Latar belakang masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Asuransi Syariah merupakan salah satu industri syariah yang mengalami perkembangan yang pesat di Indonesia. Perkembangan industri syariah ini dimulai sejak tahun 1994, yang dipelopori oleh PT Asuransi Takaful Keluarga. Kendati demikian, industri asuransi syariah ini baru mengalami peningkatan yang pesat sejak tahun 2001, yang ditandai dengan lahirnya perusahaan asuransi syariah yaitu PT. Asuransi Syariah Mubarokah dan PT. MAA Life Assurance, keduanya termasuk jenis asuransi keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia AAMAI, Dewan Asuransi Indonesia DAI dan Dewan Syari’ah Nasional DSN jumlah perusahaan yang menyelenggarakan usaha dengan prinsip syariah mengalami perkembangan seperti terlihat pada tabel dibawah ini 1 1 Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, current Issues Lembaga Keuangan Syariah Jakarta: Kencana, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, 2006 , h.347. Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Perusahaan Asuransi yang Menyelenggarakan Usaha dengan Prinsip Syariah Tahun 2002 - 2009 No Keterangan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 1 Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Perusahaan Asuransi Kerugian Syariah 1 1 1 1 1 1 1 1 3 Perusahaan Asuransi Jiwa yang Memiliki Kantor Unit Syariah 1 2 3 8 9 13 13 17 4 Perusahaan Asuransi Kerugian yang memiliki Kantor Unit Syariah 1 6 11 13 15 19 19 19 5 Perusahaan reasuransi yang memiliki Kantor Unit Syariah - - 1 2 3 3 3 3 Total 5 11 18 26 30 38 38 42 Sumber : Maulan, 2006 Seperti halnya asuransi konvensional, asuransi syariah juga menawarkan proteksi dari setiap kerugian. Selain itu asuransi syariah juga menawarkan skim investasi selain fasilitas proteksi. Hanya saja, berbeda dengan asuransi konvensional, sistem operasional asuransi syariah menggunakan prinsip-prinsip sesuai syariah. Apabila dilihat dari besaran dana masyarakat yang dihimpun dalam bentuk premi, besaran aset dan ekuitas, dan bahkan aspek regulasinya sekalipun, sampai saat ini, industri asuransi syariah jauh tertinggal dibanding perbankan syariah. Kendati demikian, memandang pertumbuhan industri asuransi syariah dari hari ke hari terus berkembang pesat, bahkan sejumlah asuransi konvensional pun mulai melakukan konversi ke sistem syariah, bisa dikatakan, prospek dan potensi industri asuransi syariah untuk ke depannya cukup menjanjikan. 2 Salah satu cara yang ditempuh setiap orang ataupun badan usaha untuk memperkecil risiko yang mereka hadapi adalah dengan membeli polis-polis asuransi, khususnya mengenai risiko-risiko yang dapat dipertanggungjawabkan. Satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh para penanggung dalam rangka memperkecil risiko tanggung gugat yang timbul akibat perjanjian pertanggungan yang telah mereka adakan dengan pihak tertanggung adalah dengan mempertanggungkan ulangkembali kepentingan atas kelebihan tanggung gugat yang tidak mungkin mereka tanggung sendiri. Dengan demikian, pertanggungan ulang pada kenyataannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia industri asuransi. Peranan danatau fungsi pertanggungan ulang tidak hanya memberikan atau memenuhi kebutuhan akan proteksi atas tanggung gugat pihak penanggung pertama yang timbul karena perikatan pertanggungan yang telah mereka adakan dengan pihak tertanggung, tetapi juga masih memiliki peranan dan atau fungsi lain yang kalah pentingnya dari pemberian proteksi. 3 2 Reasuransi Syariah. Artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2010. Dari http:www.scribd.comdoc3957094 3 A.J.Marianto, REASURANSI Jakarta: Ghalia Indonesia,1997, h.10. Berkembangnya berbagai macam produk asuransi dengan ragam jenis risiko yang dijamin yang pada kenyataannya masih tetap berkembang dan ditemukan jenis- jenis risiko baru hingga saat ini menyebabkan berkembangnya teknik-teknik reasuransi untuk mengatasi beban risiko yang berat karena makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah dengan makin banyaknya penemuan produk dengan teknologi yang tinggi dan canggih maka akan ditemukan pula berbagai macam risiko yang semakin komplek dan rumit serta menyebabkan tingginya nilai atau harga pertanggungan, yang tidak mungkin diserap seluruhnya oleh pasaran domestik. Oleh sebab itu, diperlukan teknik-teknik underwriting yang sehat dan teknik reasuransi yang makin baik serta memadai. 4 Fenomena dan kondisi perkembangan perasuransian syariah di Indonesia tersebut yang menjadi faktor pemicu dan pendorong PT Reasuransi Internasional Indonesia atau lebih dikenal dengan Reindo memelopori industri reasuransi syariah di Indonesia, dengan menempatkan reasuransi syariah ini sebagai salah satu divisi yang dinamakan Divisi Khusus Syariah, yang selanjutnya menggunakan nama PT. Reindo Syariah Unit 2004. Kebijakan dan strategi ini menjadi lokomotif terhadap mobilisasi dan pergerakan beberapa perusahaan lain untuk menjadi perusahaan 4 A.J.Marianto, REASURANSI, Ibid., h.11. reasuransi syariah, seperti: PT. Reasuransi Nasional Indonesia 2005, PT. Maskapai Reasuransi Indonesia, serta Tbk Marein 2006. 5 Faktor lain secara makro yang juga menjadi pemicu pertumbuhan industri asuransi syariah adalah dicabutnya fatwa darurat reasuransi konvensional. Hal ini berarti bahwa seluruh produk asuransi yang masih berbasis bunga seperti yang ditawarkan oleh reasuransi konvensional menjadi terlarang. Sehingga industri asuransi syariah hanya diperkenankan memperoleh dukungan kapasitas atas risiko- risiko yang melebihi kemampuannya hanya dari reasuransi yang berbasis syariah juga. Hal ini membawa konsekuensi bahwa perusahaan asuransi syariah diwajibkan hanya menggunakan reasuransi syariah untuk memenuhi tambahan kapasitasnya itu. Sehingga dicabutnya status darurat bagi fatwa darurat reasuransi konvensional, maka keberadaan dan ketersediaan, serta eksistensi perusahaan reasuransi menjadi penting kiranya bagi perkembangan industri asuransi di Indonesia. Reasuransi syariah merupakan pengembangan dari industri asuransi syariah yang memiliki tujuan yang sama dengan asuransi syariah, yaitu untuk menciptaan kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat, dimana satu pihak bertindak sebagai penanggung beban kerugian insurer yang memungkinkan akan menimpa pihak yang tertanggung insuredpolicy holder. Pihak insurer dalam konteks asuransi syariah adalah perusahaan asuransi syariah itu sendiri, sedangkan 5 Hendroyono, Property and Pocuniary Insurance AAMAI 220, 2005, Chapter 5, h.22 pihak insured adalah individu pemegang polis. Dalam konteks reasuransi syariah, pihak insurer dalam konteks reasuransi syariah adalah perusahaan reasuransi syariah, sedangkan pihak insured adalah perusahaan asuransi syariah. Berbicara tentang reasuransi ada metode dan tipe-tipe reasuransi, harus di bedakan arti antara istilah metode reasuransi dan tipe reasuransi untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. “Metode reasuransi” hendaknya diartikan sebagai cara bagaimana para pelaku pasar reasuransi itu melakukan kerja sama reasuransi, sedang “tipe reasuransi” hendaknya kita artikan sebagai bentuk pelaksanaan dari cara melakukan transaksi reasuransi. Dalam reasuransi syariah ada dua metode inti, yaitu proporsional membagi risiko atau partisipasi risiko secara pro rata dan non- proporsional excess of loss. 6 Sebagaimana telah disebut di atas, salah satu kategori metode reasuransi adalah metode reasuransi non proportional. Adapun yang dimaksud dengan metode reasuransi non proportional adalah suatu perjanjian reasuransi yang menetapkan bahwa para penanggung ulang dengan menerima sejumlah premi yang telah disepakati bersama beredia membayar kepada penanggung pertama semua kerugian yang melampaui limit retensi underlying net retention sampai pada batas jumlah atau persentase tertentu yang terjadi karena peristiwa-peristiwa yang diperjanjikan bersama. 6 A.J.Marianto, REASURANSI, ibid., h.56 Menurut teori maupun praktek, dalam kategori metode reasuransi non proportional terdapat metode reasuransi treaty excess of loss. Disebut non proportional treaty excess of loss karena jumlah risiko tidak sebanding tidak membagi proporsi setiap kerugian klaim dengan premi dan liability, dalam suatu perbandingan yang tetap, oleh sebab itu sistem ini disebut sistem excess of loss, karena reasuradur hanya bertanggung jawab atas kerugian untuk limit setelah retensi dari ceding company. 7 Pada umumnya ceding company diwajibkan membayar premi muka premi minimum kepada reinsurer, yaitu sejumlah premi yang perhitungannya didasarkan atas perkiraan penghasilan premi bersih yang diterima oleh ceding company dalam jangka waktu tertentu. Misalkan operator asuransi syariah telah menentukan retensi sendiri dalam skema yang dikelolanya sebesar: Rp 100.000.000. Kemudian untuk selanjutnya proteksi excess of loss untuk nilai sebesar Rp250.000.000 di atas retensinya. Dalam bahasa reasuransi hal ini diungkapkan dengan Rp 250.000.000 in excess of Rp 100.000.000. Dengan contoh tersebut, dalam hal terjadi suatu kerugian sebesar Rp 350.000.000, maka yang menjadi tanggung jawab reasuransi adalah sebesar Rp 250.000.000. Apabila terjadi suatu kerugian yang menjadi beban penanggung semula hanya sebesar lebih kecil atau sama dengan Rp100.000.000, maka penanggung ulang bebas dari tuntutan ganti kerugian. Dalam hal ini akan terjadi ketidakadilan antara pihak asuransi dan reasuransi. Dengan diwajibkan membayar premi muka premi minimum kepada reinsurer ini 7 Hendroyono, Property and Pocuniary, h.48 juga akan mengandung unsur ketidakpastian gharar. Karena tertanggung dan penanggung sama-sama tidak mengetahui kapan klaim terjadi. Walaupun penanggung memiliki pengalaman dalam menangani kerugian dengan menggunakan metode statistik sebagai pegangan yang dapat membantu untuk memperkirakan kerugian- kerugian berikut besarnya, namun tetap tidak ada kepastian apa yang nanti akan terjadi. Oleh karena itu apakah metode reasuransi treaty excess of loss sesuai diterapkan di asuransi syariah? Berdasarkan uraian di atas , penulis tertarik untuk mengangkat pembahasan mengenai “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Metode Reasuransi Treaty Non Proportional Excess Of Loss “ sebagai judul skripsi.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah