Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Ekonomi

101 sebagai lokasi untuk memancing ikan tidak bisa dibandingkan dengan penggunaan rumpon oleh nelayan yang menangkap dengan menggunakan trawl berkapasitas besar, sehingga penggunaan rumpon dalam kasus perikanan kapal sekoci di perairan selatan Jawa Timur dianggap baik, sebagaimana hasil penelitian Nahib 2008 yang menunjukkan bahwa penggunaan rumpon pada perikanan tuna di perairan Pelabuhanratu dapat mengurangi hari kerja 10,54 per trip. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing yang memiliki selektifitas terhadap ukuran dan jenis ikan yang sedang dan memiliki nilai ecosystem effect index 7,3 yang masuk kategori baik dengan bobot skor 1. Menurut Bjordal 2002 nilai ecosystem effect index pancing adalah cukup tinggi yaitu 7,3 pada skala 4,5 hingga 8,4. Penanganan hasil tangkapan di kapal sekoci dilakukan dengan menyusun ikan hasil tangkapan di dalam kotak 3-4 lapis dan setiap lapisan ditimbun dengan pecahan es sebagai pendingin. Kategori pengawetan hasil tangkapan yang sederhana seperti ini diberi bobot sedang. Tempat pendaratan hasil tangkapan yang menyebar di berbagai pelabuhan akan menyulitkan perhitungan jumlah hasil tangkapan dari suatu wilayah perairan, serta akan meningkatkan biaya operasional dan bahan bakar nelayan. Oleh karena itu pendaratan hasil tangkapan kapal sekoci yang terpusat di PPP Pondokdadap akan memudahkan proses pencatatan, pengumpulan data hasil tangkapan dan mengurangi biaya operasional. Berdasarkan hal tersebut maka kategori untuk pendaratan ikan yang terpusat di PPP Pondokdadap adalah baik. Perubahan kapasitas tangkap berupa pertumbuhan jumlah trip sebesar 18,7 dan jumlah sekoci sebesar 19,2 per tahun merupakan nilai persentase yang sedang. Status eksploitasi cakalang yang masih rendah memerlukan peningkatan kapasitas tangkap baik berupa penambahan armada maupun trip. Akan tetapi penambahan kapasitas tangkap perlu dilakukan secara cermat agar pemanfaatan stok cakalang yang dilakukan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Salah satu faktor yang seringkali disebut sebagai penyebab utama rendahnya kinerja perikanan tangkap Indonesia, adalah struktur armada penangkapan yang masih didominasi armada skala kecil atau tradisional serta pengetahuan dan teknologi yang rendah. Pada tahun 2007 hanya 1 kapal ikan di Indonesia yang berukuran di atas 30 GT dan tergolong modern, selebihnya 99 102 berupa kapal motor di bawah 30 GT Dahuri 2009. Selanjutnya Sutisna 2011 menyatakan bahwa kondisi armada tangkap yang didominasi armada kecil menyebabkan 1 P roduksi dan produktivitas yang rendah, 2 Ke rentanan terhadap perubahan kebijakan ekonomi, 3 T ergantung pada musim dan tengkulak, 4 S ulit memperoleh bantuan pendanaan dari lembaga keuangan, 5 K apasitas muat dan kualitas hasil tangkapan terbatas, 6 Intensitas dan konflik perebutan fishing ground sangat tinggi, 7 Kemampuan belanja modal rendah, serta 8 A ksesibilitas terbatas. Upaya perubahan struktur armada tangkap tersebut di atas memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama. Menyikapi kondisi ini pengembangan dan modernisasi armada bertonase sedang dengan daya jelajah tinggi dapat dijadikan alternatif kebijakan jangka pendek di perairan selatan Jawa Timur. Gambar 39 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan pada dimensi teknologi. Urutan atribut yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap keberlanjutan dimensi teknologi adalah 1 Pengolahan pra-jual; dan 2 Lama trip. Atribut 0,83 3,18 1,08 2,61 1,60 1,63 0,29 0,53 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 Tempat Pendaratan Pengolahan pra Jual Efek Samping Alat Tangkap Lama Trip Ukuran Kapal Perubahan Kapasitas Tangkap Penanganan di Perahu Rumpon FAD Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 At ribut 103 pengolahan pra-jual ini merupakan faktor yang paling sensitif dalam perikanan cakalang nelayan sekoci, karena sama sekali belum ada perlakuan yang diberikan pada hasil tangkapan. Proses pengolahan pra-jual membutuhkan adanya adopsi nelayan terhadap teknologi pengolahan hasil, dimana adopsi ini akan meningkatkan kualitas dan daya tahan ikan. Pengolahan merupakan proses peningkatan nilai tambah terhadap ikan hasil tangkapan yang akan meningkatkan harga jual. Terdapat beberapa teknik pengolahan sederhana yang bisa dilakukan nelayan seperti membersihkan isi perut dan insang sebelum penjualan. Teknik pengolahan yang lebih menjanjikan adalah pembuatan produk katsuobushi yang memiliki nilai jual tinggi. Jumlah hari per trip berhubungan dengan efisiensi waktu dan jumlah biaya operasional untuk pembelian solar, es, dan sembako yang akan semakin tinggi dengan bertambahnya jumlah hari per trip. Jumlah hari yang digunakan oleh nelayan sekoci untuk satu trip adalah 7-10 hari dengan rataan biaya yang dikeluarkan untuk setiap trip adalah 42 dari total pendapatan. Dengan demikian pengurangan hari per trip akan mempengaruhi biaya total secara signifikan. Penataan jarak rumpon dapat mengatasi permasalahan ini, akan tetapi pemasangan rumpon pada jarak 50 mil menghadapi kendala berupa persaingan penangkapan pada rumpon yang telah dipasang dengan nelayan dengan jenis armada lain. 4.7 Analisis Keberlanjutan Dimensi Sosial 4.7.1 Kondisi Atribut Sosial Atribut pada dimensi sosial mencerminkan bagaimana sistem sosial manusia masyarakat perikanan yang berada dalam kegiatan perikanan saling berinteraksi dan mendukung berlangsungnya pembangunan sub sektor perikanan tangkap dalam jangka panjang dan berkelanjutan Hartono et al. 2005.

4.7.1.1 Pertumbuhan Jumlah Nelayan

Penduduk Desa Tambakrejo pada tahun 2010 adalah 4.839 jiwa dengan proporsi penduduk yang berprofesi sebagai nelayan 48,50 atau sebanyak 2.347 jiwa. Dari proporsi tersebut, sebagian besar merupakan nelayan sekoci dengan pertumbuhan jumlah yang signifikan pada tahun 2001-2010, yaitu dari 385 jiwa menjadi 1.663 jiwa atau 34,4 dari jumlah total penduduk desa. Peningkatan 104 jumlah nelayan sekoci terkait dengan peningkatan jumlah kapal sekoci yang menjadikan PPP Pondokdadap sebagai pangkalan. Pada tahun 2010 persentase jumlah kapal ini telah mendominasi struktur armada tangkap dengan jumlah yang beroperasi 303 buah. Gambar 40 Proporsi nelayan berdasarkan jenis perahu di PPP Pondokdadap tahun 2001-2010. Sebagian besar 90 nelayan Sekoci di PPP Pondokdadap merupakan nelayan pendatang andon yang berasal dari Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan yang dikenal memiliki kemampuan melaut yang tinggi serta keterampilan memancing ikan pelagis besar, sementara sisanya sebanyak 10 berasal dari pulau Madura dan kabupaten lain di provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah.

4.7.1.2 Pendidikan dan Pengalaman Kerja

Hasil wawancara terhadap 165 orang nelayan sekoci yang berpangkalan di PPP Pondokdadap memberi gambaran tentang tingkat pendidikan nelayan yang rendah. Sebagian besar atau 53 dari nelayan hanya lulus Sekolah Dasar, 46 lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan hanya 1 yang lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Gambar 41 Pendidikan nelayan kapal sekoci di PPP Pondokdadap. N elayan Sampan 10 N elayan Jukung 2 N elayan Sekoci 59 N elayan Payangan 29 Lulus SD 53 Lulus SLTP 46 Lulus SLTA 1 105 Teknologi penangkapan tradisional yang diterapkan, menyebabkan pendidikan bukan persyaratan untuk menjadi nelayan. Faktor utama yang menentukan kinerja perahu sekoci adalah pengalaman nakhoda dalam memandu serta pengalaman awak perahu buah kapal dalam memancing. Rataan pengalaman nakhoda perahu sekoci adalah 4-5 tahun dan awak perahu 2-5 tahun.

4.7.1.3 Pola kerja Nelayan

Sekoci pertama kali masuk ke perairan selatan Jawa Timur secara tidak sengaja oleh nelayan andon dari Sulawesi Selatan yang hanyut dari perairan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1998. Interaksi awal nelayan andon dengan masyarakat Desa Tambakrejo kemudian berkembang menjadi bentuk kerjasama saling menguntungkan dalam penangkapan cakalang di perairan lepas pantai selatan Jawa Timur. Pada mulanya, teknologi penangkapan disiapkan oleh nelayan andon sementara perbekalan operasi dan penjualan hasil tangkapan ditangani oleh pengambek dari masyarakat Desa Tambakrejo. Saat ini sudah ada nelayan lokal yang menguasai teknologi penangkapan dan memiliki perahu sekoci, sementara nelayan andonpun sudah banyak yang berbaur dengan masyarakat Sendang Biru dan menjadi pengamba’ untuk memasok perbekalan operasi dan menangani penjualan hasil tangkapan. Interaksi dengan nelayan andon merubah pola kerja penangkapan nelayan Desa Tambakrejo yang sebelumnya lebih banyak dilakukan dengan pola individu dan keluarga menjadi pola berkelompok. Perjalanan menuju fishing ground biasanya dilakukan bersama oleh 5 hingga 10 buah perahu sekoci, demikian halnya biaya dan pembuatan rumpon dilakukan secara berkelompok dimana satu buah rumpon dibuat secara berkongsi oleh beberapa pemilik perahu sekoci untuk kemudian dijadikan fishing ground bersama. Nelayan yang bekerja pada sebuah sekoci umumnya memiliki hubungan kekerabatan. Sayangnya praktek ini belum didukung oleh partisipasi keluarga nelayan yang hanya terlibat dalam persiapan pemberangkatan dan saat pendaratan hasil tangkapan. Keterlibatan keluarga dalam penjualan dan pengolahan terbatasi oleh perjanjian antara pemilik sekoci dan pengamba’ yang berhak sepenuhnya terhadap pengelolaan hasil tangkapan.