kelas eksperimen lebih dari tingkat disposisi matematis siswa pada kelas kontrol. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 51.
Dari uji perbedaan dua rata-rata di atas, maka dapat disimpulkan bahwa uji hipotesis 4 terpenuhi yaitu tingkat matematis siswa dengan pembelajaran
Model-Eliciting Activities lebih baik daripada tingkat disposisi matematis siswa dengan pembelajaran ekspositori.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Kemampuan Penalaran Matematis Siswa
Berdasarkan hasil analisis data awal diperoleh bahwa kedua sampel yaitu kelas VIII G sebagai eksperimen dan kelas VIII H sebagai kontrol berasal dari
populasi yang berdistribusi normal dan memiliki kondisi awal yang sama yang ditunjukkan dengan homogenitas variansnya. Data awal yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data ujian akhir semester gasal kelas VIII SMP Negeri 11 Semarang tahun ajaran 20122013.
Dalam proses pembelajaran, kedua sampel diberi perlakuan yang berbeda. Untuk kelas eksperimen, siswa diberi perlakuan dengan pembelajaran
Model-Eliciting Activities. Pada kelas eksperimen, dalam proses pembelajaran siswa diberi perlakuan dengan menggunakan Model-Eliciting Activities, setelah
guru memberikan pengantar materi, siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Kemudian guru memberikan lembar tugas siswa untuk didiskusikan
secara kelompok. Dalam pembelajaran dengan Model-Eliciting Activities, siswa diharapkan mampu menyelesaikan masalah melalui pemodelan matematika.
Setelah itu, salah satu anggota kelompok yang ditunjuk oleh guru mempresentasikan model matematika yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah. Pada saat guru memberikan pengantar materi, guru melaksanakan
kegiatan tanya jawab tentang materi pertemuan lalu. Selain itu, guru memberikan apersepsi pada siswa tentang materi-materi apa saja yang harus dikuasai siswa
untuk mempelajari materi atau konsep baru. Apersepsi atau prasyarat ini penting karena bertujuan untuk mengingat kembali materi pembelajaran yang berkaitan
dengan materi yang akan dipelajari. Pada tahap pengelompokan siswa, guru mengelompokkan siswa masing-
masing tiap kelompoknya terdiri dari empat siswa. Pada saat penelitian, guru mengelompokkan siswa dengan pengelompokan yang bervariasi. Guru memilih
secara acak berdasar kocokan, berdasar nomor presensi, serta berdasar baris dan kolom tempat duduk siswa. Salah satu hal yang menjadi kekurangan dalam
pembelajaran kelompok dengan Model-Eliciting Activities yaitu pengelompokan yang ditentukan guru terkadang kurang memuaskan bagi siswa karena tidak sesuai
dengan harapan siswa. Pada tahap berdiskusi, siswa saling berinteraksi dengan sesama anggota
kelompok atau antar anggota kelompok yang dapat menumbuhkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika di kelas. Interaksi yang terjadi antara lain
adanya tanya jawab, saling berpendapat, dan menghargai pendapat dari teman yang lain. Dengan kegiatan diskusi dalam Model-Eliciting Activities ini,
diharapkan siswa dapat menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru,
karena terjadi saling tukar ide dan kerja sama untuk memperoleh solusi yang harus diselesaikan. Tetapi, ada hal yang menjadi kekurangan pada tahap diskusi
kelompok ini karena adanya beberapa siswa yang pasif hanya bergantung dengan teman sekelompoknya yang lain.
Pada tahap presentasi, guru menunjuk siswa secara acak untuk menuliskan dan menjelaskan model matematis sebagai solusi permasalahan yang
telah mereka dapatkan bersama kelompoknya. Sehingga, tiap siswa harus menguasai dan siap untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas.
Penunjukan siswa yang secara acak bergantung pada keinginan guru ini menjadi suatu hal yang positif yang secara tidak langsung menuntut siswa untuk
menguasai model matematisnya, karena setiap siswa dalam kelompok sama-sama memiliki peluang untuk ditunjuk guru presentasi.
Sedangkan untuk kelas kontrol, siswa diajar dengan pembelajaran ekspositori. Pada kelas kontrol, dalam proses pembelajaran, guru menyampaikan
materi, memberikan contoh soal, dan memberikan latihan soal. Berbeda dengan pembelajaran pada kelas eksperimen, pada kelas kontrol siswa cenderung pasif
dan bergantung pada guru. Siswa terkesan tidak mandiri karena hanya menunggu konfirmasi dari guru, tanpa rasa ingin tahu yang tinggi untuk menyelesaikan suatu
masalah yang diberikan oleh guru. Pembelajaran terkesan monoton dan komunikasinya satu arah, karena guru mendominasi kegiatan pembelajaran dan
siswa hanya berperan sebagai penerima informasi. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran pada kelas kontrol adalah mencatat, menjawab pertanyaan guru, dan
mengerjakan soal dari guru. Kegiatan diskusi bersama dengan kelompok tidak
nampak dalam pembelajaran ekspositori karena guru menggunakan metode ceramah.
Dalam proses pembelajaran, baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol, siswa diarahkan untuk melatih kemampuan penalaran matematisnya.
Pembelajaran berlangsung dengan lancar, guru tidak mengalami hambatan yang berarti. Guru mengarahkan kegiatan pembelajaran agar berlangsung sesuai pada
RPP yang telah dirancang. Setelah proses pembelajaran selesai, siswa diberi tes untuk mengukur sejauh mana tingkat kemampuan penalaran matematisnya.
Setelah diberi perlakuan yang berbeda, diperoleh data hasil tes kemampuan penalaran matematis siswa yang kemudian dianalisis. Dari hasil
analisis tersebut diperoleh kesimpulan bahwa kelas eksperimen yang diberi perlakuan pembelajaran Model-Eliciting Activities mencapai ketuntasan sebesar
82,14. Artinya, siswa yang mencapai KKM pada kelas eksperimen sebanyak 80 dari keseluruhan siswa pada kelas eksperimen. Hal ini menunjukkan
bahwa kelas tersebut sudah mencapai ketuntasan klasikal yaitu minimal 80.
Selain itu, dari perhitungan analisis data juga diperoleh hasil beda proporsi yang sangat signifikan. Kelas eksperimen mampu mencapai ketuntasan
klasikal sebesar 82,14, sedangkan kelas kontrol hanya mampu mencapai
ketuntasan klasikal sebesar 42,86. Artinya, persentase banyaknya siswa telah
mencapai KKM pada kelas eksperimen lebih tinggi dari persentase siswa yang mencapai KKM pada kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa ketuntasan
klasikal siswa terhadap kemampuan penalaran matematis dengan pembelajaran
Model-Eliciting Activities lebih baik daripada ketuntasan klasikal siswa dengan pembelajaran ekspositori.
Perbedaan yang sangat signifikan tersebut, dikarenakan siswa pada pembelajaran ekspositori dalam menyelesaikan soal tes kemampuan penalaran
matematis tidak menuliskan prosedur pengerjaan soal yang telah dianjurkan oleh guru seperti pada saat pembelajaran-pembelajaran sebelum tes. Kebanyakan siswa
langsung menyelesaikan soal tanpa mengidentifikasi soal terlebih dahulu, yaitu seperti menuliskan informasi-informasi penting yang terdapat dalam soal serta
menuliskan hal apa yang ditanyakan dalam soal. Padahal prosedur pengerjaan soal yang telah dianjurkan guru merupakan hal yang harus mendapat perhatian dari
siswa, karena aspek tersebut dinilai. Aspek itu termasuk dalam indikator penalaran matematis yang diukur dalam penelitian ini. Ketika siswa tidak
menuliskan prosedur tersebut, hal itu menandakan bahwa siswa tidak mampu menganalisis situasi matematika yang merupakan salah satu pengukuran indikator
kemampuan penalaran. Selain itu, faktor waktu pengerjaan soal tes juga menjadi penyebab siswa pada pembelajaran ekspositori banyak yang tidak tuntas. Pada
saat tes, yang dijadwalkan setelah siswa istirahat, siswa tidak disiplin segera masuk kelas. Sehingga waktu pengerjaan soal tes yang direncanakan selama 80
menit, menjadi terpotong hingga 10 menit. Sehingga siswa tidak dapat menyelesaikan seluruh soal tersebut. Dan karena keterbatasan waktu yang di luar
dugaan peneliti ini, menjadi siswa tergesa-gesa dan kurang teliti. Hal itu menyebabkan hasil yang diperoleh siswa tidak maksimal.
Dari hasil analisis deskriptif data hasil tes kemampuan penalaran matematis siswa, menunjukkan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa
yang diberi pembelajaran Model-Eliciting Activities lebih baik daripada kemampuan penalaran matematis siswa yang diberi pembelajaran ekspositori.
Kemampuan penalaran matematis siswa untuk kelas eksperimen adalah 73,18,
sedangkan untuk kelas kontrol hanya mencapai 62,00. Jelas bahwa kemampuan
penalaran matematis siswa berbeda secara signifikan. Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab adanya perbedaan rata-rata
dan ketuntasan klasikal siswa pada kemampuan penalaran matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran Model-Eliciting Activities dan siswa yang mendapat
pembelajaran ekspositori adalah sebagai berikut. 1
Pada pembelajaran dengan Model-Eliciting Activities, siswa dibimbing dalam kelompok untuk menemukan rumus keliling dan luas lingkaran sendiri,
sehingga siswa lebih mudah mengingat materi tersebut karena siswa membangun pengetahuannya sendiri. Siswa menemukan rumus keliling dan
luas lingkaran sendiri, maksudnya adalah dengan menggunakan Lembar Kegiatan Siswa yang disusun khusus untuk mengkonstruk pengetahuan siswa
secara bertahap yang nantinya berakhir pada penemuan rumus keliling dan luas lingkaran. Sedangkan, pada pembelajaran ekspositori, siswa mendapatkan
penjelasan dari guru. 2
Dengan menggunakan pembelajaran Model-Eliciting Activities, pembelajaran di kelas menjadi lebih hidup. Karena siswa aktif dalam berdiskusi dan saling
bersaing antara kelompok satu dengan yang lain untuk ditunjuk
mempresentasikan model matematika dalam penyelesaian masalah yang diberikan oleh guru. Siswa saling bersaing antar kelompok untuk
menyelesaikan permasalahan dengan waktu yang tercepat. Karena kelompok tercepat tiap anggotanya memiliki kesempatan untuk ditunjuk maju
mempresentasikan modelnya di depan kelas. Sedangkan, pada pembelajaran ekspositori, siswa cenderung kurang aktif dalam menyampaikan ide atau
gagasan mereka dalam penyelesaian masalah. 3
Melalui pembelajaran Model-Eliciting Activities, siswa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk melatih kemampuan penalaran mereka, karena
pembelajaran dilaksanakan secara diskusi kelompok, di mana siswa dapat saling bertukar ide pikiran untuk dapat mendapatkan solusi penyelesaian
masalah. Sedangkan pada pembelajaran ekspositori, kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan metode ceramah berupa komunikasi satu arah dan tidak
terjadi diskusi pada kegiatan pembelajaran tersebut.
4.2.2 Tingkat Disposisi Matematis Siswa