Analisis Tren Biomas Sustainability of skipjack (Katsuwonus pelamis) fisheries in Indonesian Exclusive Economic Zone (IEEZ) of Indian Ocean at Southern Coast of East Java

72 produktifitas primer pada wilayah yang mendapatkan pengaruh langsung upwelling ataupun pada wilayah transisi, dengan tingkat pengaruh tertinggi diberikan oleh konsentrasi klorofil-a. Beda fase antara kedua fluktuasi adalah tan -1 0,09 yang menunjukkan bahwa terjadinya fluktuasi konsentrasi klorofil-a mendahului fluktuasi CPUE dengan beda fase 5 hari, atau terdapat kecenderungan bahwa bila nilai konsentrasi klorofil-a meningkat maka CPUE cakalang juga cenderung meningkat 5 hari setelah peningkatan konsentrasi klorofil-a. Hal ini mengindikasikan bahwa diperlukan waktu 5 hari setelah meningkatnya konsentrasi klorofil-a bagi terjadinya kelimpahan organisme pemakan plankton yang merupakan makanan utama cakalang. Tabel 14 Nilai korelasi silang, periode fluktuasi, koherensi dan beda fase suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan CPUE Korelasi silang Periode Fluktuasi Koherensi Beda fase tan -1 Hari Suhu permukan laut dan CPUE 12 bulan 0,71 -2,97 71 Klorofil-a dan CPUE 12 bulan 0,73 0,09 5 Arah dan kecepatan angin merupakan komponen oseanografi yang secara tidak langsung terkait dengan keberadaan populasi cakalang di perairan selatan Jawa Timur melalui pengaruhnya terhadap berbagai faktor oseanografi diantaranya suhu permukaan laut dan kesuburan perairan. Kondisi suhu permukaan laut beserta variasi suhu secara menegak dan secara melintang menjadi salah satu penentu apakah cakalang mendapatkan kondisi lingkungan yang sesuai. Meningkatnya konsentrasi klorofil-a merupakan indikator kelimpahan phytoplankton yang merupakan makanan dari zooplankton. Kelimpahan zooplankton selanjutnya akan menarik pemangsa seperti krustasea dan ikan-ikan kecil yang selanjutnya akan dimangsa oleh cakalang. Matsumoto et al. 1984 menjelaskan bahwa cakalang muda terutama memakan krustasea sementara gerombolan dewasa terutama memakan juvenil dan ikan berukuran kecil. 73 Hasil analisis regresi berganda SPL dan konsentrasi klorofil-a terhadap CPUE menunjukkan nilai R 2 0,4032 yang berarti bahwa peubah bebas X 1 dan X 2 hanya mampu menjelaskan Y sebesar 40,32 atau sebagian besar dijelaskan oleh faktor oseanografi lain yang tidak diamati dalam penelitian ini. Berdasarkan nilai tersebut maka model dugaan yang diperoleh tidak dapat diandalkan untuk menjelaskan Y. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat beberapa faktor oseanografi lain yang berpengaruh langsung terhadap CPUE. Selain itu, pola hubungan yang telah dijelaskan antara SPL dan klorofil-a diduga merupakan pola hubungan tidak langsung. Kondisi suhu hampir merata sepanjang tahun di daerah tropis, sehingga perubahan suhu dalam kisaran yang kecil secara langsung akan menyebabkan perubahan arus, upwelling serta aspek oseanografi lain. Perubahan tersebut selanjutnya mempengaruhi keberadaan cakalang dalam suatu perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil tangkapan. Selain itu, keberadaan ikan mangsa akan menarik kehadiran cakalang dalam perairan, dimana dalam skala regional, distribusi cakalang berkaitan dengan distribusi ikan mangsa. Daerah upwelling disertai dengan produktivitas plankton klorofil-a tinggi yang menyebabkan kelimpahan ikan kecil yang merupakan makanan utama ikan pelagis besar, sehingga upwelling seringkali dikatakan berpengaruh terhadap keberadaan cakalang Nontji 1993. 4.4 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi 4.4.1 Kondisi Atribut Ekologi Atribut pada dimensi ekologi mencerminkan baik-buruknya kualitas lingkungan dan sumberdaya perikanan tangkap berikut proses-proses alami yang terkait di dalamnya, dalam rangka mendukung secara berkelanjutan setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam perikanan tangkap Hartono et al. 2005.

4.4.1.1 Komposisi Jenis dan Jumlah Tangkapan

Hasil penelitian Nurani 2010 menempatkan cakalang sebagai komoditas ikan unggulan kedua untuk Kabupaten Malang setelah jenis Tuna besar. Hal ini sesuai dengan praktek penangkapan nelayan sekoci dimana madidihang dan matabesar merupakan target utama tangkapan sementara cakalang hanya menjadi 74 target alternatif khususnya disaat terjadi paceklik ikan target. Walaupun demikian hasil tangkapan cakalang seringkali lebih banyak dibanding jenis lainnya. Rataan persentase hasil tangkapan total cakalang tahun 2003-2010 adalah 31,45, tidak berbeda jauh dengan hasil tangkapan target utama yaitu madidihang sebesar 36,71 dan matabesar sebanyak 2,60. Jenis ikan lain yang tertangkap adalah marlin sebanyak 19,57 dan tompek sebanyak 9,66. Selain itu kadangkala tertangkap sejumlah kecil ikan hiu namun nelayan tidak melakukan pencatatan. Gambar 23 Komposisi jenis hasil tangkapan nelayan sekoci tahun 2003-2010. Hasil tangkapan cakalang pada tahun 2003-2010 menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Peningkatan jumlah hasil tangkapan tersebut dipengaruhi oleh pertambahan jumlah upaya trip yaitu dari 25 trip pada tahun 2003 menjadi 108 trip pada tahun 2010, dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan dari tahun 2003 sebesar 34.231 kg dan kemudian menjadi 154.980 kg pada tahun 2010. Tabel 15 Jumlah trip dan hasil tangkapan cakalang tahun 2003-2010 No Tahun Trip Hasil Kg 1 2003 25 34.231 2 2004 59 88.490 3 2005 101 164.084 4 2006 109 139.285 5 2007 107 137.869 6 2008 75 70.704 7 2009 80 127.715 8 2010 108 154.983 Jumlah 664 917.361 Madidihang 36,71 Cakalang 31,45 Marlin 19,57 Tompek 9,66 Matabesar 2,60