Fulcher, Fulcher, and Soto, 2012.

2. Analgesik nonopioid

Analgesik nonopioid disebut juga analgetik perifer, yang bekerja merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer Tjay dan Rahardja, 2008. Kebanyakan analgesik nonopioid seperti aspirin, ibuprofen, dan parasetamol tersedia dalam bentuk obat bebas. Ada berbagai macam penggolongan analgesik nonopioid, seperti analgesik salisilat aspirin, nonsalisilat parasetamol, dan non steroidal anti inflammatory drugs NSAID atau obat antiinflamasi nonsteroid ibuprofen, asam mefenamat, indometasin, celecoxib, dan sebagainya. Analgesik nonopioid umum digunakan sebagai kontrol nyeri ringan hingga sedang dan sebagian besar memiliki tiga karakteristik meliputi antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik Fulcher, Fulcher, and Soto, 2012. Mekanisme kerja dari analgesik nonopioid sebagian besar berdasarkan pada penghambatan sintesis prostalglandin, di mana enzim siklooksigenase diblokir Tjay dan Rahardja, 2008. Mekanisme pemblokiran siklooksigenase COX oleh analgesik nonopioid dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 5. Penghambatan COX -1 2 oleh analgesik nonopioid Aspirin memiliki keunikan mekanisme kerja di mana aspirin menghambat COX secara ireversibel. Golongan NSAID lainnya menghambat COX secara reversibel. Ditemukannya dua macam COX menyebabkan pengembangan lebih lanjut mengenai selektifitas dari aksi analgesik Rang, Dale, Ritter, and Fowler, 2008. NSAID yang ideal hendaknya hanya menghambat COX-2 COX-2 terbentuk jika terjadi inflamasi dan tidak menghambat COX-1 COX-1 memiliki fungsi melindungi mukosa lambung. Sampai saat ini, hanya tersedia beberapa obat yang bekerja selektif COX-2 yaitu nabumeton, meloxicam, dan celecoxib Tjay dan Rahardja, 2008.

G. Ibuprofen

Gambar 6. Struktur kimia ibuprofen Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 Ibuprofen Gambar 6 adalah derivat asam propionat yang merupakan golongan Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs. Ibuprofen diindikasikan untuk terapi penyakit inflamasi dan gangguan rematoid seperti juvenile rheumatod arthritis, mengobati nyeri ringan hingga sedang, demam, dan dismenorrhea Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008.

1. Sifat fisikokimia

Ibuprofen memiliki wujud berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah. Ibuprofen sangat mudah larut dalam etanol, methanol, aseton dan kloroform, sukar larut dalam etil asetat dan praktis tidak larut dalam air Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Dalam bentuk suspensi, ibuprofen stabil dalam agen pesuspensi yaitu karboksimetilselulosa natrium CMC Na dengan konsentrasi 1 Wulansari, 2012.

2. Bentuk sediaan

Ibuprofen tersedia dalam bentuk tablet 200, 400, 600, dan 800 mg dan suspensi 100 mg5 ml Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008.

3. Mekanisme kerja

Mekanisme kerja ibuprofen adalah menghambat enzim siklooksigenase 1 dan 2 COX-1 dan COX-2 sehingga menurunkan pembentukan perkusor prostalglandin. Ibuprofen memiliki sifat analgesik, antipiretik dan antiinflamasi Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008.

4. Farmakokinetika

a. Onset aktif : analgesik : 30-60 menit b. Durasi : 4-6 jam c. Absorpsi : secara oral obat diabsorpsi cepat mencapai 85 d. Ikatan protein : 90 sampai 99 e. Metabolisme : hepatik melalui reaksi oksidasi f. Waktu paruh : dewasa 2-4 jam g. Ekskresi : urin 80 berupa metabolit, 1 berupa obat; beberapa melalui feses Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008

5. Dosis terapi untuk dewasa

a. Untuk nyeri inflamasi, tablet oral 400-800 mg 3-4 kali sehari maksimum 3,2 gram hari b. Untuk analgesiknyeridemamdismenorrhea, tablet oral 200 mg setiap 4-6 jam jika perlu maksimm 1200 mg24 jam Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008

6. Efek samping

Efek samping dengan persentase kejadian 1-10 yaitu meliputi edema, pusing, sakit kepala, nervous, ruam dan gatal pada kulit, retensi cairan, tinnitus, dan sejumlah gangguan gastrointestinal nyeri epigastric, mual, nyeri abdominal, turunnya nafsu makan, konstipasi, diare, dispepsia, flatulensi, dan muntah Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008.

7. Kontraindikasi

Ibuprofen dikontraindikasikan dengan pasien yang hipersensitivitas terhadap ibuprofen, aspirin, NSAID lainnya atau komponen apapun pada formulasi; nyeri perioperatif pada pembedahan CABG coronary artery bypass graft Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008.

8. Interaksi obat

Interaksi ibuprofen dengan obat lain hampir mirip dengan interaksi golongan obat NSAID lainnya, yaitu interaksi dengan antihipertensi ACEI dan ARB, beta blocker, diuretik loop, diuretik tiazid penurunan efek antihipertensi, antibiotik aminoglikosida, vankomisisn dan kuinolon, antikoagulan dan antiplatelet, antidepresan, turunan bifosfonat, kortikosteroid, siklosporin, desmporessin, ketorolac, lithium, methotrexate, probenesid, SSRI, dan treprostinil. Interaksi dengan golongan NSAID lain dapat menimbulkan peningkatan efek sampingtoksik NSAID. Interaksi yang berisiko tinggi terjadi adalah dengan substrat enzim CYP2C9 lainnya, dengan efek penurunan metabolisme dari ibuprofen Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008. Efek interaksi ibuprofen dengan makanan yaitu penurunan kadar serum puncak ibuprofen. Ibuprofen sebisa mungkin tidak diminum bersama dengan alkohol karena dapat meningkatkan iritasi mukosal lambung. Interaksi ibuprofen dengan herbal kebanyakan terjadi pada herbal yang mengandung kumarin dan memiliki aktivitas antikoagulan seperti alfaalfa, anise, bilberry. Interaksi ini dapat meningkatkan efek sampingtoksik dari NSAID, di mana pendarahan dapat terjadi Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008.

9. Jalur metabolisme ibuprofen

Jalur metabolisme ibuprofen dapat dilihat pada gambar 7. Metabolisme primer ibuprofen adalah reaksi oksidasi yang melibatkan enzim-enzim CYP450. Metabolit primer yang ditemukan di dalam urin kebanyakan adalah karboksi- ibuprofen dan 2-hidroksi ibuprofen, 3-hidroksi ibuprofen, dan sedikit 1-hidroksi ibuprofen. Metabolit hidroksi dan karboksi tersebut tidak aktif secara farmakologis. Ibuprofen dimetabolisme sempurna namun terdapat sedikit obat yang tidak diubah obat utuh ditemukan di dalam urin. Terdapat perbedaan rute metabolisme pada enansiomer yang berbeda. S-ibuprofen secara dominan dimetabolisme oleh CYPC29 sedangkan R-ibuprofen dengan CYP2C8. Kira-kira 50-65 R-ibuprofen diinversikan menjadi S-ibuprofen melalui asil-coA thioester oleh enzim alfa-metilasil-koenzim rasemase AMACR Mazaleuskaya, Theken, Li, Thorn, Fitzgerald, et al., 2014. Metabolisme sekunder ibuprofen melalui glukuronidasi terjadi melalui enzim-enzim UDP-glucuronosiltransferase UGT. Ikatan kovalen ibuprofen- glukuronida dengan protein plasma dapat meningkatkan risiko toksisitas. Konjugasi thiol juga terjadi meski dalam jumlah sangat kecil yaitu kurang dari 1 Mazaleuskaya, Theken, Li, Thorn, Fitzgerald, et al., 2014. Gambar 7. Jalur metabolisme ibuprofen Mazaleuskaya, Theken, Li, Thorn, Fitzgerald, et al., 2014

H. Metode Uji Analgesik

Nyeri merupakan gejala dari berbagai penyakit yang memerlukan penanganan atau pengobatan dengan analgesik. Metode uji in vivo penting untuk mengetahui aktivitas analgesik pada subjek hewan uji sebelum senyawa dapat diberikan pada manusia Vogel, 2002. Berikut uji aktivitas analgesik untuk golongan opioid dan nonopioid :

1. Uji aktivitas analgesik opioid

Uji yang umum digunakan untuk aktivitas analgesik dari obat-obat analgesik sentral menurut Vogel 2002 adalah: a. Haffner’s tail clip method Pada metode ini, arteri pada pangkal ekor mencit dijepit untuk menginduksi nyeri. Mencit akan merespon cepat dengan menggigit jepitan atau ekor. Senyawa analgesik diinjeksikan secara subkutan atau diberikan secara oral pada mencit yang dipuasakan 15, 30 atau 60 menit sebelumnya. Metode ini cukup sensitif untuk morfin. b. Radiant heat method Mencit diletakkan pada kandang dengan ekor diletakkan di luar kandang. Cahaya yang memiliki panas radian ditembakkan langsung pada sepertiga ekor mencit. Mencit akan mencoba menarik ekornya menjauh dan menggoyangkan kepala. Reaksi dihitung 6 detik sejak cahaya ditembakkan. c. Hot plate method Mencit diletakkan pada papan metal dengan permukaan yang panas suhu 55 o -56 o C dan waktu mencit mulai meloncat karena panas dicatat oleh stopwatch. Respon tersebut dicatat sebelum dan sesudah 20, 60, 90 menit dari pemberian senyawa analgesik.

2. Metode uji analgesik nonopioid

Metode pengujian aktivitas analgesik untuk analgesik perifer menurut Turner 1965 adalah sebagai berikut: a. Metode rangsang kimia Nyeri diinduksi oleh injeksi suatu iritan melalui rongga perut atau peritoneal mencit. Mencit akan bereaksi dengan karakteristik berupa peregangan yang disebut geliat. Uji ini sesuai untuk mendeteksi aktivitas analgesik, meskipun beberapa agen psikoaktif juga menunjukkan aktivitas tersebut. Zat kimia atau iritan yang biasa digunakan yaitu asam asetat dan fenil kuinon. Pemberian analgesik akan mengurangi jumlah geliat dalam jangka waktu tertentu. Penghambatan geliat yang merupakan persen proteksi senyawa analgesik diukur dengan persamaan menurut Handerson- Forsaith yaitu: �� � = 100 − � � × 100 Keterangan : O = Jumlah kumulatif geliat hewan uji kelompok perlakuan. K = jumlah kumulatif geliat hewan uji kelompok kontrol. b. Metode pedodolorimeter Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur aktivitas analgesik. Alas kandang tikus yang terbuat dari kepingan metal dapat menghantarkan listrik. Tikus diletakkan pada kandang tersebut dan dialiri oleh listrik. Respon berupa teriakan tikus dan pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama satu jam. c. Metode rektodolorimeter Metode ini menggunakan tegangan listrik yang dihubungkan dari voltmeter ke kandang tikus dengan alas tembaga. Tembaga dihubungkan dengan penginduksi berupa gulungan, dan ujung gulungan dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Voltmeter terhubung oleh konduktor dan dilakukan pemberian tegangan sebesar 1-2 volt. Respon juga berupa teriakan dari hewan uji yang dihitung setiap 10 menit selama 1 jam.

I. Asam Asetat

Gambar 8. Struktur asam asetat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 Asam asetat Gambar 8 memiliki rumus kimia C 2 H 4 O 2 dan wujud berupa cairan, jernih tidak berwarna, bau khas menusuk dan rasa asam yang tajam. Asam asetat dapat bercampur dengan air, dengan etanol, dan dengan gliserol Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Asam asetat digunakan dalam uji aktivitas analgesik metode rangsang kimia sebagai senyawa penginduksi nyeri. Nyeri berasal dari reaksi inflamasi akut lokal yaitu pelepasan asam arakidonat dari jaringan fosfolipid melalui jalur siklooksigenase dan menghasilkan prostalglandin, terutama prostalglandin E 2 dan prostalglandin F 2 α di dalam cairan peritoneal. Prostalglandin menyebabkan rasa nyeri dan meningkatkan permeabilitas kapiler Mohan, Gulecha, Aurangabadkar, Balaraman, Austin and Thirugnanasampathan, 2009.

J. Landasan Teori

Interaksi obat merupakan perubahan efek dari suatu obat akibat adanya obat atau minuman atau herbal atau makanan atau agen kimia lainnya. Interaksi obat dapat mengakibatkan penurunan maupun peningkatan efikasi obat, namun juga berisiko peningkatan efek samping dan toksisitas obat. Maka dari itu, penggunaan obat bersamaan dengan obat atau senyawa lainnya perlu mendapat perhatian khusus untuk mencegah adanya interaksi obat yang tidak diinginkan. Interaksi obat dengan obat herbal perlu mendapat perhatian khusus, karena obat herbal mengandung lebih dari satu bahkan banyak senyawa yang aktif secara farmakologis. Pada umumnya, masyarakat menggunakan obat herbal dalam bentuk yang praktis seperti minuman. Pemahaman bahwa obat herbal masuk ke dalam obat bebas menyebabkan masyarakat cenderung tetap menggunakan obat konvensional bersamaan dengan meminum obat herbal tanpa memperhatikan risiko adanya interaksi obat. Nyeri merupakan salah satu gejala penyakit berupa sensasi tidak menyenangkan dan emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan. Pada umumnya nyeri ringan hingga sedang ditangani secara swamedikasi dengan analgesik. Senyawa analgesik merupakan senyawa yang mampu menekan rasa nyeri. Senyawa ini dapat berasal dari obat konvensional namun juga terdapat pada kandungan aktif tanaman yang diisolasi dalam bentuk obat atau minuman herbal. Ibuprofen merupakan obat konvensional yang memiliki efek analgesik. Obat ini termasuk dalam golongan NSAID Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs yang bekerja menghambat biosintesis prostalglandin. Ibuprofen memiliki kekurangan yaitu efek samping pada gastrointestinal. Karena itu banyak masyarakat yang berpindah pada obat herbal yang memiliki risiko efek samping rendah. Ekstrak kelopak bunga rosela Hibiscus sabdariffa L. diketahui juga memiliki aktivitas analgesik Ali, Ashraf, Biswas, Karmakar, and Afroz, 2011. Kemungkinan mekanisme analgesik yang dimiliki berasal dari kandungan flavonoid, antosianin, dan polifenol yang ada dalam kelopak bunga rosela. Antosianin diduga memiliki aktivitas menghambat enzim siklooksigenase pembentuk prostalglandin. Banyak masyarakat juga menggunakan obat herbal seperti seduhan rosela untuk meminum obat. Maka dari itu terdapat kemungkinan interaksi jika rosela digunakan bersamaan dengan ibuprofen. Interaksi obat dan obat herbal banyak terjadi pada saat proses metabolisme obat fase I, yang diperantarai oleh enzim sitokrom P450 CYP450. Inhibisi enzim dapat memperlambat metabolisme obat dan akumulasi obat aktif dalam tubuh, yang berakibat pada toksisitas obat. Induksi enzim dapat mempercepat metabolisme obat yang berakibat pada penurunan efikasi obat. Berdasarkan sifat efek pasangan obat yaitu homoergi sepasang obat menimbulkan efek sama, heteroergi sepasang obat salah satu saja menimbulkan efek tertentu, homodinami sepasang obat homoergi dengan mekanisme kerja sama, dan heterodinami sepasang obat homoergi dengan mekanisme kerja berbeda, interaksi obat dapat digolongkan menjadi interaksi homoergi- homodinami serta homoergi-heterodinami dan heteroergi. Interaksi homoergi- homodinami menimbulkan luaran efek penambahan infra, sederhana, atau supra sedangkan homoergi-heterodinami dan heteroergi menimbulkan luaran berupa efek penghambatan atau penguatan Donatus, 1995. Showande, Fakeye, Tolonen, and Hokkane 2013 mengungkapkan bahwa ekstrak kelopak bunga rosela memiliki aktivitas inhibisi sejumlah isoform enzim CYP450. Jika benar ekstrak kelopak bunga rosela memiliki potensi sebagai inhibitor enzim, maka terdapat kemungkinan besar ekstrak kelopak bunga rosela juga memperlambat metabolisme ibuprofen. Maka dari itu, terdapat dua kemungkinan penyebab interaksi ibuprofen dengan kandungan aktif kelopak bunga rosela. Pertama adalah adanya aktivitas analgesik pada kandungan aktif kelopak bunga rosela dan yang kedua adalah potensi rosela sebagai inhibitor enzim CYP yang memetabolisme ibuprofen. Berdasarkan kedua hal tersebut, pemberian infusa kelopak bunga rosela terlebih dahulu diikuti dengan pemberian ibuprofen diduga dapat meningkatkan efek analgesik dari ibuprofen.

K. Hipotesis