Kebaruan Penelitian Sustainability of skipjack (Katsuwonus pelamis) fisheries in Indonesian Exclusive Economic Zone (IEEZ) of Indian Ocean at Southern Coast of East Java

Catch per unit effort CPUE adalah cara sederhana untuk memprediksi kondisi biomas ikan di perairan dengan cara melihat perbandingan antara hasil tangkapan dengan jumlah upaya yang dilakukan. Biomas stok ikan yang baik akan menunjukkan nilai CPUE yang terus meningkat dengan pertambahan upaya tangkap. IOTC 2008a melaporkan bahwa tren CPUE perikanan cakalang dengan purse seine tahun 2008 di Samudera Hindia Somalia dan Sisilia menunjukkan data yang bervariasi tetapi menunjukkan hasil tangkapan yang cenderung meningkat setiap tahun. Beragamnya ukuran tangkapan pada data yang diperoleh selama bertahun- tahun menunjukkan laju pertumbuhan cakalang yang bervariasi IOTC 2009c. Dengan menggunakan pembacaan otolith didapatkan hasil bahwa cakalang di bagian timur Samudera Hindia bisa mencapai ukuran panjang total 45 cm dalam waktu satu tahun, dan panjang total 50 hingga 55 cm dalam waktu satu setengah tahun. Kematangan seksual cakalang dicapai pada umur satu tahun dan dapat hidup 8 - 12 tahun Huntington et al. 2010, dengan rataan siklus hidup yang relatif pendek yaitu 4 tahun Sibert Hampton 2003. Dinamika stok cakalang sangat bergantung kepada rekruitmen recruitment driven yang disebabkan siklus hidupnya yang pendek serta kemampuannya untuk bereproduksi sepanjang tahun sehingga proses rekruitmen juga terjadi sepanjang tahun. Produktifitas yang tinggi serta siklus hidup yang relatif pendek menyebabkan cakalang memiliki ketahanan terhadap overfishing IOTC 2009a; IOTC 2011. Hasil analisis terhadap data tagging tahun 2008 menunjukkan rekruitmen cakalang yang masih besar di Samudera Hindia sebelah barat walaupun tingkat eksploitasinya tinggi IOTC 2010. Mayoritas cakalang yang tertangkap di Samudera Hindia berasal dari ikan berukuran 40 cm sehingga kemungkinannya telah melakukan pemijahan sebelum tertangkap IOTC 2011. Prosedur pengkajian stok terdiri dari elemen input data perikanan dan berbagai asumsi menyangkut data dan metodologi, proses analisis data, dan output perkiraaan parameter populasi atau sistem. Output yang dihasilkan berisi prediksi dan berbagai alternatif yang merupakan input bagi proses berikutnya. Pengulangan proses akan menghasilkan output akhir yang berisi strategi pengelolaan berupa optimalisasi hasil atau tujuan-tujuan lainnya Saila Galucci 1996 in Charles 2001. Salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam pengkajian stok adalah analisis statistik data deret waktu antara hasil dan upaya tangkap yang menghasilkan indeks hasil tangkap per upaya tangkap atau catch per unit effort CPUE. Metode ini sangat berguna dalam memberikan indikator kelimpahan stok bila tidak tersedia data lengkap mengenai ukuran, berat dan umur ikan. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa kelimpahan stok berkorelasi positif dengan dengan laju penangkapan Charles 2001. IOTC 2009c melaporkan bahwa hasil pengkajian secara menyeluruh terhadap stok cakalang di Samudera Hindia belum tersedia hingga saat ini, namun diperkiran masih jauh dari maximum sustainable yield MSY atau belum mencapai over fishing, namun demikian dibutuhkan upaya monitoring yang cermat. Selanjutnya dikatakan bahwa beberapa indikator populasi yang tersedia belum menunjukkan tanda terjadinya masalah dalam populasi cakalang, seperti berikut: 1. Tren peningkatan kegiatan penangkapan dalam jumlah besar sejak pertengahan era 80-an sebagai akibat dari ekspansi perikanan tangkap yang menggunakan fish aggregating devices di Samudera Hindia. 2. Tren catch per unit effort CPUE atau hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan untuk alat purse seine dari tiga wilayah utama penangkapan cakalang di Samudera Hindia, yaitu Somalia timur, barat daya Sesilia, dan terusan Mozambiq menunjukkan nilai yang bervariasi tetapi umumnya memperlihatkan jumlah tangkapan yang meningkat dengan pertambahan upaya tangkap. 3. Rataan ukuran tangkapan dengan berbagai alat tangkap menunjukkan kondisi populasi yang stabil. Purse seine serta pole and line terbanyak menangkap ikan yang berukuran 40-65 cm sementara gillnet terbanyak menangkap ikan yang berukuran 70-80 cm.

2.3 Perikanan Cakalang Samudera Hindia

Menurut Matsumoto et al. 1984 daerah penangkapan cakalang biasanya tersebar di perairan sekitar benua atau pulau-pulau besar dimana seringkali terjadi upwelling atau fenomena oseanografi yang menyebabkan terjadinya konsentrasi ikan cakalang di bagian permukaan perairan. Penyebaran cakalang di Samudra Hindia meliputi wilayah bagian barat yaitu Teluk Aden, Somalia, pantai timur dan selatan Afrika, serta wilayah bagian timur yaitu barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah barat Sumatra, Laut Andaman, Bombay, dan Ceylon, Jones Silas 1962. Menurut Uktolseja et al. 1991 penyebaran cakalang di Samudra Hindia dalam wilayah Indonesia meliputi perairan barat Sumatra, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Perikanan tuna di Samudera Hindia didominasi oleh hasil tangkapan cakalang Katsuwonus pelamis Miyake et al. 2010. Selanjutnya Lewis dan Williams 2001 menyatakan bahwa secara umum produksi tangkap cakalang Samudera Hindia menunjukkan nilai yang terus meningkat sejak tahun 1970, meningkat dua kali lipat pada era 80-an dan cenderung stabil mulai tahun 1990. Produksi cakalang di Samudera Hindia bagian barat mencapai hampir setengah dari tangkapan tuna dari wilayah ini. Spesies ini merupakan target dari perikanan pelagis yang menggunakan alat tangkap purse seine, gillnet dan pole and line. Perikanan tangkap cakalang di Samudera Hindia secara umum menunjukkan nilai yang terus meningkat sejak tahun 50-an dan mencapai produksi 50.000 ton pada akhir tahun 70-an mengggunakan alat tangkap pole and line . Selanjutnya terjadi peningkatan tajam pada awal era 80-an dengan diperkenalkannya alat tangkap purse seine. Saat tersebut cakalang menjadi kegiatan perikanan utama di samudera ini. Nilai produksinya terus meningkat di tahun 90-an dengan total produksi melebihi 400.000 ton, dan mencapai puncaknya pada tahun 2006 yaitu 622.600 ton. Nilai produksi ini menurun menjadi 440.600 ton pada tahun 2009 IOTC 2011. Penangkapan cakalang di Samudera Hindia menunjukkan hasil yang terus meningkat walaupun upaya tangkap bertambah. Penurunan hasil tangkap tahun 2007-2009 diduga dipengaruhi oleh penurunan upaya di perairan Somalia akibat banyaknya perompak IOTC 2009b. Hasil tangkapan cakalang dapat dibagi antara yang tertangkap sebagai gerombolan bebas, dan yang tertangkap di sekitar fish aggregating device. Data hasil penelitian penangkapan cakalang di Samudera Hindia menunjukkan nilai yang lebih besar tertangkap di sekitar rumpon yaitu sebesar 6.110 ton dan hanya 1.195 ton tertangkap dari gerombolan bebas Duery Oliver 2007. Indonesia merupakan negara yang berperan penting dalam perikanan tuna di Samudera Hindia. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan negara lainnya, secara umum kinerja perikanan cakalang Indonesia masih rendah apabila melihat luasnya perairan ZEEI yang dimiliki di Samudera Hindia yang memiliki potensi cakalang besar Proctor et al. 2007. Pengertian umum berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia. Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia. Pada tahun 2008 total produksi nelayan dari ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur yang di daratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai PPP Pondokdadap sekitar 4.163,227 ton dengan nilai Rp.47.840.711.085. Dari total produksi ikan tersebut sebagian besar di dominasi oleh cakalang dan tuna yaitu sebesar 3.690,634 ton 89 dengan nilai Rp.44.689.781,465 dan sisanya ikan pelagis lainnya. Untuk jenis tuna besar komposisi yang dominan tertangkap berturut-turut adalah madidihang Thunnus albacares sekitar 92, tuna matabesar Thunnus obesus sekitar 7 dan albakora Thunnus allalunga sekitar 3. Total tangkapan tuna besar mencapai 47 1.732,515 ton, sementara cakalang Katsuwonus pelamis sebesar 39 1.444,1 ton, dan sisanya dari jenis tongkol sebesar 14 514,019 ton PPP Pondokdadap 2008.

2.4 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan

Pengelolaan aspek ekologi lingkungan dan sumberdaya alam pada dasarnya adalah kegiatan pengelolaan perilaku manusia, sebagaimana perikanan tangkap yang merupakan sebuah kegiatan multidimensi yang berhubungan dengan alat tangkap, armada, pasar, aspek biologi dan ekonomi, pengelolaan dan alokasi sumberdaya, serta perbaikan stok yang sudah mengalami kelebihan tangkap Pitcher 1999. Pengelolaan perikanan secara berkelanjutan adalah sebuah konsep