Tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty non proportional excess of Loss

(1)

ii

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:

EDVAN

NIM : 106046201725

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hasanuddin, M.Ag Ir. Ela Patriana, MM., AAAIJ

NIP : 196103041955031001 NIP : 196905282008012010

KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

v

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, termasuk pencabutan Gelar Akademik.

Jakarta, 22 November 2010


(3)

iv

Hukum, UIN Syariaf Hidayatullah Jakarta, 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menjelaskan bagaimana implementasi program reasuransi syariah treaty non proportional excess of loss pada PT. XYZ; (2) Menjelaskan faktor-faktor apa yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih menggunakan metode reasuransi treaty non proportional excess of loss; (3) Menjelaskan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty non proportional excess of loss.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan merupakan perpaduan antara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) yakni penelitian yang mengumpulkan data-data di lapangan. Teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan Data primer yang digunakan adalah data mengenai metode reasuransi treaty non proportional excess of loss yang didapatkan melalui wawancara langsung dengan karyawan PT. Reindo Divisi Syariah. Data sekunder bersumber dari buku-buku, koran, majalah, website, penelitian terdahulu, dan sumber-sumber tertulis lainnya.

Kesimpulan penelitian ini secara singkat adalah sebagai berikut: (1) Dalam menjalankan program reasuransi, perusahaan mempunyai kebijakan dalam menyusun sebuah program reasuransi seperti phase persiapan, negosiasi treaty, administrasi dan evaluasi. (2) Adapun faktor-faktor yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih metode excess of loss adalah administrasi lebih simple, limit per risk / per event to a known limit, reinsurance cost lebih murah, asuradur bisa bebas menentukan deductible, term and conditions lebih luas dan lebih bebas berkreasi dalam produk. (3) Jika ditinjau dari konsep ekonomi Islam pada prinsip keadilan (al-adl) hal ini tidaklah sesuai karena pembayaran minimum deposit (premi) yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi syariah (asuradur) tidak sesuai dengan besaran uang pertanggungan yang akan didapat oleh asuradur. Di excess of loss cara kerjanya berdasarkan kerugian bukannya risiko. Besarnya kerugian ini dihitung menggunakan statistic tahun-tahun sebelumnya. Data statistik ini sebenarnya sangat penting untuk menghindari terjadinya gharar.

.

Kata kunci : Reasuransi Syariah, Excess of Loss, Minimum Deposit. Pembimbing : 1. Dr. Hasanuddin, M.Ag

2. Ir. Ela Patriana, MM., AAAIJ Buku Rujukan : Tahun 1997 s.d Tahun 2009.


(4)

vi

Puji syukur ke hadirat Allah Azza wa Jalla Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang telah memberikan rahmat, kasih dan sayangnya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada manusia agung Nabi besar Muhammad saw. serta keluarga, sahabat dan para penerus perjuangan dinul Islam. Atas nikmatnya dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul.

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE REASURANSI TREATY NON PROPORTIONAL EXCESS OF LOSS

Skripsi ini pun tak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk membantu penulis dalam menyelesaikannya. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut :

1) Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.

2) Dr. Ibu Euis Amalia, M.Ag, ketua Prodi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum dan Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H, sekretaris Prodi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum.

3) Dr. Hasanuddin, M.Ag., dan Ir. Ela Patriana, MM., AAAIJ. Selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya, memberikan ilmu pengetahuan,


(5)

vii

AIIS., yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan segala ilmu pengetahuan, arahan, koreksi, saran, dan pengalamannya, baik terkait pembahasan dalam skripsi ini maupun tidak, serta telah bersedia memberikan data-data yang penulis butuhkan, sehingga penelitian ini terselesaikan.

5) Para dosen yang telah mendidik dengan baik hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Program Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.

6) Kedua Orang tua penulis yang terhormat yaitu Bapak Jos Rosihan Lutfi dan Ibu Erniyati, terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya yang selama ini mengasuh dan membesarkan dengan penuh kasih sayang, serta mendidik penulis dengan segala curahan hati dan doa restu yang diberikannya serta segala upaya dan jerih payahnya penulis dapat menyelesaikan berbagai jenjang pendidikan sehingga selesainya skripsi ini. Untuk adikku Edo dan Esya Fitri, terima kasih atas doa nya. 7) Seluruh keluarga besar Hj. Kartini (nenek) dan Ibu Maryati (nenek) yang senantiasa memberikan perhatian penuh kepada penulis baik materil maupun moril.

8) Temen-temen sekelas, seangkatan dan seperjuangan Asuransi Syariah 2006. Terutama untuk genk semur (Anita, Jami, Eva, Iis, Dinda, Erfan, Diqin, Pian) kalian adalah sahabat terbaik gw dan pastinya gw bakal kangen sama kalian


(6)

viii dan dukungannya.

10)Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dorongan, semangat dan motivasi dalam kehidupan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Demikianlah, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan dan memberkahi hidup kita sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan ini.

Akhir kata, semoga sekecil apapun kebaikan yang telah kita lakukan, akan menjadi investasi kekal di akhirat nanti. Amiin...

Jakarta, 23 November 2010


(7)

xi

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

ABSTRAK ………. iv

LEMBAR PERNYATAAN ……….. v

KATA PENGANTAR ………... vi

DAFTAR ISI ………... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN………124

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………..… 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 9

D. Review Studi Terdahulu ……….. 11

E. Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran ……… 13

F. Metodologi Penelitian ………. 17


(8)

xii

B. Prinsip-prinsip Asuransi Syariah ……….. 26

1. Tauhid (Ketakwaan) ………. 27

2. Al-‘Adl (sikap adil) ………... 29

3. At-Ta’awun (Tolong Menolong) ……….. 30

4. Al-Amanah (Terpercaya / Jujur) ………... 31

5. Larangan Maisir (Judi) ………. 33

6. Larangan Gharar (Ketidakpastian) ……….. 34

7. Larangan Riba ……….. 36

C. Reasuransi Syariah .……….. 38

1. Landasan Hukum Reasuransi Syariah ………... 38

2. Prinsip Reasuransi ……… 41

3. Kebutuhan Reasuransi ……….. 50

4. Tujuan dan Fungsi Reasuransi ……….. 53

5. Hubungan Antara Peserta, Operator Asuransi Syariah dan Operator Reasuransi Syariah ………. 55


(9)

xiii

1. Reasuransi Syariah Proportional ……… 57

2. Reasuransi Syariah Non Proportional ……… 58

B. Tipe Reasuransi Syariah ……….. 61

C. Bentuk – Bentuk Reasuransi Syariah ……….. 63

D. Kontribusi Reasuransi Syariah ………. 94

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE REASURANSI TREATY NON PROPORTIONAL EXCESS OF LOSS A. Analisis Implementasi Program Reasuransi Syariah Excess of Loss Pada PT. XYZ ……… 98

1. Phase Persiapan ………... 99

2. Negosiasi Treaty ……….. 105

3. Administrasi dan Evaluasi ………... 107

B. Analisis Faktor-faktor yang Membuat Perusahaan Asuransi Syariah Memilih Menggunakan Metode Reasuransi Treaty Non Proportional Excess of Loss ………... 114

C. Analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap Metode Reasuransi Treaty Non Proportional Excess of Loss ………. 117


(10)

xiv

B. Saran ………... 123

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

xv

Gambar 2.2 Hubungan Antara Peserta, Operator Asuransi Syariah, dan

Operator Reasuransi Syariah ……….. 58 Gambar 3.1 Struktur Retakaful Non Proportional ………... 61 Gambar 3.2 Bentuk-bentuk Reasuransi Syariah ………... 65 Gambar 3.3 Alokasi risiko antara pool Asuransi Syariah dan pool

Reasuransi Syariah B untuk risiko kendaraan bermotor

dengan harga pertanggungan Rp 500.000.000 ………. 67 Gambar 3.4 Bagan Aliran Kontribusi untuk risiko kendaraan bermotor

dengan harga pertanggungan Rp 500.000.000 yang di

reasuransi Syariahkan secara fakultatif proportional ………… 68 Gambar 3.5 Alokasi klaim antara Pool Asuransi Syariah dan Pool

Reasuransi Syariah B untuk Kerugian Sebesar


(12)

xvi

Gambar 3.7 Alokasi Risiko dengan Treaty Quota Share untuk beberapa risiko dengan harga pertanggungan yang berbeda ……… 78 Gambar 3.8 Alokasi Kerugian sebesar Rp 200.000.000 untuk Treaty

Quota Share 60% antara Pool Asuransi Syariah A dan

Pool Reasuransi Syariah B ………... 80 Gambar 3.9 Alokasi risiko dengan Treaty Surplus untuk portofolio

asuransi kebakaran Pool Asuransi Syariah Z dengan retensi maksimum Rp 200.000.000 dan Limit


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Asuransi Syariah merupakan salah satu industri syariah yang mengalami perkembangan yang pesat di Indonesia. Perkembangan industri syariah ini dimulai sejak tahun 1994, yang dipelopori oleh PT Asuransi Takaful Keluarga. Kendati demikian, industri asuransi syariah ini baru mengalami peningkatan yang pesat sejak tahun 2001, yang ditandai dengan lahirnya perusahaan asuransi syariah yaitu PT. Asuransi Syariah Mubarokah dan PT. MAA Life Assurance, keduanya termasuk jenis asuransi keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI), Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) jumlah perusahaan yang menyelenggarakan usaha dengan prinsip syariah mengalami perkembangan seperti terlihat pada tabel dibawah ini1

1

Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, current Issues Lembaga Keuangan Syariah


(14)

Tabel 1.1

Perkembangan Jumlah Perusahaan Asuransi yang Menyelenggarakan Usaha dengan Prinsip Syariah

Tahun 2002 - 2009

No Keterangan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1 Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah 2 2 2 2 2 2 2 2

2 Perusahaan Asuransi Kerugian

Syariah

1 1 1 1 1 1 1 1

3 Perusahaan Asuransi Jiwa yang

Memiliki Kantor Unit Syariah

1 2 3 8 9 13 13 17

4 Perusahaan Asuransi Kerugian yang

memiliki Kantor Unit Syariah

1 6 11 13 15 19 19 19

5 Perusahaan reasuransi yang

memiliki Kantor Unit Syariah

- - 1 2 3 3 3 3

Total 5 11 18 26 30 38 38 42

Sumber : Maulan, 2006

Seperti halnya asuransi konvensional, asuransi syariah juga menawarkan proteksi dari setiap kerugian. Selain itu asuransi syariah juga menawarkan skim investasi selain fasilitas proteksi. Hanya saja, berbeda dengan asuransi konvensional, sistem operasional asuransi syariah menggunakan prinsip-prinsip sesuai syariah.

Apabila dilihat dari besaran dana masyarakat yang dihimpun dalam bentuk premi, besaran aset dan ekuitas, dan bahkan aspek regulasinya sekalipun, sampai saat ini, industri asuransi syariah jauh tertinggal dibanding perbankan syariah. Kendati demikian, memandang pertumbuhan industri asuransi syariah dari hari ke hari terus


(15)

berkembang pesat, bahkan sejumlah asuransi konvensional pun mulai melakukan konversi ke sistem syariah, bisa dikatakan, prospek dan potensi industri asuransi syariah untuk ke depannya cukup menjanjikan.2

Salah satu cara yang ditempuh setiap orang ataupun badan usaha untuk memperkecil risiko yang mereka hadapi adalah dengan membeli polis-polis asuransi, khususnya mengenai risiko-risiko yang dapat dipertanggungjawabkan. Satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh para penanggung dalam rangka memperkecil risiko tanggung gugat yang timbul akibat perjanjian pertanggungan yang telah mereka adakan dengan pihak tertanggung adalah dengan mempertanggungkan ulang/kembali kepentingan atas kelebihan tanggung gugat yang tidak mungkin mereka tanggung sendiri.

Dengan demikian, pertanggungan ulang pada kenyataannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia industri asuransi. Peranan dan/atau fungsi pertanggungan ulang tidak hanya memberikan atau memenuhi kebutuhan akan proteksi atas tanggung gugat pihak penanggung pertama yang timbul karena perikatan pertanggungan yang telah mereka adakan dengan pihak tertanggung, tetapi juga masih memiliki peranan dan / atau fungsi lain yang kalah pentingnya dari pemberian proteksi.3

2

Reasuransi Syariah. Artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2010. Dari http://www.scribd.com/doc/3957094

3


(16)

Berkembangnya berbagai macam produk asuransi dengan ragam jenis risiko yang dijamin (yang pada kenyataannya masih tetap berkembang dan ditemukan jenis-jenis risiko baru hingga saat ini) menyebabkan berkembangnya teknik-teknik reasuransi untuk mengatasi beban risiko yang berat karena makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah dengan makin banyaknya penemuan produk dengan teknologi yang tinggi dan canggih maka akan ditemukan pula berbagai macam risiko yang semakin komplek dan rumit serta menyebabkan tingginya nilai atau harga pertanggungan, yang tidak mungkin diserap seluruhnya oleh pasaran domestik. Oleh sebab itu, diperlukan teknik-teknik underwriting yang sehat dan teknik reasuransi yang makin baik serta memadai.4

Fenomena dan kondisi perkembangan perasuransian syariah di Indonesia tersebut yang menjadi faktor pemicu dan pendorong PT Reasuransi Internasional Indonesia atau lebih dikenal dengan Reindo memelopori industri reasuransi syariah di Indonesia, dengan menempatkan reasuransi syariah ini sebagai salah satu divisi yang dinamakan Divisi Khusus Syariah, yang selanjutnya menggunakan nama PT. Reindo Syariah Unit (2004). Kebijakan dan strategi ini menjadi lokomotif terhadap mobilisasi dan pergerakan beberapa perusahaan lain untuk menjadi perusahaan

4


(17)

reasuransi syariah, seperti: PT. Reasuransi Nasional Indonesia (2005), PT. Maskapai Reasuransi Indonesia, serta Tbk (Marein) (2006).5

Faktor lain secara makro yang juga menjadi pemicu pertumbuhan industri asuransi syariah adalah dicabutnya fatwa darurat reasuransi konvensional. Hal ini berarti bahwa seluruh produk asuransi yang masih berbasis bunga (seperti yang ditawarkan oleh reasuransi konvensional) menjadi terlarang. Sehingga industri asuransi syariah hanya diperkenankan memperoleh dukungan kapasitas atas risiko-risiko yang melebihi kemampuannya hanya dari reasuransi yang berbasis syariah juga.

Hal ini membawa konsekuensi bahwa perusahaan asuransi syariah diwajibkan hanya menggunakan reasuransi syariah untuk memenuhi tambahan kapasitasnya itu. Sehingga dicabutnya status darurat bagi fatwa darurat reasuransi konvensional, maka keberadaan dan ketersediaan, serta eksistensi perusahaan reasuransi menjadi penting kiranya bagi perkembangan industri asuransi di Indonesia.

Reasuransi syariah merupakan pengembangan dari industri asuransi syariah yang memiliki tujuan yang sama dengan asuransi syariah, yaitu untuk menciptaan kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat, dimana satu pihak bertindak sebagai penanggung beban kerugian (insurer) yang memungkinkan akan menimpa pihak yang tertanggung (insured/policy holder). Pihak insurer dalam konteks asuransi syariah adalah perusahaan asuransi syariah itu sendiri, sedangkan

5


(18)

pihak insured adalah individu pemegang polis. Dalam konteks reasuransi syariah, pihak insurer dalam konteks reasuransi syariah adalah perusahaan reasuransi syariah, sedangkan pihak insured adalah perusahaan asuransi syariah.

Berbicara tentang reasuransi ada metode dan tipe-tipe reasuransi, harus di bedakan arti antara istilah metode reasuransi dan tipe reasuransi untuk menghindari

kerancuan dan kesalahpahaman. “Metode reasuransi” hendaknya diartikan sebagai

cara bagaimana para pelaku pasar reasuransi itu melakukan kerja sama reasuransi,

sedang “tipe reasuransi” hendaknya kita artikan sebagai bentuk pelaksanaan dari cara melakukan transaksi reasuransi. Dalam reasuransi syariah ada dua metode inti, yaitu proporsional (membagi risiko atau partisipasi risiko secara pro rata) dan non-proporsional (excess of loss).6

Sebagaimana telah disebut di atas, salah satu kategori metode reasuransi adalah metode reasuransi non proportional. Adapun yang dimaksud dengan metode reasuransi non proportional adalah suatu perjanjian reasuransi yang menetapkan bahwa para penanggung ulang dengan menerima sejumlah premi yang telah disepakati bersama beredia membayar kepada penanggung pertama semua kerugian yang melampaui limit retensi (underlying net retention) sampai pada batas jumlah atau persentase tertentu yang terjadi karena peristiwa-peristiwa yang diperjanjikan bersama.

6


(19)

Menurut teori maupun praktek, dalam kategori metode reasuransi non proportional terdapat metode reasuransi treaty excess of loss. Disebut non proportional treaty excess of loss karena jumlah risiko tidak sebanding / tidak membagi proporsi setiap kerugian (klaim) dengan premi dan liability, dalam suatu perbandingan yang tetap, oleh sebab itu sistem ini disebut sistem excess of loss, karena reasuradur hanya bertanggung jawab atas kerugian untuk limit setelah retensi dari ceding company.7 Pada umumnya ceding company diwajibkan membayar premi muka (premi minimum) kepada reinsurer, yaitu sejumlah premi yang perhitungannya didasarkan atas perkiraan penghasilan premi bersih yang diterima oleh ceding company dalam jangka waktu tertentu. Misalkan operator asuransi syariah telah menentukan retensi sendiri dalam skema yang dikelolanya sebesar: Rp 100.000.000. Kemudian untuk selanjutnya proteksi excess of loss untuk nilai sebesar Rp250.000.000 di atas retensinya. Dalam bahasa reasuransi hal ini diungkapkan dengan Rp 250.000.000 in excess of Rp 100.000.000. Dengan contoh tersebut, dalam hal terjadi suatu kerugian sebesar Rp 350.000.000, maka yang menjadi tanggung jawab reasuransi adalah sebesar Rp 250.000.000. Apabila terjadi suatu kerugian yang menjadi beban penanggung semula hanya sebesar lebih kecil atau sama dengan Rp100.000.000, maka penanggung ulang bebas dari tuntutan ganti kerugian.

Dalam hal ini akan terjadi ketidakadilan antara pihak asuransi dan reasuransi. Dengan diwajibkan membayar premi muka (premi minimum) kepada reinsurer ini

7


(20)

juga akan mengandung unsur ketidakpastian (gharar). Karena tertanggung dan penanggung sama-sama tidak mengetahui kapan klaim terjadi. Walaupun penanggung memiliki pengalaman dalam menangani kerugian dengan menggunakan metode statistik sebagai pegangan yang dapat membantu untuk memperkirakan kerugian-kerugian berikut besarnya, namun tetap tidak ada kepastian apa yang nanti akan terjadi. Oleh karena itu apakah metode reasuransi treaty excess of loss sesuai diterapkan di asuransi syariah?

Berdasarkan uraian di atas , penulis tertarik untuk mengangkat pembahasan mengenai “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Metode Reasuransi Treaty Non Proportional Excess Of Losssebagai judul skripsi.


(21)

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka pembahasan permasalahan penelitian ini, penulis hanya membatasi pada metode reasuransi treaty excess of loss untuk asuransi kerugian. Untuk lebih memperjelas fokus dalam penelitian ini, akan dirumuskan beberapa pertanyaan berikut ini :

1. Bagaimana implementasi program reasuransi syariah treaty non proportional excess of loss pada PT. XYZ?

2. Faktor-faktor apa yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih menggunakan metode reasuransi treaty non proportional excess of loss?

3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty non proportional excess of loss?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan Bagaimana implementasi program reasuransi syariah treaty non proportional excess of loss pada PT. XYZ.

2. Menjelaskan faktor-faktor apa yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih menggunakan metode reasuransi treaty non proportional excess of loss.


(22)

3. Menjelaskan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty non proportional excess of loss.

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis pada khususnya dapat menambah wawasan pengetahuan dan mengembangkan pikiran yang berupa gagasan atau pendapat yang diturunkan melalui laporan ini dan bagi mahasiswa program studi muamalat pada umumnya diharapkan dapat memperoleh pengetahuan yang lebih dalam khususnya mengenai metode reasuransi treaty excess of loss.

2. Untuk mahasiswa dan mahasiswi khususnya program studi asuransi syariah dengan adanya skripsi ini dapat menjadi referensi di dalam memahami tentang metode reasuransi treaty excess of loss.

3. Bagi program studi, diharapkan mampu memperluas informasi dalam rangka menambah dan meningkatkan khasanah pengetahuan, khususnya dibidang reasuransi syariah.

4. Bagi masyarakat, diharapkan menambah pengetahuan tentang reasuransi syariah khususnya metode reasuransi treaty excess of loss.


(23)

D. Review Studi Terdahulu

Setelah membuka daftar skripsi tahun sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa belum banyak skripsi yang membahas mengenai metode reasuransi treaty excess of loss. Namun, ada beberapa skripsi yang membahas mengenai reasuransi, adapun skripsi tersebut adalah :

1. Euis Rohilah.S,2004 dengan judul skripsi “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Reasuransi Perusahaan Asuransi Syariah (Studi Kasus pada PT. Asuransi Takaful

Keluarga)”. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa system reasuransi yang digunakan oleh asuransi Takaful Keluarga masih sama dengan system reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi konvensional. Hal ini dikarenakan perusahaan asuransi Takaful Keluarga mereasuransikan ke perusahaan Reindo yang tidak berlandaskan prinsip syariah, sehingga segala kebijakan yang diterapkan oleh Reindo kepada asuransi Takaful Keluarga menggunakan system konvensional, mulai dari akad sampai dengan pembagian keuntungan. Perbedaannya dengan skripsi yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis meneliti tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty excess of loss.

2. Triyono Utomo dan Praptono Djunedi, 2005 dengan judul penelitian “Analisis Beberapa Metode Reasuransi (Studi Kasus Pada Asuransi PT. XYZ). Dapat disimpulkan Metode excess of loss digunakan untuk jenis asuransi kendaraan bermotor, pengangkutan, rekayasa, aneka, dan rangka kapal. Metode excess of


(24)

loss memberikan proteksi kepada perusahaan dari klaim-klaim dengan jumlah yang besar, sehingga metode ini tepat untuk diterapkan pada jenis asuransi yang mempunyai jumlah pertanggungan yang besar, seperti pengangkutan dan rangka kapal. Untuk asuransi pengangkutan, metode ini sudah tepat, namun untuk jenis asuransi kendaraan bermotor, rekayasa, dan aneka, penggunaan metode ini kurang tepat. Untuk jenis asuransi rangka kapal yang pada umumnya nilai pertanggungannya besar, penerapan metode ini juga kurang tepat, karena perusahaan hanya menggunakan dua layer dan masing-masing nilainya relatif kecil. Perbedaannya dengan skripsi yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis meneliti tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty excess of loss.

3. Eki Alfiani., 2006 dengan judul skripsi “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek

Reasuransi pada PT. Tripakarta cabang Syariah”. Dapat disimpulkan bahwa

skripsi tersebut hanya membahas mengenai praktek reasuransi yang dilakukan oleh PT. Tripakarta Cabang Syariah menurut penulis sudah sejalan dengan hokum Islam karena PT. Tripakarta Cabang Syariah sudah mereasuransikan perusahaannya ke perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah. Perbedaannya dengan skripsi yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis meneliti tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty excess of loss.


(25)

E. Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Secara harfiah dan / atau pengertian yang sederhana, reasuransi dapat diartikan sebagai pertanggungan (asuransi) yang dipertanggungkan ulang atau kembali kepada penanggung lain yang selanjutnya disebut sebagai penanggung ulang (reasuradur). Dari pengertian ini timbullah istilah perusahaan pemberi sesi (ceding company) dan penanggung ulang (Reinsurer). Pengertian semacam ini tersimpul

dalam KUHD Pasal 271 yang berbunyi, “Si penanggung selamanya berkuasa untuk

sekali lagi mempertanggungkan apa yang telah ditanggung olehnya”.

Pengertian reasuransi sebagaimana tersimpul dalam KUHD Pasal 271 tersebut tampak sejiwa dan seirama dengan yang dikemukakan oleh pakar reasuransi Robert I Mehr dan E. Cammack dalam buku yang berjudul Principles of Insurance yang

menyatakan : “Reinsurance is the insurance of insurance” (Ref. page no. 723), artinya

reasuransi adalah asuransi dari asuransi atau “asuransinya asuransi”.

Dengan kata lain, sesuai dengan atau berdasarkan prinsip kepentingan yang dapat dipertanggungkan, perusahaan asuransi yang telah menutup suatu pertanggungan atas risiko atau risiko-risiko di suatu daerah tertentu dapat mempertanggungkan kembali kelebihan tanggung gugat (excess liability) yang melampaui daya tampungnya sendiri (own retention) kepada penanggung lain.


(26)

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa reasuransi mempunyai peranan yang sangat penting dalam industri asuransi. Karena telah kita ketahui bersama bahwa salah satu tujuan daripada asuransi adalah penyebaran risiko. Dengan penyebaran risiko ini maka seseorang akan merasa aman, karena mereka akan mengetahui bahwa sebenarnya akan terjadi musibah atas diri mereka atau perusahaannya yang bias mengakibatkan kerusakan / kerugian maka mereka akan mendapatkan ganti rugi atas kejadian tersebut.

Dalam hal yang sama, maka perusahaan asuransipun memerlukan proteksi atas tanggung jawab yang dipikulnya dari kemungkinan kerugian keuangan yang mungkin akan mempengaruhi kelangsungan hidup atas perusahaan yang bersangkutan.

Dengan mengasuransikan kembali perusahaan asuransi akan lebih stabil lebih aman, kapasitasnya bertambah, mempunyai financial back up dan memungkinkan untuk lebih berkembang berkat informasi serta dukungan dari pihak lain yang mempunyai reputasi internasional.

Dalam reasuransi kita mengenal beberapa metode reasuransi diantaranya yang paling banyak digunakan perusahaan-perusahaan asuransi adalah metode reasuransi secara fakultatif dan metode reasuransi secara kontrak (treaty).

Metode reasuransi secara fakultatif adalah suatu penempatan reasuansi secara bebas, dimana ceding bebas untuk menawarkan atau tidak menawarkan, dan reinsurer bebas untuk menerima atau menolak resiko yang ditawarkan.


(27)

Sedangkan metode reasuransi secara kontrak (treaty) adalah perjanjian antara pihak penanggung pertama dan para penaggung lain atau para penanggung ulang professional yang dalam perjanjian tersebut pihak penanggung pertama, yang selanjutnya disebut pemberi sesi (ceding company), setuju memberikan bagian (share) dan para penanggung ulang, yang selanjutnya disebut pihak kedua, setuju dan wajib menerima bagian atau sesi dari tanggung jawab atas asuransi yang telah ditutup oleh penanggung pertama sesuai dengan pembagian yang telah disepakati oleh masing-masing penanggung ulang sampai dengan batas-batas tanggung gugat/jawab tertinggi adri tiap kelas resiko berdasarkan persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam kontrak reasuransi.

Metode treaty dibagi lagi menjadi metode proportional dan non proportional. Bentuk reasuransi proportional ini adalah, masing-masing menanggung risiko menurut persentase yang tetap yang telah ditentukan dalam kontrak reasuransi. bilamana terjadi klaim, maka masing-masing pihak menaggung sesuai dengan persentase yang telah ditetapkan. Sedangkan non proportional jumlah resiko tidak sebanding / tidak membagi proporsi setiap kerugian dengan premi dan liability, dalam suatu perbandingan yang tetap, oleh sebab itu sistem ini disebut system excess of loss, karena reasuradur hanya bertanggung jawab atas kerugian untuk limit setelah retensi dari ceding.


(28)

2. Kerangka Pemikiran

Reasuransi

Facultative

Treaty

Proportional

Non Proportional

Proportional

Non proportio

nal

Risk XOL

Cat XOL


(29)

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan yang berdasarkan kata-kata atau berdasarkan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh narasumber secara lisan.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jenis penelitian ini dirancang untuk mengumpulkan informasi, tentang keadaan-keadaan nyata sekarang. Tujuan dari menggunakan jenis penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan. Jenis penelitian deskriptif adalah sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Dari penjelasan di atas maka penelitian yang dilakukan oleh penulis termasuk jenis penelitian deskriptif karena penulis menentukan dan melaporkan keadaan sekarang yang sedang terjadi dengan mengumpulkan, menyusun, dan mendeskripsikan berbagai dokumen, data, dan informasi yang aktual, yang bertujuan untuk menjelaskan permasalahan sampai menemukan jawaban yang diharapkan.


(30)

3. Jenis Data dan Sumber Data

a. Jenis Data

Data ini bersifat kualitatif. Data kualitatif ini didasarkan pada isi atau mutu suatu fakta, seperti data-data yang berdasarkan buku-buku, majalah, Koran serta artikel yang yang dikumpulkan penulis yang berhubungan dengan masalah yang terkait pada pembahasan skripsi ini yang kemudian di analisa supaya bisa menjawab permasalahan yang ada.

b. Sumber Data

1) Data Primer, yaitu data mengenai metode reasuransi treaty excess of loss yang didapatkan melalui wawancara langsung dengan karyawan PT. ReIndo Syariah.

2) Data Sekunder, yaitu data yang bersumber dari buku-buku, koran, majalah, website, penelitian terdahulu, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang mengandung informasi yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. 4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan metode sebagai berikut : a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penulis mengadakan


(31)

ini, berupa skripsi terdahulu, buku-buku, majalah, surat kabar, artikel, buletin, brosur, internet dan sebagainya.

b. Penelitian lapangan (field research), yakni penulis mengumpulkan data secara langsung ke tempat objek penelitian. Teknik pengumpulan data dengan melalui dua cara , yaitu :

1) Wawancara (interview), yaitu penulis menggunakan wawancara untuk memperoleh informasi berkenaan dengan hal-hal dan data-data tentang metode reasuransi treaty excess of loss pada karyawan PT. ReIndo Syariah, khususnya pihak yang dianggap paling berkompeten dan representative dengan masalah terebut.

2) Observasi, yaitu dengan observasi ke perusahaan Asuransi Syariah dan perusahaan Reasuransi Syariah untuk mendapatkan data yang sesuai bagi penelitian ini.

5. Teknik Analisis Data

a. Content analisis (riset dokumentasi), karena pengumpulan data dan informasi akan dilakukan melalui pengujian arsip dan dokumen.

b. Deskriptif analisis, yaitu data dikerjakan, dideskripsikan dan dianalisis sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang


(32)

dapat digunakan untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian yaitu :

1. Bagaimana implementasi program reasuransi syariah treaty non proportional excess of loss pada PT. XYZ?

2. Faktor-faktor apa yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih menggunakan metode reasuransi treaty non proportional excess of loss? 3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty non

proportional excess of loss?

6. Pedoman Penulisan Laporan

Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.


(33)

G. Sistematika Penulisan

Penulis membagi penulisan skripsi ini menjadi ke dalam 5 (lima) bab dan terdiri atas beberapa sub bab. Susunan Bab tersebut secara sistematis adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang penulis mengangkat tema yang akan dibahas dalam skripsi, perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan kerangka pemikiran, dan metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS ASURANSI SYARIAH

Tinjauan teoritis ini memuat deskripsi mengenai teori – teori yang digunakan dalam proses penelitian dan pembahasan. Dalam hal ini, teori – teori yang diuraikan antara lain prinsip-prinsip asuransi syariah dalam bermuamalah, serta pengertian reasuransi syariah, landasan hukum reasuransi syariah, prinsip reasuransi syariah, kebutuhan reasuransi syariah, tujuan dan fungsi reasuransi syariah, dan hubungan antara peserta, operator asuransi syariah dan operator reasuransi syariah.


(34)

BAB III TINJAUAN TEORITIS MEKANISME REASURANSI SYARIAH

Tinjauan teoritis ini memuat deskripsi mengenai teori-teori yang digunakan dalam proses penelitian dan pembahasan. Dalam hal ini, teori-teori yang diuraikan antara lain metode reasuransi syariah proporsional, tipe-tipe reasuransi syariah, bentuk reasuransi syariah, pengertian metode reasuransi treaty non proportional excess of loss, manfaat dan tujuan metode reasuransi treaty non proportional excess of loss, jenis-jenis metode reasuransi treaty non proportional excess of loss.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE REASURANSI TREATY EXCESS OF LOSS

Dalam bab ini akan membahas mengenai implementasi program reasuransi syariah treaty non proportional excess of loss pada PT. XYZ, menjelaskan faktor-faktor apa yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih menggunakan metode reasuransi treaty non proportional excess of loss, dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty non proportional excess of loss.


(35)

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran atas penelitian yang dilakukan oleh penulis.


(36)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS PRINSIP-PRINSIP ASURANSI SYARIAH DAN REASURANSI SYARIAH

A. Sekilas tentang Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah 1. Pengertian Asuransi Syariah

Kata asuransi menurut Yafie dan Simanjutak (Sula, 2004) berasal dari bahasa belanda, yang dalam hukum Belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerdee bagi tertanggung.

Sedangkan definisi Asuransi Syariah diberikan oleh Zarqa adalah “cara atau

metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan hidupnya atau

dalam aktivitas ekonominya.”8

AAOIFI No. 12 (Karim, 2005) memberikan definisi Asuransi Syariah sebagai

berikut “Islamic Insurance is a system through which the participants donate part or

all of their contributions which are used to pay claims for damages suffered by some

of the participants.”9

8

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani), 2004, Cet. I, h. 26 dan 29

9

Adiwarman Karim, Dasar-Dasar Fiqh Asuransi Dan Reasuransii Syariah, (Jakarta: Program Pendidikan dan Pelatihan Lembaga Keuangan Syariah),2005


(37)

Dari definisi AAOIFI tersebut dapat disimpulkan bahwa Asuransi Syariah adalah sebuah sistem dimana peserta mendonasikan sebagian kontribusinya untuk digunakan membayar klaim atas musibah yang diderita oleh peserta lainnya.

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah mendefinisikan

Asuransi Syariah sebagai “usaha saling melindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah islamiyah antara anggota sesama peserta Asuransi Syariah dalam

menghadapi resiko.”

2. Pegertian Reasuransi Syariah

Menurut Arbouna (1990) sebagaimana dikutip oleh Ma’sum Billah dalam

tulisannya ”Retakaful (Islamic Reinsurance) Paradigm”, Retakaful adalah: “Retakaful is a form of insurance whereby the takaful operators pays an agreed upon premium from the takaful fund to the reinsurance company or retakaful operator and in return the reinsurance company or retakaful operator will provides security for the risk

reinsured”.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwasanya Retakaful merupakan bentuk asuransi dimana Operator Takaful (Asuransi Syariah) membayar premi yang disepakati dari dana takaful kepada perusahaan Reasuransi (konvensional:red) atau Operator Retakaful dan sebagai timbal baliknya perusahaan Reasuransi atau Operator Retakaful akan membayar sejumlah uang bila terjadi kerugian.


(38)

Reasuransi syariah bisa diartikan juga sebagai suatu proses saling menanggung antara pemberi sesi (ceding company) dengan penanggung ulang (reasuradur), dimana ada proses suka sama suka (saling menyepakati) risiko dan persyaratannya yang ditetapkan dalam akad. Dalam operasionalnya, menggunakan prinsip-prinsip syariah, terbebas dari praktek gharar, maisir, dan riba.

B. Prinsip-prinsip Asuransi Syariah

Sebuah bangunan hukum akan tegak secara kokoh, jika dan hanya jika di bangun atas pondasi dan dasar yang kuat. Ibarat sebuah rumah, jika dibangun dengan pondasi yang rapuh maka cepat ataupun lambat rumah itu akan mengalami kehancuran dan roboh diterpa badai. Sebaliknya, bangunan rumah yang didasari dengan pondasi yang kuat akan menghasilkan sebuah rumah yang kokoh dan tahan terhadap badai.

Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomika islami secara komprehensif dan bersifat major. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi syariah merupakan turunan dari konsep ekonomika islami. Biasanya literatur ekonomika islami selalu melakukan penurunan nilai pada tataran konsep atau institusi yang ada dalam lingkup kajiannya, seperti lembaga perbankan dan asuransi. Begitu juga dengan asuransi, harus dibangun di atas fondasi dan prinsip dasar yang kuat serta kokoh.


(39)

1. Tauhid (Ketakwaan)

Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an tentang muamalah, maka akan terlihat dengan jelas bahwa Allah selalu menyeru kepada umat-Nya agar muamalah yang dilakukan membawanya kepada ketakwaaan kepada Allah. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam beberapa ayat berikut ini.



















Artinya:“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Al-Munafiquun :9) Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam salah satu kitabnya Daurul qiyam wal akhlaq fil Iqtishadil Islami mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah, dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi, penukaran, maupun distribusi, diikatkan pada prinsip Ilahiah dan pada tujuan Ilahi.10

Allah meletakkan prinsip Tauhid (ketakwaan) sebagai prinsip utama dalam muamalah. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam muamalah harus senantiasa mengarahkan para pelakunya dalam rangka untuk meningkatkan ketakwaaan pada

10

Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishodil Islami (Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam), Rabbani Press, Jakarta (terj.), hlm. 25-26


(40)

Allah. Inilah bagian dari hikmah mengapa dalam konsep muamalah yang Islami diharamkan beberapa hal berikut.11

1. Diharamkan muamalah yang mengandung maksiat kepada Allah. Sehingga yang dihasilkan dari perbuatan maksiat pun diharamkan.

2. Diharamkan memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan, baik barang yang haram dikonsumsi (seperti:khamar dan babi), maupun haram untuk dibuat dan diperlakukan secara tidak proporsional (misalnya patung-patung). 3. Diharamkan berbuat kecurangan, penipuan, dan kebohongan dalam

muamalah. Kecurangan dalam timbangan, kebohongan dalam jual beli yang kadang-kadang disertai dengan sumpah palsu, penipuan dan manipulasi data maupun rekayasa laporan keuangan dalam suatu perusahaan merupakan keniscayaan dan perbuatan haram dalam praktik muamalah yang Islami. 4. Diharamkan mempertuhankan harta. Korupsi, kolusi, nepotisme adalah buah

dari sikap manusia yang mempertuhankan harta dan jabatan. Sikap mempertuhankan harta akan berakibat menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Dan sikap ini juga akan menjadikan manusia (bias semena-mena mengambil hak orang lain secara tidak sah).

11

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, ibid., h. 725-726


(41)

2. Al ‘Adl (Sikap Adil)

Prinsip kedua dalam muamalah adalah al-„Adl„sikap adil’.cukuplah bagi kita bahwa Al-qur’an telah menjadikan tujuan semua risalah langit adalah melaksanakan keadilan. Implementasi sikap adil dalam bisnis merupakan hal yang sangat berat baik dalam industri perbankan, asuransi, maupun dalam bentuk-bentuk muamalah lainnya. Mungkin karena itulah, maka Allah demikian sering menekankan sikap adil ini ketika berbicara muamalah, demikian pula dalam hadits-hadits Nabi. Allah berfirman,











Artinya :“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar

kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Nahl : 90)

Keadilan dalam asuransi dan reasuransi dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi atau asuradur dan reasuradur. Sikap adil dibutuhkan ketika menentukan nisbah mudharabah, musyarakah, wakalah, wadiah, dan sebagainya, dalam bank syariah. Sikap adil juga diperlukan ketika asuransi syariah menentukan bagi hasil dalam surplus underwriting, dan bagi hasil investasi antara perusahaan dan peserta. Karena itulah, transparansi dalam perbankan dan asuransi syariah menjadi sangat penting.


(42)

Pertama, nasabah asuransi harus memosisikan pada kondisi yang mewajibkan untuk selalu membayar iuran uang santunan (premi) dalam jumlah tertentu kepada perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk mendapatkan sejumlah dana santunan jika terjadi peristiwa kerugian. Kedua, perusahaan asuransi yang berfungsi sebagai lembaga pengelola dana mempunyai kewajiban membayar klaim (dana santunan) kepada nasabah

Di sisi lain, keuntungan (profit) yang dihasilkan oleh perusahaan asuransi dari hasil investasi dana nasabah harus dibagi sesuai dengan akad yang disepakati sejak awal. Jika nisbah disepakati antara kedua belah pihak 40:60, maka realita pembagian keuntungan juga harus mengacu pada ketentuan tersebut.12

3. A t - Ta’awun (Tolong-Menolong)

Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari dengan semangat tolong-menolong (ta‟awun) antara anggota (nasabah). Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian.

12

A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta : Prenada Nedia, 2004), Edisi I, h. 127


(43)

Dalam hal ini, Allah SWT. Telah menegaskan dalam firmannya























Artinya: “tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat

siksa-Nya.”(QS. Al-Maidah:2). 4. Al-Amanah (Terpercaya / Jujur)

Al-Qaradhawi mengatakan bahwa di antara nilai transaksi yang terpenting dalam bisnis adalah al-Amanah „kejujuran’. Ia merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang yang beriman. Bahkan kejujuran merupakan karakteristik para Nabi. Tanpa kejujuran, kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan baik.

Al-Qur’an memerintahkan pada manusia untuk jujur, tulus/ikhlas, dan benar dalam semua perjalanan hidupnya, dan ini sangat dituntut dalam bidang bisnis. Pada saat penipuan dan tipu daya dikutuk dan dilarang, bahkan hamper mendekati titik nadir, kejujuran bukan hanya diperintahkan. Ia dinyatakan sebagai keharusan yang mutlak dan absolut.


(44)

Sikap jujur akan terlihat dalam kemampuan dalam menjalankan amanah-amanah yang diberikan. Orang yang jujur sudah pasti amanah-amanah dalam setiap kepercayaan yang diberikan kepadanya.13

Firman Allah SWT,



























Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati

amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.” (Q.S. Al-Anfaal:27)

Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan harus member kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor public.

Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi dan reasuransi. Seseorang yang menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memanipulasi kerugian (peril) yang menimpa dirinya. Jika seorang nasabah tidak memberikan

13

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional., h. 739


(45)

informasi yang benar dan memanipulasi data kerugian yang menimpa dirinya, berarti nasabah tersebut telah menyalahi prinsip amanah dan dapat dituntut secara hukum.14 5. Larangan Maisir (Judi)

Allah SWT. telah member penegasan terhadap keharaman melakukan aktivitas ekonomi yang mempunyai unsure maisir (judi):

Firman Allah dalam QS al-Maidah :90























Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar

kamu mendapat keberuntungan.”

Zarqa mengatakan bahwa adanya unsure gharar menimbulkan al-qumar. Sedangkan al-qumar sama dengan al-maisir, gambling, dan perjudian. Artinya, ada salah satu pihak yang untung tetapi ada pula pihak lain yang rugi. Husain ahmid Hasan berkomentar mengenai akad judi. Menurutnya akad judi adalah akad gharar, karena masing-masing pihak yang berjudi dan bertaruh menentukan pada waktu akad jumlah uang yang diambil atau jumlah yang ia berikan itu bias ditentukan nanti, tergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang maka ia mengetahui jumlah yang diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang ia berikan.

14

A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, ibid., h. 130


(46)

Syafi’i Antonio mengatakan bahwa unsure maisir judi artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsure keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, di mana untung-rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan. 6. Larangan Gharar (Ketidakpastian)

Gharar dalam pengertian bahasa adalah al-khida‟ (penipuan), yaitu suatu tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsure kerelaan. Wahbah al-Zuhaili member pengertian tentang gharar sebagai al-khatar dan al-taghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian. Oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata‟ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu.15

Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak (misalnya: peserta asuransi, pemegang polis dan perusahaan) saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah salah satu kontrak yang dibuat berdasarkan pengandaian (ihtimal) semata.

15

A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, ibid h. 134 - 135


(47)

Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dalam menjamin keadilan.

Jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara zatnya tetap termasuk dalam kategori bay‟ al-gharar yang diharamkan. Walaupun nisbah / persentase atau kadar bayar telah ditentukan agar peserta asuransi / pemegang polis maklum, ia tetap juga tidak tahu, kapankah musibah akan terjadi? Di sinilah gharar terjadi.

Selanjutnya pada bagian manakah gharar „ketidakpastian’ terjadi pada

asuransi konvensional yang kita kenal selama ini? H.M. Syafi’i Antonio pakar

ekonomi syariah menjelaskan bahwa gharar atau ketidakpastian dalam asuransi konvensional ada dua bentuk.

1. Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis.

2. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’I penerimaan uang klaim

itu sendiri.

Secara konvensional, kata Syafi’i, kontrak / perjanjian dalam asuransi jiwa

dapat dikategorikan sebagai aqad tabaduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariah, dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (jumlah sseluruh


(48)

premi) karena hanya Allah SWT. yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional.16

7. Larangan Riba

Dalam setiap transaksi, seorang muslim dilarang memperkaya diri dengan cara yang tidak dibenarkan:





























Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”

Ada beberapa bagian dalam al-Qur’an yang melarang pengayaan diri dengan cara yang tidak dibenarkan. Islam menghalalkan perniagaan dan melarang riba.





Artinya : “Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS. Al -Baqarah : 275)

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan untuk istilah teknis riba berarti pengambilan penambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalahh pengambilan tambahan baik dalam

16

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, ibid., h. 47-48


(49)

transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.17

Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa pengertian riba dari sisi syara’ ialah penambahan dalam perkara-perkara tertentu. Definisi ini merupakan definisi ulama mazhab Hambali. Kitab al-Kanz (mahzab Hanafi) mendefinisikan riba sebagai

“kelebihan suatu harta tanpa penggantian di dalam suatu kontrak pertuakaran harta

dengan harta”. Maksudnya ialah kelebihan harta walaupun kelebihan itu dalam

bentuk hukum saja.

Lebih lanjut az-Zuhaili mengatakan, ada dua jenis riba yang diharamkan dalam Islam. Pertama, riba an-nasi‟ah yang satu-satunya diketahui oleh orang Arab Jahiliah. Yaitu, riba yang diambil karena si peminjam yang tidak mampu membayar utangnya yang telah jatuh tempo, kemudian ditetapkan tempo baru, tidak terkecuali apakah utang tersebut berupa harga barang yang dijual ataupun utang uang (qard). Kedua, riba al-fadl yaitu jual beli yang terdapat dalam enam jenis, yaitu emas, perak, gandum, syair (sejenis gandum) garam, dan buah tamar. Riba ini diharamkan atas dasar sad adh-dharai‟ yaitu untuk menghindar dari sampai kepada riba an-nasi‟ah. Contohnya seperti seorang menjual emas dengan emas untuk suatu waktu tertentu kemudian dibayar dengan perak dengan kadar yang lebih mengandung unsur riba.18

17

A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, ibid., h. 131-132

18

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional,


(50)

C. Reasuransi Syariah

1. Landasan Hukum Reasuransi Syariah

Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU. No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Dengan kata lain, UU No. 2 Tahun 1992 tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah.19

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan dan reasuransi syariah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi syariah. Fatwa dari DSN-MUI tidak mempunyai kekuatan hukum dalam hukum nasional karena tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tetapi sekarang sudah ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 18 2010 yang menjelaskan penerapan prinsip dasar penyelanggaraan usaha asuransi dan reasuransi dengan prinsip syariah.

19

Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2006, Edisi Revisi, h. 142


(51)

Jenis dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan UU No. 10/2004 :

1) UUD – RI 2) TAP MPR

3) Undang-Undang (UU) 4) Peraturan Pemerintah (PP) 5) Peraturan Presiden (PP) 6) Peraturan Menteri (Permen)

7) Peraturan Kepala LPND/Komisi/Badan/Peraturan Ditjen suatu Departemen 8) Peraturan daerah Propinsi

9) Peraturan Gubernur Propinsi 10)Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 11)Peraturan Bupati/Walikota

12)Peraturan Desa (Perdesa)20

Agar ketentuan dalam Fatwa DSN MUI tersebut memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan asuransi syariah.21 Ketentuan mengenai asuransi syariah di Indonesia untuk saat ini baru diatur dalam beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang kedudukannya berdasarkan gambar di atas adalah berada di bawah Peraturan Presiden (Perpres) berdasarkan UU No. 10/2004 mengenai jenis dan tata urutan peraturan

20

Artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2010. Dari http:/www.djpp.depkumham.go.id 21

Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, ibid., h. 142


(52)

undangan Republik Indonesia. Jika dikelompokkan maka ketentuan yang telah ada untuk asuransi dan reasuransi syariah yang masih bercampur dengan asuransi konvensional termuat dalam:

a. Keputusan Menteri Keuangan :

1) Tentang Penyelenggaraan Usaha (KMK No. 442/KMK.06/2003)

2) Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan (KMK No.424/KMK.06/2003) 3) Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan (KMK

No.426/KMK.06/2003).

4) Tentang penerapan prinsip dasar penyelanggaraan usaha asuransi dan reasuransi dengan prinsip syariah (PMK No. 18/PMK.10/2010

b. SK Dirjen Lembaga Keuangan, yaitu :

1) Tentang Pedoman Perhitungan Bebas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (Kep-3607/LK/2004) 2) Tentang Bentuk dan Susunan Laporan Usaha Perasuransian serta bentuk

dan Susunan Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (Kep-4033/LK/2004)22

22

Media Informasi Asuransi dan Reasuransi Reinfokus, Reasuransi Syariah (Retakaful) dengan Akad wakalah Bil Ujrah, Ibid., h. 24


(53)

2. Prinsip Reasuransi

Oleh karena reasuransi syariah adalah asuransi syariah yang diasuransikan kembali, maka logislah jika prinsip-prinsip yang berlaku dalam asuransi syariah juga berlaku dalam reasuransi syariah. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan daripada penerapan prinsip-prinsip asuransi adalah untuk melindungi para penanggung dari kerugian-kerugian yang tidak semestinya mereka terima. Demikian juga dalam hubungan reasuransi dimana para reasuradur dapat melindungi dirinya dengan prinsip-prinsip reasuransi terhadap kemungkinan kerugian yang tidak seharusnya mereka pikul.

a. Prinsip Berserah Diri dan Ikhtiar

Allah adalah pemilik mutlak atau pemilik sebenarnya seluruh harta kekayaan. Ia adalah pencipta alam semesta dan Dia pula Yang Maha Memilikinya. Kalimat tauhid laa ilaaha illallaah (tidak ada Tuhan selain Allah) juga mengandung pengerian, tidak ada pemilik mutlak atas seluruh ciptaan kecuali Allah.

Karena Allah yang menjadi pemilik mutlaknya, maka menjadi hak-Nya pula untuk memberikannnya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya atau merenggutnya dari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allahlah pula yang memutuskan seorang menjadi miskin.

Atas sumber daya yang dititipkan oleh allah kepadanya, manusia dilarang untuk mengambil risiko yang melebihi kemampuan yang wajar untuk mengatasi risiko tersebut . walaupun risiko tersebut mempunyai probabilita untuk membawa


(54)

manfaat, namun bila probabilitas untuk membawa kerugian lebih besar dari kemampuan menanggung kerugian tersebut, maka tindakan usaha tersebut adalah sama dengan mengeluarkan yang lebih dari keperluan sehingga harus dihindari.

Pengambilan risiko yang melebihi kemampuan untuk menanggulangi adalah tidak sama dengan menghadapi ketidakpastian. Karena pada dasarnya tidak ada seorang manusia pun yang dapat dengan pasti mengetahui apa yang akan terjadi. Sehingga, semua aspek kehidupan di dunia ini pada dasarnya adalah ketidakpastian bagi manusia. Namun, kemampuan yang dikembangkan manusia dapat membantu manusia dalam menghadapi ketidakpastian atau risiko tersebut dengan memperkirakan kemungkinan terjadinya hal-hal yang merugikan, tentunya dalam batas-batas kemampuan manusia. Sehingga, secara umum dapat dikatakan bahwa manusia dapat berusaha untuk menghindari pengambilan risiko yang melebihi kemampuan yang wajar untuk menanggulanginya.

b. Prinsip Tolong-Menolong (Ta’awun)

Prinsip yang paling utama dalam konsep asuransi syariah adalah prinsip tolong menolong baik untuk life insurance atau general insurance. Ini adalah bentuk solusi bagi mekanisme operasional untuk asuransi syariah. Tolong menolong atau dalam bahasa Al‟Qur‟an disebut ta‟awun adalah inti dari semua prinsip dalam asuransi syariah. Ia adalah pondasi dasar dalam menegakkan konsep asuransi syariah.

Dari prinsip ta‟awun tolong-menolong ini muncullah beberapa prinsip-prinsip lain yang melandasi operasional asuransi syariah.


(55)

c. Prinsip Saling Bertanggung Jawab

Para peserta asuransi setuju untuk saling bertanggung jawab satu sama lain. Memikul tanggung jawab dengan niat ihklas adalah ibadah. Rasa tanggung jawab terhadap sesama insan. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, saling mencintai, saling mambantu, dan merasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, takwa, dan harmonis.

Dalam banyak hal, Rasulullah menegaskan kewajiban individu dan masyarakat dalam melaksanakan tanggung jawab social, dasar penetapannya ialah karena kemaslahatan umum. Asuransi syariah bertujuan untuk melaksanakan masalah ini. Kalau rasa ini tidak lagi hidup dikalangan masyarakat Islam, berarti kehilangan suatu ruh agama yang menjadikan umat Islam baik kuat baik secara individu maupun secara kemasyarakatan.

Seandainya masyarakat miskin tidak mampu untuk membayarkan ta‟awun atau tabarru‟, maka orang kaya berkewajiban untuk membayarkan iuran ini untuk mereka.

d. Prinsip Saling Kerja Sama dan Bantu-Membantu

Salah satu keutamaan umat Islam adalah saling membantu sesamanya dalam kebajikan. Karena, bantu-membantu itu merupakan gambaran sifat kerja sama


(56)

sebagai aplikasi dari ketakwaan kepada Allah. Di antara cerminan ketakwaan itu ialah sebagai berikut.

1) Melaksanakan fungsi harta dengan betul, di antaranya untuk kebajikan social. 2) Menepati janji.

3) Sabat ketika mengalami bencana

Firman Allah dalam QS al-Maidah :2















Artinya : “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

Islam adalah agama jama‟I, artinya banyak hal mesti dikerjakan secara bersama. Tanpa kebersamaan, sangat tipis kemungkinan diraihnnya kesuksesan. Asuransi merupakan bagian dari usaha untuk dapatnya umat Islam bekerja sama membesarkan dana, guna saling membantu di antara umat Islam kalau terjadi suatu perisitiwa yang merugikan harta dan jiwa umat Islam. Sekaligus ia berfungsi untuk mengumpulkan dana guna diinvestasikan pada berbagai sektor.

e. Prinsip Saling Melindungi dari Berbagai Kesusahan

Para pesera asuransi Islam setuju untuk saling melindungi dari kesusahan, bencana, dan sebagainya. Kenapa saling melindungi? Karena keselamatan dan keamanan merupakan keperluan azas untuk semua orang, maka semua orang perlu


(57)

dilindungi. Masalahnya, apakah perusahaan asuransi mampu mengemban tugas yang berat ini. Tentu saja tidak mungkin ia akan laksanakan secara sempurna. Namun, dengan aturan yang jelas, sebagian prinsip di atas tentu akan dapat dijalankan oleh perusahaan.

f. Prinsip Kepentingan Terasuransikan (Insurable Interest)

Untuk dapat mengasuransikan barangnya, tertanggung harus mempunyai suatu kepentingan dalam barang tersebut. Dalam asuransi tanggung gugat, kepentingan yang diasuransikan ialah kekayaan tertanggung. Risikonya adalah terkenanya kekayaan tersebut oleh kewajiban membayar ganti rugi karena suatu kejadian atau perbuatan yang merugikan pihak ketiga, untuk mana ia bertanggung gugat.

Jadi yang dimaksudkan dengan kepentingan terasuransikan adalah pihak yang ingin mengasuransikan suatu objek pertanggungan seperti rumah tinggal, stok barang dagangan, atau lainnya harus mempunyai kepentingan atas objek tersebut. Kepentingan tersebut harus diakui secara hukum. Jika kepentingan itu tidak ada, maka harus dikategorikan sebagai kegiatan perjudian. Sementara perjudian diharamkan dalam syariat Islam.

Karena itu, pengakuan terhadap hak milik dan tanggung jawab atas hak milik seseorang yang dikuasakan kepada kita, diatur dan diakui dalam Islam. Kepemilikan manusia atas harta adalah kepemilikan yang bersifat perwalian (amanat). Islam mengakui hak-hak individu manusia atas kekayaan yang dianugerahkan Allah kepada


(58)

mereka. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk berusaha mendapatkan harta, memeliharanya, menyelamatkannya, menggunakannya, memanfaatkannya, serta mempertanggungjawabkannya di hadapan pemilik mutlak-Nya, Allah. Karena itulah, kita memiliki tanggung jawab untuk melindunginya. Kita mempunyai kepentingan untuk sharing of risk dengan pihak lain agar harta tadi dapat terpelihara. Dengan demikian, kepentingan terasuransikan (insurable interest) secara syar‟I dapat dipertanggungjawabkan bahwa ia adalah salah satu prinsip asuransiyang baik dan maslahah di mana pada saat yang sama ia juga tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’.

g. Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith)

Dalam kontrak asuransi, untuk pelaksanaan polis, pihak-pihak yang terlibat harus memiliki niat baik. Oleh karena itu, tidak adanya pengungkapan fakta penting, keterlibatan tindakan penipuan, kesalahpahaman atau pernyataan salah adalah semua elemen yang dapat membuat tidak berlakunya polis asuransi.

Kedua belah pihak yang melakukan kontrak asuransi, baik pihak yang mengajukan objek untuk dipertanggungkan (peserta) maupun perusahaan asuransi (pengelola), harus menerapkan prinsip itikad yang baik yang direpresentasikan dengan keterbukaan atas semua informasi mengenai pertanggungan. Pihak tertanggung (peserta) harus memberikan semua informasi yang material, baik diminta maupun tidak. Informasi tersebut ialah mengenai objek pertanggungan yang akan mempengaruhi opini penanggung. Yaitu, apakah akan menerima atau tidak objek


(1)

DAFTAR PERTANYAAN

“ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE REASURANSI TREATY NON PROPORTIONAL EXCESS OF LOSS”

1. Bagaimana implementasi program reasuransi syariah dengan menggunakan metode excess of loss?

2. Apa saja yang ada di dalam isi sebuah perjanjian antara pihak asuransi syariah dengan pihak reasuransi syariah?

3. Faktor-faktor apa saja yang membuat perusahaan Asuransi Syariah memilih menggunakan metode reasuransi excess of loss?


(2)

Nama : Abdul Mulki, SE, ACII, FIIS

Jabatan : Head of Department Reasuransi Umum Syariah Perusahaan : PT. Reasuransi Internasional Indonesia

1. Bagaimana implementasi program reasuransi syariah dengan menggunakan metode excess of loss?

Sebelum melakukan perjanjian antara pihak perusahaan asuransi syariah dan pihak perusahaan reasuransi syariah terlebih dahulu pihak perusahaan asuransi syariah membuat program reasuransi. Dimana program reasuransi tersebut mempunyai beberapa kebijakan, antara lain :

a. Phase Persiapan

Pada dasarnya perjanjian antara pihak asuransi syariah dengan reasuransi syariah mulai berlaku pada tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Oleh karena itu, sebaiknya sebelum dilaksanakan negosiasi treaty dengan perusahaan reasuransi perlu disiapkan hal-hal semacam penentuan retensi ssendiri, limit treaty, EPI, panel of reinsurers, jenis treaty, risk dan loss profile, statistic, underwriting policy,

b. Negosiasi Treaty

Dalam praktek Negosiasi Treaty di Indonesia, sampai saat ini hampir semua perusahaan asuransi kerugian nasional menunjuk salah satu dari empat


(3)

perusahaan reasuransi yang ada untuk menjadi “Reinsurance Leader” dalam program penyusunan treatynya.

Sebelum dilaksanakan Negosiasi Treaty pada asuradur terlebih dahulu harus mengirimkan dokumen-dokumen antara lain seperti risk and loss profit, statistic, EPI, dan rencana program treaty untuk tahun mendatang.

c. Administrasi dan Evaluasi

Yang dimaksud administrasi dan evaluasi disini adalah tugas dari bagian administrasi dalam penyusunan program reasuransi syariah seperti entry data, membagi-bagi premi, penyusunan bordero claim, pembuatan rekapitulasi setiap tiga bulan, dan laporan klaim

2. Apa saja yang ada di dalam isi sebuah perjanjian antara pihak perusahaan asuransi syariah dengan pihak perusahaan reasuransi syariah?

Biasanya di dalam sebuah perjanjian reasuransi syariah di jelaskan : - Takaful Operator

- Class dan Type - Period

- Territorial Scope - Retakaful Limit - Reinstatement - Minimum Deposit


(4)

3. Faktor-faktor apa yang membuat perusahaan Asuransi Syariah memilih menggunakan metode reasuransi excess of loss?

a. Administrasi lebih simple

b. Limit per risk / per event to a known limit c. Reinsurance cost lebih murah

d. Asuradur bisa bebas menentukan deductible

e. Term and Condition lebih luas, dan lebih bisa berkreasi dalam produk a. Administrasi Lebih Simple

Dalam metode reasuransi proportional itu ada kondisi yang namanya harus melaporkan produksinya setiap kuartal. Seperti setiap premi kontribusi, ujrah, claim of account, kecuali laporan akumulasi control yang dilaporkan per 6 bulan. Sedangkan untuk non proportional tidak ada kewajiban untuk laporan setiap kuartal. Dalam non proportional premi reasuransi (kontribusi) langsung bayar di depan dan jika ada klaim baru diterbitkan dokumen pelaporan klaim.

b. Limits Per Risk / Per Event to a Known Limit

Dalam treaty baik proportional maupun non proportional memiliki limit of liability. Di proportional risiko yang dijamin (polis yang disesikan) bisa number of risk, jadi bisa 100.000 polis, 200.000 polis, 300.000 polis, bahkan 1.000.000 polis bisa masuk. Polis itu tentunya berimplikasi terhadap


(5)

kemungkinan terjadinya klaim, bisa masuk 1.000.000 polis berarti ada kemungkinan 100 juta klaim terjadi dan ditotalkan semua polis itu dan unlimitednya tidak akan pernah tahu jika terjadi satu catastrophe loss. Di excess of loss, limit of liability reasuradur bisa dibatasi dengan limit per risk atau per event to a known limit.

c. Reinsurance Cost Lebih Murah

Jika kita bandingkan biaya reasuransi antara metode proportional dengan metode non proportional ternyata metode non proportional mempunyai biaya reasuransi yang lebih murah. Ini dikarenakan metode reasuransi non proportional dalam menghitung premi berdasarkan persentasi rate yang dikalikan dengan OGNPI (premi dari risiko yang diproteksi). Rate bisa diperoleh dengan menggunakan metode burning cost yaitu menghitung premi berdasarkan klaim yang dialami dari tahun-tahun sebelumnya.

d. Asuradur bisa bebas menentukan deductible

Maksud dari asuradur bisa bebas menentukan deductible yaitu misalkna di metode treaty non proportional ada program treaty sebesar Rp10.000.000.000 x Rp 1.000.000.000. Jadi perusahaan asuransi bisa menentukan deductiblenya yakni sebesar Rp 1.000.000. Dalam proportional premi reasuransi berdasarkan proporsi risiko yang ditahan oleh asuradur dan reasuradur. Misalkan limit 100 miliar, O/R 10 Miliar maka persentase untuk asuransi 10/100. Sedangkan


(6)

reasuransi persentasenya menjadi 100/110. Karena prinsip deductible adalah semakin besar deductible maka ratenya semakin kecil, sedangkan semakin kecil deductible maka ratenya akan semakin besar.

e. Term and Condition Lebih Luas, Dan Lebih Bisa Berkreasi Dalam Produk Pada metode non proportional covernya bisa lebih luas (exclusion lebih sedikit) jadi perusahaan asuransi bisa lebih bebas berkreasi dalam memilih produk. Sedangkan pada metode proportional exclusion lebih besar dari non proportional jadi ada batasan dalam memilih cover.

Jakarta, 18 November 2010