Sistem Franchise LANDASAN TEORI

bagian kecil dari jumlah total yang pewaralaba investasikan ketika ia menandatangani suatu kontrak waralaba. 3. Pemberi waralaba menyediakan suatu sistem pemasaran dan operasi untuk menjalankan bisnisnya. Dalam format bisnis seperti ini, perusahaan yang diberi hak monopoli menyelenggarakan perusahaan seolah-olah merupakan bagian dari perusahaan pemberi lisensi yang dilengkapi dengan nama produk, merek produk logo, dan prosedur penyelenggara secara standar. Pada umumnya dukungan yang diberikan meliputi dukungan awal seperti pemilihan lokasi, rencana bangunan, pembelian peralatan, pola arus kerja, pemilihan karyawan, periklanan, grafik dan bantuan pada acara opening. Dukungan lain yang berlanjut seperti pencatatan dan akuntansi, konsultasi, pemeriksaan, standar promosi, pengendalian kualitas, nasihat hukum, riset dan material lainnya Suryana, 2001. Tambunan 2008 menjelaskan berbagai macam keunggulan dan kelemahan dari sistem franchise, yaitu : Keunggulan bagi franchisor : a. Perluasan pasar : Franchise adalah suatu metode yang ampuh untuk melakukan perluasan pasar market expansion dan penetrasi pasar secara efektif dan cepat. b. Modal rendah : Dalam membiayai perluasan pasar seperti dimaksud di atas, pewaralaba menggunakan modal dari pihak lain franchisee, bukan dari modalnya sendiri. Oleh sebab itu, ada ungkapan yang menyatakan bahwa franchise adalah “metode perluasan pasar dengan modal rendah”. c. Bermitra dengan wirausaha : Dalam melakukan pemasaran dan penjualan produk, franchisor memanfaatkan wirausaha bukan pegawai, dalam mengoperasikan bisnis sehari-hari. Wirausaha di sini adalah franchisor yang ikut melakukan investasi menanamkan modal. Jika franchisor tidak berupaya keras memasarkan produknya dalam rangka memperoleh revenue, maka investasinya akan gagal dan mengalami kerugian. Peningkatan penjualan terwaralaba, berarti peningkatan pendapatan pewaralaba dari royalti. d. Masukan dari franchisee : Franchisee memiliki potensi besar untuk memberikan masukan yang berharga bagi perbaikan sistem usaha termasuk sistem pelayanan dan pemasaran. Sebagai pelaksana sistem usaha dan ujung tombak yang berhadapan langsung dengan konsumen, franchisee biasanya mengetahui kekurangan atau kelemahan sistem yang dibuat franchisee. Franchisor dapat memanfaatkan masukan franchisee untuk memperbaiki sistem bisnisnya. e. Lebih dari itu, franchisee secara berkala menerima bantuan manajerial dalam hal pemilihan lokasi bisnis, desain fasilitas, prosedur operasi, pembelian, dan pemasaran Rachmadi, 2007 Kelemahan bagi Franchisor : a. Relatif tidak bebas : Franchisor tidak bebas untuk melakukan perubahan atas sistem bisnisnya karena setiap perubahan akan mengimplikasi pada sistem bisnis yang tengah dipraktikan franchisee, apalagi jika jumlah franchisor cukup banyak. Perubahan akan membuat franchisee harus mengeluarkan biaya, sehingga biasanya akan ditentang. b. Franchisor yang rugi : Walaupun secara empiris tingkat keberhasilan franchise cukup tinggi, namun franchisor yang merugi biasanya akan membuat franchisee repot. Franchisor cenderung mencari-cari alasan dan menganggap penyebab kerugiannya itu adalah “kesalahan” franchisee. “Ulah” satu franchisor yang rugi itu akan menyibukan dan menyita waktu franchisee untuk melayani keluhan dan kritik. c. Masalah hukum : Potensi terjadinya persengketaan dispute hukum dengan franchisor selalu terbuka. Potensi ini lebih besar dalam bisnis franchise daripada dalam bisnis independen. Betapapun baiknya perjanjian franchise dibuat, betapapun posisi franchisee “lebih kuat” secara hukum, persengketaan hukum pasti akan menyita waktu dan pikiran serta menggangu konsentrasi bekerja. d. Masih adanya ketidaknyamanan dalam suatu franchise, karena franchisor dapat memutuskan atau tidak memperbaharui perjanjian. Rachmadi, 2007 Perusahaan tidak sedang membuang uang percuma, melainkan dibelikan buku panduan yang berisi SOP standar operating Procedure, yaitu pengalaman dan pengetahuan bisnis. Kemudian, uang jutaan tersebut digunakan pula untuk membeli hak berkonsultasi dengan pihak franchisee serta biaya evaluasi secara berkala oleh pihak franchisor.

E. Usaha Mikro Kecil Menengah

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM, pengertian usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Kriteria Usaha Kecil menurut Undang-Undang Republik Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000 lima puluh juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000 lima ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan 2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000 tiga ratus juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp.2.500.000.000 dua milyar lima ratus juta rupiah. Ciri-ciri perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, secara umum adalah : 1. Manajemen berdiri sendiri, dengan kata lain tidak ada pemisahan yang tegas antara pemilik dengan pengelola perusahaan. Pemilik adalah sekaligus pengelola dalam UKM. 2. Modal disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik modal. 3. Daerah operasinya umumnya lokal, walaupun terdapat juga UKM yang memiliki orientasi luar negeri, berupa ekspor ke negara-negara mitra perdagangan. 4. Ukuran perusahaan, baik dari segi total aset, jumlah karyawan, dan sarana prasarana yang kecil. Menurut Taufiq 2010, Kekuatan dan Kelemahan Usaha Kecil Menengah memiliki ciri-ciri skala usaha kecil, padat karya, berbasis sumberdaya lokal dan sumberdaya alam, pelaku banyak, dan menyebar, sehingga dari ciri-ciri tersebut dapat diuraikan beberapa kekuatan dan kelemahan UKM sebagai berikut : 1. Skala Usaha kecil Salah satu karakter penting dari UKM adalah skala usahanya yang relatif kecil. Meskipun batas atas kategori usaha kecil adalah dengan omset maksimal 1 miliar, namun dalam kenyataannya sebagian besar usaha kecil justru memiliki omset dibawah 500 juta. Mengacu pada argumentasi bahwa salah satu sumber keunggulan adalah melalui economies of scale, maka akan sulit bagi usaha berskala kecil secara individual untuk bersaing dengan usaha berskala besar dalam suatu aktivitas bisnis yang sama. 2. Padat karya Produk usaha berskala kecil pada umumnya sangat padat karya. Kegiatan produksi yang melibatkan banyak tenaga kerja sebagai konsekuensi dari aktivitas yang menghasilkan produk yang berciri hand made. Produk UKM yang bersandar pada keahlian dan keterampilan tangan ini membawa konsekuensi pada kurangnya aspek presisi dan kesulitan untuk distandarisasi. Disamping memiliki kelemahan, aktivitas bisnis yang mengandalkan keterampilan individu tentu juga memiliki keunikan, sehingga mendapat pasar yang tersendiri. Keunikan produk UKM dapat dikembangkan sebagai sumber keunggulan menghadapi produk-produk yang berbasis pabrikasi produk cetak.