Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Teknologi

109 yang melakukan jenis kegiatan ekonomi pendukung perikanan tangkap cakalang, baik berupa penyediaan sarana prasarana penangkapan, pengolahan hasil, maupun perdagangan hasil tangkapan. Pengalaman nakhoda dan awak kapal merupakan faktor penting dalam perikanan cakalang nelayan sekoci. Hal ini terkait dengan tingkat pendidikan formal nelayan yang rendah, yaitu setengah diantaranya hanya lulus Sekolah Dasar. Dengan demikian, keberhasilan atau kinerja penangkapan nelayan sekoci yang masih menggunakan teknologi tradisional tersebut akan sangat bergantung kepada pengalaman nakhoda dan awak kapal sekoci. Hasil analisis Efani 2010 terhadap nelayan sekoci di PPP Pondokdadap menunjukkan bahwa pengalaman nakhoda berkontribusi sebesar 70,4.terhadap efisiensi teknis dalam penangkapan ikan pelagis besar. Partisipasi keluarga dalam kegiatan perikanan cakalang di PPP Pondokdadap rendah yang terbatas kepada bantuan tenaga saat kapal mendarat atau berangkat. Keterbatasan ini terkait dengan kesepakatan dengan pengamba’ yang menguasai hak menjual hasil tangkapan. Keluarga nelayan yang mencoba untuk menjual atau mengolah hasil terlebih dahulu harus membeli ikan dari pengamba’ sehingga mengurangi tingkat partisipasi keluarga. Atribut yang sensitif terhadap status keberlanjutan pada dimensi sosial berdasarkan nilai root mean square adalah 1 Kesadaran lingkungan; 2 Pelaku usaha baru; 3 Sumber pendapatan; dan 4 Status konflik. Kesadaran lingkungan merupakan atribut yang sensitif terhadap status keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat kesadaran yang rendah menjadikan nelayan tidak memperhatikan aspek ekologis dalam penangkapan. Mereka hanya berfokus pada kuantitas hasil tangkapan yang dalam jangka waktu panjang akan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan perikanan cakalang di perairan selatan Jawa Timur. Rataan pertumbuhan pelaku usaha baru adalah 19,2 per tahun yang menunjukkan nilai yang sedang. Status eksploitasi cakalang yang masih rendah menyebabkan atribut ini perlu ditingkatkan agar sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal. Namun demikian pertumbuhannya harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan pertambahan kapasitas tangkap ke tingkat yang tak terkontrol yang akan menimbulkan ekstraksi sumberdaya secara 110 berlebihan. Selain itu, pertumbuhan pelaku usaha baru harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan kecemburuan ekonomi dan konflik sosial karena nelayan lokal akan merasa tergusur oleh kehadiran nelayan andon yang terus bertambah. Gambar 42 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan pada dimensi sosial. Atribut sensitif lainnya adalah sumber pendapatan bagi nelayan dan keluarganya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keterlibatan keluarga terhadap kegiatan penangkapan nelayan sangat terbatas. Adanya pengamba’ yang menguasai hak penjualan hasil tangkapan menghalangi partisipasi keluarga dalam penjualan dan pengolahan. Hal ini mengurangi peluang keluarga untuk pendapatan dari kegiatan penangkapan, sehingga mereka menggantungkan sepenuhnya sumber pendapatan dari pembagian laba hasil tangkapan. Menurut kategori yang disusun Satria 2006 konflik dalam perikanan nelayan sekoci termasuk konflik kelas, cara produksi atau alat tangkap, dan usaha. 3,09 5,31 6,92 4,75 5,16 4,44 3,10 1,84 1 2 3 4 5 6 7 8 Pengalaman Nelayan Pelaku Usaha Baru Kesadaran Lingkungan Status Konflik Kontribusi Pendapatan Partisipasi Keluarga Rumah Tangga Nelayan Pola Kerja Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 At ribut 111 Konflik dalam berbagai bentuknya dapat menurunkan kinerja nelayan, sehingga conflict resolution diperlukan untuk mengurangi bentuk serta intensitasnya. Semakin banyak konflik yang terjadi maka semakin tinggi resiko sosial yang harus ditanggung dan selanjutnya menurunkan status keberlanjutan sosial. 4.8 Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan 4.8.1 Kondisi Atribut Kelembagaan Atribut pada dimensi kelembagaan merupakan cerminan dari derajat pengaturan kegiatan ekonomi manusia terhadap lingkungan perairan laut dan sumberdaya perikanan tangkap yang terkandung di dalamnya. Semakin baik derajat pengaturan yang dilakukan maka semakin dapat menjamin bahwa kegiatan yang dilakukan dapat berjalan dalam jangka panjang dan berkelanjutan.

4.8.1.1 Ketersediaan Aturan

Pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar di wilayah ini dilakukan dengan mengacu pada berbagai kesepakatan internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia diantaranya United Nation Conventions on the Law of the Sea UNCLOS yang diratifikasi dengan Undang-undang No 17 tahun 1985. Selanjutnya Food and Agriculture Organization menetapkan standar acuan bagi pengelolaan perikanan secara bertanggungjawab pada tahun 1995 melalui penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries. Wilayah perairan Samudera Hindia selatan Jawa oleh Food and Agriculture Organization dimasukkan ke dalam wilayah pengelolaan perikanan subarea 57.2 northern. Selain itu, Indonesia meratifikasi aturan dan menjadi anggota regional marine fisheries organization RMFO untuk pengelolaan tuna di Samudera Hindia yaitu Indian Ocean Tuna Commission IOTC pada 9 juli tahun 2007. Pengelolaan sumberdaya hayati di zona ekonomi eksklusif Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1984, yang dilengkapi dengan berbagai aturan dalam rangka pengelolaan sektor perikanan diantaranya PP nomor 141 tahun 2000 tentang Usaha Perikanan, Kepmen Perindustrian dan Perdagangan nomor 213MPPKep72001 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan untuk Pungutan 112 Hasil Perikanan, dan Kepmen Keuangan nomor 654KMK.062001 tentang Tatacara Pengenaan dan Penyetoran Pungutan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia mengeluarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan nomor 47 tahun 2001 tentang Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan, Permen nomor: PER.16MEN2006 tentang Pelabuhan Perikanan, Permen nomor PER.01MEN2009 tanggal 21 Januari 2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang menetapkan perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat sebagai WPP-RI 573, Permen Kelautan dan Perikanan nomor PER.02MEN2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, dan Kepmen nomor KEP.45MEN2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan. Di tingkat provinsi, pemerintah Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur nomor 18814SK0142000 tentang Pembentukan Tim Pembina Penyelenggaraan Pelelangan Ikan di Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Malang telah mencanangkan program untuk menjadikan kawasan pesisir Sendang Biru sebagai pusat pengembangan kawasan perikanan terpadu Rubianto 2001. Selanjutnya Dinas Pemukiman, Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Malang pada tahun 2005 menyusun Rencana Tata Ruang Pesisir dan Kelautan Kabupaten Malang dengan Rencana Detail Tata Ruang Sendang Biru. Sementara itu di tingkat lokal terdapat kesepakatan kelompok nelayan sekoci yang berisi aturan bahwa 1 nelayan lokal diberi kesempatan belajar teknik memancing ke nelayan sekoci, 2 nelayan lokal boleh memanfaatkan rumpon nelayan sekoci selama belum memiliki rumpon sendiri, dan 3 nelayan sekoci menyetor 2 hasil penjualan kepada kelompok nelayan.

4.8.1.2 Lembaga Pelaksana

Koordinasi pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan selatan pulau Jawa, Bali dan Nusa Tengara dilakukan oleh Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan FKPPS wilayah IX yang beranggotakan Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi. Forum ini bertugas mempercepat arus data dan informasi pemanfaatan sumberdaya ikan, mengidentifikasi dan merumuskan