Pengaruh praperlakuan infusa kelopak Bunga Rosela ( Hibiscus sabdariffa L. ) terhadap efek analgesik ibuprofen pada mencit betina Galur Swiss.

(1)

INTISARI

Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) termasuk tanaman obat yang cukup populer karena memiliki manfaat kesehatan, salah satunya sebagai analgesik. Kelopak bunganya diolah menjadi minuman herbal. Interaksi obat dengan minuman herbal tak dapat dihindari. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian infusa rosela berupa peningkatan efek analgesik ibuprofen beserta dosis yang dapat meningkatkan, luaran dan jenis interaksi yang terjadi.

Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Mencit betina galur Swiss sejumlah 40 ekor dikelompokkan secara acak dalam delapan kelompok. Kelompok I kontrol negatif CMC Na, kelompok II kontrol positif (ibuprofen 26 mg/kg BB), kelompok III, IV, dan V kontrol infusa rosela dengan dosis berturut-turut 1,25 ; 2,5 ; dan 5 g/kg BB- setelah selang satu jam diberikan CMC Na, dan kelompok VI, VII, VIII kelompok praperlakuan infusa rosela dengan dosis berturut-turut 1,25 ; 2,5; dan 5 g/kg BB- setelah selang satu jam diberikan ibuprofen 26 mg/kg BB. Data berupa kumulatif geliat mencit terinduksi asam asetat selama 1 jam dan persen proteksi.

Hasil menunjukkan adanya peningkatan efek analgesik ibuprofen akibat praperlakuan infusa rosela pada dosis 5 g/kg BB sebesar 33,34 %. Interaksi ini merupakan interaksi homoergi heterodinami dengan luaran efek penghambatan. Kata kunci : analgesik, interaksi, ibuprofen, rosela, Hibiscus sabdariffa L.


(2)

ABSTRACT

Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) is one of popular herbal plant because of it’s health beneficial, such as analgesic. The calyx is commonly made into herbal drink. Interaction between drug and herbal drink cannot be avoided. This experiment is aimed to know the effect of roselle infusion in increasing analgesic effect of ibuprofen, the dose where roselle infusion could increase it, also what kind of effect and interaction it would be.

This experiment was a pure experiment with randomized controlled trials and one direction pattern design. Animal subjects were 40 female Swiss mice divided into 8 groups : (I) Negative control (CMC Na), (II) Positive control (Ibuprofen 26 mg/kg), (III), (IV), (V) were roselle at dose of 1.25 ; 2.5 ; 5 g/kg- after 1 hour CMC Na was given, and (VI), (VII), (VIII) were roselle at dose of 1.25 ; 2.5 ; 5 g/kg- after 1 hour ibuprofen 26 mg/kg was given. Data was writhing cumulation caused by pain-induced acetic acid for 1 hour and protection percentage.

There was increase of analgesic effect of ibuprofen caused by roselle infusion co-administration at dose of 5 g/kg as high as 33.34 %. It was a homoergi-heterodynamic interaction with inhibition result.


(3)

i

PENGARUH PRAPERLAKUAN INFUSA KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP EFEK ANALGESIK IBUPROFEN

PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Pascalis Nika Putri Winahyu NIM : 118114153

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Be not afraid, I’ll go before you always.. Come, follow Me. and I will give you rest”

(Scott Weiland in his song, “Be Not Afraid”)

“There’s nothing ordinary in the living of each day, there’s a special part and everyone of us will play”

(Celine Dion in her song “The Power of The Dream”) “Ia memberikan segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia

memberikan kekekalan dalam hati mereka” (Pengkhotbah 3:11)

Skripsi ini kupersembahkan untuk Tuhan Yesus yang setia menyertai dalam perjalanan hidup dan pencapaian ini Untuk Bapak, Ibu, Adik-adik, dan Mbah Putri di rumah Untuk Bude Suster, Mbah Kakung, dan Bude Win di surga Untuk teman-teman super, kekasih, dan tentunya, Almamaterku tercinta Universitas Sanata Dharma


(7)

(8)

(9)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat, kasih, dan penyertaan-Nya hingga penilitian dan penyusunan skripsi berjudul “Pengaruh Praperlakuan Infusa Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Efek Analgesik Ibuprofen pada Mencit Betina Galur Swiss” dapat penulis selesaikan. Proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari peran dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dosen Pembimbing atas bimbingan, semangat, pengarahan, dan support selama proses penelitian hingga penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik hingga skripsi ini tersusun.

4. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik hingga skripsi ini tersusun, juga selaku Dosen Pembimbing Akademik atas bimbingan dan support selama menjalani perkuliahan di Fakultas Farmasi hingga sekarang.

5. Bapak, Ibu, Mbah Putri, adik-adikku Tika dan Nanda yang selalu memberi dukungan, semangat, dan suasana yang hangat di rumah.

6. Pak Heru, Pak Suparjiman, Pak Kayatno, Pak Kunto, Pak Wagiran yang telah membantu proses penelitian di laboratorium.


(10)

viii

7. Rekan seperjuangan penelitian ini, Yosefina Noviana Seran. Luar biasa proses yang kita lalui bersama. Terima kasih atas kesempatan hingga bisa menyelesaikan penelitian ini pada akhirnya.

8. Perguruan Teratai Merah Padmanaba- SMAN 3 Yogyakarta, yang pernah menjadi tempat menuntut ilmu penulis sebelumnya, atas pengalaman berharga dan men-transform penulis hingga menjadi pribadi seperti sekarang ini, juga sahabat-sahabat super di dalamnya: Thea, Anin, Stefi, Cindy, Restu, Astung, Mbak Shinta, Mbak Uli, Mbak Ratih, Mas Andre.

9. Ista, Jeje, Anes, Regi, Adit, Fera, Gia, Vania, Ana, Anton, Rei, sahabat-sahabat penulis selama kuliah dan berdinamika di UKM PSM Cantus Firmus. 10. Para pemusik PSM Cantus Firmus : Abed, David, Stania, Mario, Dani, Ayu,

Bangkit, Mas Luis, Mas Anjar, Mas Arnold, Mas Bleki, Mas Deni, Mbak Avi. Terimakasih atas kesempatan berkarya bersama kalian melalui musik. 11. Teman-teman sekelas di FSM D dan FKK B 2011.

12. Seseorang yang selalu menjadi inspirasi, penyemangat, reminder, sabar dan penuh sayang, sahabat dan kekasih yang istimewa hingga saat ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tentunya masih jauh dari sempurna. Penulis sangat terbuka pada masukan dan kritik dari pembaca. Akhir kata, semoga karya ini dapat berguna bagi pembaca dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta Juni 2015 Penulis


(11)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………. ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………... vi

PRAKATA………. vii

DAFTAR ISI……….. ix

DAFTAR TABEL……….. xii

DAFTAR GAMBAR………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xv

INTISARI………... xvi

ABSTRACT………. xvii

BAB I. PENGANTAR.………. 1

A. Latar Belakang……….. 1

1. Perumusan masalah……… 4

2. Keaslian penelitian………. 4

3. Manfaat penelitian……….. 5

B. Tujuan Penelitian……….. 6


(12)

x

A. Hibiscus sabdariffa L...………... 7

B. Interaksi Obat…...………... 12

C. Interaksi Obat dengan Herbal..………. 19

D. Infusa... 21

E. Nyeri...……….... 22

F. Analgetika...……….. 25

G. Ibuprofen...………... 28

H. Metode Uji Analgesik……….... 32

I. Asam Asetat...………... 35

J. Landasan Teori……….... 36

K. Hipotesis……….... 38

BAB III. METODE PENELITIAN………..……….. 39

A. Jenis dan Rancangan Penelitian……… 39

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional……….. 39

C. Subjek dan Bahan Penelitian………... 41

D. Alat Penelitian……….. 41

E. Tata Cara Penelitian………. 42

F. Tata Cara Analisis Hasil………... 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….………... 49

A.Penetapan Kadar Air Simplisia Serbuk Kelopak Bunga Rosela...………... 49 B. Hasil Pembuatan Infusa Kelopak Bunga Rosela... 49


(13)

xi

D. Pengaruh Praperlakuan Infusa Kelopak Bunga Rosela Terhadap Efek Analgesik Ibuprofen... 1. Tujuan penggolongan kelompok... 2. Hasil uji aktivitas analgesik seluruh kelompok uji... 3. Pembahasan hasil kelompok kontrol negatif, kontrol positif, dan

kontrol rosela... 4. Pembahasan hasil kelompok praperlakuan rosela...

52 53 53

56 58

E.Rangkuman Pembahasan………... 63

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….………... 66

A. Kesimpulan………... 66

B. Saran………. 66

DAFTAR PUSTAKA………. 67

LAMPIRAN………... 72


(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Rata-rata kumulatif geliat pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat 50 mg/kg BB………...….. 50 Tabel II. Hasil uji Scheffe data geliat mencit untuk penetapan selang

waktu pemberian asam asetat...……. 51 Tabel III. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit pada semua

kelompok, % proteksi dan perubahan % proteksi terhadap mencit betina... 54 Tabel IV. Hasil uji Scheffe % proteksi pada semua kelompok... 55


(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)………..………... 7 Gambar 2 Kandungan aktif kelopak bunga rosela ……….. 9 Gambar 3 Rangkuman penggolongan interaksi obat berdasarkan

perubahan efek... 14 Gambar 4 Biosintesis prostalglandin... ……….. 25 Gambar 5 Penghambatan COX – ½ oleh analgesik nonopioid………... 27 Gambar 6 Struktur kimia ibuprofen..………... 28 Gambar 7 Jalur metabolisme ibuprofen…...……… 32 Gambar 8 Struktur asam asetat...……….... 35 Gambar 9 Skema pengujian analgesik untuk semua kelompok

perlakuan... 47 Gambar 10 Grafik menit untuk pemberian asam asetat vs rata-rata

kumulatif geliat...……… 51 Gambar 11 Histogram persen proteksi seluruh kelompok uji………...… 54 Gambar 12 Kelopak bunga rosela kering……...……… 75 Gambar 13 Serbuk kelopak bunga rosela ………. 75 Gambar 14 Pembuatan infusa ………... 75 Gambar 15 Hasil infusa kelopak bunga rosela 20 % ……...…………... 75 Gambar 16 Ayakan no 20, 30, 40 ………. 76 Gambar 17 Timbangan digital…...……….……….. 76 Gambar 18 Kotak kaca pengamatan …….……… 76


(16)

xiv

Gambar 19 Timbangan analitik ………. 76

Gambar 20 Mencit uji... 77

Gambar 21 Mencit yang dipuasakan...………... 77

Gambar 22 Geliat yang memenuhi kriteria…...….………….... 77


(17)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat keterangan simplisia kelopak bunga rosela kering dari CV. “Merapi Farma Herbal”………..……….... 73 Lampiran 2 Surat Ethical Clearance dari Fakultas Kedokteran UGM…... 74 Lampiran 3 Kelopak bunga rosela kering, serbuk kelopak bunga rosela,

pembuatan infusa, dan hasil infusa kelopak bunga rosela 20 % 75 Lampiran 4 Ayakan no. 20, 30, 40, timbangan digital, kotak kaca

pengamatan, timbangan analitik... 76 Lampiran 5 Mencit uji, mencit yang dipuasakan, geliat yang memenuhi

kriteria dan geliat yang belum memenuhi kriteria …………... 77 Lampiran 6 Perhitungan dosis CMC Na 1 %, ibuprofen, asam asetat, dan

infusa kelopak bunga rosela ..………... 78 Lampiran 7 Hasil analisis statistik jumlah geliat pada penetapan selang

waktu pemberian asam asetat 50 mg/kg BB... 79 Lampiran 8 Hasil analisis statistik jumlah geliat pada uji praperlakuan

infusa kelopak bunga rosela terhadap efek analgesik ibuprofen..………...………... 80 Lampiran 9 Analisis % proteksi pada uji praperlakuan infusa kelopak

bunga rosela terhadap efek analgesik ibuprofen... 85 Lampiran

10

Data perubahan % proteksi terhadap ibuprofen dosis 26 mg/kg BB ………...……. 89


(18)

xvi INTISARI

Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) termasuk tanaman obat yang cukup populer karena memiliki manfaat kesehatan, salah satunya sebagai analgesik. Kelopak bunganya diolah menjadi minuman herbal. Interaksi obat dengan minuman herbal tak dapat dihindari. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian infusa rosela berupa peningkatan efek analgesik ibuprofen beserta dosis yang dapat meningkatkan, luaran dan jenis interaksi yang terjadi.

Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Mencit betina galur Swiss sejumlah 40 ekor dikelompokkan secara acak dalam delapan kelompok. Kelompok I kontrol negatif CMC Na, kelompok II kontrol positif (ibuprofen 26 mg/kg BB), kelompok III, IV, dan V kontrol infusa rosela dengan dosis berturut-turut 1,25 ; 2,5 ; dan 5 g/kg BB- setelah selang satu jam diberikan CMC Na, dan kelompok VI, VII, VIII kelompok praperlakuan infusa rosela dengan dosis berturut-turut 1,25 ; 2,5; dan 5 g/kg BB- setelah selang satu jam diberikan ibuprofen 26 mg/kg BB. Data berupa kumulatif geliat mencit terinduksi asam asetat selama 1 jam dan persen proteksi.

Hasil menunjukkan adanya peningkatan efek analgesik ibuprofen akibat praperlakuan infusa rosela pada dosis 5 g/kg BB sebesar 33,34 %. Interaksi ini merupakan interaksi homoergi heterodinami dengan luaran efek penghambatan. Kata kunci : analgesik, interaksi, ibuprofen, rosela, Hibiscus sabdariffa L.


(19)

xvii ABSTRACT

Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) is one of popular herbal plant because of it‟s health beneficial, such as analgesic. The calyx is commonly made into herbal drink. Interaction between drug and herbal drink cannot be avoided. This experiment is aimed to know the effect of roselle infusion in increasing analgesic effect of ibuprofen, the dose where roselle infusion could increase it, also what kind of effect and interaction it would be.

This experiment was a pure experiment with randomized controlled trials and one direction pattern design. Animal subjects were 40 female Swiss mice divided into 8 groups : (I) Negative control (CMC Na), (II) Positive control (Ibuprofen 26 mg/kg), (III), (IV), (V) were roselle at dose of 1.25 ; 2.5 ; 5 g/kg- after 1 hour CMC Na was given, and (VI), (VII), (VIII) were roselle at dose of 1.25 ; 2.5 ; 5 g/kg- after 1 hour ibuprofen 26 mg/kg was given. Data was writhing cumulation caused by pain-induced acetic acid for 1 hour and protection percentage.

There was increase of analgesic effect of ibuprofen caused by roselle infusion co-administration at dose of 5 g/kg as high as 33.34 %. It was a homoergi-heterodynamic interaction with inhibition result.


(20)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Obat herbal telah diterima secara luas di dunia. Menurut WHO, negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Di Indonesia sendiri, telah lama digunakan tanaman berkhasiat obat dalam menanggulangi masalah kesehatan. Selain karena tanaman obat lebih mudah dijangkau oleh masyarakat, tanaman obat dinilai lebih aman karena memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dibanding obat modern (Sari, 2006).

Nyeri merupakan sensori tidak menyenangkan dan emosional yang berkaitan dengan adanya kerusakan jaringan (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008). Nyeri menjadi gejala yang umum terjadi pada banyak penyakit. Ketidaknyamanan gejala nyeri dapat diatasi dengan menggunakan obat yang disebut analgesik. Sampai saat ini tersedia berbagai obat analgesik yang mampu menangani nyeri dari intensitas ringan sampai berat. Sumber obat analgesik dapat berasal dari obat konvensional (modern) atau obat herbal dari tanaman.

Ibuprofen adalah obat konvensional yang telah digunakan secara luas sebagai analgesik. Ibuprofen bekerja dengan secara nonselektif menghambat enzim siklooksigenase 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2) sehingga menurunkan pembentukan perkusor prostalglandin, salah satu senyawa pemicu nyeri (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008).


(21)

Salah satu tanaman obat yang cukup populer di kalangan masyarakat adalah rosela atau Hibiscus sabdariffa L. Bagian kelopak bunga rosela banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional maupun minuman dan makanan (Mahavedan, Shivali, and Kamboj, 2009). Kelopak bunga rosela juga ditemukan memiliki aktivitas analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Kandungan antosianin pada kelopak bunga rosela diketahui juga memiliki mekanisme penghambatan pada enzim pemicu mediator inflamasi yaitu NO synthase dan siklooksigenase (Jeong, Lee, Shin, Kim, Choi, and Choi, 2013).

Banyak praktik umum yang menggunakan jus, soda, atau minuman herbal seperti seduhan air rosela untuk meminum obat (Kolawole and Maduenyi, 2004). Padahal, penggunaan herbal bersamaan atau berdekatan dengan waktu minum obat berisiko menimbulkan berbagai interaksi yang merugikan. Interaksi obat sendiri merupakan perubahan efek suatu obat akibat pemberian obatc, obat herbal, makanan, minuman, atau agen kimia lingkungan lainnya (Stockley, 2010).

Interaksi obat kebanyakan terjadi selama metabolisme fase I yang diperantarai enzim sitokrom P450 (Showande, Fakeye, Tolonen, and Hokkane, 2013). Sitokrom P450 (CYP450) bertanggung jawab pada metabolisme hampir 70% obat. Inhibisi enzim CYP menyebabkan peningkatan kadar obat dalam plasma melalui penurunan metabolisme, yang dapat menimbulkan efek samping atau toksisitas signifikan. Induksi enzim CYP menyebabkan penurunan kadar obat dalam plasma serta efikasi obat (Ramasamy, Kiew, and Chung, 2014).

Donatus (1995) menyebut interaksi obat dengan istilah antaraksi obat yang dapat digolongkan berdasarkan efek yang ditimbulkan dan mekanisme


(22)

kerjanya. Interaksi dapat bersifat homoergi-homodinami (efek dan mekanisme kerja dalam tubuh sama), dengan luaran atau akibat efek penambahan (infra, sederhana, atau supra), homoergi-heterodinami (salah satu menimbulkan efek tertentu, namun keduanya memiliki mekanisme kerja berbeda) dan heteroergi (efek yang dihasilkan berbeda satu sama lain) dengan luaran efek penghambatan (inhibisi) atau penguatan (potensiasi).

Ibuprofen dimetabolisme sebagian besar melalui hati dengan reaksi oksidasi yang melibatkan enzim CYP450, terutama enzim CYP2C9 (Mazaleuskaya, Theken, Li, Thorn, Fitzgerald, et al., 2014). Interaksi ibuprofen dengan obat di antaranya dengan warfarin, yang meningkatkan efek antikoagulan warfarin. Interaksi ibuprofen dengan herbal teh hijau menimbulkan peningkatan efek antiplatelet (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008).

Telah diketahui pula bahwa ekstrak etanol rosela memiliki potensi efek inhibisi secara in vitro pada sejumlah isoform CYP. Salah satunya yaitu pengambatan reaksi hidroksilasi tolbutamide yang dikatalis oleh CYP2C9 (Showande, Fakeye, Tolonen, and Hokkane, 2013). Dari sini terdapat kemungkinan kandungan kelopak bunga rosela berpotensi sebagai inhibitor enzim CYP2C9. Sebagai inhibitor, rosela dapat menurunkan metabolisme ibuprofen, yang berakibat pada peningkatan efek analgesik ibuprofen. Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah terdapat interaksi antara infusa rosela dengan ibuprofen yang mempengaruhi efek analgesik ibuprofen, serta seperti apa luaran dan jenis interaksi yang terjadi. Sediaan infusa dipilih karena sediaan ini mendekati sediaan yang umumnya dibuat masyarakat.


(23)

1. Permasalahan

Dari latar belakang di atas, timbul permasalahan sebagai berikut: a. Apakah infusa rosela dapat meningkatkan efek analgesik ibuprofen?

b. Berapa dosis infusa rosela yang mampu meningkatkan efek analegesik ibuprofen?

c. Apa jenis dan luaran dari interaksi yang terjadi antara infusa rosela dengan ibuprofen?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya:

a. Penelitian Fakeye, Adegoke, Omoyeni and Famakinde (2007) - Efek Ekstrak Air Hibiscus sabdariffa Linn. (Malvaceae) „Roselle‟ Terhadap Ekskresi Formulasi Diklofenak. Analisis urin subjek uji manusia yang meminum 300 ml ekstrak air rosela selama 2 hari kemudian diberi 25 mg natrium diklofenak menunjukkan terjadinya penurunan jumlah natrium diklofenak dosis 25 mg yang diekskresikan sebesar 1,56-3,92%, yang signifikan secara statistik.

b. Penelitian Ali, Ashraf, Biswas, Karmakar, and Afroz (2011) - Aktivitas Antidiare, Analgesik, dan Antimikroba Tanaman Lalmesta (Hibiscus sabdariffa). Dengan metode rangsang kimia, ditemukan adanya persen proteksi sebesar 66,85% pada dosis 500 mg/kg BB yang setara dengan natrium diklofenak (78,45 %) dosis 25 mg/kg BB.

c. Penelitian Ali, Mohamed, and Mohammed (2014) - Komposisi Asam Lemak, Aktivitas Antiinflamasi dan Analgesik pada Biji Hibiscus sabdariffa


(24)

Linn. Metode rangsang kimia menunjukkan adanya persen proteksi signifikan pada dosis ekstrak petroleum eter biji rosela sebesar 45 % pada dosis 8 ml/kg BB, yang sebanding dengan natrium diklofenak 10 mg (persen proteksi 52,6 %).

d. Penelitian Showande, Fakeye, Tolonen, and Hokkane (2013) - Aktivitas Inhibisi In Vitro Ekstrak Hibiscus sabdariffa L. (Famili Malvaceae) pada Isoform Sitokrom P450 Terseleksi. Hasil penelitian ini yaitu ekstrak etanol rosela termasuk golongan weak inhibitor yang menghambat sejumlah reaksi metabolisme obat-obat yang diuji, di mana reaksi tersebut dikatalis oleh enzim CYP1A2, CYP1A2, CYP2C8, CYP2D6, CYP2B6, CYP2E1, CYP2C19, CYP3A4, CYP2C9, CYP2A6 dan CYP2C9.

Berdasarkan penelitian yang disebutkan di atas, belum pernah ada yang meneliti tentang pengaruh infusa rosela terhadap efek analgesik dari ibuprofen secara in vivo dengan metode rangsang kimia.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoretis. Manfaat teoretis yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kefarmasian mengenai pengaruh pemberian infusa rosela terhadap efek analgesik ibuprofen serta jenis dan luaran interaksi yang terjadi.

b. Manfaat praktis. Manfaat praktis yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah memberi informasi baru dalam pelayanan kefarmasian pada masyarakat umum tentang dosis infusa rosela yang dapat meningkatkan efek analgesik dari ibuprofen.


(25)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai pengaruh pemberian infusa rosela terhadap efek analgesik suatu obat.

2. Tujuan khusus

a. Membuktikan bahwa pemberian infusa rosela dapat meningkatkan efek analgesik dari ibuprofen.

b. Mengetahui pada dosis berapa infusa rosela dapat meningkatkan efek analgesik ibuprofen.

c. Mengetahui jenis dan luaran dari interaksi yang terjadi antara infusa rosela dengan ibuprofen.


(26)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Hibiscus sabdariffa L.

Gambar 1.Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

Rosela (Gambar 1) merupakan tumbuhan yang berasal dari daerah Asia dan Afrika Tropis. Rosela memiliki nama daerah seperti gamet walanda (Sunda) atau kasturi roriha (Ternate) (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010 ).

1. Klasifikasi

Klasifikasi rosela menurut Direktorat Obat Asli Indonesia (2010) adalah sebagai berikut:

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Dilleniidae Bangsa : Malvales Suku : Malvaceae Marga : Hibiscus


(27)

8 2. Morfologi

Rosela merupakan tumbuhan semak umur satu tahun dengan tinggi tumbuhan mencapai 2,4 m. Batang berwarna merah, berbentuk bulat dan berbulu; daun berseling 3-5 helai dengan panjang 7,5-12,5 cm berwarna hijau, ibu tulang daun kemerahan. Bunga tunggal, kuncup bunga tumbuh dari bagian ketiak daun, kelopak bunga berlekatan, mahkota bunga berlepasan berjumlah 5 petal mahkota bunga berbentuk bulat telur terbalik (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010 ). 3. Kandungan kimiawi

Antosianin yang menyebabkan warna merah pada tanaman ini adalah delfinidin-3-siloglukosida, delfinidin-3-glukosida, sianidin-3-siloglukosida. Selain itu terdapat flavonoid lain yaitu gosipetin dan mucilago rhamnogalakturonan, arabinogalaktan, dan arabinan (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010 ).

Efek biologis kelopak bunga rosela terdapat kebanyakan pada ekstrak dengan pelarut polar. Senyawa kimia yang utama dalam aktivitas fisiologis kelopak bunga rosela adalah antosianin dan polifenol (Zarrabal, Dermitz, Flores, Jones, Hipolito, Uscanga, et al., 2012). Flavonoid golongan antosianin merupakan kandungan kimia rosela terbesar pada bunga rosela (Obouayeba, Djyh, Diabate, Djaman, N‟guessan, Kone, et al., 2014).

Antosianin diketahui memiliki aktivitas menghambat enzim-enzim pemicu mediator inflamasi seperti NO synthase dan COX-2. Penemuan ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jeong, Lee, Shin, Kim, Choi, and Choi (2013) tentang respon antiinflamasi in vitro antosianin pada sel mikrogial BV2 terinduksi lipopolisakarida.


(28)

Berikut adalah gambar kandungan aktif kelopak bunga rosela :

Gambar 2. Kandungan aktif kelopak bunga rosela (Zarrabal, Dermitz, Flores, Jones, Hipolito, Uscanga, et al. 2012)


(29)

4. Khasiat dan manfaat

Dekok biji rosela diketahui mampu mengobati disuria dan kasus-kasus ringan dispepsia (Sarkar, Hossen, Howlader, Rahman, and Dey, 2012). Di Indonesia sendiri, umumnya rosela digunakan dengan menyeduh kelopak bunga rosela yang telah dikeringkan (Hutahean, 2010).

Kandungan antosianin, flavonoid, dan asam fenolik bunga rosela memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Uji antioksidan metode DPPH, menunjukkan bahwa IC50 ekstrak bunga rosela adalah 0,24 mg/ml dibandingkan dengan vitamin C yang memiliki IC50 0,35 mg/ml (Obouayeba, Djyh, Diabate, Djaman, N‟guessan, Kone, et al., 2014).

Rosela juga ditemukan memiliki aktivitas analgesik, antipretik, dan antiinflamasi. Pada uji analgesik metode rangsang kimia, dihasilkan persen proteksi sebesar 66,85% pada dosis 500 mg/kg BB yang setara dengan natrium diklofenak (78,45 %) dosis 25 mg/kg BB (Ali, Ashraf, Biswas, Karmakar, and Afroz 2011). Penelitian Ali, Mohamed, and Mohammed (2014) juga membuktikan pada ekstrak petroleum eter biji rosela terdapat aktivitas analgesik. Metode rangsang kimia menunjukkan adanya persen proteksi signifikan dari ekstrak petroleum eter biji rosela sebesar 45 % pada dosis 8 ml/kg BB , yang sebanding dengan natrium diklofenak 10 mg (persen proteksi 52,6 %) (Ali, Mohamed, and Mohammed 2014).

Aktivitas antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik tersebut diduga karena kandungan flavonoid, polisakarida, dan asam organik dari kelopak bunga rosela.


(30)

Namun, data mengenai senyawa spesifik dan mekanisme yang mungkin terjadi masih terbatas dan perlu ditelusuri lebih lanjut (Ali, Wabel, and Blunden, 2005). 5. Toksikologi

Ekstrak rosela memiliki derajat toksisitas yang rendah. LD50 ekstrak kelopak bunga rosela pada tikus ditemukan di atas 5000 mg/kg (Ali, Wabel, and Blunden, 2005). Studi menunjukkan bahwa pada dosis yang sangat tinggi dari ekstrak rosela dapat menimbulkan efek toksik pada sistem hepatik, dan menyebabkan distrofi otot (Fakeye, Pal, Bawankule, Yadav, and Khanuja, 2008). 6. Interaksi

Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa rosela berinteraksi dengan antihipertensi yaitu diuretik hidroklorotiazid. Efek yang dihasilkan yaitu penurunan klirens plasma dan kecepatan eliminasi hidroklorotiazid. Hal ini juga disebabkan oleh adanya aktivitas diuretik dari kelopak bunga rosela (Ndu, Nworu, Ehiemere, Ndukwe, and Ochiogu, 2011). Fakeye, Adegoke, Omoyeni and Famakinde (2007) menganalisis urin subjek uji manusia yang meminum 300 ml ekstrak air (selama 2 hari kemudian diberi 25 mg natrium diklofenak). Hasil menunjukkan terjadinya penurunan jumlah natrium diklofenak dosis 25 mg yang diekskresikan sebesar 1,56-3,92%, yang signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara rosela dengan natrium diklofenak.

Selain itu, Showande, Fakeye, Tolonen, and Hokkane (2013) juga membuktikan adanya potensi kelopak bunga rosela sebagai inhibitor sejumlah isoform CYP. Hasil penelitian in vitro ini menyatakan bahwa sifat inhibitor rosela


(31)

masih termasuk lemah (weak inhibitor), namun, perlu adanya perhatian khusus dan studi in vivo lebih lanjut mengenai penggunaan minuman herbal rosela bersamaan dengan obat-obatan yang dimetabolisme oleh CYP450 (Showande, Fakeye, Tolonen, and Hokkane, 2013).

B. Interaksi Obat 1. Pengertian umum

Interaksi terjadi ketika efek dari satu obat diubah oleh adanya obat, obat herbal, makanan, minuman, atau agen kimia lingkungan lainnya. Pengaruh interaksi obat dapat berbahaya bila menyebabkan peningkatan toksisitas dari obat. Contohnya, pasien yang menggunakan obat golongan MAOI (monoamine oxidase inhibitor) dapat mengalami krisis hipertensi akut dan mengancam jiwa jika memakan makanan kaya tyramine seperti keju (Stockley, 2010).

Pengurangan efikasi obat karena interaksi dapat berbahaya pula. Misalnya, pasien yang menggunakan warfarin dan rifampisin, akan membutuhkan dosis warfain lebih, untuk menjaga efek antikoagulasi yang mencukupi. Pasien yang menggunakan tetrasiklin atau kuinolon perlu menghindari antasida dan makanan mengandung susu karena efek antibiotiknya dapat berkurang atau bahkan tidak terjadi (Stockley, 2010).

Donatus (1994) pada disertasinya menyebut interaksi obat dengan istilah antaraksi obat, yang pada dasarnya memiliki makna yang sama. Definisi antaraksi obat ini dapat ditelaah maknanya melalui dua faktor. Pertama berdasarkan akibat (luaran), antaraksi obat didefinisikan sebagai peristiwa manakala efek obat


(32)

tertentu (obat obyek) diubah oleh obat lain (antaraktan) yang diberikan sebelum atau bersama-sama dengannya. Yang kedua berdasarkan perantara (mekanisme kerja), antaraksi obat didefinisikan sebagai peristiwa yang terjadi manakala obat diberikan bersama, saling mempengaruhi proses farmakokinetika dan atau farmakodinamika masing-masing obat. Kedua definisi ini bermakna bahwa akibat antaraksi dapat berupa pergeseran kinerja farmakologi dan atau toksikologi obat-obyek, perantara antaraksi mungkin pergeseran kinerja farmakokinetika dan atau farmakodinamika obat-obyek, dan penyebab antaraksi mungkin faktor peringkat dosis dan atau lama masa perlakuan interaktan (Donatus, 1994).

2. Penggolongan Interaksi

Terdapat beberapa istilah yang dapat dipakai untuk menjelaskan efek obat, yaitu homoergi (sepasang obat menimbulkan efek yang benar-benar sama), heteroergi (sepasang obat hanya salah satu yang menimbulkan efek tertentu), homodinami (sepasang obat homoergi dengan mekanisme kerja yang sama), dan heterodinami (sepasang obat homoergi dengan mekanisme kerja berbeda). Berdasarkan sifat efek pasangan obat tersebut, antaraksi obat dapat digolongkan menjadi antaraksi homoergi-homodinami dengan luaran penambahan (infra, sederhana, atau supra), serta homoergi-heterodinami dan heteroergi dengan luaran efek penghambatan (inhibisi) atau penguatan (potensiasi) (Donatus, 1995). Penggolongan antaraksi, yang selanjutnya disebut sebagai interaksi dapat dilihat pada gambar 3 berikut.


(33)

Gambar 3. Rangkuman penggolongan interaksi obat berdasarkan perubahan efek (Donatus, 1995)

Interaksi obat juga digolongkan berdasarkan mekanisme kerja yang meliputi interaksi farmakokinetika dan farmakodinamika. Interaksi farmakokinetika berkenaan dengan perubahan keberadaan obat obyek di tempat


(34)

kerja, sedangkan interaksi farmakodinamika berkenaan dengan perubahan keefektifan reaksi obat obyek dengan tempat kerjanya (Donatus, 1995).

3. Interaksi Farmakokinetika

Pada interaksi farmakokinetika, terjadi perubahan kadar obat obyek oleh karena perubahan pada proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat. Interaksi obat dengan obat terjadi selama metabolisme obat. Enzim sitokrom P450 (CYP450) pada hati dan usus berperan penting dalam metabolisme obat-obatan dan senyawa asing lainnya.Konsentrasi obat bentuk awal (parent drug) dan metabolitnya berdinamika dan dipengaruhi oleh agen pengatur CYP yang spesifik (Peltoniemi, 2013).

a. Metabolisme obat

Metabolisme atau biotransformasi merupakan rangkaian reaksi kimia yang mengubah dan mengkonversi obat menjadi senyawa yang larut air agar dapat diekskresikan. Tanpa ada metabolisme, obat akan terus memiliki efek pada tubuh dan bahkan dapat membahayakan jika terakumulasi hingga mencapai kadar toksik. Hati merupakan organ primer dalam metabolisme obat (Fulcher, Fulcher, and Soto, 2012). Hasil metabolisme obat umumnya menjadi bentuk yang kurang atau tidak aktif secara farmakologis dibanding obat bentuk awal, kecuali obat yang bersifat prodrug seperti kodein (Peltoniemi, 2013).

Metabolisme obat di hati dapat terbagi menjadi metabolisme fase I dan fase II. Metabolisme fase I bertujuan untuk mengubah obat yang bersifat lipofil menjadi lebih larut air, yang meliputi fase oksidasi, reduksi, dan hidrolisis.


(35)

Reaksi-reaksi ini umumnya menghasilkan metabolit dengan gugus fungsional yang lebih polar seperti –OH, NH2, -SH, atau –COOH. Famili enzim CYP450 memiliki kontribusi terbesar dalam metabolisme fase I (Hu and Li, 2011). Jika sudah cukup polar, metabolit fase I dapat segera diekskresikan. Namun, ada pula produk fase I yang tidak dieliminasi secara cepat dan mengalami reaksi berikutnya (fase II), yaitu reaksi konjugasi (Katzung, 2012). Reaksi-reaksi ini mengkombinasikan asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dengan molekul obat sehingga obat menjadi lebih polar (Stringer, 2006).

b. Famili enzim CYP450

Enzim CYP450 merupakan haemoprotein yang dikode oleh 57 gen berbeda, dan memiliki kromofor yang muncul pada gelombang 450 nm (Peltoniemi, 2013). Telah teridentifikasi berbagai isoform CYP450 di hati manusia. Dari berbagai isoform ini, CYP1A2, CYP2A6, CYP2B6, CYP2C9, CYP2D6, CYP2E1, dan CYP3A4 merupakan bentuk terpenting dan terbanyak pada kandungan CYP450 di hati manusia. Bersama-sama mereka bertanggungjawab mengkatalis sebagian besar obat. Keterlibatan masing-masing CYP450 dalam metabolisme dapat diperiksa secara in vitro dengan penanda fungsional selektif, inhibitor kimia selektif, dan antibodi CYP450. Secara in vivo, pemeriksaan dapat dilakukan dengan penanda-penanda noninvasif yang relatif selektif, misalnya tes napas atau analisis urin metabolit tertentu setelah pemberian pelacak substrat selektif CYP450 (Fulcher, Fulcher, and Soto, 2012).


(36)

c. Inhibisi dan induksi enzim

Induksi merupakan peningkatan ekspresi CYP450 dengan meningkatkan laju sintesis CYP atau mengurangi kecepatan penguraiannya. Induksi menyebabkan akselerasi metabolisme obat (substrat) dan biasanya penurunan efek farmakologis penginduksi serta juga obat lain yang diberikan bersama-sama (Katzung, 2012). Contoh induksi enzim yaitu rifampisin meningkatkan metabolisme siklosporin, sehingga menurunkan efek farmakologis dari siklosporin (Stockley, 2010).

Inhibisi enzim merupakan penurunan metabolisme obat oleh obat atau senyawa lain, sehingga menyebabkan akumulasi obat tersebut dalam bentuk aktif di dalam tubuh. Efek obat menjadi setara dengan jika dosis obat tersebut dinaikkan. Contohnya yaitu peningkatan kadar plasma sildenafil setelah diberikan ritonavir, karena ritonavir menghambat enzim CYP3A4 yang memetabolisme sildenafil (Stockley, 2010).

Baik inhibisi maupun induksi memiliki pengaruh terhadap terapi. Contohnya yaitu alopurinol yang dapat memperpanjang efek kemoterapeutik dan toksik merkaptopurin melalui inhibisi kompetitif xantin oksidase. Karenanya untuk menghindari toksisitas sumsum tulang, dosis merkaptopurin harus dikurangi pada pasien yang mendapat alopurinol. Barbiturat (induktor enzim) jika digunakan bersama warfarin akan diperlukan peningkatan dosis warfarin. Namun, jika penggunaan barbiturat dihentikan, metabolisme warfarin akan berkurang atau kembali normal


(37)

sehingga berisiko terjadinya pendarahan, suatu efek toksik akibat peningkatan kadar plasma dari antikoagulan tersebut (Katzung, 2012). 4. Interaksi farmakodinamika

Interaksi farmakodinamik merupakan perubahan efek obat akibat adanya obat lain pada tempat aksinya (Stockley, 2010). Potensi interaksi farmakodinamika perlu dipertimbangkan pada obat-obat yang dapat berkompetisi satu sama lain pada tingkat reseptor atau memiliki kesamaan/kebalikan efek farmakodinamik (Commitee for Human Medicinal Products, 2010). Reaksi yang terjadi pada reseptor tertentu kebanyakan secara tidak langsung dan melibatkan interferensi dengan mekanisme fisiologis. Karena itu, interaksi ini lebih sulit diklasifikasikan dibanding interaksi farmakokinetik (Stockley, 2010). Pada interaksi farmakodinamika, tidak terjadi perubahan kadar obat obyek dalam darah (Syamsudin, 2011).

a. Interaksi aditif atau sinergistik

Jika dua obat yang memiliki kesamaan efek farmakologis diberikan bersamaan, efek yang timbul bisa bersifat aditif. Contohnya, alkohol menimbulkan depresi sistem syaraf pusat, jika diberikan bersamaan dengan obat sistem syaraf pusat (antiansiolitik/antihipnotik) dapat menyebabkan rasa kantuk yang berlebihan (Stockley, 2010).

b. Interaksi antagonis

Pada interaksi ini, dua atau lebih obat memiliki kerja yang berlawanan. Contohnya, kumarin akan memperlambat waktu pembekuan darah dengan


(38)

menghambat efek dari vitamin K. Namun, jika dosis vitamin K dinaikkan, efek antikoagulan dari kumarin akan menurun (Stockley, 2010).

C. Interaksi Obat dengan Herbal

Herbal merupakan produk yang mengandung senyawa fitokimia aktif secara biologis yang berasal dari tanaman. Herbal digunakan manusia untuk menangani penyakit. Herbal dapat diperoleh dalam berbagai bentuk, seperti suplemen, ekstrak dalam kapsul, sirup atau minuman (Wanwimolruk and Prachayasittikul, 2014). Minuman herbal merupakan bentuk produk herbal paling populer digunakan karena efeknya yang menguntungkan dan penyiapannya yang cukup mudah (Showande, Fakeye, Tolonen, and Hokkane, 2013).

Herbal kebanyakan mengandung lebih dari satu senyawa fitokimia aktif. Maka dari itu, kemungkinan terjadinya interaksi akan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan interaksi antara dua obat konvensional. Pandangan yang salah secara umum adalah bahwa obat herbal atau suplemen berasal dari tanaman sehingga aman untuk digunakan bersamaan dengan obat resep. Padahal, hal tersebut tidak menjamin keamanan dari obat herbal, tidak menjamin obat herbal bebas dari efek samping maupun toksisitas dan potensi interaksi obat (Wanwimolruk and Prachayasittikul, 2014).

Banyak praktik umum menggunakan jus, soda, atau minuman herbal seperti seduhan air rosela (Zobo drink) untuk meminum obat (Kolawole and Maduenyi, 2004). Penggunaan herbal bersamaan dengan obat menimbulkan berbagai interaksi yang dapat merugikan. Misalnya, efek samping obat yang


(39)

serius terjadi karena interaksi antara terfenadine (antihistamin) dengan buah anggur, yang menyebabkan obat terfenadine ditarik dari peredaran. Studi menunjukkan bahwa kandungan furanokumarin pada buah anggur menyebabkan inhibisi enzim CYP3A4 dan transporter obat (P-glikoprotein/P-gp), yang mengakibatkan peningkatan kadar terfenadin dalam plasma. Peningkatan kadar terfenadine menyebabkan perpanjangan interval QT diikuti aritmia jantung (Wanwimolruk and Prachayasittikul, 2014).

Seperti pada interaksi obat dengan obat, interaksi obat dengan herbal memiliki prinsip yang sama, yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik. Interaksi farmakodinamik obat dengan herbal tidak banyak disorot, namun, pengaruh dari interaksi farmakodinamik dapat bersifat adisi atau sinergistik (memperkuat efek farmakologi atau toksikologi dari obat), atau beraksi antagonis (obat herbal menurunkan efikasi dari obat konvensional). Interaksi herbal dengan warfarin merupakan contoh interaksi farmakodinamik yang seringkali terjadi. Warfarin akan mengalami peningkatan efek antikoagulasi ketika diadministrasikan bersama herbal yang mengandung kumarin (Wanwimolruk and Prachayasittikul, 2014).

Interaksi farmakokinetik obat dengan sejumlah herbal dapat mengubah konsentrasi plasma dari obat konvensional (Wanwimolruk and Prachayasittikul, 2014). Studi in vitro dan in vivo mengindikasikan bahwa perubahan konsentrasi akibat pemberian bersamaan dengan herbal kemungkinan disebabkan oleh induksi atau inhibisi dari sejumlah enzim hepatik dan intestinal yang memetabolisme obat,


(40)

khususnya CYP450, dan atau transporter obat P-gp. Seperti diketahui, CYP450 merupakan enzim penting dalam metabolisme obat fase I (Hussain, 2011).

D. Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit. Simplisia nabati sendiri merupakan bahan alamiah berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman yang digunakan untuk obat dan belum diolah serta belum merupakan zat murni. Kecuali dinyatakan lain, simplisia merupakan bahan yang telah dikeringkan (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010 ).

Metode infundasi yang digunakan dalam pembuatan infusa bertujuan untuk menyari kandungan aktif simplisia yang larut dalam air panas. Penyarian ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar bakteri dan jamur, sehingga sari yang diperoleh harus segera diproses sebelum 24 jam. Metode ini sangat sederhana dan sering digunakan oleh perusahaan obat tradisional (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2013).

Cara pembuatan infusa yaitu bahan baku ditambah dengan air, pada umumnya jika tidak dinyatakan lain diperlukan 100 bagian air untuk 10 bagian bahan, kemudian dipanaskan selama 15 menit pada suhu 90 oC. Penyarian dilakukan menggunakan pemanasan tidak langsung, di mana campuran diletakkan tepat di atas panci berisi air yang dipanaskan. Penyaringan dilakukan saat cairan masih panas, kecuali bahan yang mengandung minyak atsiri (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2013).


(41)

E. Nyeri

Nyeri adalah sensori tidak menyenangkan dan emosional yang berkaitan dengan adanya kerusakan jaringan. Nyeri timbul jika rangsang mekanik, kimia, termal, atau listrik melampau nilai ambang nyeri dan menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa nyeri (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008). Ambang nyeri adalah tingkat pada mana nyeri dirasakan untuk pertama kalinya, atau intensitas rangsangan terendah pada saat seseorang merasakan nyeri. Setiap orang memiliki ambang nyeri yang konstan (Tjay dan Rahardja, 2008). Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey (2008) membagi klasifikasi nyeri menjadi dua berdasarkan patologi yang memicu,yaitu jalur nosiseptif dan neuropatik. Nyeri nosiseptif berifat akut, sedangkan neuropatik bersifat kronis.

1. Nyeri nosiseptif

Nyeri nosiseptif diklasifikasikan menjadi nyeri somatik/perifer (jaringan kulit, tulang, otot, sendi atau jaringan konektif) dan viseral (organ internal seperti usus besar atau pankreas). Patofisiologi nyeri menurut Nugroho (2011) dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu stimulasi, transmisi, persepsi, dan modulasi.

a. Stimulasi

Rangsangan nyeri (kimiawi, mekanik, panas) akan merangsang pelepasan mediator nyeri meliputi bradikinin, ion kalium, histamin, serotonin, substansi P, dan prostalglandin dan leukotrien. Mediator tersebut mengaktivasi reseptor nyeri (nosiseptor) pada ujung syaraf, menimbulkan potensial aksi yang lalu diteruskan melalui serabut syaraf aferen menuju


(42)

sumsum tulang belakang.

b. Transmisi

Penghantaran nosiseptif melibatkan serabut syaraf aferen C dan Aδ. Serabut

Aδ bermyelin sehingga menghantarkan respon cepat, menghasilkan sensasi

nyeri tajam dan terlokalisasi. Serabut C tidak bermyelin sehingga penghantarannya lambat, menghasilkan sensasi nyeri tumpul, nyeri panas. Setelah penghantaran impuls, ujung serabut syaraf aferen yang membentuk sinaps dengan bagian tanduk dorsal sumsum tulang belakang melepaskan

mediator glutamat, substansi P dan calcitonin gene-related peptide (CGRP).

Penghantaran impuls diteruskan menuju talamus otak.

c. Persepsi

Dari talamus otak impuls diteruskan ke bagian otak lain, misalnya korteks (terjadi lokalisasi nyeri, reaksi pertahanan koordinasi pada lokasi kerusakan sel), sistem limbik (penilaian sensasi nyeri), otak kecil (reaksi pertahanan terkoordinasi).

d. Modulasi

Tubuh lalu memodulasi sensasi nyeri melalui beberapa proses. Satu sistem yang dominan terlibat dalam proses nyeri adalah sistem opioid endogen,

yang terdiri dari neurotransmitter (enkefalin, dinorfin, β-endorfin) dan

reseptor opioid (mu, delta, kappa) yang terdapat menyeluruh di sistem syaraf pusat. Opioid endogen ini berinteraksi dengan reseptor opioid dan menghambat transmisi nyeri. Selain itu, sistem syaraf pusat memiliki sistem


(43)

menghambat transmisi nyeri pada sinaptik tanduk dorsal sumsum tulang belakang.

2. Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik (kronis) terjadi akibat proses input sensorik yang abnormal oleh SSP atau perifer. Kerusakan saraf atau rangsangan terus menerus dapat menyebabkan sirkuit/lintasan nyeri yang menimbulkan rangsangan saraf secara spontan, rangsangan nyeri saraf autonom dan meningkatkan pelepasan bahan dari syaraf tanduk dorsal yang progresif. Sindrom nyeri neuropatik yang sulit diatasi seperti nyeri punggung bawah, neuropati diabetik, nyeri akibat kanker, luka pada sumsum tulang belakang (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008).

Eikosanoid merupakan senyawa-senyawa yang terlibat dalam kontrol berbagai proses fisiologis, dan merupakan mediator-mediator penting serta modulator dalam nyeri dan reaksi inflamasi. Eikosanoid yang utama yaitu prostalglandin, tromboksan, dan leukotrien (Rang, Dale, Ritter, and Fowler, 2008). Prostalglandin berperan penting sebagai aktivator primer pada nosiseptor perifer, serta mengawali respon inflamasi dan sensitisasi perifer, yang meningkatkan pembengkakan jaringan dan nyeri pada sisi cedera (Sinatra, de Leon-Casasola, Ginsberg, Viscusi, 2009). Prostalglandin disintesis oleh asam arakidonat. Biosintesis prostalglandin dapat dilihat pada gambar 4.


(44)

Gambar 4. Biosintesis prostalglandin (Parente and Perreti, 2001)

Pembentukan prostalglandin dikatalis oleh enzim prostalglandin sintase. Prostalglandin sintase lebih sering disebut siklooksigenase (COX). Terdapat 2 gen siklooksigenase, yaitu COX-1 dan COX-2. Keduanya mengkatalis reaksi yang sama, meskipun COX-2 bekerja pada substrat yang lebih luas. COX-1 secara konstitutif diekspresikan pada jaringan, sedangkan COX-2 hanya teraktivasi pada saat terjadi stimuli inflamasi (Brandt, 2004).

F. Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja, analgetika dibedakan menjadi analgetika opioid dan analgetika nonopioid (Fulcher, Fulcher, and Soto, 2012).


(45)

1. Analgesik opioid dan opiat (analgesik narkotik)

Analgesik ini merupakan analgesik kuat yang berasal dari derivat opium atau senyawa sintetik yang memproduksi efek farmasetis sama dengan opium. Jika berasal dari opium murni, misalnya kodein dan morfin, maka disebut opiat. Opioid merupakan senyawa sintetik seperti meperidine dan fentanil. Analgesik narkotik digunakan untuk menangani nyeri akut sedang hingga berat. Mekanisme kerja analgesik narkotik adalah mengubah persepsi nyeri dengan kerja yang menyerupai endorfin, memblokir transmisi impuls nyeri dan meningkatkan ambang nyeri. Selain analgesik, obat golongan ini memiliki efek antitusif dan sedatif. Ketergantungan (adiksi) dapat terjadi ketika dilakukan penggunaan jangka panjang (Fulcher, Fulcher, and Soto, 2012).

2. Analgesik nonopioid

Analgesik nonopioid disebut juga analgetik perifer, yang bekerja merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer (Tjay dan Rahardja, 2008). Kebanyakan analgesik nonopioid seperti aspirin, ibuprofen, dan parasetamol tersedia dalam bentuk obat bebas. Ada berbagai macam penggolongan analgesik nonopioid, seperti analgesik salisilat (aspirin), nonsalisilat (parasetamol), dan non steroidal anti inflammatory drugs (NSAID) atau obat antiinflamasi nonsteroid (ibuprofen, asam mefenamat, indometasin, celecoxib, dan sebagainya). Analgesik nonopioid umum digunakan sebagai kontrol nyeri ringan hingga sedang dan sebagian besar memiliki tiga karakteristik meliputi antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik (Fulcher, Fulcher, and Soto, 2012).


(46)

Mekanisme kerja dari analgesik nonopioid sebagian besar berdasarkan pada penghambatan sintesis prostalglandin, di mana enzim siklooksigenase diblokir (Tjay dan Rahardja, 2008). Mekanisme pemblokiran siklooksigenase (COX) oleh analgesik nonopioid dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Penghambatan COX -1 /2 oleh analgesik nonopioid

Aspirin memiliki keunikan mekanisme kerja di mana aspirin menghambat COX secara ireversibel. Golongan NSAID lainnya menghambat COX secara reversibel. Ditemukannya dua macam COX menyebabkan pengembangan lebih lanjut mengenai selektifitas dari aksi analgesik (Rang, Dale, Ritter, and Fowler, 2008). NSAID yang ideal hendaknya hanya menghambat COX-2 (COX-2 terbentuk jika terjadi inflamasi) dan tidak menghambat COX-1 (COX-1 memiliki fungsi melindungi mukosa lambung). Sampai saat ini, hanya tersedia beberapa obat yang bekerja selektif COX-2 yaitu nabumeton, meloxicam, dan celecoxib (Tjay dan Rahardja, 2008).


(47)

G. Ibuprofen

Gambar 6. Struktur kimia ibuprofen (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014)

Ibuprofen (Gambar 6) adalah derivat asam propionat yang merupakan golongan Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs. Ibuprofen diindikasikan untuk terapi penyakit inflamasi dan gangguan rematoid seperti juvenile rheumatod arthritis, mengobati nyeri ringan hingga sedang, demam, dan dismenorrhea (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008).

1. Sifat fisikokimia

Ibuprofen memiliki wujud berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah. Ibuprofen sangat mudah larut dalam etanol, methanol, aseton dan kloroform, sukar larut dalam etil asetat dan praktis tidak larut dalam air (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Dalam bentuk suspensi, ibuprofen stabil dalam agen pesuspensi yaitu karboksimetilselulosa natrium (CMC Na) dengan konsentrasi 1 % (Wulansari, 2012).

2. Bentuk sediaan

Ibuprofen tersedia dalam bentuk tablet 200, 400, 600, dan 800 mg dan suspensi 100 mg/5 ml (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008).

3. Mekanisme kerja

Mekanisme kerja ibuprofen adalah menghambat enzim siklooksigenase 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2) sehingga menurunkan pembentukan perkusor


(48)

prostalglandin. Ibuprofen memiliki sifat analgesik, antipiretik dan antiinflamasi (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008).

4. Farmakokinetika

a. Onset aktif : analgesik : 30-60 menit b. Durasi : 4-6 jam

c. Absorpsi : secara oral obat diabsorpsi cepat mencapai 85 % d. Ikatan protein : 90% sampai 99%

e. Metabolisme : hepatik melalui reaksi oksidasi f. Waktu paruh : dewasa 2-4 jam

g. Ekskresi : urin (80% berupa metabolit, 1% berupa obat); beberapa melalui feses

(Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008) 5. Dosis terapi (untuk dewasa)

a. Untuk nyeri inflamasi, tablet oral 400-800 mg 3-4 kali sehari (maksimum 3,2 gram / hari)

b. Untuk analgesik/nyeri/demam/dismenorrhea, tablet oral 200 mg setiap 4-6 jam jika perlu (maksimm 1200 mg/24 jam)

(Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008) 6. Efek samping

Efek samping dengan persentase kejadian 1-10% yaitu meliputi edema, pusing, sakit kepala, nervous, ruam dan gatal pada kulit, retensi cairan, tinnitus, dan sejumlah gangguan gastrointestinal (nyeri epigastric, mual, nyeri abdominal,


(49)

turunnya nafsu makan, konstipasi, diare, dispepsia, flatulensi, dan muntah) (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008).

7. Kontraindikasi

Ibuprofen dikontraindikasikan dengan pasien yang hipersensitivitas terhadap ibuprofen, aspirin, NSAID lainnya atau komponen apapun pada formulasi; nyeri perioperatif pada pembedahan CABG (coronary artery bypass graft) (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008).

8. Interaksi obat

Interaksi ibuprofen dengan obat lain hampir mirip dengan interaksi golongan obat NSAID lainnya, yaitu interaksi dengan antihipertensi ACEI dan ARB, beta blocker, diuretik loop, diuretik tiazid (penurunan efek antihipertensi), antibiotik aminoglikosida, vankomisisn dan kuinolon, antikoagulan dan antiplatelet, antidepresan, turunan bifosfonat, kortikosteroid, siklosporin, desmporessin, ketorolac, lithium, methotrexate, probenesid, SSRI, dan treprostinil. Interaksi dengan golongan NSAID lain dapat menimbulkan peningkatan efek samping/toksik NSAID. Interaksi yang berisiko tinggi terjadi adalah dengan substrat enzim CYP2C9 lainnya, dengan efek penurunan metabolisme dari ibuprofen (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008).

Efek interaksi ibuprofen dengan makanan yaitu penurunan kadar serum puncak ibuprofen. Ibuprofen sebisa mungkin tidak diminum bersama dengan alkohol karena dapat meningkatkan iritasi mukosal lambung. Interaksi ibuprofen dengan herbal kebanyakan terjadi pada herbal yang mengandung kumarin dan memiliki aktivitas antikoagulan seperti alfaalfa, anise, bilberry. Interaksi ini dapat


(50)

meningkatkan efek samping/toksik dari NSAID, di mana pendarahan dapat terjadi (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2008).

9. Jalur metabolisme ibuprofen

Jalur metabolisme ibuprofen dapat dilihat pada gambar 7. Metabolisme primer ibuprofen adalah reaksi oksidasi yang melibatkan enzim-enzim CYP450. Metabolit primer yang ditemukan di dalam urin kebanyakan adalah karboksi-ibuprofen dan 2-hidroksi karboksi-ibuprofen, 3-hidroksi karboksi-ibuprofen, dan sedikit 1-hidroksi ibuprofen. Metabolit hidroksi dan karboksi tersebut tidak aktif secara farmakologis. Ibuprofen dimetabolisme sempurna namun terdapat sedikit obat yang tidak diubah (obat utuh) ditemukan di dalam urin. Terdapat perbedaan rute metabolisme pada enansiomer yang berbeda. S-ibuprofen secara dominan dimetabolisme oleh CYPC29 sedangkan R-ibuprofen dengan CYP2C8. Kira-kira 50-65 % R-ibuprofen diinversikan menjadi S-ibuprofen melalui asil-coA thioester oleh enzim alfa-metilasil-koenzim rasemase (AMACR) (Mazaleuskaya, Theken, Li, Thorn, Fitzgerald, et al., 2014).

Metabolisme sekunder ibuprofen melalui glukuronidasi terjadi melalui enzim-enzim UDP-glucuronosiltransferase (UGT). Ikatan kovalen ibuprofen-glukuronida dengan protein plasma dapat meningkatkan risiko toksisitas. Konjugasi thiol juga terjadi meski dalam jumlah sangat kecil yaitu kurang dari 1% (Mazaleuskaya, Theken, Li, Thorn, Fitzgerald, et al., 2014).


(51)

Gambar 7. Jalur metabolisme ibuprofen (Mazaleuskaya, Theken, Li, Thorn, Fitzgerald, et al., 2014)

H. Metode Uji Analgesik

Nyeri merupakan gejala dari berbagai penyakit yang memerlukan penanganan atau pengobatan dengan analgesik. Metode uji in vivo penting untuk mengetahui aktivitas analgesik pada subjek hewan uji sebelum senyawa dapat diberikan pada manusia (Vogel, 2002).


(52)

Berikut uji aktivitas analgesik untuk golongan opioid dan nonopioid : 1. Uji aktivitas analgesik opioid

Uji yang umum digunakan untuk aktivitas analgesik dari obat-obat analgesik sentral menurut Vogel (2002) adalah:

a. Haffner’s tail clip method

Pada metode ini, arteri pada pangkal ekor mencit dijepit untuk menginduksi nyeri. Mencit akan merespon cepat dengan menggigit jepitan atau ekor. Senyawa analgesik diinjeksikan secara subkutan atau diberikan secara oral pada mencit yang dipuasakan 15, 30 atau 60 menit sebelumnya. Metode ini cukup sensitif untuk morfin.

b. Radiant heat method

Mencit diletakkan pada kandang dengan ekor diletakkan di luar kandang. Cahaya yang memiliki panas radian ditembakkan langsung pada sepertiga ekor mencit. Mencit akan mencoba menarik ekornya menjauh dan menggoyangkan kepala. Reaksi dihitung 6 detik sejak cahaya ditembakkan.

c. Hot plate method

Mencit diletakkan pada papan metal dengan permukaan yang panas (suhu 55o-56o C) dan waktu mencit mulai meloncat karena panas dicatat oleh

stopwatch. Respon tersebut dicatat sebelum dan sesudah 20, 60, 90 menit dari pemberian senyawa analgesik.


(53)

2. Metode uji analgesik nonopioid

Metode pengujian aktivitas analgesik untuk analgesik perifer menurut Turner (1965) adalah sebagai berikut:

a. Metode rangsang kimia

Nyeri diinduksi oleh injeksi suatu iritan melalui rongga perut atau peritoneal mencit. Mencit akan bereaksi dengan karakteristik berupa peregangan yang disebut geliat. Uji ini sesuai untuk mendeteksi aktivitas analgesik, meskipun beberapa agen psikoaktif juga menunjukkan aktivitas tersebut. Zat kimia atau iritan yang biasa digunakan yaitu asam asetat dan fenil kuinon. Pemberian analgesik akan mengurangi jumlah geliat dalam jangka waktu tertentu. Penghambatan geliat yang merupakan persen proteksi senyawa analgesik diukur dengan persamaan menurut Handerson-Forsaith yaitu:

% �� �= 100%−(�

�× 100%)

Keterangan :

O = Jumlah kumulatif geliat hewan uji kelompok perlakuan. K = jumlah kumulatif geliat hewan uji kelompok kontrol. b. Metode pedodolorimeter

Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur aktivitas analgesik. Alas kandang tikus yang terbuat dari kepingan metal dapat menghantarkan listrik. Tikus diletakkan pada kandang tersebut dan dialiri oleh listrik. Respon berupa teriakan tikus dan pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama satu jam.


(54)

c. Metode rektodolorimeter

Metode ini menggunakan tegangan listrik yang dihubungkan dari voltmeter ke kandang tikus dengan alas tembaga. Tembaga dihubungkan dengan penginduksi berupa gulungan, dan ujung gulungan dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Voltmeter terhubung oleh konduktor dan dilakukan pemberian tegangan sebesar 1-2 volt. Respon juga berupa teriakan dari hewan uji yang dihitung setiap 10 menit selama 1 jam.

I. Asam Asetat

Gambar 8. Struktur asam asetat

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014)

Asam asetat (Gambar 8) memiliki rumus kimia C2H4O2 dan wujud berupa cairan, jernih tidak berwarna, bau khas menusuk dan rasa asam yang tajam. Asam asetat dapat bercampur dengan air, dengan etanol, dan dengan gliserol (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Asam asetat digunakan dalam uji aktivitas analgesik metode rangsang kimia sebagai senyawa penginduksi nyeri. Nyeri berasal dari reaksi inflamasi akut lokal yaitu pelepasan asam arakidonat dari jaringan fosfolipid melalui jalur siklooksigenase dan menghasilkan prostalglandin, terutama prostalglandin E2 dan prostalglandin F2α di dalam cairan peritoneal. Prostalglandin menyebabkan rasa


(55)

nyeri dan meningkatkan permeabilitas kapiler (Mohan, Gulecha, Aurangabadkar, Balaraman, Austin and Thirugnanasampathan, 2009).

J. Landasan Teori

Interaksi obat merupakan perubahan efek dari suatu obat akibat adanya obat atau minuman atau herbal atau makanan atau agen kimia lainnya. Interaksi obat dapat mengakibatkan penurunan maupun peningkatan efikasi obat, namun juga berisiko peningkatan efek samping dan toksisitas obat. Maka dari itu, penggunaan obat bersamaan dengan obat atau senyawa lainnya perlu mendapat perhatian khusus untuk mencegah adanya interaksi obat yang tidak diinginkan.

Interaksi obat dengan obat herbal perlu mendapat perhatian khusus, karena obat herbal mengandung lebih dari satu bahkan banyak senyawa yang aktif secara farmakologis. Pada umumnya, masyarakat menggunakan obat herbal dalam bentuk yang praktis seperti minuman. Pemahaman bahwa obat herbal masuk ke dalam obat bebas menyebabkan masyarakat cenderung tetap menggunakan obat konvensional bersamaan dengan meminum obat herbal tanpa memperhatikan risiko adanya interaksi obat.

Nyeri merupakan salah satu gejala penyakit berupa sensasi tidak menyenangkan dan emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan. Pada umumnya nyeri ringan hingga sedang ditangani secara swamedikasi dengan analgesik. Senyawa analgesik merupakan senyawa yang mampu menekan rasa nyeri. Senyawa ini dapat berasal dari obat konvensional namun juga terdapat pada kandungan aktif tanaman yang diisolasi dalam bentuk obat atau minuman herbal.


(56)

Ibuprofen merupakan obat konvensional yang memiliki efek analgesik. Obat ini termasuk dalam golongan NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) yang bekerja menghambat biosintesis prostalglandin. Ibuprofen memiliki kekurangan yaitu efek samping pada gastrointestinal. Karena itu banyak masyarakat yang berpindah pada obat herbal yang memiliki risiko efek samping rendah. Ekstrak kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) diketahui juga memiliki aktivitas analgesik (Ali, Ashraf, Biswas, Karmakar, and Afroz, 2011). Kemungkinan mekanisme analgesik yang dimiliki berasal dari kandungan flavonoid, antosianin, dan polifenol yang ada dalam kelopak bunga rosela. Antosianin diduga memiliki aktivitas menghambat enzim siklooksigenase pembentuk prostalglandin.

Banyak masyarakat juga menggunakan obat herbal seperti seduhan rosela untuk meminum obat. Maka dari itu terdapat kemungkinan interaksi jika rosela digunakan bersamaan dengan ibuprofen. Interaksi obat dan obat herbal banyak terjadi pada saat proses metabolisme obat fase I, yang diperantarai oleh enzim sitokrom P450 (CYP450). Inhibisi enzim dapat memperlambat metabolisme obat dan akumulasi obat aktif dalam tubuh, yang berakibat pada toksisitas obat. Induksi enzim dapat mempercepat metabolisme obat yang berakibat pada penurunan efikasi obat.

Berdasarkan sifat efek pasangan obat yaitu homoergi (sepasang obat menimbulkan efek sama), heteroergi (sepasang obat salah satu saja menimbulkan efek tertentu), homodinami (sepasang obat homoergi dengan mekanisme kerja sama), dan heterodinami (sepasang obat homoergi dengan mekanisme kerja


(57)

berbeda), interaksi obat dapat digolongkan menjadi interaksi homodinami serta heterodinami dan heteroergi. Interaksi homoergi-homodinami menimbulkan luaran efek penambahan (infra, sederhana, atau supra) sedangkan homoergi-heterodinami dan heteroergi menimbulkan luaran berupa efek penghambatan atau penguatan (Donatus, 1995).

Showande, Fakeye, Tolonen, and Hokkane (2013) mengungkapkan bahwa ekstrak kelopak bunga rosela memiliki aktivitas inhibisi sejumlah isoform enzim CYP450. Jika benar ekstrak kelopak bunga rosela memiliki potensi sebagai inhibitor enzim, maka terdapat kemungkinan besar ekstrak kelopak bunga rosela juga memperlambat metabolisme ibuprofen.

Maka dari itu, terdapat dua kemungkinan penyebab interaksi ibuprofen dengan kandungan aktif kelopak bunga rosela. Pertama adalah adanya aktivitas analgesik pada kandungan aktif kelopak bunga rosela dan yang kedua adalah potensi rosela sebagai inhibitor enzim CYP yang memetabolisme ibuprofen. Berdasarkan kedua hal tersebut, pemberian infusa kelopak bunga rosela terlebih dahulu diikuti dengan pemberian ibuprofen diduga dapat meningkatkan efek analgesik dari ibuprofen.

K. Hipotesis

Infusa rosela dapat meningkatkan efek analgesik ibuprofen pada mencit putih betina galur Swiss.


(58)

39 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental murni. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu rancangan penelitian acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas : dosis infusa rosela yang berinteraksi dengan ibuprofen b. Variabel tergantung : jumlah geliat dari mencit setiap lima menit selama

satu jam, yang nantinya diolah menjadi persen proteksi.

c. Variabel pengacau : meliputi variabel pengacau terkendali dan tak terkendali.

1.) Variabel pengacau terkendali yaitu berat badan mencit (20-30 gram), umur mencit (2-3 bulan), jenis kelamin mencit (betina), galur mencit (galur Swiss), dan sumber kelopak rosela yang digunakan berasal dari CV. Merapi Farma Herbal.


(59)

2. Definisi operasional

a. Nyeri adalah sensori tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan.

b. Metode rangsang kimia adalah metode uji efek analgesik yang dilakukan dengan mengukur jumlah geliat subjek uji setiap lima menit selama 60 menit, setelah subjek uji diinjeksi dengan senyawa kimia penginduksi nyeri yaitu asam asetat 1 % secara intraperitoneal.

c. Geliat adalah ketika mencit meregangkan kaki belakangnya hingga batas maksimal atau hingga lurus dan perut hewan uji bagian bawah menyentuh alas tempat perlakuan.

d. Analgetika adalah senyawa yang mampu menekan nyeri, yang dalam penelitian ini berarti memiliki efek mengurangi geliat akibat rangsang nyeri. e. Infusa kelopak bunga rosela adalah sediaan infusa konsentrasi 20 % yang dibuat dengan cara melarutkan 5 gram serbuk kelopak rosela kering dalam 25 ml aquadest, kemudian dipanaskan di atas penangas air selama 15 menit pada suhu 90o C.

f. Efek analgesik adalah persen proteksi/ penghambatan geliat oleh senyawa uji setelah adanya rangsang nyeri dari asam asetat yang memenuhi kriteria menurut Kelompok Kerja Ilmiah Phyto Medica, (1991) yaitu ≥ 50 %.

g. Interaksi obat adalah peristiwa obat manakala efek obat tertentu diubah oleh obat atau senyawa lain yang diberikan sebelum atau bersama-sama dengannya dan saling mempengaruhi proses farmakokinetika dan atau farmakodinamika masing-masing. Interaksi obat memiliki makna yang sama


(60)

dengan istilah antaraksi obat yang disebutkan Donatus (1995) tentang pengertian dan penggolongan antaraksi obat.

h. Luaran interaksi obat adalah efek akibat interaksi obat yang dapat meliputi penambahan (infra, sederhana, atau supra), penghambatan maupun penguatan.

i. Jenis interaksi obat adalah penggolongan interaksi obat yang didasarkan pada sifat efek pasangan tersebut, meliputi interaksi homoergi homodinami, homoergi heterodinami, dan heteroergi.

C. Subjek dan Bahan Penelitian Bahan-bahan dalam penelitian ini meliputi:

1. Hewan uji yaitu mencit putih betina galur Swiss umur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 gram; diperoleh dari Lembaga Penelitian dan Pengujian Terpadu Unit IV dan Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2. Kelopak bunga rosela yang sudah dikeringkan; diperoleh dari CV. Merapi

Farma Herbal, Desa Hargobinangun, Pakem, Yogyakarta.

3. Aquades; CMC Na; asam asetat; seluruhnya diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Ibuprofen tablet generik 400 mg yang dikeluarkan oleh Novapharin Pharmaceutical Industries.


(61)

D. Alat Penelitian

Alat dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 1. Timbangan analitik merk Mettler Toledo

2. Alat suntik oral dan parenteral

3. Alat-alat gelas (gelas beker, kaca pengaduk, labu takar, corong) 4. Mortir dan stamper

5. Hot plate merk Thermolyne 6. Panci infusa

7. Termometer

8. Stopwatch analog

9. Ayakan no. Mesh 20, 30, dan 40

10.Instrumen moisture balance merk Mettler Toledo 11.Statif

Alat dan instrumen yang digunakan berasal dari Laboratorium Farmakologi Toksikologi, Kimia Fisika, Farmakognosi Fitokimia, dan Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

E. Tata Cara Penelitian

1. Penyerbukan simplisia kelopak bunga rosela dan pengukuran kadar air Serbuk dibuat dengan cara memblender kelopak bunga rosela kering hingga diperoleh serbuk halus, kemudian diayak secara bertingkat dengan ayakan no. Mesh 20, 30 dan 40. Setelah diperoleh serbuk kelopak bunga rosela, dilakukan pengukuran kadar air menggunakan instrumen moisture balance. Pengukuran


(62)

dilakukan dengan tiga kali replikasi. Prasyarat kadar air serbuk simplisia yang baik menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (1994) nomor 661 tentang Persyaratan Obat Tradisional adalah kurang dari 10 %.

2. Pembuatan larutan uji

a. Larutan asam asetat 1%. Larutan asam asetat 1% dibuat dengan melarutkan 0,01 ml asam asetat 100% dengan aquadest secukupnya, kemudian diencerkan dengan aquadest hingga diperoleh volume 10 ml.

b. Larutan CMC Na 1 %. Serbuk CMC Na ditimbang sebanyak 500,0 mg. Serbuk tersebut dibasahi dengan sejumlah aquadest pada wadah yang sesuai. Setelah dikembangkan selama kurang lebih 24 jam, larutan dituang ke dalam labu takar 50 ml dan ditambahkan dengan aquadest hingga diperoleh volume 50 ml.

c. Suspensi ibuprofen 1%. Suspensi ibuprofen 1% dibuat dengan mensuspensikan satu tablet 400 mg ibuprofen ke dalam CMC Na 1% hingga diperoleh volume 25 ml pada labu takar (konsentrasi 1=1,6%). Kemudian dari suspensi tersebut dilakukan pengenceran ke dalam labu takar 10 ml dengan rumus: C1 xV1 = C2 x V2

1,6% x V1 = 1% x 10 ml V1 = 6,25 ml

Maka, dari suspensi ibuprofen 1,6 %, diambil sebanyak 6,25 ml suspensi dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml, kemudian ditambahkan dengan CMC Na 1 % hingga mencapai volume 10 ml.


(63)

d. Sediaan infusa kelopak bunga rosela 20%. Serbuk kelopak rosela sebanyak 5 gram dilarutkan dengan 25 ml aquadest di dalam panci infusa. Panci ditutup, diletakkan di atas panci berisi air dan dipanaskan selama 15 menit pada suhu 90o C sambil sekali-sekali diaduk. Campuran diambil dan diperas dengan kain flannel hingga diperoleh 25 ml infusa. Jika volume perasan pertama masih kurang dari 25 ml, dapat ditambahkan aquadest panas pada ampas kemudian diperas kembali, hingga diperoleh 25 ml infusa.

3. Penentuan dosis

a. Dosis asam asetat. Dosis asam asetat yang digunakan untuk mampu menginduksi nyeri yaitu 50 mg/kg BB.

b. Dosis ibuprofen. Dosis terapi analgesik yang lazim untuk ibuprofen pada manusia adalah sebesar 200 mg/ 70 kg BB manusia setiap pemberian. Dosis ini dikonversikan untuk hewan uji mencit :

0,0026 x 200 mg = 0,52 mg/ 20 gram BB mencit = 26 mg/kg BB mencit

c. Dosis infusa kelopak bunga rosela. Dosis infusa kelopak bunga rosela ditentukan dengan menentukan terlebih dahulu dosis maksimal yang dapat diberikan pada hewan uji mencit. Infusa dibuat dengan konsentrasi 20% (200 mg/ml) dan volum pemberian maksimal yang ditentukan adalah 250 mg/kg (0,5 ml/20 gram) bobot mencit. Maka dosis maksimalnya adalah :

D x BB = C x V

D x 20 gram = 200 mg/ml x 0,5 ml


(64)

Maka diperoleh dosis maksimal sebesar 5 mg/kg BB mencit, dan variasi dosis yang digunakan adalah tiga peringkat dosis meliputi:

Dosis terendah (I) = 0,25 x 5 g/kg BB = 1,25 g/kg BB Dosis tengah (II) = 0,5 x 5g/kg BB = 2,5 g/kg BB Dosis tertinggi (III) = 5 g/kg BB

4. Penentuan selang waktu pemberian asam asetat

Selang waktu yang ditentukan merupakan selang waktu antara pemberian ibuprofen sebagai senyawa analgesik secara oral dilanjutkan pemberian asam asetat secara intraperitoneal. Waktu yang dipilih merupakan waktu yang memberikan jumlah geliat yang optimal (tidak terlalu banyak maupun terlalu sedikit), karena pada saat itulah diperkirakan menandakan adanya aktivitas penghambatan geliat yang mulai bekerja pada senyawa analgesik. Dalam hal ini dilakukan orientasi pada hewan uji mencit dengan kelompok terdiri atas selang waktu 10, 15, dan 20 menit.

5. Pemberian perlakuan

Mencit dikelompokan secara acak dalam delapan kelompok perlakuan dengan setiap kelompok berjumlah lima mencit:

a. Kelompok kontrol negatif CMC Na 1 % dengan asam asetat 1% b. Kelompok kontrol positif ibuprofen dengan pemberian asam asetat 1% c. Kelompok kontrol perlakuan infusa rosela dosis 1,25 g/kg BB, setelah 1 jam

lalu diberikan CMC Na 1 %, dan setelah selang waktu yang ditentukan diberikan asam asetat 1%


(65)

d. Kelompok kontrol perlakuan infusa rosela dosis 2,5 g/kg BB, setelah 1 jam lalu diberikan CMC Na 1 %, dan setelah selang waktu yang ditentukan diberikan asam asetat 1%

e. Kelompok kontrol perlakuan infusa rosela dosis 5g/kg BB, setelah 1 jam lalu diberikan CMC Na 1 %, dan setelah selang waktu yang ditentukan diberikan asam asetat 1%

f. Kelompok infusa rosela dosis 1,25 g/kg BB, setelah 1 jam lalu diberikan ibuprofen dan setelah selang waktu yang ditentukan diberikan asam asetat 1%

g. Kelompok infusa rosela dosis 2,5 g/kg BB, setelah 1 jam lalu diberikan ibuprofen dan setelah selang waktu yang ditentukan diberikan asam asetat 1%

h. Kelompok infusa rosela dosis 5 g/kg BB, setelah 1 jam lalu diberikan ibuprofen dan setelah selang waktu yang ditentukan diberikan asam asetat 1%


(1)

mg/g+ibuprofen Kontrol

positif-ibuprofen -6.10200 3.60077 .889 -20.5900 8.3860 Kontrol rosela

1,25 mg/g+CMC Na

44.60200* 3.60077 .000 30.1140 59.0900

Kontol rosela 2,5

mg/g+CMC Na 13.14600 3.60077 .102 -1.3420 27.6340 Kontrol rosela

5mg/g+CMC Na -1.88000 3.60077 1.000 -16.3680 12.6080 Perlakuan rosela

2,5

mg/g+ibuprofen

-5.16600 3.60077 .951 -19.6540 9.3220

Perlakuan rosela

5 mg/g+ibuprofen -30.04800 *

3.60077 .000 -44.5360 -15.5600 Perlakuan rosela

2,5

mg/g+ibuprofen

Kontrol

negatif-CMC Na 71.04600 *

3.60077 .000 56.5580 85.5340 Kontrol

positif-ibuprofen -.93600 3.60077 1.000 -15.4240 13.5520 Kontrol rosela

1,25 mg/g+CMC Na

49.76800* 3.60077 .000 35.2800 64.2560

Kontol rosela 2,5

mg/g+CMC Na 18.31200 *

3.60077 .005 3.8240 32.8000 Kontrol rosela

5mg/g+CMC Na 3.28600 3.60077 .996 -11.2020 17.7740 Perlakuan rosela

1,25

mg/g+ibuprofen

5.16600 3.60077 .951 -9.3220 19.6540

Perlakuan rosela

5 mg/g+ibuprofen -24.88200 *

3.60077 .000 -39.3700 -10.3940 Perlakuan rosela

5 mg/g+ibuprofen

Kontrol

negatif-CMC Na 95.92800 *

3.60077 .000 81.4400 110.4160 Kontrol

positif-ibuprofen 23.94600 *

3.60077 .000 9.4580 38.4340 Kontrol rosela

1,25 mg/g+CMC Na

74.65000* 3.60077 .000 60.1620 89.1380

Kontol rosela 2,5

mg/g+CMC Na 43.19400 *

3.60077 .000 28.7060 57.6820 Kontrol rosela

5mg/g+CMC Na 28.16800 *

3.60077 .000 13.6800 42.6560 Perlakuan rosela

1,25

mg/g+ibuprofen

30.04800* 3.60077 .000 15.5600 44.5360

Perlakuan rosela 2,5

mg/g+ibuprofen


(2)

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Persen Proteksi

Scheffe

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

Kontrol negatif-CMC Na 5 -.1520 Kontrol rosela 1,25

mg/g+CMC Na 5 21.1260 Kontol rosela 2,5

mg/g+CMC Na 5 52.5820

Perlakuan rosela 1,25

mg/g+ibuprofen 5 65.7280 65.7280 Kontrol rosela 5mg/g+CMC

Na 5 67.6080

Perlakuan rosela 2,5

mg/g+ibuprofen 5 70.8940

Kontrol positif-ibuprofen 5 71.8300 Perlakuan rosela 5

mg/g+ibuprofen 5 95.7760

Sig. 1.000 1.000 .102 .889 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 10. Data perubahan % persen proteksi terhadap ibuprofen dosis

26 mg/kg BB

NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Perubahan % proteksi

N 35

Normal Parametersa Mean -25.5726 Std. Deviation 43.02818 Most Extreme Differences Absolute .180 Positive .089 Negative -.180 Kolmogorov-Smirnov Z 1.068 Asymp. Sig. (2-tailed) .204 a. Test distribution is Normal.


(3)

Oneway

Descriptives

Perubahan % proteksi

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimu m

Maxi mum Lower

Bound

Upper Bound

kontrol negatif CMC Na 5 -1.0000E2 4.95920 2.21782 -106.1597 -93.8443 -104.58 -94.77 kontrol rosela 1,25mg/g+CMC

Na 5 -69.8680 11.42720 5.11040 -84.0567 -55.6793 -84.97 -55.55 kontrol rosela 2,5 mg/g+CMC

Na 5 -26.7940 7.45017 3.33182 -36.0446 -17.5434 -39.21 -19.61 kontrol rosela 5mg/g+CMC Na 5 -5.8800 9.35984 4.18585 -17.5018 5.7418 -19.61 6.54 rosela 1,25mg/g+ibuprofen 5 -8.4940 9.41245 4.20937 -20.1811 3.1931 -22.87 .00 rosela 2,5mg/g+ibuprofen 5 -1.3040 6.36902 2.84831 -9.2122 6.6042 -9.80 3.27 rosela 5mg/g+ibuprofen 5 33.3340 2.73588 1.22352 29.9370 36.7310 29.41 35.95

Total 3

5 -25.5726 43.02818 7.27309 -40.3533 -10.7919 -104.58 35.95

ANOVA

Perubahan % proteksi

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 61208.697 6 10201.450 164.188 .000 Within Groups 1739.719 28 62.133

Total 62948.416 34

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Perubahan % proteksi Scheffe

(I) Kelompok perlakuan

(J) Kelompok perlakuan

Mean Difference

(I-J)

Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound

Upper Bound kontrol negatif

CMC Na

kontrol rosela

1,25mg/g+CMC Na -30.13400 *

4.98529 .000 -49.2294 -11.0386

kontrol rosela 2,5

mg/g+CMC Na -73.20800 *

4.98529 .000 -92.3034 -54.1126

kontrol rosela

5mg/g+CMC Na -94.12200 *

4.98529 .000

-113.2174 -75.0266 rosela

1,25mg/g+ibuprofen -91.50800 *

4.98529 .000

-110.6034 -72.4126 rosela

2,5mg/g+ibuprofen -98.69800 *

4.98529 .000


(4)

rosela

5mg/g+ibuprofen

-133.33600*4.98529 .000

-152.4314

-114.2406 kontrol rosela

1,25mg/g+CMC Na

kontrol negatif CMC

Na 30.13400 *

4.98529 .000 11.0386 49.2294 kontrol rosela 2,5

mg/g+CMC Na -43.07400 *

4.98529 .000 -62.1694 -23.9786 kontrol rosela

5mg/g+CMC Na -63.98800 *

4.98529 .000 -83.0834 -44.8926 rosela

1,25mg/g+ibuprofen -61.37400 *

4.98529 .000 -80.4694 -42.2786 rosela

2,5mg/g+ibuprofen -68.56400 *

4.98529 .000 -87.6594 -49.4686 rosela

5mg/g+ibuprofen

-103.20200*4.98529 .000

-122.2974 -84.1066 kontrol rosela 2,5

mg/g+CMC Na

kontrol negatif CMC

Na 73.20800 *

4.98529 .000 54.1126 92.3034 kontrol rosela

1,25mg/g+CMC Na 43.07400 *

4.98529 .000 23.9786 62.1694 kontrol rosela

5mg/g+CMC Na -20.91400 *

4.98529 .024 -40.0094 -1.8186 rosela

1,25mg/g+ibuprofen -18.30000 4.98529 .068 -37.3954 .7954 rosela

2,5mg/g+ibuprofen -25.49000 *

4.98529 .003 -44.5854 -6.3946 rosela

5mg/g+ibuprofen -60.12800 *

4.98529 .000 -79.2234 -41.0326 kontrol rosela

5mg/g+CMC Na

kontrol negatif CMC

Na 94.12200 *

4.98529 .000 75.0266 113.2174 kontrol rosela

1,25mg/g+CMC Na 63.98800 *

4.98529 .000 44.8926 83.0834 kontrol rosela 2,5

mg/g+CMC Na 20.91400 *

4.98529 .024 1.8186 40.0094 rosela

1,25mg/g+ibuprofen 2.61400 4.98529 1.000 -16.4814 21.7094 rosela

2,5mg/g+ibuprofen -4.57600 4.98529 .990 -23.6714 14.5194 rosela

5mg/g+ibuprofen -39.21400 *

4.98529 .000 -58.3094 -20.1186 rosela

1,25mg/g+ibuprofen

kontrol negatif CMC

Na 91.50800 *

4.98529 .000 72.4126 110.6034 kontrol rosela

1,25mg/g+CMC Na 61.37400 *

4.98529 .000 42.2786 80.4694 kontrol rosela 2,5

mg/g+CMC Na 18.30000 4.98529 .068 -.7954 37.3954 kontrol rosela


(5)

rosela

2,5mg/g+ibuprofen -7.19000 4.98529 .906 -26.2854 11.9054 rosela

5mg/g+ibuprofen -41.82800 *

4.98529 .000 -60.9234 -22.7326 rosela

2,5mg/g+ibuprofen

kontrol negatif CMC

Na 98.69800 *

4.98529 .000 79.6026 117.7934 kontrol rosela

1,25mg/g+CMC Na 68.56400 *

4.98529 .000 49.4686 87.6594 kontrol rosela 2,5

mg/g+CMC Na 25.49000 *

4.98529 .003 6.3946 44.5854 kontrol rosela

5mg/g+CMC Na 4.57600 4.98529 .990 -14.5194 23.6714 rosela

1,25mg/g+ibuprofen 7.19000 4.98529 .906 -11.9054 26.2854 rosela

5mg/g+ibuprofen -34.63800 *

4.98529 .000 -53.7334 -15.5426 rosela

5mg/g+ibuprofen

kontrol negatif CMC

Na 133.33600 *

4.98529 .000 114.2406 152.4314 kontrol rosela

1,25mg/g+CMC Na 103.20200 *

4.98529 .000 84.1066 122.2974 kontrol rosela 2,5

mg/g+CMC Na 60.12800 *

4.98529 .000 41.0326 79.2234 kontrol rosela

5mg/g+CMC Na 39.21400 *

4.98529 .000 20.1186 58.3094 rosela

1,25mg/g+ibuprofen 41.82800 *

4.98529 .000 22.7326 60.9234 rosela

2,5mg/g+ibuprofen 34.63800 *

4.98529 .000 15.5426 53.7334 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Perubahan % proteksi

Scheffe

Kelompok perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

kontrol negatif CMC Na 5 -1.0000E2

kontrol rosela 1,25mg/g+CMC Na 5 -69.8680

kontrol rosela 2,5 mg/g+CMC Na 5 -26.7940

rosela 1,25mg/g+ibuprofen 5 -8.4940 -8.4940 kontrol rosela 5mg/g+CMC Na 5 -5.8800 rosela 2,5mg/g+ibuprofen 5 -1.3040

rosela 5mg/g+ibuprofen 5 33.3340 Sig. 1.000 1.000 .068 .906 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis Skripsi dengan judul “

Pengaruh Praperlakuan

Infusa Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa

L.) Terhadap Efek Analgesik Ibuprofen Pada Mencit

Betina Galur Swiss

” bernama lengkap

Pascalis Nika

Putri Winahyu, merupakan anak pertama dari tiga

bersaudara pasangan Hieronimus Emilianus Priyo Dwi

Marjoko dan Cicilia Peniyati. Penulis dilahirkan di

Sleman pada tanggal 28 Maret 1993. Penulis menempuh

pendidikan formal di TK Pangudi Luhur Yogyakarta

(1997-1999), SD Pangudi Luhur Yogyakarta

(1999-2005), SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta (2005-2008),

dan SMA Negeri 3 Yogyakarta (2008-2011). Pada tahun 2011, penulis

melanjutkan Pendidikan Sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Semasa menempuh Pendidikan Sarjana, penulis aktif sebagai panitia

dalam acara Tiga Hari Temu Akrab Farmasi (Titrasi) 2013 sebagai

keyboardist

Bandzen dan Penyuluhan Menjaga Kebersihan dan Kesehatan untuk anak SD dari

Komunitas Sadar Sehat JMKI 2013 sebagai sie humas. Penulis juga aktif dalam

kegiatan keorganisasian kemahasiswaan sebagai redaktur majalah

Pharmaholic

periode 2013/2014 dan anggota aktif Paduan Suara Mahasiswa Cantus Firmus

(2011-sekarang). Penulis berkesempatan ikut dalam misi budaya mewakili

Universitas Sanata Dharma pada acara Indonesian Day di Budapest, Hungaria,

bulan Mei 2014 sebagai pemusik. Di luar kegiatan kampus penulis menjalani

kehidupan musikalnya sebagai organis, pianis, dan mengaransemen musik.

Penulis meraih medali emas dalam

Bali International Choir Festival

2012 untuk

kategori Pop Jazz dan Folklore, juara II dalam Lomba Paduan Suara bagi

Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta Se-Kopertis wilayah V Yogyakarta 20-21

November 2013, dan memperoleh 2 medali emas dan 1 medali perak dalam Pesta

Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Mahasiswa Tingkat Nasional XIII di Jakarta,

29 September-4 Oktober 2014.