menolong merupakan cerminan dari falsafah rawin jemba yang mungkin dapat disejajarkan dengan ungkapan take and give.
Sikap saling bekerja sama dan selalu mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan umum ataupun pribadi itu, juga
melahirkan sikap saling menghargai yang sangat tinggi. Oleh karena seseorang tidak akan mampu melakukan sesuatu apapun tanpa bantuan dari sesamanya. Keterikatan
inilah di dalam masyarakat Karo dikenal dengan sangkep nggeluh rakut sitelu, yaitu senina, kalimbubu, dan anak beru. Ketiga pihak ini harus ada hadir dalam
menyelesaikan permasalahan sejak lahir hingga jasadnya menjadi tulang belulang. Masyarakat Karo dikenal dengan masyarakat yang memiliki peradaban yang
cukup tinggi. Wujud dan bentuk kebudayaan Karo mempunyai bentuk dan nilai tersendiri, yang memberikan corak dan karakteristik tertentu baik dalam tingkah laku,
pola hidup, sistem pergaulan dan kebiasaan-kebiasaan yang menunjukkan mereka sebagai suku yang senatiasa bereksistensi. Sifat dan kepribadian orang Karo nampak
dalam perwatakannya yang jujur, tegas dan berani, percaya diri, pemalu, tidak serakah dan tau hak dan kewajibannya. Mereka sangat menghormati orang lain, hal
ini nampak dalam gaya bicara mereka yang demokratis. Hal ini membuat masyarakat Karo mudah bergaul dan menerima dengan tangan terbuka siapa saja yang datang.
4.3.3. Solidaritas yang tinggi
Masyarakat di tempat ini juga mempunyai nilai-nilai budaya yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakatnya, baik itu budaya kegotong royongan,
menolong tanpa pamrih, toleransi, berani dan budaya mehangke segan dimana satu
Universitas Sumatera Utara
budaya pergaulan yang tidak bebas, gotong royong pun sering dilakukan seperti memperbaiki saluran air sebelum masuknya pabrik ketempat ini, ini menunjukkan
bahwa solidaritas masyarakat pada waktu itu tinggi. Kerja sama yang dilakukan antar warga bisa dikatakan sangat baik dulunya, baik dalam pembangunan rumah,
memanen hasil pertanian yang dilakukan secara bersama-sama. Seperti penuturan Pak Bangkit berikut:
“…Sikap masyarakat Karo jaman dahulu sangat mengutamakan kerja sama gotong- royong dan musyawarah runggu dalam mengerjakan pekerjaan yang sifatnya besar,
seperti bercocok tanam, mendirikan rumah adat, menyelesaikan adat perkawinan, acara adat kematian, juga menyelesaikan suatu perkara di suatu desa, dll. Dalam
membangun rumah adat misalnya, dimana rumah yang besar didiami oleh delapan kepala keluarga rumah siwaluh jabu dalam pengerjaannya melibatkan segenap
warga kampung serta para penghulu. Untuk mendirikan rumah adat yang besar itu memerlukan kayu-kayu yang besar yang diambil dari hutan. Warga kampunglah
dikerahkan untuk membawa kayu itu sampai ketempat yang akan dibangun…”
Dari hasil wawancara di atas dapat dikatakan bahwa solidaritas masyarakat di desa ini ternyata cukup kuat, karena saling membantu satu sama lainnya, gotong
royong masih sering di lakukan, dan saling tolong menolong tanpa pamrih, dan juga dapat dilihat dari penuturan salah satu informan seperti di bawah ini :
“…kalau dulu ada orang yang bawa beban berat misalnya sayuran dari ladang, jika ada yang lewat maka akan langsung di bantu untuk membawakannya, karna jarak
antara ladang penduduk dengan rumah penduduk kan cukup jauh…”
Sikap tolong menolong yang tercipta seperti yang diungkapkan informan diatas, menyatakan bahwa dalam hal menolong anggota masyarakat tidak
memandang kelas dan status sosial yang berbeda, sehingga inilah yang menjadikan solidaritas masyarakat menjadi kuat.
Universitas Sumatera Utara
4.3.4. Nilai dan norma perekat hubungan sosial