Dampak Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dampak Faktor-faktor Pendukung Keterbukaan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Tabel 12 Hasil estimasi koefisien variabel interaksi menurut kelompok negara Variabel NSB NSM LnOPENLnFDI 0,019 0,025 LnOPENLnFIN 0,021 0,026 LnOPENLnCPI 0,175 0,201 LnOPENLnINFRA 0,024 0,033 LnOPENLnEDU -0,099 -0,073 LnOPENLnTECH 0,029 0,030 LnOPENLnEMP -0,035 0,001 Keterangan: 1 Variabel takbebas = produk domestik bruto LnGDP. 2 Negara sedang berkembang NSB meliputi: Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, dan China; sedangkan negara sudah maju NSM meliputi: Singapura, Jepang, dan Korea Selatan 3 , , berturut- turut menunjukkan tingkat signifikansi pada = 1, 5 dan 10.

5.2 Dampak Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan hasil estimasi metode FEM sebagai model terpilih diperoleh koefisien variabel keterbukaan LnOPEN sebesar 0,097 yang menunjukkan bahwa peningkatan keterbukaan perdagangan sebesar 1 persen akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi didekati dengan kenaikan PDB sebesar 0,097 persen, ceteris paribus . Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti Grossman dan Helman 1992, Frankel dan Romer 1999, Wacziarg dan Welch 2003, Sohn dan Lee 2006, Chen dan Gupta 2006, serta Chang et al. 2009 yang menyimpulkan bahwa perdagangan luar negeri memiliki peran penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara di dunia. Perkembangan pangsa perdagangan terhadap PDB di Kawasan ASEAN+3 selama periode penelitian 1999-2008 mengalami kenaikan sebesar 27,89 persen, sedangkan ekspor neto meningkat sebesar 178,98 persen yakni dari sebesar US 188,40 miliar pada tahun 1999 menjadi US 525,58 miliar pada tahun 2008. Perkembangan ini menunjukkan semakin lancarnya arus barang dan jasa antarnegara seiring dengan semakin berkurangnya hambatan-hambatan dalam kegiatan perdagangan, baik berupa tarif maupun non-tarif. Perkembangan tersebut menunjukkan pula kinerja perdagangan yang semakin membaik, yaitu terlihat dari nilai ekspor yang semakin dominan dibandingkan dengan nilai impornya. Peningkatan nilai ekspor dan surplus perdagangan di kawasan ini lebih didominasi oleh China dan Jepang, sebaliknya Philipina terus mengalami defisit dalam perdagangannya sehingga manfaat yang diperoleh dari keterbukaan perdagangan relatif terbatas.

5.3 Dampak Faktor-faktor Pendukung Keterbukaan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Hasil estimasi metode FEM pada model tanpa interaksi Persamaan 3.63 diperoleh koefisien estimasi yang memiliki signifikansi tinggi pada seluruh variabel bebasnya, baik pada variabel keterbukaan LnOPEN maupun pada keenam variabel kontrolnya. Variabel penanaman modal asing LnFDI, kesiapan sektor finansial LnFIN, infrastruktur LnINFRA, tingkat pendidikan LnEDU, kemajuan teknologi LnTECH, dan jumlah pekerja LnEMP memiliki dampak positif terhadap kenaikan PDB di negara-negara ASEAN+3. Hasil ini telah konsisten secara teoretis dan menguatkan simpulan penelitian-penelitian sebelumnya. Secara umum keberagaman tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3 dapat dijelaskan secara baik oleh model, dimana jumlah penduduk yang bekerja dan ketersediaan infrastruktur memiliki kontribusi yang relatif besar. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen jumlah penduduk yang bekerja akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,785 persen, ceteris paribus. Hasil ini menunjukkan bahwa keterlibatan penduduk yang luas di berbagai aktivitas ekonomi memiliki manfaat ganda bagi perekonomian, yaitu berguna untuk menghasilkan jumlah output yang lebih banyak dan mengurangi beban tanggungan ekonomi yang ada di masyarakat. Dengan demikian perekonomian dapat tumbuh lebih tinggi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak positif dari keterlibatan penduduk yang bekerja terhadap kenaikan PDB lebih terasa di kelompok NSB dibandingkan dengan kelompok NSM, yaitu masing-masing elastisitasnya sebesar 0,513 dan 0,362. Kondisi ini menunjukkan bahwa perekonomian di negara-negara sedang berkembang lebih bersifat padat karya labour intensive industry daripada perekonomian di negara-negara maju. Ketersediaan infrastruktur akan meningkatkan kemampuan ekonomi suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, pembangunan infrastruktur merupakan suatu kegiatan produksi yang menciptakan output dan juga kesempatan kerja. Secara tidak langsung, ketersediaan infrastruktur akan mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya dan memberikan tingkat produktivitas yang lebih tinggi, yaitu melalui penghematan biaya produksi, transportasi, dan telekomunikasi. Berdasarkan hasil estimasi, kenaikan 1 persen ketersediaan listrik di masyarakat akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,329 persen, ceteris paribus. Listrik merupakan salah satu bentuk energi terpenting dalam perkembangan kehidupan manusia dan sudah menjadi barang kebutuhan pokok dewasa ini. Listrik memiliki korelasi yang kuat dengan berbagai aktivitas ekonomi terutama sektor industri, yaitu untuk menggerakkan mesin-mesin produksi, mengoperasikan komputer, pendingin ruangan AC, dan peralatan lainnya. Oleh karenanya, pasokan listrik yang cukup dan berkesinambungan menjadi jaminan bagi pelaku usaha untuk dapat berproduksi secara ekonomis dan efisien. Dampak positif ketersediaan listrik terhadap kenaikan PDB di kelompok NSB lebih besar dibandingkan dengan kelompok NSM, yaitu berturut-turut elastisitasnya sebesar 0,694 dan 0,200. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan pasokan listrik di negara-negara berkembang seiring dengan pertumbuhan industri yang pesat dan jumlah penduduk yang relatif besar. Menurut data World Bank 2010 bahwa pasokan listrik di kelompok NSB hanya sebesar 3.457 KWh per kapita, sedangkan di kelompok NSM sudah mencapai 8.930 KWh per kapita. Teori investasi pada modal manusia menjelaskan bahwa pertumbuhan dan pembangunan mensyaratkan dua hal, yaitu adanya pemanfaatan teknologi tinggi secara efisien dan adanya sumber daya manusia yang mampu memanfaatkan teknologi tersebut Hidayat, 2003. Dua hal tersebut di antaranya dapat dipenuhi melalui kegiatan riset dan pengembangan research and development, RD serta jalur perguruan tinggi. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen pengeluaran untuk riset dan pengembangan akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,069 persen, ceteris paribus. Kegiatan riset dan pengembangan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta, merupakan salah satu upaya untuk mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Pencapaian tersebut diperoleh melalui penggunaan cara-cara yang lebih efisien dalam proses produksi, serta penciptaan produk-produk baru melalui proses inovasi dan diversifikasi produk. Jalur pendidikan formal merupakan instrumen penting untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki produktivitas yang tinggi, karena pendidikan menyiapkan tenaga-tenaga yang siap bekerja pada bidang tertentu. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen jumlah penduduk yang meneruskan pendidikan hingga perguruan tinggi akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,093 persen, ceteris paribus. Peningkatan kualitas modal manusia secara kumulatif akan menghasilkan output yang lebih banyak dan kualitas produk yang lebih baik sehingga dapat memperbaiki harga relatif produk domestik di kancah persaingan global. Dampak positif kemajuan teknologi dan kualitas modal manusia terhadap kenaikan PDB tercatat relatif besar dan signifikan di kelompok NSM, yaitu masing-masing sebesar 0,183 dan 0,387. Sebaliknya, di kelompok NSB dampak dari keduanya relatif kecil dan tidak signifikan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perekonomian di negara-negara maju lebih didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK atau knowledge based economy, serta tersedianya kualitas modal manusia yang lebih baik. Pangsa pengeluaran untuk kegiatan RD terhadap PDB di kelompok NSM mencapai sebesar 3,17 persen pada tahun 2008, jauh di atas kelompok NSB yang hanya sebesar 0,53 persen. Lebih lanjut, banyaknya mahasiswa perguruan tinggi di kelompok NSM mencapai sebesar 48 orang per 1000 penduduk, sedangkan di kelompok NSB baru sebesar 27 orang per 1000 penduduk pada tahun 2008. Kredit domestik yang disalurkan oleh perbankan memiliki dampak positif terhadap kenaikan PDB, serta nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan dampak dari penanaman modal asing. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen jumlah kredit domestik yang disalurkan oleh perbankan akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,038 persen, ceteris paribus. Penyaluran kredit domestik berguna untuk mendorong tumbuhnya industri-industri lokal, mulai dari yang berskala kecil hingga ke industri besar. Kredit domestik berguna pula untuk mengatasi kesulitan modal yang seringkali dialami oleh usaha kecil dan menengah UKM dalam upaya pengembangan usaha dan pencapaian tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Pangsa kredit domestik yang disalurkan oleh perbankan terhadap PDB di negara-negara ASEAN+3 relatif besar, yaitu rata-rata mencapai 134,65 persen pada tahun 2008. Sebagian besar kredit domestik tersebut diberikan ke sektor swasta yakni mencapai 73,11 persen. Lebih lanjut, jumlah perusahaan yang menggunakan jasa perbankan dalam kegiatan investasinya juga mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu dari sebesar 29,60 persen pada tahun 2005 menjadi 48,74 persen di tahun 2008. Kondisi tersebut didukung oleh jumlah bank dan lembaga keuangan lainnya seperti bank perkreditan rakyat BPR dan koperasi simpan pinjam yang terus tumbuh setiap tahun sehingga memudahkan jangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen PMA akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,008 persen, ceteris paribus. Keberadaan PMA membawa dampak yang positif bagi perekonomian negara-negara ASEAN+3, namun besarannya tergolong kecil. Hal ini disebabkan oleh relatif kecilnya pangsa PMA terhadap PDB yakni rata-rata hanya sebesar 3,58 persen, begitu pula perannya dalam pembentukan modal tetap bruto PMTB yang hanya sebesar 15,01 persen pada tahun 2008. Pola dan sebaran PMA juga tidak merata ke setiap negara, yaitu lebih didominasi oleh China yang mencapai sebesar 69,26 persen dari total PMA pada tahun 2008. Pangsa PMA terhadap PDB yang terbesar dimiliki oleh Singapura yakni mencapai 15,29 persen dan perannya dalam PMTB mencapai 60,59 persen. Sebaliknya, perkembangan PMA di negara ASEAN+3 lainnya cenderung fluktuatif dan pangsanya terhadap PDB tidak mencapai 2 persen. Dampak positif kredit domestik dan penanaman modal asing di kelompok NSB lebih besar dibandingkan dengan kelompok NSM. Kondisi ini menunjukkan pentingnya peran investasi dalam menggerakkan perekonomian di negara-negara berkembang yang umumnya memiliki tingkat kesenjangan yang cukup besar antara kebutuhan investasi dengan kemampuan mengakumulasi tabungan masyarakat saving-investment gap. Potensi ekonomi yang besar di negara- negara berkembang membutuhkan dukungan permodalan yang besar pula untuk dapat mengolahnya secara maksimal. Lebih lanjut, kenaikan harga-harga secara umum yang berdampak positif terhadap peningkatan PDB menandakan bahwa inflasi yang terjadi berupa pull demand inflation . Inflasi ini lebih disebabkan oleh tingginya permintaan barang dan jasa di masyarakat, melebihi kapasitas produksi potensialnya. Kondisi tersebut cenderung direspon oleh kalangan pengusaha sebagai sebuah peluang pasar yang baik sehingga akan mendorong peningkatan produksi. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen indeks harga konsumen IHK akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,099 persen, ceteris paribus. Tingginya permintaan konsumsi di negara-negara ASEAN+3 tercermin dari komposisi PDB yang didominasi oleh konsumsi rumahtangga, yaitu rata-rata sebesar 54,14 persen dari nilai PDB pada tahun 2008. Pangsa konsumsi terbesar dimiliki oleh Philipina yakni mencapai lebih dari 76,94 persen dari PDB-nya, diikuti oleh Indonesia 62,63, dan terendah adalah China 36,79.

5.4 Interaksi antara Keterbukaan Perdagangan dengan Faktor-faktor Pendukungnya