premi karena hanya Allah SWT. yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional.
16
7. Larangan Riba
Dalam setiap transaksi, seorang muslim dilarang memperkaya diri dengan cara yang tidak dibenarkan:
Artiny a :”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu
” Ada beberapa bagian dalam al-
Qur’an yang melarang pengayaan diri dengan cara yang tidak dibenarkan. Islam menghalalkan perniagaan dan melarang riba.
Artinya : “Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”QS. Al-
Baqarah : 275 Riba secara bahasa bermakna ziyadah tambahan. Dalam pengertian lain,
secara linguistic riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan untuk istilah teknis riba berarti pengambilan penambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalahh pengambilan tambahan baik dalam
16
M. Syakir Sula, Asuransi Syariah Life and General Konsep dan Sistem Operasional, ibid., h. 47-48
transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
17
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa pengertian riba dari sisi syara’ ialah
penambahan dalam perkara-perkara tertentu. Definisi ini merupakan definisi ulama mazhab Hambali. Kitab al-Kanz mahzab Hanafi mendefinisikan riba sebagai
“kelebihan suatu harta tanpa penggantian di dalam suatu kontrak pertuakaran harta dengan harta”. Maksudnya ialah kelebihan harta walaupun kelebihan itu dalam
bentuk hukum saja. Lebih lanjut az-Zuhaili mengatakan, ada dua jenis riba yang diharamkan
dalam Islam. Pertama, riba an- nasi‟ah yang satu-satunya diketahui oleh orang Arab
Jahiliah. Yaitu, riba yang diambil karena si peminjam yang tidak mampu membayar utangnya yang telah jatuh tempo, kemudian ditetapkan tempo baru, tidak terkecuali
apakah utang tersebut berupa harga barang yang dijual ataupun utang uang qard. Kedua, riba al-fadl yaitu jual beli yang terdapat dalam enam jenis, yaitu emas, perak,
gandum, syair sejenis gandum garam, dan buah tamar. Riba ini diharamkan atas dasar sad adh-
dharai‟ yaitu untuk menghindar dari sampai kepada riba an-nasi‟ah. Contohnya seperti seorang menjual emas dengan emas untuk suatu waktu tertentu
kemudian dibayar dengan perak dengan kadar yang lebih mengandung unsur riba.
18
17
A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, ibid., h. 131-132
18
M. Syakir Sula, Asuransi Syariah Life and General Konsep dan Sistem Operasional
,
ibid., h. 54
C. Reasuransi Syariah 1.
Landasan Hukum Reasuransi Syariah
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU. No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang
sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Dengan kata
lain, UU No. 2 Tahun 1992 tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah.
19
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan dan reasuransi syariah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 21DSN-MUIX2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut
dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi syariah. Fatwa dari DSN-MUI tidak mempunyai kekuatan
hukum dalam hukum nasional karena tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tetapi sekarang sudah ada Peraturan Menteri
Keuangan PMK No. 18 2010 yang menjelaskan penerapan prinsip dasar penyelanggaraan usaha asuransi dan reasuransi dengan prinsip syariah.
19
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Edisi Revisi, h. 142
Jenis dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan UU No. 102004 :
1 UUD – RI
2 TAP MPR
3 Undang-Undang UU
4 Peraturan Pemerintah PP
5 Peraturan Presiden PP
6 Peraturan Menteri Permen
7 Peraturan Kepala LPNDKomisiBadanPeraturan Ditjen suatu Departemen
8 Peraturan daerah Propinsi
9 Peraturan Gubernur Propinsi
10 Peraturan Daerah KabupatenKota
11 Peraturan BupatiWalikota
12 Peraturan Desa Perdesa
20
Agar ketentuan dalam Fatwa DSN MUI tersebut memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan asuransi
syariah.
21
Ketentuan mengenai asuransi syariah di Indonesia untuk saat ini baru diatur dalam beberapa Keputusan Menteri Keuangan KMK yang kedudukannya
berdasarkan gambar di atas adalah berada di bawah Peraturan Presiden Perpres berdasarkan UU No. 102004 mengenai jenis dan tata urutan peraturan perundang-
20
Artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2010. Dari http:www.djpp.depkumham.go.id
21
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, ibid., h. 142
undangan Republik Indonesia. Jika dikelompokkan maka ketentuan yang telah ada untuk asuransi dan reasuransi syariah yang masih bercampur dengan asuransi
konvensional termuat dalam: a.
Keputusan Menteri Keuangan : 1
Tentang Penyelenggaraan Usaha KMK No. 442KMK.062003
2 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan KMK No.424KMK.062003
3 Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan KMK
No.426KMK.062003. 4
Tentang penerapan prinsip dasar penyelanggaraan usaha asuransi dan reasuransi dengan prinsip syariah PMK No. 18PMK.102010
b. SK Dirjen Lembaga Keuangan, yaitu :
1 Tentang Pedoman Perhitungan Bebas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Kep-3607LK2004 2
Tentang Bentuk dan Susunan Laporan Usaha Perasuransian serta bentuk dan Susunan Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi Kep-4033LK2004
22
22
Media Informasi Asuransi dan Reasuransi Reinfokus, Reasuransi Syariah Retakaful dengan Akad wakalah Bil Ujrah, Ibid., h. 24
2. Prinsip Reasuransi