Latar Belakang Sustainability of skipjack (Katsuwonus pelamis) fisheries in Indonesian Exclusive Economic Zone (IEEZ) of Indian Ocean at Southern Coast of East Java

multidimensi . Dengan demikian penelitian ini tidak hanya dapat memberikan informasi mengenai kondisi stok sumberdaya cakalang berdasarkan kondisi oseanografi, tetapi lebih jauh dapat menyediakan perspektif komprehensif mengenai status keberlanjutan perikanan cakalang oleh nelayan sekoci di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur, serta menyediakan strategi dan arahan kebijakan yang diperlukan bagi peningkatan status keberlanjutannya. Selain itu, dalam penelitian ini pemilihan dan penilaian status keberlanjutan pada setiap dimensi dilakukan sesuai dengan kondisi aktual perikanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur serta penambahan atribut pada dimensi kelembagaan yaitu pelabuhan perikanan. Ketersediaan fasilitas di suatu pelabuhan perikanan dianggap dapat menjembatani keterbatasan yang umumnya dimiliki oleh armada perikanan di Indonesia khususnya kapal sekoci, yaitu dalam ketersediaan prasarana pendukung kegiatan penangkapan serta penanganan hasil. Tingkat dukungan yang dapat disediakan di suatu pelabuhan bergantung kepada kelasnya sehingga perbedaan dalam kelas pelabuhan akan memberi pengaruh yang berbeda kepada status keberlanjutan perikanan cakalang nelayan sekoci. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Oseanografi 2.1.1 Arah dan Kecepatan Angin Pada kondisi normal wilayah Asia Tenggara dipengaruhi oleh empat angin muson utama yaitu 1 Angin muson barat laut pada bulan Desember, Januari dan Februari; 2 Transisi dari angin muson barat laut ke angin muson tenggara pada bulan Maret, April dan Mei; 3 Angin muson tenggara pada bulan Juni, Juli dan Agustus, dan 4 Transisi dari angin muson tenggara ke angin muson barat laut pada bulan September, Oktober dan November Wyrtki 1961. Wilayah perairan Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan Australia merupakan wilayah yang ideal untuk terjadinya angin muson. Pada musim barat di belahan bumi utara daratan Asia terjadi musim dingin sementara di belahan bumi selatan daratan Australia terjadi musim panas. Pada saat tersebut pusat tekanan tinggi berada di daratan Asia dan pusat tekanan rendah berada di daratan Australia yang menyebabkan angin bertiup dari daratan Asia menuju daratan Australia, serta hal yang sebaliknya terjadi pada musim timur. Pada bulan Maret-Mei dan September-November arah angin tidak menentu Wyrtki 1961. Hasil observasi Susanto et al. 2005 menunjukkan bahwa waktu transisi atau musim peralihan lebih pendek. Angin muson barat laut bertiup dari November-Maret, sementara angin muson tenggara bertiup dari Mei-September. Musim transisi hanya terjadi pada bulan April dan Oktober. Perubahan arah dan kecepatan angin yang bertiup di atas perairan mengakibatkan terjadinya perubahan dinamika perairan. Menurut Susanto et al. 2001, terjadinya upwelling di sepanjang pantai Jawa-Sumatera merupakan respon terhadap bertiupnya angin muson tenggara. Upwelling di daerah ini berlangsung dari bulan Juni hingga pertengahan Oktober dan pusat upwelling dengan suhu permukaan laut yang rendah dimulai dari perairan selatan Jawa Timur dan kemudian berpindah ke arah barat.

2.1.2 Suhu Permukaan Laut

Karena posisi geografisnya di antara benua Asia dan Australia dan Samudera Hindia dan Pasifik, suhu permukaan laut SPL perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh topografi daratan dan atau fluks atmosfer-lautan Aldrian Susanto 2003. Variabilitas SPL sangat dipengaruhi oleh muson Asia-Australia dan interaksi kompleks antara atmosfer dan lautan, seperti ENSO di katulistiwa Pasifik Barat dan IODM di katulistiwa Samudera Hindia Susanto et al. 2005, serta percampuran yang diakibatkan oleh pasut dan Arus Lintas Indonesia Qu et al. 2005. Variabilitas suhu permukaan laut mempengaruhi karakteristik biologis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebaran SPL merupakan salah satu indikator terjadinya proses upwelling di suatu perairan Farita et al. 2006. Fakta bahwa SPL rata-rata bulanan di daerah perbatasan antara selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan suhu terendah dibanding wilayah lain di Selatan Jawa-Sumbawa selama bulan Juli-September, mengindikasikan adanya penguatan upwelling di daerah tersebut Farita et al. 2009. Menurut Bearman 2004 sebaran menegak suhu dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu: 1 lapisan permukaan tercampur mixed surface layer, 2 lapisan termoklin permanen pada kedalaman 300 -1.000 m dimana terjadi penurunan suhu yang tajam, dan 3 lapisan di bawah 1.000 m sampai dasar laut dengan suhu yang dingin dan relatif konstan. Gradien suhu pada lapisan homogen tercampur tidak lebih dari 0,03 Cm. Ketebalan lapisan ini sangat tergantung pada kecepatan dan lamanya angin bertiup Wyrtki 1961. Purba 1995 menyatakan bahwa di perairan selatan Jawa ketebalan lapisan tercampur berkisar antara 40 –75 m. Ketebalan lapisan termoklin ini dipengaruhi oleh pertukaran bahang, percampuran oleh gelombang, pergerakan massa air secara mendatar dan gelombang dalam. Gradien perubahan suhu pada lapisan termoklin sekitar 0,05 Cm Hela Laevastu 1970. Ross 1995 menyatakan bahwa gradien perubahan suhu lapisan termoklin sekitar 0,1 Cm. Di perairan selatan Jawa batas lapisan termoklin sebelah atas adalah 45-70 m dan batas bawahnya adalah 150-200 m Purba 1995. Lapisan dalam terdapat di bawah lapisan termoklin, dimana penurunan suhu terhadap kedalaman pada lapisan ini sangat kecil Nybakken 1992. Keberadaan lapisan termoklin sangat mendukung tingginya laju produktifitas primer di laut. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau lapisan atas lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktifitas primer. Lapisan termoklin yang dangkal dapat lebih berperan dalam menunjang produktifitas perairan daripada lapisan termoklin yang dalam. Ini disebabkan karena pada saat terjadi proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin yang dangkal lebih mudah mencapai lapisan permukaan daripada lapisan termoklin yang lebih dalam. Kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada batas atas lapisan termoklin Tubalawony 2008. Hela dan Laevastu 1970 mengemukakan bahwa ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Suhu juga menyebabkan perbedaan penyebaran ikan dewasa dan anak ikan karena mereka cenderung memilih suhu yang cocok bagi masing-masing umur. Perbedaan suhu perairan juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi migrasi dan besarnya gerombolan ikan. Beberapa jenis ikan pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu perairan di permukaan lebih tinggi. Kedalaman gerombolan ikan sangat tergantung luasnya lapisan tercampur di permukaan pada malam hari.

2.1.3 Klorofil-a

Salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan di suatu perairan adalah ada tidaknya sumber makanan yang dibutuhkan. Sumber makanan ikan terkonsentrasi di wilayah perairan yang subur. Daerah perairan yang subur memiliki kandungan nutrien yang tinggi, seperti ortoposfat, nitrat, nitrit dan unsur hara lainnya. Daerah ini biasanya diindikasikan dengan kelimpahan fitoplankton yang tinggi dan konsentrasi klorofil-a yang tinggi pula Realino et al. 2007. Klorofil-a merupakan salah satu pigmen fotosintesis dominan yang terdapat dalam kloroplast alga dan jenis fitoplankton lainnya. Klorofil diperlukan dalam konversi energi radiasi sinar matahari menjadi energi kimia dalam proses fotosintesis. Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada daerah upwelling dan zona divergensi. Di wilayah tropis, konsentrasi klorofil maksimum ditemukan pada kedalaman sekitar 20-100 m Lalli Parsons 2004. Nontji 1993 mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia sekitar